In Artikel

Jaman pencerahan (Renaissance) yang menandakan jaman moderen meninggalkan dua hal: ilmu pengetahuan (cara berpikir) dan pembangunan (tindakan). Iklim Renaisans yang dibentuk oleh gerakan humanisme filosofis dan literer, yang menekankan  kemampuan manusia individu sebagai subjek di tengah alam semesta, menghasilkan penekanan terhadap sains (pengetahuan) sebagai hasil kerja intelektual dan rasio di dalam proses penciptaan, hingga pada filsafat dualisme Rene Descartes yang memberi pijakan kepada modernitas, dengan cirinya yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang terkait dengan dunia materi.

Manusia ditafsirkan sebagai individu yang otonom, tertutup pada dirinya sendiri. Antropologi “ego” yang terisolir tersebut, selanjutnya, disebut egologia: terarah pada pengetahuan ilmiah dan dominasi dunia oleh teknik, dan menunjukkan dua arah perkembangan Rasionalisme dan Idealisme, yang berangkat dari ego mutlak. Hal fundamental dari diri manusia itu terdapat dalam “Aku berpikir, Maka aku ada”-nya Descartes. Puncaknya ialah prinsip positivisme dari Auguste Comte. Mengetahui realitas’ diterjemahkan menjadi reduksi akan hal-hal lain ke dalam satu pemahaman umum dalam sistem rasio yang dipikirkan oleh ego. Tidak ada ruang untuk hal transenden lainnya selama hal itu tidak sejalan dan dapat dibuktikan melalui rasio. Tujuan yang mau diraih adalah tercapainya “Aku” yang memperluas diri, teraktualisasi, hingga pada akhirnya, dengan suatu formula tertentu, dapat memahami dunia dengan segala kompleksitasnya.

Dalam sosial dan politik, imperialisme merupakan salah satu gagasan tentang penegasan ego dan orientasi utama menuju realitas dunia. Timur menjadi objek dari konsep tersebut. Dalam wacana pascajajahan, pembangunan, dengan prinsip reduksionismenya, merupakan proyek untuk mencapai kemajuan dengan gaya ekonomi modern bekas penjajah yang sangat Cartesian dan menekankan produktivitas yang tinggi. Logika Barat diterapkan di Timur yang intuitif dan mengandaikan harmoni. Proses tersebut meninggalkan trauma di masyarakat negara bekas jajahan, yang pengetahuan interaksi antara mereka dan alamnya, disingkirkan oleh kolonialisme.

Gagasan mengenai kesadaran akan destruksi itulah yang tampak pada karya Roberto Rosellini, India Matri Bhumi, yang dibuat pada tahun 1959. Seperti diketahui, konsekuensi dari pemutlakan terhadap kerja rasio, dalam bentuk destruksi humanisme, mulai disadari masyarakat Barat pada paruh Abad ke-20 setelah perang dunia kedua. Rosellini, seperti juga banyak sineas pada masa itu, misalnya sineas Perancis yang tergabung di dalam Left Bank, memiliki tujuan yang sama, yaitu solidaritas terhadap pihak-pihak terjajah. Sinema dijadikan sebagai sikap atas rasa bersalah eksistensial para intelektual Barat  yang terasing.

Silogisme yang disusun dalam naratif filem ini berupaya menegasi wacana rasio yang mendominasi Barat. Dengan estetikanya, Rosselini menempatkan Timur—sebetulnya, saya tidak bisa menggunakan kata Timur (karena seharusnya India), tetapi pertimbangan saya adalah bahwa Roselini menggunakan metode induktif dan ingin menyampaikan pengetahuan mengenai Timur secara universal melalui India—sebagai pengetahuan tandingan dalam memahami realitas. Dalam hal ini, susunan tersebut sekilas berhasil menyelamatkan Roselini dari cap pembuat filem  yang eksotis sekaligus orientalis radikal. Roselini mewakili satu dari individu Barat yang kagum pada etika Timur ketika pada periode pasca perang dunia kedua, hasil dari rasio terbukti menimbulkan katastrophis. Tidak hanya fisik, namun juga metafisik, seperti kehampaan eksistensial. Soal kehampaan eksistensial itu,idenya terbahasakan dengan sangat baik melalui karya Albert Camus, Sampar.

Dibuka dengan landscape kota Bombay pasca penjajahan, digambarkan sebagai entitas yang memulai dirinya sebagai kota modern dengan segala aktifitas hiruk-pikuknya, namun sangat holistik dengan segala perbedaannya. Setelah landscape kota, filem India Matri Bhumi terbagi menjadi tiga bagian dengan menghadirkan masing-masing tokohnya. Rumus penyusunannya: kehidupan tradisional – pembangunan – destruksi. Bagian pertama dimulai dengan gambar perempuan-perempuan desa yang sedang bekerja mengolah alam. Bagian pertama ini merupakan satu-satunya dari sepanjang filem yang menghadirkan sosok perempuan yang ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Pada titik ini, Rosselini paham bahwa dalam konsep kehidupan pra-modern di India,perempuan merupakan satu unsur vital yang memiliki peran dalam pengelolaan dan pengendalian lahan, air dan hutan, yang memulihkan kehidupan alam serta menjaganya. Hingga kemudian, pembangunan menyingkirkan produktivitas kaum perempuan.

