Pertjatoeran Doenia, No. 1/Th I/1941.
Berhubung dengan bertambah-banyaknya kaum terpelajar Indonesia di waktu belakangan ini menerjunkan dirinya ke dalam dunia filem sebagai artis[1], maka telah banyak pula timbul beberapa macam suara dalam surat-surat kabar. Ada yang menyatakan pro dan ada pula yang menyatakan anti.
Yang pro merasa gembira dengan kejadian ini, karena selain mereka berpendapat bahwa lapangan dunia filem ada menjadi lapangan baru sebagai tempat mencari nafkah, juga mereka berpendapat bahwa dengan masuknya kaum terpelajar ke dalam filem sebagai artis, berarti mengangkat derajat kaum artisten(pekerja kreatif) filem seumumnya dan juga berarti bahwa peil(tingkat) permainan dalam filem akan mejadi tinggi karenanya.
Yang anti berpendapat bahwa dengan masuknya kaum terpelajar ke dalam dunia filem sebagai artis, berarti yang kaum terpelajar Indonesia merampas piring nasinya kaum artisten filem yang tidak terpelajar atau yang berasal dari artisten wayang[2] atau tonil.
Keyakinan mereka ini bertambah kuat karena suara-suara dari beberapa produksi filem telah banyak menghendaki orang-orang yang terpelajar keluaran Mulo dan A.M.S. guna dijadikan artis dalan filemnya.
Mana yang betul? Untuk mengetahui hal itu marilah kita selidiki dulu tentang permainan filem dengan sedikit dalam.
Banyak orang menyangka, bahwa menjadi artis filem itu mempunyai pekerjaan yang enak dan gampang.
Seorang artis, kata mereka, hanya berdiri di depan kamera dan di sana lakukan actie-nya. Operator kamera boleh putar dan siap selesailah pekerjaan begini, berarti orang itu sama-sekali tidak tahu apa artinya “bermain filem” dan apa yang disebut sebagai artis.
Seorang artis baik dari wayang maupun dari filem, adalah seorang yang pandai menggambarkan kerakter dari orang dalam ceritanya yang ia pegang perannya. Ia harus pandai menumpahkan segala perasaannya ke dalam permainan, hingga ia seolah-olah benar dan orang itu sendiri dan segala kejadian-kejadian dalam cerita itu benar-benar terjadi. Ia harus pandai meniru betul langkah gerak geriknya dan cara berbicara. Bila dalam cerita itu ada kejadian sedih ia harus pandai menunjukkan perasaan sedih itu di mukanya dan pada tingkah lakunya. Pendek kata ia harus pandai menjalankan ‘real acting’ yang sebenar-benarnya.
Dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang ‘mempunyai talent’ atau orang yang ‘mempunyai pengalaman banyak’.
Tetapi antara artis wayang atau tonil dengan artis filem ada banyak pula perbedaannya. Jika artis wayang menjalankan perannya itu harus bisa menumpahkan segala pikirannya ke dalam permainannnya, dan bisa melupakan segala-galanya yang ada di sekelilingnya dengan tidak terganggu dari siapa juga pun, adalah artis filem menjalankan perannya lebih berat dari itu.
Misalnya kalau seorang artis tonil menjalankan peran, seorang yang lagi marah dan orang ini kemudian membantingkan sebuah gelas sebagai menunjukkan bertambah marahnya, peran ini dapat dijalankannya mula sampai habis dengan tidak terpotong-potong. Tetapi jika peran ini dimainkan untuk filem, cara itu akan dipotong-potong. Mula-mula ia harus dapat menunjukkan marah, kemudian ia harus menunjukkan pula bahwa kemarahan itu telah sampai dipuncaknya, sesudah itu di waktu dia mengambil dan membanting gelas sampai pecah (di waktu Long shot atau Medium shot dan Close up)
Pendek kata buat bagian peran yang dilakukan di atas tonil dalam tempo 2 atau 3 jam, di filem harus dilakukan dalam tempo beberapa bulan, sampai 3 atau 4 bulan. Lain dari itu kesalahan-kesalahan yang bisa terjadi di atas tonil dengan gampang bisa ditutup dan diperbaiki dengan seketika itu juga dengan zonder(tidak) diketahui oleh penonton, tetapi apabila kesalahan yang serupa itu dilakukan di dalam permainan filem hal ini tidak bisa di tutup dengan begitu saja, kecuali harus diulangi lagi.
Di sini tampak bagaimana beratnya pekerjaan yang menjadi artis filem. Itu melebihi pekerjaan artis tonil atau wayang.
