Pada rubrik Kronik kali ini, Jurnal Footage menghadirkan sebuah artikel yang ditulis oleh D. A. Peransi, yang pertama kali dimuat di Arsip dari Suara Pembaharuan, edisi Senin, 6 November 1989. Ini adalah satu dari rangkaian tiga tulisan yang dimuat oleh surat kabar tersebut, yang berisikan refleksi dan kritik Peransi terhadap jenuhnya kondisi industri film di Indonesia yang tidak menawarkan kebaruan dalam satu dekade terakhir, yaitu dekade 1980-an.
Rangkaian tulisan ini, selain sebagai dokumen penting tentang kritisisme film Indonesia, juga berguna sebagai cermin yang merefleksikan perkembangan sinema indonesia dari era 1980-an dan perkembangannya bila dibandingkan dengan sinema Indonesia sekarang.
Selamat membaca!
—
Baca artikel kedua di sini; dan baca artikel ketiga di sini.
Permintaan “World Council for Christian Communication” (WACC) untuk mengamati film Indonesia dan membuat laporan mengenai the concept of community in Indonesia films memerlukan beberapa pertimbangan.
Pertama, dalam surat permintaan WACC, tercantum antara lain keinginan untuk mengetahui apakah pembuat film Indonesia menyatakan concept community itu dengan jelas. Kalau ada, bagaimana konsepnya. Diminta pula meneliti apakah keadilan diperjuangkan melaIui karya film. Apakah ada tendensi-tendensi serta kekutan-kekuaan negatif yang mengganggu community. Bagaimana itu diatasi.
Pertanyaan-pertanyaan yang memberi kerangka ini, sedikit-banyak, memberikan dugaan tentang konsep community yang diharapkan oleh WACC bisa disimpulkan dari peta perfilman Indonesia, yaitu suatu community atau communities yang jelas nilai-nilai serta tatanan nilainya.
Kedua, kata community di dalam penggunaannya sedemikian luasnya sehingga pada sulit untuk merumuskan arti atau notion-nya yang tepat.Kita bisa bicara tentang PBB sebagai international community, penghuni Rawamangun sebagai community Rawamangun. Ada primitive community, ada urban community yang tergolong larger communities.
Literatur sosiologi memang telah membantu pembatasannya dengan menunjukkan bahwa community dibatasi oleh tempat, oleh organisasi sosialnya secara keseluruhan, oleh besar kecilnya populasinya dan oleh pola-polanya (Ogburn & Nimkoff, Handbook of sociology, 1960, hal. 265-284).
Deskripsi sosiologi tentang karakteristik community tentu berfaedah untuk menentukan community bagaimana yang terdapat di dalam film-film Indonesia. Namun, apabila pengertian “keadilan”, “kebenaran”, “kekuatan-kekuatan negatif” mau disorot, kiranya titik pandang kita ini akan bergeser dari semata-mata deskripsi ke penilaian etis.
Kalau begitu, maka menarik untuk mengutip pernyataan seorang filsuf seperti Martin Buber yang mengatakan: Community should not be made into a principle; it too, should always satisfy a situation rather than abstraction. The realisation of community…. must be the moment’s answer to the moment’s question, and nothing more….. The real essence of community is to be found in the fact manifest or otherwise that is has a centre. The real beginning of community is when its members has a common relation to the centre riding all other relations….. A community need not be “founded'”, whenever historical destiny has brought a group of men together in a common fold, there was room the growth of a genuine community. (Martin Buber, Paths in Utopia, Boston: Beacon Press, 1958, hal. 134-135).
Dengan mengutip Martin Buber, tidaklah lengkap pemahaman kita apabila kita tidak mencoba mengerti apa yang dimaksudkannya dengan a centre over-riding all other relations dan growth of a genuine community.
Untuk bisa memahaminya, kita perlu berpaling pada ide utama yang mendasari pemikiran Buber. Dasar itu kita temukan di dalam bukunya I and Thou (Martin Buber, I and Thou, New York: Charles Scribner’s Sons, 1958). Di dalam buku ini, Buber menawarkan suatu konsep untuk memahami dan menilai hidup antarmanusia, dengan perkataan lain: hidup bermasyarakat.