vlcsnap-2014-10-30-10h44m54s71

Selain peran perempuan, bagian pertama ini menghadirkan gambaran mengenai kearifan Timur dalam hal memanfaatkan alat-alat tradisional untuk proses produksi, juga tentang konsep pertanian organik dan relasi antara manusia dan hewan. Terdapat adegan-adegan menarik yang memperlihatkan cara manusia bekerjasama dengan gajah yang berperan sebagai bulldozer dalam proses pengelolaan hutan. Gajah hanya bekerja tiga jam dalam sehari, kemudian manusia (si tuan) memberikan kebutuhan makanan, mandi, bahkan memberikan waktu gajah untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tuan dan “budak” memiliki hubungan yang intim. Hal itu menjadi sesuatu yang paradoksal bagi industrialisasi modern atas relasi tuan dan buruh yang mekanistis.

vlcsnap-2014-10-30-10h45m22s102

Konsep manusia Timur pra-modern atas tubuh dan hasrat, juga tergambarkan melalui karakter utama bagian pertama, yaitu salah seorang pemuda yang menjadi tuan atas gajah-gajah pekerja di skena sebelumnya. Di Barat, seks dikaitkan dengan bentukan asumsi-asumsi moral, agama, dan dengan tujuan pasti, yaitu reproduksi. Di Timur, tubuh bukan sekedar kesatuan organ-organ ataupun sebatas kulit dan daging, tetapi juga soal keberadaan tubuh yang lebih substansial dari perihal anatomi semata. Tubuh adalah tujuan untuk mencapai rasa, dan dalam hal ini, tubuh bukanlah terbatas perannya sebagai alat, entah alat reproduksi atau yang lainnya.

Si Pemuda, pada satu adegan, tertarik dengan seorang anak gadis dari anggota kelompok wayang keliling yang singgah di desanya. Beberapa kali beradu pandang, si pemuda tertarik dengan gadis dan menunjukkan hasratnya. Segera ia meminta ayahnya untuk melamar si gadis dan melangsungkan pernikahan. Hal ini berbeda dengan konsep “pernikahan” manusia modern yang merasionalisasikan sebuah hubungan. Misalnya, ada masa perkenalan untuk mengetahui apakah si gadis cukup memenuhi standar yang ditetapkan lingkungan sosial untuk memulai sebuah keluarga yang ideal, atau hal-hal lainnya.

Sebagai sintesis akhir dari bagian pertama, terdapat bidikan-bidikan indah sebagai hasil dari proses harmoni yang tercipta antara makhluk hidup dan alamnya. Sungai, yang mengalir dari pegunungan, memberikan penghidupan kepada semua makhluk diatasnya. Air dan hutan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat India. Tak lupa, hadir pula gambar perempuan-perempuan sebagai penjaga alam yang memberikan partisipasinya yang penting.

vlcsnap-2014-10-30-10h45m07s213

Sungai Gangga menjadi pengantar untuk bagian kedua. Tokohnya bernama Devi Chakravaty, salah seorang yang bekerja keras membangun bendungan pembangkit listrik Hirakud selama tujuh tahun bersama warga lainnya, baik laki-laki maupun perempuan. Bendungan Hirakud ini merupakan proyek pembangunan yang masif untuk India, demi tujuan industrial. Selain berdasarkan teologi kristiani mengenai penguasaan alam, asumsi lain mengenai pentingnya pembangunan adalah bahwa pengelolaan alam di Timur selama ini tidak produktif. Pertanian organik berdasarkan daur pembaruan di dalam alam berarti kemiskinan. Perempuan, petani, dan suku-suku yang menyatu dengan alam juga tidak produktif  karena barang dan jasa yang dihasilkan kelompok ini untuk kebutuhan mereka lebih rendah dan terbatas.

Beberapa gambar menunjukkan kerja pembangunan yang sangat aktif. Pucuk-pucuk pohon yang masih menyembul di atas permukaan air bendungan membuat penonton menebak berapa hektar hutan yang harus dilumpuhkan untuk proyek itu. Devi mengantarkan kita untuk menebak apa-apa saja yang harus dikorbankan selanjutnya untuk sebuah proyek besar, bernama pembangunan. Devi membawa kita ke sebuah prasasti yang dibuat untuk mengenang pekerja yang meninggal dalam proses pembangunan bendungan, yang disebut berjumlah 175 jiwa.  Sebuah candi dan sungai suci tidak lama lagi akan menjadi bagian dari danau besar pembangkit tenaga listrik. Listrik inilah yang memberikan kekuatan kepada ilmu pengetahuan dan modernitas untuk mengukuhkan hegemoninya. Mengutip salah satu kalimat yang diucapkan Devi, ketika dia melintas dibawah tiang-tiang listrik, “No more magic. Knowledge. Knowledge. Knowledge.“Kata magic diucapkan satu kali.

