Di sebuah bioskop kecil, seorang proyeksionis tertidur saat bertugas. Ketika sedang pulas, jiwanya seakan-akan terpisah dengan tubuhnya, lalu berjalan menyeberangi bilik dan menyatu bersama layar yang berada di depan proyektor. Di dalam layar, si proyeksionis ini mendapati dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang dialaminya di luar layar. Dia mengalami disorientasi ruang dan waktu di dalam layar, yang mampu berubah begitu cepat tanpa dia sadari. Setelah beberapa saat dia akhirnya berhasil ‘menguasai’ tampilan layar, dan menciptakan sebuah penampakan baru yang dipengaruhi oleh pengalaman fisiknya, dan dia pun muncul juga sebagai tokoh utama.
Petikan adegan imajinatif di atas adalah salah satu bagian dari filem Sherlock Jr. (1924) karya Buster Keaton. Pada awalnya, proyeksionis masuk ke layar dan dimanipulasi oleh kenyataan medium, lalu butuh beberapa waktu hingga dirinya yang memanipulasi medium tersebut. Bagian terpenting dari rangkaian adegan ini adalah saat bidikan, yang awalnya menampakkan layar bioskop secara keseluruhan; juga memperlihatkan bingkai layar serta kondisi kultural keadaan bioskop saat itu (orkes musik pengiring filem, panggung dan penonton) serta-merta bergerak maju dan menghilangkan bingkai, orkes musik serta penonton yang berada di bioskop, hingga layar tersebut tidak lagi menampilkan filem yang awalnya ditayangkan. Gerak kamera tersebut secara fungsional menandakan adanya perubahan kegunaan layar yang awalnya digunakan sebagai moda eksebisi; menangkap cahaya dari proyektor lalu menampilkannya sebagai gambar. Layar kemudian menjadi sarana produksi gambar, yang dihasilkan sendiri oleh proyeksionis yang terperangkap di layar tersebut.
Maju ke masa sekarang, di mana layar mendominasi ruang pribadi dan publik sebagai dampak dari revolusi digital. Konsep layar sebagai sarana penampil dan produksi gambar tidaklah begitu asing. Produksi gambar berbasis layar seperti screen capture atau screen record bisa dilakukan dengan mudahnya melalui berbagai gawai. Praktik produksi visual yang baru ini kemudian menjadi siasat mutakhir dalam capaian estetika sinema, baik di ranah industri maupun alternatif. Di ranah industri kita mengenal filem Timecode (Mike Figgis, 2000) dan Unfriended (Leo Gabriadze, 2014) lalu yang terbaru Searching (Aneesh Chaganty, 2018) yang hanya menggunakan tampilan muka layar komputer sebagai moda penceritaan sebuah kisah. Di ranah sinema alternatif, sebuah filem yang sangat menarik hati saya berjudul Watching the Detectives (Chris Kennedy, 2017) yang sempat tayang saat Arkipel: 2017 Penal Colony.
Pada filem Searching, yang paling atraktif adalah kemampuannya untuk menduplikasikan secara total pengalaman kita berinteraksi dalam ruang antar muka komputer. Terlepas dari ceritanya yang stereotip Holywood dan tidak memikat, saya terkesan dengan bentuk filem ini yang seakan-akan mengeleminasi prespektif kamera tunggal dengan memperlihatkan secara utuh—dari awal hingga akhir filem—layar-layar sebagai medan interaksi waktu dan lokasi.
Makna dalam gambar di Searching tidak dicapai melalui perpindahan antar frame seperti layaknya yang kita kenal dalam bentuk sinema pada umumnya. Montase terjadi pada bingkai-bingkai komposit yang beraneka ukuran berupa teks dan gambar yang berada di dalam layar utama. Layar komputer, atau ponsel pintar di dalam filem mengakomodasi frame yang berukuran lebih kecil untuk menciptakan perumpamaan dari layar komputer atau ponsel pintar. Bingkai-bingkai yang berada di dalam inilah yang menciptakan perpindahan, membentuk makna dalam konteks narasi filem yang terhubung dengan logika tampilan muka komputer. Metode ini jelaslah bukan yang terbaru. Lev Manovich dalam bukunya The Language of New Media (MIT Press, 2001) sudah berusaha menginvestigasi adanya potensi montase yang dapat dilakukan dalam gramatika bahasa media baru, namun tetap berkaitan dengan tradisi montase dalam sinema yang disebutnya sebagai spatial montage. Filem-filem yang disebutkan di atas yaitu Timecode dan Unfriended juga mencoba cara bercerita yang serupa, namun, menurut saya interaksi antar muka yang terjadi di filem Searching lebih padu dan sangat kontemporer.
