Artikel ini diambil dari salah satu program kuratorial Arkipel International Documentary & Experimental Film Festival 2013.
[divider] [space height=”20″]Kepengarangan (authorship) merupakan ranah yang berpeluang untuk disentuh dalam perbincangan mengenai sinema dokumenter kekinian. Selama perkembangannya, upaya-upaya bagi sinema dokumenter kini bukan melulu suatu kesetiaan akan hal-hal yang menyingkap ‘realitas’, namun boleh jadi, malahan mempertanyakan ‘realitas’ itu sendiri demi menangkap relung terdalam pengalaman manusia yang mendiami realitas itu. Dalam sejarah sinema, kepengarangan yang dipelopori oleh para sutradara “gelombang baru” (nouvelle vague) Prancis 1960an menjelaskan visi individual sutradara dalam mewujudkan bahasa sinema sehingga kesetiaan akan hal-hal estetis di situ benar-benar berdasar pada kepekaan sang pembuat filem layaknya seorang pengarang roman. Dokumenter, pada dasarnya adalah ‘perlakuan kreatif atas aktualitas’, dan hal ini seringkali ditafsirkan sebagai sikap takzim akan peristiwa-peristiwa aktual kala memandang momen realitas itu. Di sinilah, Jean Rouch menjadi sosok penting dalam khasanah dokumenter yang membuka peluang pemanfaatan fiksi secara diskursif guna mencapai gambaran filemis dari realitas tertentu yang diungkapkan. Dalam pergulatan sinematisnya, penggunaan fiksi pada karya-karya dokumenter Rouch justru lebih dapat menangkap realitas dalam pengertiannya yang paling dalam melalui aktualitas pengalaman psikologis dari subyek yang ‘difiksikan’ secara filemis, sembari mempertanyakan ‘realitas’,dan bahkan sinema dokumenter itu sendiri. Usaha-usaha akan kepengarangan ini menjadi suatu cara pandang baru dalam memandang ‘kebenaran’ dalam sinema dokumenter.
Pengalaman Modernitas para Native Afrika (Sinopsis)
Usaha Dagang: Petit à Petit merupakan “sekuel etnografis” dari karya Rouch sebelumnya, Jaguar (1957-1967). Digarap dengan skenario yang turut diimprovisasi oleh aktor-aktornya, narasi Petit à Petit mendedah petualangan dan perjuangan sekelompok kecil pengusaha Niger, yaitu Damoure, Illo, dan Lam dalam usaha mereka membangun ekonomi-niaga di tingkat lokal yang dinamai “Petit à Petit” (Kecil-Kecilan). Latar belakang tradisional mereka, tampaknya menjelaskan posisi tersebut. Awalnya, Illo hanyalah seorang pemancing, dan Lam penggembala. Bertekad memajukan usaha, tokoh-tokoh ‘pos-kolonial’ ini berniat membangun sebuah gedung bertingkat sebagai tempat usaha mereka. Untuk itu Damoure terbang ke Paris guna melihat dan menjajaki pembangunan gedung bertingkat, sekaligus bersua dengan fenomena kehidupan moderen kosmopolitan.
Paris telah menakjubkan Damoure, juga Lam yang kemudian menyusulnya, dan kedua migrator seketika itu pula mengalami kejutan budaya. Tanpa sengaja, Damoure melakukan ‘eksperimen etnografis’ dalam mengenali orang Paris sambil merasakan tanggapan mereka mengenai keberadaan Damoure sendiri. Dalam pandangannya, betapa orang Paris melakukan suatu kamuflase antar jender, dan strategi dokumenter filem ini membuat kita melihat jembatan bagi jurang dua kebudayaan, kolonial dan pos-kolonial, terhadap pertukaran identitas sosial sebagian warga kosmopolitan dalam perkenalan mereka dengan tiga orang sesama asal Niger. Bersama-sama, mereka akhirnya merupakan satu komunitas kecil yang kembali ke Niger demi melanjutkan usaha Petit à Petit. Kelompok baru ini memutuskan untuk menjalani kehidupan di negeri asal budaya mereka, kendati upaya ini tidak semudah yang dibayangkan. Praktik modernitas yang coba diterapkan membuat orang-orang baru tersebut memikirkan ulang identitas dan keberadaan mereka melalui kejemuan dan perasaan tak nyaman sehingga tinggal Damoure dan Lam yang kembali ke upaya semula untuk membangun peradaban mereka sendiri dengan cara yang lama.