Pembangunan mengusik kehidupan tokoh utama di bagian ketiga, yaitu seorang kakek berumur 80 tahun yang pada masa itu  termasuk orang-orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di masa pra-modern, dan kini bergulat dengan modernisasi. Etika Timur dalam mendekati realitas terlihat dari interaksi kakek dengan istrinya: bagaimana intuisi bekerja melampaui rasio. Bagi mereka, pusat manusia bukan di intelegensinya, tetapi ‘hati’-nyalah yang merupakan tempat bagi akal dan bukan akal; intelegensi dan perasaan. Sebagai pilihan dari pengetahuan intuitif, yakni ketidak percayaan terhadap kata-kata. Kakek ini, yang terbiasa dengan kultur agraris, terbiasa dengan bahasa diam langit, cuaca, bumi, awan dan hutan. Mereka membagi-bagi cara yang penuh perasaan dan sunyi itu, yang mana telah diwujdukan alam. Mereka mengolah rasa daripada gagasan.

vlcsnap-2014-10-30-10h46m10s55

Pada suatu adegan, sang kakek menyaksikan bagaimana orang-orang modern merusak suatu harmoni yang telah tercipta selama ini. Binatang-binatang yang terusir dari hutan, eksploitasi hutan menyebabkan perubahan cuaca akibat pemanasan global yang membuat alam tak lagi ramah, semuanya disajikan dengan baik oleh Rosselini. Ia menegasi kerja rasio dengan susunan premis-premisnya. Pengetahuan aposteriori Barat-nya memunculkan rasa solidaritas tinggi terhadap Timur. Bahkan, ia pun menyajikan abstraksi manusia modern melalui seekor monyet bernama Ramu: bagaimanaRamu berganti-ganti “Tuan”, yang saya terjemahkan menjadi ideologi yang mutlak dan kehilangan otentisitasnya.

Pada titik ini, Rosselini akan mendapatkan dua tipe penonton. Pertama, penonton yang kagum akan estetika filemnya dan memuji keberhasilan Rosselini mendapatkan gambaran Timur secara universal. Ia lepas dari gambaran umum mengenai orientalis atau traveller film-maker. Kedua, yang akan membenci filemnya. Filem, dalam konteks pascajajahan, memainkan peran yang sangat penting sebagai ide dalam proses negosiasi terhadap dikotomi sistem menang-kalah antara Timur dan Barat, terlepas dari wacana yang hendak dimunculkan. Sayangnya, India Matri Bhumi masih terjebak dalam generalisasi dan perbandingan monolistik yang telah membingkai Timur dan Barat dalam sebuah klise yang kaku, dan secara tidak sadar tetap orientalistik.

Mengapa tetap orientalis? Argumennya, bingkaian dikotomis yang diciptakan Rosellini mengandaikan adanya dua kutub yang berseberangan—terlepas dari persoalan ada di pihak mana Roselini berdiri. Pandangan Barat terhadap yang liyan(Timur)—kita anggap itu orientalisme secara definitif—persis seperti bingkaian India Matri Bhumi yang menganggap Timur sebagai “pasif, tradisional, spiritual” dan Barat sebagai “aktif, progressif, materialistik”. Sementara itu, pada kenyataannya, dikotomi menang-kalah itu sangatlah ambigu.

Saya sepakat dengan Homi Babha yang mengkritisi model oposisi biner mengenai hubungan-hubungan kolonial, seperti yang dikemukakan oleh Edward Said dalam Orientalisme –nya, yang fokus pada wacana penjajah, dan Franz Fanon pada wacana terjajah. Keduanya menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah terpadu dan stabil, juga berbeda dan bertentangan satu sama lain. Sementara itu, Babha menawarkan sebuah konsep yang menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam dan kontradiktif. Menurut Babha,  ada konsep “Ruang Ketiga” di dalam relasi antara penjajah dan terjajah, atau lebih luasnya, Barat dan Timur, yaitu sebuah ruang yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi dan berresistensi. Di dalam ruang ketiga inilah manusia bersiasat untuk bertahan dan meneruskan peradabannya. Di dalam ruang tersebut, terletaklah tradisi yang terbukti bertahan.

Tradisi inilah yang telah melenturkan dan meleburkan tegangan dikotomi Barat-Timur yang paradoks itu. Tradisi itu berpengaruh besar terhadap cara masyarakat Timur mentransformasi diri di dalam budaya, filsafat, dan bentuk-bentuk representasi praktis lainnya pada masa sekarang ini. Rosselini, dengan India Matri Bhumi-nya, gagal melihat Timur sebagai entitas yang berjuang mempertahankan eksistensi dan otentisitasnya. Mempertahankan itu semua, tidak mungkin tidak, mengandaikan sebuah negoisasi, yang sayangnya luput dari bacaan Rosellini. Pada akhirnya, Rosselini menggunakan India untuk berbicara lantang terhadap benuanya, tanpa mengenal India sampai kehakikatnya.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search