Filem Code Unknown dimulai dengan adegan seorang gadis tunarungu memberikan isyarat tak terpahami kepada teman-temannya. Tak satupun jawaban teman-temannya yang bisa diterima sebagai kebenaran. Adegan kemudian dilanjutkan perjumpaan Jean (Alexandre Hamidi) dengan Anne (Juliette Binoche) di jalanan kota Paris. Jean digambarkan sebagai pemuda serampangan yang kabur dari rumah, dan mencari perlindungan abangnya (Theirry Neuvic), seorang wartawan foto yang sedang bertugas di wilayah Balkan. Anne, yang merupakan pacar abangnya itu, sedang tergesa sehingga tidak mampu menanggapi persoalan Jean dengan baik. Dia mencoba membayarnya dengan makanan dan kunci apartemen, dengan syarat Jean tidak boleh tinggal di sana selamanya. Masalah baru dimulai ketika Jean melemparkan sampah bekas makannya kepada Maria (Luminita Gheorghiu), seorang yang akhirnya teridentifikasi sebagai imigran Rumania di kota Paris. Adegan ini seakan menunjukkan rasa frustrasi Jean karena permasalahannya tidak mendapat tanggapan baik. Seorang guru musik keturunan Afrika, Amadou (Ona La Yenke), melihat peristiwa penghinaan itu dan meminta Jean meminta maaf pada Maria. Jean menolak, Amadou memaksa sedang Maria mencoba kabur dari kericuhan.
Kericuhan Amadou dan Jean menarik perhatian pemilik toko yang merasa terganggu tingkah mereka. Tidak lama kemudian Anne datang, tapi kericuhan masih berlanjut. Akhirnya polisi pun sambang. Ketika meminta tanda pengenal pelaku kericuhan, polisi melepaskan Jean, namun menahan Amadou dan Maria. Peristiwa-peristiwa yang berlalu cepat ini membuka permasalahan filem. Permasalahan yang akan mengungkap persoalan sosial kontemporer Prancis, lebih khusus Paris, serta Eropa pada umumnya. Mendekati akhir kita bisa lebih memaknai persoalan yang dibuka pada awal filem.
Apakah permasalahan Prancis yang ingin ditunjukkan dalam filem ini? Hampir serupa dengan karya Haneke terdahulu, 71 Fragments of a Chronology of Chance, filem Code Unknown juga menghadirkan adegan-adegan samar yang tercermin dalam ragam sudut pandang pelaku. Di filem ini, ruang-ruang persoalan dibuka melalui seorang aktris, imigran Afrika, berandalan Arab, imigran Rumania dan wartawan perang Bosnia. Meski ada perbedaan signifikan dengan karya-karya Haneke terdahulu, seperti pertunjukan kekerasan eksepsional, permasalahan yang diangkat dalam filem ini tidak kalah rumit. Saat filem ini dibuat, Eropa sedang mengalami gelombang migrasi baru, yang juga menyebabkan kesulitan komunikasi, baik antarpribadi maupun antarbudaya. Tidak hanya dari segi penggambaran realitas Eropa yang berubah, filem ini menarik untuk melihat penertawaan Haneke terhadap realitas. Adegan di mana Juliette Binoche histeris ketika melihat seorang anak hampir jatuh dari gedung apartemen menjulang terasa begitu nyata, sebelum akhirnya penonton dikejutkan oleh suara tawa di balik layar. Ternyata, adegan tersebut hanyalah sinkronisasi suara di sebuah studio. Kebenaran citraan dipertanyakan kembali oleh Haneke. Adegan ini mengingatkan penonton pada filem-filem Haneke sebelumnya (Benny’s Video dan Funny Games, yang kemudian dilanjutkan di filem Caché), di mana media, termasuk kelahiran video memberikan ruang-ruang untuk menciptakan kolase antara realitas dan fiksi.