Dalam filem ini, Rouch mencoba memberi keleluasaan pada tokoh-tokohnya, terutama Damoure dan Lam, untuk berpartisipasi dalam ruang konstruksi dokumenter ini guna melacak sejarah penindasan mereka, khususnya terkait dengan pengaruh-pengaruh sejarah kolonial Afrika sesudah kemerdekaan. Kisah mereka sebenarnya menggarisbawahi benturan antara “tradisi” dan “modernitas” yang berlangsung di Afrika pasca koloni, dan dalam narasi filem ini ditunjukkan lewat kegagalan Damoure menjalankan usaha Petit à Petit secara profesional dan moderen. Secara naratif, filem ini berakhir sama seperti awalnya ketika Damoure memakai kuda sebagai sarana transportasi. Ideologis, ini menunjukkan bahwa eksistensi Damoure berawal dari kesadaran tradisional, yang lalu di pertengahan kisah, mengalami proses modernisasi selama berada di Paris, dan kemudian berakhir ke alam tradisional.
Kebenaran Dokumentris sebagai Kebenaran ‘Filemis’
Jean Rouch adalah etnografer yang berpandangan bahwa tak ada batas antara dokumenter dan fiksi. Disaat yang sama ia juga menganggap bahwa sesungguhnya tidak ada objektivitas sinema. Rouch mengandaikan bahwa ‘realitas sebagai kehidupan’ merupakan sesuatu yang tak sepandan dengan keperihalan akan yang ‘nyata’ atau ‘kebenaran’. Pengalaman-pengalaman pasca jajahan yang dialami komunitas-komunitas bangsa Afrika adalah kenyataan yang demikian ‘subtil’, hasil perbenturan peradaban yang membutuhkan kemungkinan-kemungkinan sureal yang bisa digali dalam memposisikan kondisi-kondisi pasca koloni di Afrika. Secara kasat mata, realitas pasca koloni yang demikian adalah realitas yang masih diselubungi dampak-dampak kekuasaan kolonial. Apa yang dimaksudkan Rouch tentang ‘realitas sebagai kehidupan’,yakni bagaimana realitas tersebut dikonstruksi berdasar kemungkinan-kemungkinan psikologis dari pengalaman represif di masa kolonial ketika tiba saatnya harus menghadapi kekiniaan.
Dalam Petit à Petit, kemungkinan-kemungkinan psikologis tersebut nampak pada adegan cemburu sang pribumi Niger sekretaris Damoure kepada Ariene si pendatang dari Paris yang sama-sama bekerja sebagai sekretaris tetapi bergaji jauh lebih besar dari si pribumi. Atau pada adegan kecanggungan Lam melihat Safi –juga pendatang dari Paris– berpakaian seronok memperlihatkan bagian dadanya sehingga Lam berada dalam posisi kemoralan native dengan kebebasan ala Paris. Siasat-siasat pengisahan dalam Petit à Petit maupun dalam beberapa karya Jean Rouch, merupakan upaya penyingkapan atas patologi-patologi psikologis para protagonis yang hidup di antara pengalaman keterjajahan mereka dengan modernitas yang sedang mereka ikuti. Siasat-siasat tersebut juga menjadi semacam eksperimen untuk melihat respon-respon perbenturan antara modernitas dan tradisionalitas, pengalaman keterjajahan serta situasi pasca koloni di wilayah lokal. Eskperimen Rouch dalam mengeksplorasi perbenturan budaya seperti itu juga diperlihatkan pada adegan ketika Damoure melakukan “pengenalan etnografis” terhadap sejumlah orang Paris dengan cara memeriksa bagian-bagian tubuh mereka.
