Oleh Manshur Zikri
Dua minggu terakhir, linimasa media sosial kita relatif dipenuhi unggahan pernyataan para netizen (sinefil) mengenai kesan menonton Avatar: The Way of Water (2022). Sejauh yang tertangkap pantauan Editor Jurnal Footage, ada penekanan yang hampir sama dalam pernyataan-pernyataan yang memuji film itu: efek visual yang berhasil dieksplorasi berkat kecanggihan teknologi sinema masa kini, serta keterpukauan si penonton dan calon penonton. Sementara itu, di mata para pengkritiknya: “Avatar 02” dianggap menyajikan cerita yang hambar dengan durasi kepanjangan.
Meskipun tak berkaitan langsung dengan fenomena di atas, karena wacana yang dibicarakan Otty Widasari adalah “hubungan sinema, arsip, dan sejarah”, esainya yang berjudul “Menggugat Konstruksi Sejarah”—dimuat di katalog ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 sebagai pengantar untuk salah satu Program Kuratorial berjudul sama dengan esai—ini memantulkan suatu pemikiran kritis terhadap paradigma publik dan pelaku film. Khususnya, soal bagaimana kebanyakan orang menempatkan ekspektasi pada karya-karya film (produk industri): dengan cara pandang yang mengukur berdasarkan spektakularitas visual dan gelora narasi, dalam kerangka hiburan; dan bagaimana keberhasilan sebuah film juga dihakimi berdasarkan nilai komersial yang didapat.
Menunjuk produk-produk Hollywood, Otty (dalam esainya), bertanya kepada kita: “…apakah kita akan percaya dengan sistem nilai yang dibangun dengan tujuan wacana political correctness?”
Esai kuratorial ini menjadi penting untuk dibaca kembali karena si penulis menyinggung dengan cukup ringkas gelagat perfilman nasional, terutama pasca-1998, ketika gerakan film independen mampu menggeser dominasi Hollywood di bioskop-bioskop lokal, dan kini eksponen-eksponen dari gerakan itu menjadi “raja-raja baru” dalam industri perfilman nasional kita yang, nyatanya, masih prematur. Berangkat dari situ, Otty mengingatkan betapa satu pekerjaan rumah belum juga berhasil diselesaikan dengan maksimal (baik oleh negara maupun kita bersama): “…membangun pengetahuan dan daya kritis terhadap konstruksi kekuasaan yang selama ini terbangun secara politis.” Seakan menyatakan bahwa, perfilman kita belum berdaya sepenuhnya dalam membangun kesadaran medium dan kekuatan sinema untuk menciptakan suatu agensi sosial yang mampu mendekonstruksi kenyataan dan mengoreksi sejarah.
Tiga film yang diajukan sekaligus diulas oleh Otty melalui esai ini, dapat dilihat sebagai sedikit contoh dari praktik sinema yang kritis terhadap industri, dan, yang terpenting, menyadari film sebagai sarana ideologis (atau sarana untuk menuntaskan tugas-tugas ideologis) untuk menata latar-latar sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang berkembang. Setidaknya, untuk menata paradigma kita dalam memahami dunia dan masyarakat.
Jikalau benar bahwa Sejarah adalah apa-apa yang tertangkap oleh gambar (representasi dari kejadian-kejadian; yang lantas kita kenal sebagai “realitas”) yang dituturkan oleh kekuasaan (Pasar dan Politik), bagaimana kita semestinya membalikkan tuturan-tuturan itu agar dapat menjadi sebuah “gugatan”? Dan pada jalur yang mana? Esai kuratorial Otty ini menjawab: yang jelas bukan arus utama—bukan industri yang kita kenal hari ini, yang membuat orang-orang larut pada ilusi hiburan, sebagaimana spektakularitas Avatar membanjiri linimasa kita belakangan.
Esai kuratorial ini sudah pernah dimuat ulang oleh Jurnal Footage pada tanggal 15 November 2013. Redaksi memuatnya kembali menggunakan tanggal baru, dengan suntingan minimal, sebagai bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.
Selamat membaca!
