Dalam sinema dokumenter, pengertian eksperimental memiliki pijakan yang luas sehingga semakin melebarkan cara pandang realitas atas apa yang ingin dijangkau. Dampak dari meluasnya pijakan eksperimental itu dicerminkan melalui tema-tema dokumenter yang kian beragam, bahkan pada titik terujung, pengertian eksperimental bisa jadi semata-mata demi eksperimental itu sendiri dalam memanfaatkan bahan baku untuk karya-karya dokumenter. Pada hari terakhir, atau hari ke tujuh Arkipel International Documentary and Experimental Film Festival 2013, ini menayangkan sesi kompetisi international (International Competition) yang berlangsung di Kineforum Taman Ismail Marzuki (TIM) sejak pukul 13.00 WIB. Salah satu filem yang diputar ialah karya pemenang penghargaan Jury Award pada festival Arkipel berjudul “Suitcase of Love and Shame” (2013), besutan sutradara asal Amerika Serikat, Jane Gillooly. Filem ini mengambil bahan baku rekaman-rekaman suara sepasang kekasih yang menuturkan komunikasi dan pengalaman percintaan yang bersifat rahasia di antara keduanya. Dokumentasi ini ditemukan oleh sang sutradara dan ia mengurainya ke dalam bahasa dokumenter yang cukup eksperimental dengan menempatkan suara sebagai struktur dari filem dan gambar yang memetaforkan rekaman-rekaman suara yang bersifat ‘tabu’. Jury Award adalah penghargaan yang diberikan pada filem berdasarkan perhatian dan penilaian khusus dari dewan juri Arkipel International Documentary and Experimental Film Festival.
Selain itu, catatan artistik dari Direktur Artistik festival Arkipel, Hafiz Rancajale tentang filem ini dalam pengantar penghargaannya menyatakan bahwa pengertian eksperimental dalam festival ini bukan hanya dalam konteks filem saja, namun juga bagaimana medium ini digunakan dalam tindakan yang mengaktivasi persoalan-persoalan sosial dan budaya di ranah publik. Semangat yang sama juga bisa dilihat pada sesi International Competition 7 yang mengetengahkan filem berjudul “Volkspark” (2011) karya sutradara asal Jerman, Kuesti Fraun. Filem yang mengambil eksperimentasi tentang keberadaan taman kota sebagai ruang publik, itu direkayasa sedemikian rupa untuk memperlakukan secara tidak sebagaimana biasanya pengalaman orang-orang yang melintas di situ. Dokumenter ini memiliki kemungkinan yang terbuka tentang hasil dari rekayasa yang diadegankan secara filemis, dan kemudian di penghujung filem berdampak pada kamera yang dilarang merekam. Filem ini cukup menarik karena memperlihatkan bagaimana respon publik terhadap sebuah aturan baru buatan yang diterapkan di ruang publik.
Di hari terakhir festival juga diputar filem pemenang penghargaan Peransi Award berjudul “The Waiting Point” karya sutradara asal Kroasia, Maša Drndic. Filem yang menuturkan pengalaman negeri Kroasia saat menjadi anggota Uni Eropa, ini menampilkan bahasa dokumenteristis yang khas sehingga kita bisa melihat bayang-bayang dan persimpangan dari negara Kroasia yang ‘lama’ dengan yang ‘baru’. Yang menarik dari pendekatan bertutur filem ini adalah praktik dokumenter dengan gaya cinéma vérité. Peransi Award adalah penghargaan untuk mengapresiasi karya-karya dari sutradara yang belum dikenal namun memiliki kemampuan yang cukup menonjol dalam memaparkan ide-ide segar dan provokatif dalam persoalan-persoalan publik melalui pendekatan dokumenter dan eksperimental.
Hari terakhir perhelatan Arkipel, antusias penonton tetap tinggi. Ini menunjukkan bahwa bahasa-bahasa baru sinema dokumenter dan experimental pada dasarnya mendorong hasrat penonton terhadap pengalaman menonton sinema yang berbeda dari yang biasanya mereka kenal. Namun dalam kerangka festival Arkipel, semangat filem-filem yang terpilih agaknya ditentukan juga oleh lingkup bahasa sinema secara keseluruhan. Seperti diutarakan oleh Hafiz Rancajale, Arkipel akan senantiasa membaca secara kritis perkembangan bahasa sinema, terlepas dari terminologi “sinema industri” atau “sinema independen”. Berakhirnya festival ini, menawarkan suatu renungan akan pentingnya sebuah festival yang berhasrat mengkodifikasi perkembangan kontemporaritas estetik dalam sinema dokumenter. Tentu, di sana-sini banyak keluhan dan mungkin kritik atas ketidaksempurnaan teknis pelaksanaan, akan tetapi penemuan atas ruang baru harus mengisi secara lebih baik kultur menonton, dan kultur filem itu sendiri di Indonesia. Sampai jumpa di Arkipel International Documentary and Experimental Film Festival berikutnya …