Petit à Petit adalah etno-fiksi yang menghadirkan subyek lewat percobaan-percobaan menempatkan tokoh pada situasi dan naratif tertentu untuk mencapai momen-momen diskursif sinema dokumenter. Dalam etno-fiksi tersebut, pemerihalan konstruksi gambar diciptakan melalui dan bersama dengan keterlibatan tiap subyek, misalnya, pada adegan Damoure memandang Paris dari ketinggian, persis ketika saat itu Paris baginya bukan lagi sekedar menara Eiffel atau kubur Napoleon dalam gambar-gambar kartu pos kota itu. Konflik-konflik imaji dan psikologis tentang modernitas dari pengalaman Damoure adalah semacam etno-fiksi yang notabene adalah pengalaman sang aktor itu sendiri. Untuk menemukan momen-momen yang demikian dari tokohnya, Rouch berupaya memasukkan struktur dan siasat pengisahan yang berasal dari pengalaman aktor-aktor native itu sendiri sebagai metode demi mencapai relung terdalam pengalaman modernitas Damoure, misalnya. Pada titik inilah, ‘Kepengarangan’ memiliki relevansi yang penting bagi khasanah dokumenter yang mencoba menangkap realitas paling konstruktifnya manakala perlakuan kreatif atas aktualitas tidak sekadar cukup melalui bidikan-bidikan (shot) dan bingkaian (frame) kamera, akan tetapi juga dalam hal bagaimana memperlakukan dan memandang realitas itu sendiri.
Bagi Jean Rouch, tak ada ‘kebenaran murni’ kecuali ‘kebenaran filemis’. ‘Kebenaran sinema’ pada Jean Rouch, ini sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh Dziga Vertov dengan kino–pravda (sinema-kebenaran)-nya. Rouch merenungkan ulang makna kebenaran pada kino–pravda Vertov, dan berpandangan bahwa bidikan-bidikannya yang langsung hadir pada realitas, sesungguhnya bukan suatu ‘kebenaran murni’, melainkan lebih sebagai ‘kebenaran filemis’. Kebenaran dalam sinema adalah ‘kebenaran filemis’ karena,pada fitrahnya,itu sudah melekat sebagai kodrat sinema dalam membentuk cara pandang tertentu. Demikian pula halnya cinéma vérité, sesungguhnya ia bukan ‘kebenaran’ objektif dalam filem,karena media itu sudah mengandaikan suatu klaim yang berasal dari satu abstraksi tertentu. Perbincangan soal kebenaran dalam dokumenter, sungguh tak terlepaskan dari dunia pengetahuan sinema. Sebagai barang seni, fitrah‘realitas’ yang dimasukkan ke dalamnya mustahil kembali untuk berlaku ‘murni’lantaran dengan seketika itu juga ‘realitas’ itu sudah terperangkap dalam ideologi-ideologi seni sinema.Dalam kisah Petit à Petit itu sendiri, gambaran sebagaimana dicontohkan pada Damoure menunjukkan tampilnya satu entitas budaya tertentu yang senantiasa dalam tegangan antara modernitas dan tradisionalitas yang diwujudkan melalui konflik antara keperihalan-keperihalan ‘fiksi’ dengan ‘dokumentariitas’demi menyentuh impresi-impresi akan kebenaran.
Kamera Sebagai ‘Kehadiran’ dan ‘Pihak Ketiga’.
Seturut sejarah dokumenter, Rouch memandang Robert Flaherty sebagai khasanah etnografis, dan Dziga Vertov sebagai khasanah sosiologis. Flaherty lah ilham Rouch untuk menempatkan kamera sebagai ‘pihak ketiga’. Dalam Nanook of The North (1922), sutradara mampu menangkap pergulatan kemanusiaan masing-masing anggota komunitas Eskimo sebagai individu yang berhadapan dengan alam. Kepiawaian Flaherty dalam menyingkapkan sejarah alamiah ini disebabkan oleh penempatannya atas kamera sebagai “pihak ketiga”. Pengandaian ini memungkinkan adanya “observasi partisipan” (participant observation) dan timbal-balik (feedback)”. Dalam bahasa Luc de Heusch, “obeservasi partisipan” adalah wujud “kamera partisipatoris” (participatory camera)”, yang memainkan peran penting dalam mengisi peluang-peluang dialogis antara kamera dengan subyek. Rouch mengembangkan “kamera partisipatoris” sebagai semacam metode refleksi timbal-balik antara hasil bidikan dan peran subyek dalam mengkonstruksi gambar.