Bagi manusia, dunia bersegi dua katanya, tergantung pada sikap yang diambilnya. Sikap itu bisa melihat sesama manusia sebagai “it” atau sebagai “thou“, sebagai “dikau”. Dalam pandangan sebagai it, manusia melihat orang lain sebagai benda. Di dalam pandangan ini, sesama manusia dengan mudah bisa dimanipulasi.
Apabila manusia memandang sesamanya sebagai. “thou“—’dikau’, maka kemungkinan untuk menumbuhkan suatu nisbah yang insani antarmanusia bisa terbentuk. Di dalam nisbah aku-dikau itu kemungkinan suatu kehidupan bermasyarakat yang genuine akan terbentuk, dengan nisbah aku-dikau sebagai pusat. Nisbah aku-dikau itu melampaui semua nisbah-nisbah lainnya: nisbah antarsuku, antaragama, antarbangsa, antarkelompok, antar-berbagai status sosial.
Dengan dibingkai oleh konsep ini kita akan mencoba melihat bagaimana konsep community, atau lebih konsep bermasyarakat tergambar di dalam sejumlah film Indonesia yang diamati.
Medium
Film merupakan suatu medium yang relatif baru di dalam kebudayaan umat manusia, dibandingkan dengan medium seperti bahasa dan tulisan.
Ernst Cassirer (An essay on Man dan Die philosophie der symbolischen Formen) merumuskan manusia sebagai “animal symbolicum“, yang berbeda dengan binatang, berkomunikasi dengan lambang-lambang dan perlambangan. Bahasa adalah salah satu lambang bunyi yang arbitrer yang diciptakannya. Itu sebabnya orang Indonesia dan Inggris mempunyai bunyi yang berbeda untuk melambangkan fakta yang sama.
Komunikasi antara dua orang yang lahir dari masyarakat bahasa yang berbeda akan sulit dilakukan apabila yang satu tidak mengenal bahasa yang lainnya. Sejak fotografi ditemukan abad yang lalu, dan didasarkan atas fotografi film dikembangkan, maka bertambah lagi medium ekspresi dan komunikasi antarmanusia.
Tetapi, berbeda dengan bahasa yang mempergunakan unsur bunyi untuk mengekspresikan arti dan bersifat lebih abstrak, film mempergunakan rekaman optik dari kenyataan. Film merekam secara persis sekali kenyataan yang pernah ada di depan kamera dan kenyataan itu, melalui film, tampil di depan kita yang melihatnya sebagai kenyataan optik.
Sering sekali penonton film tidak menyadari bahwa yang ia lihat di layar hanyalah “bayangan” saja. Demikian persisnya kenyataan dipotret, disertai bunyi sebagai unsur dari kenyataan yang hidup sehingga gambar-gambar yang bergerak dan bunyi tampil sebagai kenyataan sesungguhnya. Sangatlah tepat istilah “gambar hidup” di dalam bahasa Indonesia untuk medium ini.
Dengan menganggap apa yang ada di layar sungguh-sungguh kenyataan maka pada penonton sebenarnya terjadi ilusi bahwa yang ia lihat benar-benar kenyataan. Unsur magis dari medium ini memang kuat sekali. Apalagi kondisi menonton film adalah suatu ruangan yang gelap, di mana orientasi penonton akan ruang terhapus. Karena ruangan yang gelap kesadarannya akan kehadiran penonton lain pun sangat dikurangi, bahkan bisa hilang sama sekali apabila ia seluruhnya terserap oleh gambar-gambar yang hidup itu.
Di dalam kondisi yang demikian itu, terjadi beberapa proses identifikasi pada penonton, Pertama, adalah identifikasi optik. Penonton melihat kenyataan sebagaimana kenyataan itu dilihat oleh lensa (optik) kamera. Sambil duduk di kursi yang empuk dan di ruangan yang ber-ac, penonton pada detik yang satu bisa berada di salah satu apartemen di New York dan pada detik berikutnya melihat kota ini dari udara.
Bersamaan dengan kamera ia pun berpindah-pindah tempat. Itu sebabnya kita bisa merasa mual apabila melihat gambar yang direkam dari dalam mobil yang melaju cepat di jalan yang banyak tikungannya.