Terlepas dari masalah citraan fiksi dan realitas tadi, setidaknya ada tiga masalah mendasar yang dihadapi Prancis ketika Code Unknown diproduksi. Pertama, permasalahan ekonomi. Prancis, seperti negara-negara Eropa lainnya sedang menyambut integrasi Eropa, yang ditandai dengan perjanjian Maastricht, Belanda, tahun 1992 dan menyongsong pemberlakuan mata uang tunggal Eropa tahun 2002. Filem ini merupakan tanggapan Haneke terhadap geliat integrasi Eropa yang tidak sepenuhnya dapat diterima masyarakat. Persoalannya, integrasi secara perlahan mengikis kemapanan warga Eropa yang kini harus menghadapi gelombang baru migrasi. Gelombang migrasi ini memang menjadi persoalan besar Eropa pascakolonialisme. Dengan hadirnya integrasi Eropa, gelombang migrasi itu menjadi lebih besar lagi. Bagi Prancis, Afrika menjadi masalah utama, sebab sebagian besar wilayah jajahannya adalah negara-negara di kawasan tersebut. Gelombang migrasi besar-besaran pasca integrasi Eropa tentu membawa permasalahan ekonomi mendasar. Masyarakat Prancis yang mapan ditantang oleh gelombang migrasi ekonomi ini. Posisi-posisi ekonomi mereka banyak digantikan oleh para imigran, menyebabkan munculnya kecemburuan.
Kedua, permasalahan politik. Pascakolonialisme telah membawa titik terang bagi bangsa-bangsa bekas jajahan untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang pernah tercerabut dulu. Semangat anti batas negara yang disuarakan oleh integrasi Eropa telah membuat pemerintah Prancis harus berpikir ulang akan posisi politik mereka di Eropa dan dunia. Gelombang migrasi besar-besaran membawa Prancis pada posisi antara melebur atau mempertahankan diri. Citra politik Prancis yang kosmopolit ternyata tidak mampu menahan aspirasi publik yang masih rasis. Kenyataan ini ada pada adegan awal pertikaian Jean dan Amadou, serta penolakan Anne kepada seorang pemuda Arab untuk berbicara dengannya di sebuah kereta dalam adegan menuju akhir filem. Dalam kondisi antara melebur atau mempertahankan identitas ini, tidak heran jika partai-partai konservatif tumbuh subur di Prancis. Sebagai negara yang sedang terjepit, Prancis ingin mempertahankan diri dari serbuan. Konservatisme, dengan demikian, menjadi sarana pertahanan diri. Orang-orang konservatif Prancis seperti Jean-Marie Le Pen begitu agresif melancarkan serangan berbau rasis kepada para imigran. Ketika polisi lebih memilih menahan Amadou ketimbang Jean, yang jelas-jelas melakukan kesalahan, kita dapat merasakan sengatnya aroma rasisme Eropa. Jean bersama Anne, merupakan representasi pribumi Prancis, sedangkan Amadou, yang berkulit hitam, merupakan representasi pendatang meski berbahasa Prancis.
Ketiga adalah permasalahan budaya. Dalam zaman terkikisnya batas-batas negara, kemunculan ekonomi Eropa baru, permasalahan migrasi dan kisruh posisi politik Prancis, telah membuat kesenjangan-kesenjangan sosial dan budaya. Pertemuan cair antara empat orang di jalanan kota Paris di filem ini memaknai sebuah keterpecahan sosial yang terjadi di masyarakat perkotaan kontemporer Prancis. Kegagalan komunikasi menjadi tema utama filem ini. Pada kasus Maria, yang juga pendatang, dia ditahan karena ketidakmampuannya berkomunikasi. Secara bernas, Haneke menghasilkan sebuah filem provokatif mengenai kesenjangan sosial, ketidaksempurnaan asimilasi kultural, dan kegagalan-kegagalan komunikasi. Segala bentuk komunikasi yang seharusnya mudah selalu diinterupsi dalam filem ini. Prasangka-prasangka rasial dihadirkan untuk membuka mata kita pada cara berpikir monoetnis Eropa, khususnya Prancis. Pada bagian akhir, filem ditutup dengan permainan musik ritmis Amadou dan murid-murid tunarungunya. Adegan ini seakan menggambarkan sifat manusia yang, secara inheren, memiliki bias komunikasi. Sebagai bahasa universal, musik menjadi penunjuk arah Eropa masa depan. Sebuah kritik terhadap penyakit klaustrofobia Eropa. Sebuah kritik terhadap masyarakat Eropa yang tidak bisa cepat melebur, selalu mempertahankan diri meski dunia sedang bergerak cepat melintasi batas-batas kewilayahan negara.
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
(Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item]
[/tab]