Kamera sebagai “pihak ketiga”, ini secara niscaya juga mengandaikan kamera sebagai kehadiran yang dengan itu Rouch merefleksikan perannya sebagai sutradara manakala selama proses pembidikan ia benar-benar berada di lokasi. Di situlah, keberadaan kamera menjadi semacam ‘pihak ketiga’ yang memberi pengaruh terhadap interaksi yang dimungkinkan oleh para aktornya dalam meresponsi lokasi dari lingkungan kehidupannya. Kehadiran kamera, bagi Jean Rouch adalah stimuli, akselerasi, bahkan katalisasi, sedemikian hingga kamera sebagai “pihak ketiga” sejajar dengan kehadiran sang etnografer sendiri. Pada posisi demikian, kehadiran kamera menjadi momentum pengungkapan diri kaum native tentang pengalaman represi kolonial dan benturan budaya. Rouch memainkan proses penyingkapan ini sebagai sebentuk pengisahan pada sinema yang secara bebas memilih keperihalan ‘tematik’ maupun diskursif terkait pengalaman aktual kaum native.
Pada hakikatnya, “kamera partisipatoris” adalah sebentuk pendekatan etnografis yang mengandaikan sejenis momen etis bagi proses-proses representasi. Rouch mengembangkan ide ini menjadi anthropologie partagee atau shared anthropology, yang bisa juga disebut dengan antropologi egaliter atau antropologi reflektif. Antropologi egaliter merupakan momen etis karena mengandaikan adanya upaya-upaya bagi pihak yang direpresentasikan (dalam kasus ini, kaum pribumi Afrika) untuk bersama-sama terlibat dalam proses representasi tentang diri mereka sendiri. Secara metodis, antropologi egaliter adalah hubungan timbal-balik (feedback), antara yang direpresentasikan dan yang merepresentasikan. Rouch sendiri juga menyebut antropologi egaliter ini sebagai contre-don audiovisuel (timbal-balik audiovisual). Dalam perkembangannya, model keterlibatan pihak yang direpresentasikan dalam proses representasi bersama dengan pihak yang merepresentasikan, adalah usaha untuk mencapai semacam ‘totalitas’ gambar atau semangat untuk menangkap ‘totalitas fakta sosial’. Secara tidak langsung, metode timbal-balik dalam proses representasi ini mengingatkan pada diskursus antropologinya Marcel Mauss (1872-1950) tentang konsep pemberian (gift) sebagai bentuk pertukaran mengikat yang melestarikan keberadaan masyarakat.
Antropologi egaliter juga adalah semacam kritik terhadap model-model pendekatan antropologi visual atau dokumenter antropologi yang sekedar memuat laporan tentang dan dari ‘yang liyan’ tanpa kehadiran sang antropolog, kecuali hanya menyusun pengarsipan pasif lantaran telah mengobjektifasikan ‘yang liyan’. Antropologi egaliter sebagai teorema dari antropologi reflektif dapat terwujud karena mengandaikan hubungan timbal balik antara pembuat filem dengan subyek yang difilemkan. Dalam tradisi sinema dokumenter sejak Lumière seolah menciptakan ilusi ketidakhadiran kamera untuk menangkap aktualitas ‘kenyataan’, di sini terjadi semacam “pencurian reflektif” atas bidikan-bidikan gambar yang dihasilkan.
Rouch selalu mengabarkan kepada para subyeknya bahwa mereka sedang dibidik. Ini dilakukan sebagai usaha mendapatkan ontentisitas gambar, atau secara lebih essensial lagi, adalah demi menghindari sang ‘pencuri’ refleksi atas kehidupan. Pendekatan ini mungkin bisa dilihat pada adegan ketika Damoure berada di bandara di Niger untuk terbang menuju Paris, serta ketika Safi berada di pasar berbelanja bahan pakaian. Pada adegan-adegan tersebut nampak bagaimana orang-orang merespon para aktor yang sedang dibidik. Tentu terdapat hal berbeda dalam skema perekaman model Rouch ini yaitu ketika subyek gambar merasa lebih sadar saat tengah direkam, subyek juga merasa sedang berada dalam sejenis interogasi sadar mengenai perilaku dan gerak mereka. Bahkan dalam beberapa pendekatannya, Rouch menempatkan proses “timbal-balik (feedback)” dari subyek representasi sebagai upaya bersama dalam mengkonstruksi gambar. Dalam hal ini, keperihalan akan teknologi filem juga menjadi hal yang amat dipertimbangkan oleh Jean Rouch. Seturut Edgar Morin, “Kita tidak dapat memisahkan image dari kehadiran dunia di dalam diri manusia dan kehadiran manusia di dalam dunia. Image adalah medium yang resiprokal.”