Menggugat Konstruksi Sejarah
Di pertengahan tahun 90-an, sinema Indonesia mati. Distribusi film yang beredar di Indonesia dikuasai oleh konglomerasi yang menyalurkan hanya film dari Hollywood saja. Seperti apa yang telah terjadi dengan TV, sinema arus utama juga sebuah alat kekuasaan, walaupun saat ini dia tidak lagi menjadi alat kekuasaan utama layaknya TV. Namun kita semua mengetahui sesuatu hal bahwa jika media arus utama tersebut tidak memiliki tandingan, dia akan menguasai persepsi dan budaya masyarakat secara massif. Dan hal itu terjadi pada sinema Indonesia yang sekarang sedang bangkit kembali.
Dalam sebuah kongres komunitas film se-Indonesia yang diadakan di Solo pada tahun 2010, dari hasil pemetaan yang dilakukan, bisa dilihat bahwa lemahnya distribusi pengetahuan dalam bidang perfilman di Indonesia setelah 12 tahun reformasi berjalan, merupakan hal utama yang dibikin oleh kuasa industri tersebut di atas.
Lalu adakah hubungan antara kedua persoalan tersebut?
Saya kira ada.
Perkembangan pesat komunitas-komunitas film independen sejak 1998 memang memunculkan gairah baru di bidang perfilman Indonesia. Gerakan ini mengerjakan beberapa pekerjaan rumah di bidang kebudayaan yang seharusnya diselesaikan oleh negara. Di antaranya adalah menghasilkan produk-produk film baru dari generasi berikutnya, membentuk komunitas penonton film Indonesia yang akhirnya mampu menggeser posisi film Hollywood sebagai satu-satunya konsumsi tontonan, memunculkan pembuat-pembuat film generasi baru, sampai bahkan ikut berperan mengharumkan nama bangsa di ajang internasional. Namun ada satu pekerjaan rumah yang tertinggal, walaupun juga harusnya diselesaikan oleh negara, yaitu membangun pengetahuan dan daya kritis terhadap konstruksi kekuasaan yang selama ini terbangun secara politis. Konstruksi politis itu menyelinap melalui pesan-pesan, dan pesan-pesan itu terus tersisipkan era demi era. Ada pesan yang dipenetrasi dengan intensif dan propagandis untuk ‘menjaga stabilitas nasional’ di masa Orde Baru; ada pesan intoleransi yang berkaitan dengan keyakinan agama atau kelompok yang berkuasa secara jumlah; dan yang paling kuat mengakar sejak lama yaitu pesan global yang paling memainkan peran mengukuhkan kuasa pasar.
Sebagai satu contoh saja, masyarakat Indonesia seusia saya yang memang mengalami masa remaja di tengah perubahan era kekuasaan dari rezim Orde Baru dan Reformasi, tentu dibesarkan oleh impian kehadiran tokoh superhero yang berasal dari Amerika (saya dibesarkan bersama film Superman 1-4, selain komik-komik Batman, Spiderman). Tokoh panutan sebagian besar dari kami adalah ‘pahlawan’, yang mampu menyelesaikan persoalan kejahatan di dunia. Di masa usia produktif, kami mengadaptasi para pahlawan kuat luar biasa itu ke dalam karya kreatif, karena itu yang kami ketahui. Kami tumbuh besar bersama metamorfosis superhero Amerika. Dan itu menjadi tolok ukur kebenaran yang hitam putih.
Tentu saja persepsi penonton dewasa yang sadar akan bisa melihat perubahan dari zaman ke zaman metamorfosis superhero Amerika tersebut, dari yang hanya bermodal otot bisa menahan laju kereta api yang nyaris masuk jurang, melempar mobil ke udara, dan bisa terbang atau merayap di tembok melawan hukum gravitasi. Belakangan, sosok superhero dengan berbagai cara sepertinya diupayakan untuk tampak lebih manusiawi. Narasi yang dibentuk, walaupun tetap saja harus ada yang dikambing-hitamkan, selalu berpulang pada otokritik terhadap negara Amerika yang bisa dibaca sebagai kebenaran politis (political correctness).