Pengertian kontemporer di sini adalah cara Searching merangkai narasi dengan menggunakan berbagai unit proses kemajuan teknologi yang hampir semua orang pernah dan masih alami. Dari tampilan muka Windows XP dan suaranya yang khas saat start up di awal filem hingga media sosial yang menjadi arena performatifitas pengunanya di dunia maya saat ini. Semuanya berkorelasi dengan sangat baik dalam menciptakan simulasi interaksi virtual, terlebih karena kita sudah sangat akrab dengan apa yang layar komputer dan ponsel tampilkan. Keakraban ini pula membantu para pemain Searching dalam membentuk situasi keaktorannya karena penonton sudah sangat akrab dengan tampilan dan bentuk komunikasi antar teks dan gambar. Konstruksi gambar ini juga membantu filem ini mencapai kebutuhan dramatiknya, seperti upaya untuk membangun suspense. Ini bisa terlihat di adegan David Kim (John Cho) melabrak adiknya. Suspense hadir karena tampilan frame komposit yang memberikan berbagai tampilan ruang dalam satu waktu serta antisipasi terhadap apa yang akan terjadi, hingga momen pengungkapan kebenaran muncul.
Tampilan layar sebagai moda produksi juga hadir di Watching The Detectives. Berisi tentang potongan-potongan gambar dan teks yang menangkap interaksi dan investigasi organik yang dilakukan oleh warganet terhadap peristiwa Bom Boston yang terjadi pada 15 april 2013 saat sedang berlangsungnya acara lari maraton tahunan di Boston, Amerika Serikat. Gambar dan teks tersebut diambil dari situs Reddit dan Twitter. Pembuat filem merunutkan teks dan gambar dari awal berita bom tersiar hingga pelakunya ditangkap. Watching The Detectives ditayangkan dua kali saat festival Arkipel, yang pertama dengan menggunakan file digital dan kedua dengan proyeksi 16mm, sebagaimana filem ini seharusnya ditayangkan.
Kita kemudian, perlu melihat maksud si pembuat filem menayangkan ini dalam bentuk 16mm. Apakah ini hanyalah bentuk lain dari fetisisasi seluloid saja, yang belakangan marak dilakukan ‘pembuat filem alternatif’, atau adakah hal lain yang subtansial, sehingga bentuk penayangan ini memiliki pernyataannya sendiri terkait dengan apa yang ditampilkan?
Pertama, kita perlu membandingkan kedua penayangan filem ini, dalam bentuk pemutaran dengan file digital dan bentuk seluloid. Saat ditayangkan dengan bentuk file digital, Watching The Detectives seperti memperlihatkan bentuk asli dari gambar dan teks yang berasal dari situs diskusi tersebut, hanya saja gambarnya mengesankan adanya filter film stock yang saat ini lazim dipakai di berbagai aplikasi photo processing. Sementara dalam penayangan 16mm, ada transformasi bentuk yang sifatnya regresif, karena melalui proses perubahan bentuk menjadi yang lebih lampau. Perubahan digital menjadi analog dimungkinkan oleh telecine, seperti yang dilakukan oleh pembuat filem dari kelompok Dogme 95 yang merekam dari video lalu diubah ke seluloid, untuk menangkap estetika realisme tertentu, yang hanya dapat dicapai oleh video.
Perubahan ini, menjadikan gambar di filem Watching The Detectives mengalami tarikan kontradiktif antara dua dimensi gambar dari teknologi dan kultur yang berbeda. Reproduksi gambar dari layar dan mesin digital lalu menguap ke dalam lapisan reaksi kimiawi seluloid. Bila kita melihat konten filem ini, yaitu tentang investigasi yang terjadi di ranah virtual, si pembuat filem seakan-akan mencoba untuk menjadikan kevirtualan ini menjadi sesuatu yang fisikal, material. Pada titik ini, penggunaan 16mm tidak lagi dilihat sekedar gimik, atau hanya fetihisasi belaka. Relasi antara virtual dan material terikat erat dengan apa yang ditampilkan oleh Watching The Detectives. Saat penayangan format digital, tidak ada suara dari filem yang hadir, sementara di penayangan 16mm muncul suara proyektor yang lalu menghasilkan imajinasi lain akan kematerialan tersebut. Karena filem ini tidak memproduksi suara apapun, ketika ditampilkan dalam format digital, keadaan ruang menonton betul-betul senyap. Sementara format 16mm menghasilkan suara yang materil, yang berasal tidak dari filem tersebut, tapi oleh mesin yang berada di balik penonton. Segala relasi antara yang virtual dan materil, yang muncul dalam beraneka rupa, membuat penampilan filem ini tidak hanya sekedar kegiatan menonton filem biasa. Lebih dari itu, penayangan Watching The Detectives seperti membaurkan batas antara menonton filem di ruang gelap dalam artian konvensional dengan seni instalasi berbasis film (medium) dan filem (kultur).
Pelacakan tentang bagaimana layar digunakan melalui tiga filem yang sudah disebutkan di atas adalah upaya untuk melihat dan mencari estetika mutakhir yang berkembang saat ini. Imajinasi akan layar yang melampaui fungsinya secara konsepsi telah dibayangkan oleh Buster Keaton lewat Sherlock Jr. Perkembangan teknologi lalu memungkinkan layar untuk memiliki dwi fungsi, sebagai moda penampil juga produksi gambar, yang kemudian memunculkan bentuk sinema yang lain, yang tergambar melalui filem Searching dan Watching The Detectives. Gambar yang diproduksi oleh layar berpotensi menciptakan semacam kerangka realisme baru, yang berbeda dengan realisme yang diproduksi oleh lensa. Realisme yang bahan bakunya bukan lagi dari dunia materil, namun dari tampilan gambar di layar itu sendiri.