Gagasan dan karya Jean Rouch adalah kelanjutan dari proyek ‘Museum Manusia’ yang dalam tradisi sebelumnya banyak dilakukan oleh kalangan etnografer. Dalam proses perkembangan atas gagasan ‘ke-disana-an’, ketika kelahiran kamera menjadi sebuah cara pandang baru terhadap realitas, Rouch meluaskan khasanah etnografi baru melalui kamera yang dianggap memiliki keterkaitan etis serta kemungkinan-kemungkinan lebih subtil tentang pengalaman psikologis terhadap proses representasi. Keterkaitan etis inilah, yang bagi Rouch sendiri, kamera sengaja dihadirkan kepada subyek gambar, baik sebagai satu entitas tertentu dari sebuah dunia maupun jendela untuk melihat dunia. Melalui penghapusan batas terhadap keperihalan dokumenter maupun fiksi, Rouch secara bebas mengembangkan kepengarangan dalam etno-fiksinya guna memperoleh kegairahan diskursif dalam gambar-gambar sinematisnya.
Petit à Petit merupakan salah satu dari karya-karya penting Rouch, terutama mengenai pengalaman para native Afrika dalam menghadapi dan menanggapi modernitas. Rouch melakukannya dengan cara antropologi egaliter, dimana konstruksi gambar tersusun berdasarkan pengalaman para native atau pemain-pemain itu sendiri. Konstruksi-kontruksi sinematis oleh Rouch menjadi upaya untuk mencapai diskursus visual tentang etno-antropologis sebagai bentuk ungkapan naratif filemis dari pengalaman kolonialisme di masa lalu. Etno-fiksi Rouch memaparkan cara pandang berbeda dari etnografi melalui kodrat sinema dan kemungkinan-kemungkinan kamera untuk secara diskursif menangkap kehidupan tentang masyarakat-masyarakat dunia ketiga (Afrika).
‘Kepengarangan’ dalam sinema dokumenter Rouch, yakni bagaimana menciptakan kebenaran filemis dalam pencapaian yang sedemikian tinggi sehingga penggunaan fiksi justru bukan halangan guna menyibak realitas yang ingin ia tangkap. Alexandre Astruc telah menyebut nya dengan camera stylo, suatu pembayangan tentang kamera sebagai pena, yang mengandaikan seorang pembuat filem layaknya penulis yang dengan bebas menyingkapkan apa yang hendak ia tulis. Demikianpun Jean Rouch, dengan semangat kepengarangannya ia berupaya melepaskan diri dari segala hambatan definitif terhadap pemahaman akan aktualitas dan bahkan realitas demi mencapai diskursus mengenai kaum Afrika. Merujuk Rouch, “sinema adalah seni kegandaan, yang siap ditransformasi dari dunia nyata ke dunia imajinasi, dan etnografi sebagai ilmu tentang sistem pengetahuan akan yang liyan, adalah sebuah silang nilai permanen dari keuniversalan yang konseptual ke yang liyan…”.
Akan tetapi, Rouch tidak serta-merta sekadar menampilkan upaya etis yang masih menyisakan kodrat representasi tentang Eropa maupun Afrika dalam tegangan antara kodrat kenativean versus strategi Barat dalam memandang ‘yang liyan’. Setidaknya sebagaimana sejarawan filem asal Prancis sendiri, Georges Sadoul, menyebutkan masalah tegangan itu sebagai ‘penggambaran duaratus juta orang Afrika yang dikucilkan dari bentuk paling maju akan seni paling moderen…, representasi tentang Afrika dalam sinema malahan menjadi suvenir murahan tentang masa lalu’.
[space height=”20″] [divider] [space height=”20″]Jean Rouch, pembuat filem dan antropolog kelahiran Paris 31 Mei 1917. Dianggap sebagai salah satu perintis gaya cinéma vérité dan teknik jump-cut yang kemudian dikembangkan oleh gerakan New Wave Prancis. Filem-filemnya banyak bermain di antara batas ‘fiksi’ dan ‘dokumenter’, terutama tentang usahanya dalam memperlihatkan kesadaran ‘kehadiran kamera’ di tengah-tengah subyek yang sedang dibicarakannya, masyarakat pasca-kolonial.