Hal-hal ini tentu saja dipercaya sebagai kebenaran narasi yang merupakan sebuah presentasi hiburan, oleh penonton yang benar-benar hanya menginginkan hiburan. Penonton Indonesia kebanyakan akan terpukau dengan segala tetek bengek efek visual yang terus dieksplorasi kecanggihannya. Bagi kalangan pembuat film Indonesia yang jarang melakukan pencarian sesuatu lebih dalam (riset), hal yang paling menarik adalah bagaimana film ini bisa menjadi sangat menarik secara narasi, dan itu tak akan lepas dari kenyataannya bahwa dia bisa menembus box office, diluncurkan di semua kota-kota besar dunia dan mendatangkan penonton yang banyak dan sangat tertarik. Lalu apa jadinya jika kita menempatkan film yang salah satunya juga punya peran sebagai media pembelajaran, di mana kita sebagai penonton bisa melihat sebuah sistem nilai yang akan masuk dan berkonstruksi di kepala kita, apakah kita akan percaya dengan sistem nilai yang dibangun dengan tujuan wacana political correctness?
Ternyata juga produk film yang ada, lemah pengetahuan, perfilman Indonesia selalu bersandar pada sistem produksi.
Kesimpulannya, kesadaran medium dan kekuatan sinema yang berpeluang memberi peran dekonstruksi kenyataan, atau mengoreksi sejarah, tidak berdaya.
Peluang tersebut jelas muncul dalam Vampire of Poverty (1977) karya Carlos Mayolo dan Luis Ospina; 200000 Phantoms (2007) karya Jean-Gabriel Périot; dan Zoo (1962) karya Bert Haanstra.
***
Dalam presentasinya di Forum Lenteng pada tahun 2010, Jean-Gabriel Périot dilempari pertanyaan oleh salah satu peserta diskusi tentang apakah dia selalu menggunakan kekuatan arsip dalam berkarya. Singkat saja dia menjawab, “Bisa jadi, ya, tapi saya tidak pernah percaya pada arsip. Karena arsip pun adalah sebuah konstruksi.”
Saya memahami pernyataan ini sebagai sebuah penunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi di masa lampau itu hanya milik sang waktu. Waktu berganti, maka peristiwa tersebut pun lenyap. Orang-orang yang menyayangkan berlalunya waktulah, atau, anggaplah sadar dokumentasi, yang mendokumentasikan peristiwa, membekukannya dalam sebuah medium. Namun, dari pernyataan Périot tadi, kita tentu sadar bahwa kebutuhan pendokumentasian pasti didasari oleh beberapa hal yang kemudian menjadi konstruksi dasar dokumen. Sebuah konstruksi dokumen pasti memiliki kepentingan yang bisa kita baca sebagai polemik kekuasaan. Maka Périot, dalam hal ini kita bicara tentang karyanya yang berjudul 200000 Phantoms (Prancis, 2007), tidak memutarbalik dan melawan dengan keras sebuah sistem nilai yang berkuasa melalui dokumen awal yang digunakannya, melainkan menggubah karyanya dan meletakkan dokumen foto-foto Kubah Genbaku di Hiroshima dalam kenyataan yang puitik, lewat sinema.
Yang saya bicarakan di sini tak lain adalah peluang medium, di mana seorang sutradara memiliki otoritas dalam membuat konstruksinya sendiri dan tidak tunduk pada kekuasaan—setidaknya kekuasaan yang melingkupi ruang dan membangun konstruksi sistem nilainya yang mapan, yang bertentangan dengan nurani si sutradara. Kita akan melihat bagaimana sebuah pemahaman tentang ‘siapa’ yang melihat ‘siapa’ dalam film Zoo (1962), Bert Haanstra, sutradara asal Belanda. Sistem perkebun-binatangan dalam sebuah negara tidak memposisikan monyet untuk menertawakan manusia seperti yang kita lihat dalam film ini. Peluang itu yang dijadikan permainan oleh si sutradara dalam memanusiakan binatang, sehingga mereka pun bisa duduk bertepuk tangan menonton sirkus manusia di Amsterdam.