Kedua adalah identifikasi emosional. Di sini, penonton secara emosional mempertautkan dirinya dengan bayangan-bayangan dari kenyataan yang ia lihat di layar. Ia bisa ketawa pada saat tertentu dan sedih pada saat berikutnya.
Ketiga adalah identifikasi imajiner. Di sini, penonton mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu tokoh atau beberapa tokoh di dalam film yang ditontonnya. Ia ikut main, ia bisa membenci tokoh antagonisnya apabila ia mengidentifikasikan dirinya dengan protagonisnya. Pada kondisi seperti ini, penonton sudah terserap seluruhnya di dalam kenyataan serta peristiwa di layar. Ia bermimpi sambil berjaga. Itu sebabnya, McLuhan (Understanding Media) menggolongkan film di dalam kelompok medium yang “hot“.
Karena itu pula, H. Rosihan Anwar seusai menonton film Bila Saatnya Tiba dengan mata yang berkaca-kaca mengatakan, dalam bahasa Belanda: De wonderen zijn de wereld nog niet uit (mujizat belum hilang dari dunia). Begitu dalam ia masuk ke dalam cerita film Ed. Pesta Sirait, sehingga ia yakin bahwa kesembuhan dari kanker yang diderita tokoh utamanya sungguh hilang.
Daya Magis
Film mempunyai daya magis yang kuat sekali, tentu tergantung pada baik-buruknya film itu dibuat. Karena itu, kita bisa mengerti bagaimana seorang ayah sampai lima kali menonton film Catatan si Boy. Ia merasa terhibur oleh Meriam Bellina yang cantik, lincah dan seksi (Tempo, 14 Desember 1988).
Film melalui kenyataan imajinernya menawarkan pada penonton nisbah-nisbah tertentu, sebagaimana itu terjalin antara tokoh-tokoh yang tampil di dalam cerita film. Menawarkan pula berbagai nilai, yang tidak jarang masih asing bagi penonton yang melihatnya.
Film adalah suatu medium yang memungkinkan manusia terlibat secara eksistensial dengan kenyataan-kenyataan imajiner. Terlibat secara eksistensial berarti bahwa terjadi suatu hubungan dialektis antara dirinya dan kenyataan imajiner itu. Pada saat inilah perlu dipertanyakan memang, apa saja yang ditawarkan oleh film-film Indonesia kepada masyarakat. Sejauh mana apa yang ditawarkan benar dan membangun, bukan meruntuhkan.
Film pada dasarnya menceritakan suatu perkembangan psikologis dari tokoh-tokohnya, bukan seperti film dokumenter yang bertolak dari konsep atau ide. Perkembangan psikologis itu dituang ke dalam suatu plot cerita yang mengenal permulaan, pengembangan cerita, dan klimaks. Di dalam garis plot itulah protagonis dan antagonisnya dipertemukan dan dipertentangkan. Cerita film bisa berakhir dengan happy-end atau dengan situasi yang dramatis, tergantung bagaimana penulis dan sutradara mau membuat penonton terbuai di dalam filmnya. Garis plot penuh dengan konflik-konflik kecil maupun besar, suatu yang sangat mutlak di dalam dramaturgi film, kalau tidak ceritanya menjadi hambar dan tidak menegangkan.
Konflik antara protagonis dan antagonis tentunya merupakan konflik antara nilai-nilai yang menjadi dasar masing-masing. Nilai itu bisa bersumber pada pribadi atau pada kelompok di mana pribadi itu berada. Itu sebabnya konflik-konflik di dalam cerita film bisa juga merupakan konflik antara berbagai kelompok dan kepentingan, latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan sejarah.
Bagaimana pembuat film (produser, penulis, sutradara) menyelesaikan konflik-konflik itu tidak saja merupakan suatu tuntutan dramaturgi, tetapi juga menggambarkan nilai-nilai yang menuntun mereka. Sering pula di dalam film Indonesia, ketidakmampuan dramaturgi pembuat filmnya menyebabkan film itu menawarkan kenyataan-kenyataan serta penyelesaiannya yang tidak masuk akal.