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] This article is taken from one of Arkipel International Documentary & Experimental Film Festival 2013 curatorial programs. [divider] [space height=”20″]Authorship in Documentary Filmmaking
[space height=”20″]Authorship is a possible territory to be spoken of in the discussion of contemporary documentary cinema. In its evolution, documentary cinema is now no longer on the allegiance to reveal ‘reality’, but might be to question how ‘reality’ itself captures the human experience who inhabits that reality. In the history of cinema, authorship was spearheaded by the French “new wave” (nouvelle vague) filmmakers in 1960s to explain the personal vision of the filmmaker in creating their own cinematic language therefore the director’s aesthetic consistency was really based on the sensitivity of the filmmakers similar to a novel writer. Basically documentary is ‘creative treatment to actuality’, which is often interpreted as a respectful attitude to how actual events look at those realities. Herein, Jean Rouch becomes an important figure in the realm of documentary film in opening opportunity to use fiction discursively to obtain a filmic overview of certain reality revealed. In his cinematic struggle, the use of fiction in Rouch’s film actually can capture reality in its deepest sense through the actuality of psychological experience of his ‘fictionalized’ subjects cinematically while questioning the ‘reality’ and even the term of documentary itself. This efforts of ‘authorship’ are somewhat making a new way of looking at the ‘truth’ in documentary cinema.
Petit à Petit is the “ethnographic sequel” to Rouch’s previous film, Jaguar (1957-1967). This film is produced on a an improvised scenario by the actors themselves. Petit à Petit’s narration is exposing an adventure and struggle of the Niger small entrepreneurs, namely Damoure, Illo and Lam with their attempt to build the local trading company, Petit à Petit. Their traditional background clarifies that position. At the beginning, Illo was only just a fisherman, and Lam was a herder. They have a desire to build multi-storey building as a place to develop and demonstrate the progress of their trading company. For that, Damoure then flied to Paris to see and explore possibility to construct the building in their home land, as well to meet with the phenomenon of modern cosmopolitan life.
Paris has amazed Damoure, also Lam whom followed him later, and both migrators immediately experienced the culture shock. Unintentionally, Damoure conducted ‘ethnographic experiment’ in recognizing the Parisian people while sensing their responses of Damoure’s own existence. In his view, how the Parisians did the cross-gender camouflage, and the strategy of this documentary film was to make us see the bridge between two cultural gaps, colonial and post-colonial, to social identity exchange in those three fellow Nigerians meetings with the cosmopolitan citizens. Together they constituted a small community whom eventually returned to Niger in order to continue their trading company, Petit à Petit. This new group of people decided to live in their own country, although it was not as easy as they had imagined beforehand. The modernity practice trying to be applied, was making these new people to rethink their identity and existence through the boredom and uneasy feeling. Therefore Damoure and Lam returned to their original plan to build their own civilization in old way.
In this film, Rouch gives space to his protagonists, especially Damoure and Lam, to participate in the construction of his documentary to trace their history of colonization in their home country, particularly regarding the impacts of the colonial history in Africa after independence. Their story actually underscores the clash between “tradition” and “modernity” that took place in post-colonial Africa, and in the narration of the film is indicated by Damoure’s failure to run his company Petit à Petit in professional and modern way. Narratively speaking, the film ends similarly with its beginning, when Damoure using the horse as a mean of transportation. Ideologically, this suggests that his existence was originated from traditional consciousness, which then in the middle of the story underwent a process of modernization while in Paris, and then ended in the traditional nature.
Truth in Documentary Film as ‘Filmic’ Truth
Jean Rouch was an ethnographer who argues that there is no boundary between documentary film and fiction films. At the same time Rouch also assume that there is no such thing as objectivity in cinema. Rouch presupposes that the ‘reality as life’, is inconsummerate with ‘reality’ or ‘truth’. Post-colonial experiences suffered by the Africans was a very ‘subtle’, and the experience of the results of the clash of civilizations. It requires surreal possibilities that make sense in describing the post-colonial condition experienced by the Africans. At face value, post-colonial reality is a reality that each covered with the effects of colonial rule. What Rouch wants about ‘reality as life’ is how that reality constructed based on the psychological possibilities of repressive colonial experience when facing contemporaneity.
In Petit à Petit, those psychological possibilities appeared at the scene of Damoure’s secretary who is a native African, felt jealous when Ariene the migrant secretary from Paris, got much larger salary than the native.