Sedangkan Vampire Of Poverty (Agarrando Pueblo, 1977) karya Carlos Mayolo dan Luis Ospina dari Columbia jelas berdiri tegak lurus, berhadapan dengan kuasa pasar yang melanda dunia hiburan di daratan Eropa yang mengonsumsi apapun yang berasal dari Amerika Latin. Kehidupan sosial ekonomi dan kemiskinan negara-negara berkembang di Selatan Amerika tersebut menjadi barang dagangan dan diekspos secara besar-besaran. Ini merupakan sebuah kritik tajam terhadap Misery Porn, Dilakukan dengan cara yang gamblang dan humoris, karena sinema memiliki kemampuan untuk itu.
Film fiksi yang dilakukan dengan pendekatan dokumenter tentang para pembuat film yang mengeksploitasi kesengsaraan untuk keperluan komersial ini memberi sketsa kritik tentang ‘misery porn’ (eksploitasi kesengsaraan untuk tujuan komersil) dan para oportunis yang membuat dokumenter yang tidak jujur tentang kehidupan sosial-politik di negara-negara berkembang untuk dijual ke stasiun televisi Eropa dan untuk memenangkan penghargaan festival.
Film ini menyajikan informasi tandingan dengan memadukan gaya film fiksi dan adegan nyata dari kru film khusus yang ditugaskan oleh saluran televisi Jerman untuk mencari tipikal kengerian sosial, menginjak-injak prinsip-prinsip dasar etika profesi.
Pada dekade sebelum film ini dibuat, proses sosial politik dan budaya dimulai di Amerika Latin setelah Revolusi Kuba yang mulai membangkitkan keinginan untuk membuat film dokumenter yang menarik perhatian kritikus Eropa sejak pertengahan 1960-an, dan dukungan kritis mereka menimbulkan imbas langsung terhadap gerakan ini sebagai kanon baru sinema Amerika Latin. Terutama setelah Festival Film Pesaro di Italia tahun 1968, Eropa mulai rajin mengkonsumsi apapun yang berasal dari Amerika Selatan yang berisi sedikit cerita rakyat atau revolusi. Di Indonesia ada kemiripan di mana para pembuat filmnya mencoba peruntungan di ajang festival internasional dengan menjual eksotisme sosial Indonesia. (Kita harus berhati-hati dengan langkah ini).
Fakta tersebutlah yang dimainkan oleh para pembuat film ini untuk mengkritisi dari dalam dirinya sendiri selaku pembuat film dari negara berkembang, dengan menciptakan arsip film yang di kemudian hari bisa kita lihat (kini) sebagai sebuah dekonstruksi sistem nilai yang dikuasai pasar.
Apa yang dilakukan ketiga film yang saya rangkum dalam satu kuratorial program ini adalah sebuah peluang bagi kita untuk melihat lebih jauh, bahwa sinema juga memiliki tugas-tugas ideologis yang harus diselesaikan. Walaupun sinema sudah bukan lagi merupakan alat utama kekuasaan, namun peluang sebuah tawaran konsep perlawanan terhadap sejarah dalam film itu tetap ada. Bila dia bisa menjadi sebuah gerakan yang kemudian dilancarkan secara pasti dengan sebuah niatan kuat untuk memproduksi pengetahuan dengan muatan kritis yang obyektif, maka dia akan membuka jalurnya sendiri di sisi jalur yang sudah terbangun secara sistemik terlebih dahulu, yaitu jalur arus utama.
Kembali saya mengutip pernyataan Jean-Gabriel Périot dalam wawancara di Jurnal Footage, bahwa sejak penciptaan fotografi, dan kemudian penciptaan sinema, sejarah bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang tertangkap oleh gambar-gambar, yaitu apa yang dipresentasikan. Sejarah bukanlah realitas atau kejadian-kejadian, melainkan representasi atas realitas atau kejadian-kejadian itu. Sebelum gambar-gambar, sejarah adalah apa yang tertulis. Itu bukanlah sejarah yang sebenarnya. Sejarah akan selalu, dan sejak dulu merupakan apa yang dituturkan oleh kekuasaan melalui medium kekuasaan itu.
Dan saya menambahkan, bahwa sejarah itu bisa didekonstruksi oleh sinema, kekuasaan bisa digugat oleh persepsi baru yang dimunculkan oleh penggerak sejarah muda yang konsisten berjalan di rel bukan arus utama.
13 Juni 2013