Seorang artis filem harus mempunyai kesabaran yang besar sekali, yaitu terus tahan berjam-jam direpetitie(diulang-ulang), sebelum diopname(direkam) dan kalau tempo–tempo tidak baik, tidak pula jadi diopname. Tempo-tempo teks yang sudah dipelajari harus pula jadi diopname. Tempo-tempo harus ditiadakan karena barangkali tiba-tiba regisseur(sutradara)-nya mendapat ide baru
Lain itu kadang-kadang tiga atau empat hari berturut-turut sesudah disuruh ‘make up’ tidak jadi diopname. Sorotan lampu yang beribu lilin dalam studio atau sorotan matahari dan reflector yang begitu panas apabila opname di luar, membikin silau mata dan pusing kepala. Ini semua harus dialami oleh artis filem yang mana tidak ada pada artis tonil. Kalau orang bermain tonil dimulai dari mulainya cerita dan dihabisi pada penghabisan cerita, adalah di filem dilakukan dengan diaduk tidak tentu, yang penghabisan tempo di dahulukan dan yang permulaan cerita diambil pada kemudiannya. Hingga buat artisten yang menjalankan “acting” hal ini sangat berat sekali sebab ia bisa bingung karena tidak tahu ujung pangkalnya.
Sebab itu orang yang menjadi filem artis, harus ‘mempunya banyak sabar’ dan ini tidak akan terdapat di bangku sekolah. Sebab itu saja katakan pelajaran tinggi dari rumah sekolah bukan jadi garansi atas kepandaian bermain.
Cuman satu kemenangan bagi kaum terpelajar yaitu kalau anak wayang yang menjadi artis ternama di kalangan filem, harus bekerja sepuluh tahun untuk mendapatkan kedudukan itu, adalah hal ini bisa dilakukan kaum terpelajar dalam tempo lima tahun saja. Sebab ia sebagai kaum terpelajar sudah tentu lebih pandai memakai dan mempergunakan otaknya dari pada artis anak wayang yang kurang terpelajar. Tetapi ini pun kalau kaum terpelajar itu ada mempunyai aanleg(bakat alami) untuk pekerjaan itu sebab kalau tidak, biar pun bagaimana juga ia terpelajar, ia tidak akan dapat mencapai kedudukan itu
Bahwa dengan adanya perusahaan filem, telah timbul lapangan baru untuk mencari nafkah, begitu juga untu kaum terpelajar, kita akui, tetapi ‘kalau dikatakan dengan hanya menjadi artis’ saja permainan dalam filem akan lebih baik itu kita sangkal dengan alasan seperti di atas tadi.
Kita bilang timbul lapangan baru untuk usaha mencari nafkah, adalah sebab dibaginya teknik filem bedrijf(perusahaan besar) ini banyak pekerjaan, misalnya: menulis cerita menulis skenario, penulis draaiboek(skrip), menjadi operator kamera, menjadi teknisi suara, tukang reklame, tukang make up, tukang mode pakaian, tukang jaga licht(cahaya) dan sebagainya. Juga menjadi regiseeur atau assistente-nya adalah lapangan baru untuk kaum terpelajar.
Dengan ini saja tidak mengatakan bahwa lapangan untuk menjadi artis filem ada ‘tabu’ buat kaum terpelajar, sama sekali tidak
Sebab menjadi artist wayang atau artis filem bukanlah pula ada menjadi monopoli kaum-kaum kurang terpelajar.
Di dalam kalangan artisten wayang, yang menjadi anak wayang berpuluh tahun pun banyak pula terdapat orang yang terpelajar lepasan dari sekolah Mulu, A.M.S dan H.B.S. nama-nama Raden Ismail, Bachtiar Effendi, Sajid Wok dan beberapa banyak lagi adalah menunjukkan bahwa dikalangan artisten Indonesia dibagian wayang banyak terdiri dari kalangan kaum terpelajar.
Lagi pula menjadi artis baik di wayang ataupun tonil, maupun menjadi artis dikalangan filem, sama sekali tidak tergantung pada terpelajarnya atau tidak, tetapi adalah tergantung pada ‘aanleg’. ‘kepintaran bermain’, ‘pengalaman yang banyak’, terutama yang keras untuk menjadi artis.
Oleh karena itu artisten filem Indonesia yang bekas anak wayang tidak usah kuatir yang punya penghidupan mereka akan dapat didesak oleh kaum terpelajar dengan begitu saja, kalau memang tidak kebetulan orang itu mempunyai aanleg dan keinginan yang keras untuk menjadi artis. Sebab dalam dunia filem Amerika dan Eropa, sampai sekarang ternyata, bahwa bekas anak wayang banyak punya pengalaman ada lebih banyak memiliki kedudukan yang tinggi sebgai artis filem daripada kaum terpelajar yang tidak punya aanleg dan tidak punya pengalaman.
Malahan bukti juga menunjukkan bahwa seorang kuli yang punya aanleg dan bakat sekarang mempunyai kedudukan tinggi sebagai artis filem di Amerika, sedang beratus-ratus kaum yang mempunyai pelajaran di sekolah tinggi tidak bisa mencapai kedudukan itu. Oleh karena itu dengan masuknya kaum terpelajar menjadi artis filem, haruslah diterima sebagai kawan yang senasib oleh artisten yang telah ada, asal saja masuknya itu dengan cita-cita yang suci dan keinginan yang keras untuk mengankat derajat Artisten Indonesia seumumnya, guna kebaikan bersama.
[1] artis dalam tulisan ini bermakna aktor atau aktris, baik itu dalam filem ataupun panggung.
[2] wayang yang dimaksud adalah pertunjukan drama yang dimainkan di panggung.