Or at the scene of Lam’s awkwardness when looking at Safi’s racy outfit—also a migrant from Paris—showing off part of her breast so that Lam was in morality position as a native with life style a la Parisian. The narrative tactics in Petit à Petit, or in Jean Rouch’s other works, is a way in revealing the psychological pathologies of his subjects whom has lived between the experiences they have during colonization and the modernity which they were living in at the moment. Those tactics are also becoming some kind of experiment to see responses of clash between modernity and traditionalism, the experience from colonialism and post-colonial situation locally. The experimentations of Jean Rouch in exploring culture clash was shown in the scene when Damoure did “ethnography mapping” to some Parisian, by examining their body parts.
Petit à Petit is an ethno-fiction that presents the subjects through experimentation by putting them in certain narrative and situation to obtain discursive moments in documentary cinema. In ethno-fiction, the construction of images is done with the involvement of the subject. As in the scene when Damoure saw Paris from height. He was amazed and felt that Paris was not only about the Eiffel Tower and the Tomb of Napoloen as he saw from the postcard of that city. Conflicts of images and psychological of modernity experienced by Damoure were sort of ethno-fiction which incidentally were the actor’s own experience. To get the experience of his subject, Rouch needed to insert the structure and finesse narration from those native actors’ experiences, as a ploy to capture the deepest recesses of Damoure’s own experience towards modernity. At this point, ‘authorship’ has an important relevance to the repertoire of documentary cinema in capturing its most constructive reality, when creative treatment of actuality is not only about shots and framings, but also how to treat and perceive the reality itself.
For Jean Rouch, there is no ‘pure truth’, but there is ‘filmic truth’. Cinema truth’ in Jean Rouch’s works actually cannot escape the influence of Dziga Vertov’s kino-pravda (cinema-truth). Rouch ponders over the meaning of truth in Vertov’s kino-pravda, and assumes that his ‘in-situ’ images are actually not a ‘pure truth’, but rather as ‘filmic truth’. Truth in cinema is ‘filmic truth’ because its tendency already inherent in the nature of cinema—to establish a particular point of view. Similarly, the cinema verite, in fact is not an objective ‘truth’ of film, because the medium has already presupposed a claim coming off of a certain abstraction. The discourse about truth in documentary film is indeed can not escape from cinema as a knowledge. As an artwork, its nature as ‘reality’ captured is impossible to be considered as ‘pure’, because instantly the ‘reality’ has been caught up in ideologies of the art of cinema. The subject Damoure in Petit à Petit is an overview of a presence of certain cultural entity that always in the middle of a tension between modernity and traditionalism. The tension are realized through ‘fictionalized’ sequences and ‘documentary’ approach to pursue an impression of truth.
Camera’s ‘presence’ and as the ‘Third Party’.
In the history of documentary, Rouch saw Robert Flaherty in ethnographic view, and Dziga Vertov in sociological view. Flaherty was his inspiration for putting the camera as the ‘third party’. In Nanook of the North (1922), Flaherty was able to capture the Eskimos as individuals whom were dealing with nature. Flaherty’s prowess in revealing human struggle with nature because he presupposes the camera as the “third party”. The third party modality allows participant observation and feedback. In the language of Luc de Heusch “participant observation” is a form of “participatory camera”, which plays an important role in dialogic opportunities between the camera and the subject in the picture. Rouch developed “participatory camera” as a method of mutual reflection between shots and role of the subject in constructing the image.
The camera as the third party necessarily showed its presence reflecting Rouch’s role as a director whom deliberately present directly in the shooting process. It actually had an impact on the interaction amongst the actors when responding to the environment around them. The presence of a camera for Jean Rouch became a sort of stimuli, accelerator and even as catalyst, so that the camera is equal with the presence of ethnographer himself. The camera became a momentum for self-disclosure of the native African about their experiences of colonial repression, and culture clash. Rouch played this disclosuring process as a form of cinematic narrative, in which he was free to choose the ‘thematic’ subject-matter or discursively regarding his subjects’ actual experiences.
“Participatory camera” is basically a form of ethnographic approach that relies on ethical moment in the process of representation. Rouch develops the approach into an Anthropologie partagee; shared anthropology (anthropology egalitarian), or it could be called as reflective anthropology. Egalitarian anthropology is ethical moment, for it assumes the existence of effort represented by his subject (the African) to engage with the process of self-representation. Methodically, egalitarian anthropology is a reciprocal relationship (feedback), between the represented and representing. Rouch himself also considers this egalitarian anthropology as contre-don audiovisuel (audiovisual reciprocity). During its development, the model of the subject’s involvement in the process of making the film was an attempt to get some sort of ‘totality’ of image, or the spirit to capture ‘the totality of social facts’. The reciprocal method of this representation process is a reminiscent of an anthropological discourse indirectly. The discourse is by Marcel Mauss (1872-1950) about the concept of giving (gift) as a binding exchange to preserve the existence of society.
This egalitarian anthropology is a kind of criticism to model of visual anthropological approach or anthropological documents which only carried a report of ‘the otherness’ without presenting the anthropologist. Those criticized methods are merely forming passive archiving because they simply objectify ‘the otherness’. This egalitarian anthropology is also called reflective anthropology, Because it assumes on a reciprocal relationship between filmmakers with the film’s subjects. In the tradition of documentary cinema since Lumiere seemed to make illusion on the absence of a camera to capture the actuality of ‘reality’, that kind of approach is more like “stealing of reflection” of images produced.
Rouch always informed his subjects that they were being observed. This was done to obtain authenticity of the image, or more essentially to avoid the reflection ‘stealer’ of human life. This approach might be seen when Damoure was at the airport in Niger to fly to Paris, and when Safi were in the market to shop for clothing materials. At those scenes we could see how people respond to the actors who are being filmed. Sure there was a difference of Rouch’s recording scheme. The subjects of the film felt more aware that they were being recorded, so that they also felt being interrogated and conscious of their behavior and gesture. Even in some of his approaches, Rouch also used the process of “reciprocal (feedback)” from the represented subject in constructing the images together. In this matter, film technology also became something that was carefully considered by Jean Rouch. According to Edgar Morin, “We can not dissociate it (the image) from the presence of the world in man and the presence of man in the world. The image is their reciprocal medium. “
Jean Rouch’s ideas and works were continuation of the ‘Museum of Man’ project, which previously was done by many ethnographers. In the development of the idea of ‘contextuality’, when the camera was born as a new perspective to look at reality. Rouch broadened a new ethnography repertoire through a camera that was considered having ethical interconnection also subtler possibilities about the psychological experience of the representation process. This ethical interconnection, for Rouch himself, is when a camera deliberately presented to the subject of the film, either as a certain entity of a world or as a window to see the world. Through eliminating the boundaries between documentary and fiction, Rouch freely pursued authorship in his ethno-fiction in order to obtain the discursive zest on his images.
Petit à Petit is one of Rouch’s important films, especially about the native African’s experiences in facing and responding to modernity. Rouch did it in the way of egalitarian anthropology, where the construction of images were based on native’s experience or the subjects themselves. Rouch’s cinematic constructions were an attempt to obtain visual discourse about ethno-anthropology as a form of expression in filmic narrative of colonialism experience in the past. Rouch’s ethno-fiction was exposing a different perspective of ethnography through the nature of cinema as well as the possibilities of the camera discursively to capture the life of the Third World society (Africa).
‘Authorship’ in Rouch’s documentary, is how to create a filmic truth, where the using of fiction is not an obstacle to uncover the reality he wanted to capture. Alexander Astruc has mentioned it on Camera Stylo, to imagine the camera as a pen, as an imagery of a filmmaker like a writer who freely reveals what he wrote. Similarly Jean Rouch, with his spirit of authorship, he tried to get away from all definitive obstacles towards understanding on actuality and even reality, to obtain a discourse on the African. According to Rouch “the cinema, the art of the double, is already the transition from the real world to the imaginary world, and ethnography, the science of the thought systems of others, is a permanent crossing point from one conceptual universe to another…”.
However, Rouch did not necessarily just show an ethical effort which still leaves the nature of representation between ‘Europe’ or ‘Africa’ related to the tension between the nature of nativity versus the Western strategy on how to look at ‘another’. At least the French film historian Georges Sadoul himself mentioned that matter of tension as “Thus two hundred million people are shut out from the most evolved form of the most modern of the arts. I am convinced that before the close of the 1960s this scandal will be but a bad souvenir of the past.”
[space height=”20″] [divider] [space height=”20″]Jean Rouch, filmmaker and anthropologist born in Paris May 31st, 1917. Considered as one of the pioneers of cinéma vérité style and jump-cut technique which later developed by the French New Wave movement. His films plays between the border of ‘fiction’ and ‘documentary’, especially on his efforts in showing awareness of ‘camera presence’ in the middle of the subject that he was talking about, the post-colonial society.
[/tab_item] [/tab]