Namun, walaupun begitu banyak pula orang yang tetap menonton, terutama golongan menengah ke bawah yang merupakan konsumen terbesar film Indonesia. Kebutuhan akan hiburan dan terutama karena daya magis dari film yang telah di singgung tadi menyebabkan bioskop meluber seperti pada kasus film Pembalasan Ratu Laut Selatan (PRLS). Pada film ini, adegan buka-bukaan dan seks telah menjadi maginya.
Ulasan-ulasan yang meneropong film, tidak semata-mata dari segi sinematografinya, memang langka. Majalah dan koran hanya mengulas film dengan efek promosi semata-mata dan menjadi perpanjangan tangan dari “bisnis mimpi” ini.
Produksi
Produksi film di Indonesia memang relatif masih muda. Produksi Indonesia sesungguhnya baru mulai setelah kemerdekaan. Perfini, Persari, dan PFN merupakan pelopor-pelopor yang patut disebut. Sebelumnya ada beberapa produser Cina yang memproduksi film-film cerita, seperti “Tarsan van Java” dan lain-lain film sejenis itu.
Di tahun limapuluhan, roh (spirit) untuk mengisi kemerdekaan sangat kuat; juga di bidang kebudayaan, kesenian termasuk film. Usmar Ismail, selain seorang sastrawan juga seorang sutradara dan produser yang dirasuk dengan ide untuk membuat film bermutu, yang merupakan cermin bahkan pisau analisa bagi perkembangan masyarakat. Tema seperti krisis, misalnya, merupakan tema yang mencerminkan krisis moral, pemikiran serta identitas dari masyarakat Indonesia setelah revolusi.
Kaitan dunia film dengan kesusastraan erat sekali. Cukup banyak sastrawan yang menulis cerita untuk film. Gayus Siagian misalnya, produktif menulis cerita film. Isu-isu yang digeluti sastrawan menjadi concern seniman film juga. Tidak saja sastra dan senirupa yang didiskusikan di warung-warung di Senen pada waktu itu, tetapi juga film. Sjumandjaja adalah salah satu sutradara yang berasal dari kelompok “seniman Senen” yang di kurun waktu berikutnya menghasilkan sejumlah film yang tidak semata-mata berorientasi pada bisnis. Pada Sjumandjaja masih bergema roh yang merasuk diskusi-diskusi di Senen.
Di tahun enampuluhan, produksi film Indonesia merosot, karena situasi politik yang tidak memungkinkan seniman berekspresi dengan lebih bebas dan situasi ekonomi yang makin merosot memaksa produser untuk berpikir 10 kali sebelum mempunyai niat memproduksi film. Setelah Orde Baru, suatu “boom” pada produksi film terjadi. Banyak produser film lahir, bahkan yang sama sekali tidak mempunyai latar belakang pengalaman di bidang film. Pedagang tekstil, misalnya, beralih ke produksi film. Orientasi Orde Baru yang lebih pragmatis dan kurang ideologis memungkinkan terbentuknya suatu masyarakat perfilman yang nyaris “permissive”.
Film Turino Junaidi, Bernafas Dalam Lumpur (1970), merupakan awal dari perkembangan tema seks dan kekerasan. Ketika di dalam sebuah diskusi di TIM, penulis bertanya kepadanya mengapa adegan-adegan seks dimasukan ke dalam film itu sementara moral ceritanya baik. Ia menjawab, ”Apakah saya harus memproduksi gaun maksi apabila konsumen menghendaki rok mini”. Jawaban ini adalah tipikal bagi kebanyakan produser Indonesia pada waktu itu dan juga sekarang.
Sampai saat ini, dapat dikatakan bahwa produser lebih berkuasa dalam menentukan tema apa, bintang mana dan bagaimana cerita itu harus dibumbui dengan seks, kekerasan dan mistik. Penulis skenario dan sutradara sebagai orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif hampir selalu tunduk pada keinginan dan naluri dari produser.
Apabila penulis atau sutradara bersikeras mempertahankan prinsipnya, sudah dapat diramalkan bahwa ia tidak akan pernah mau dipakai lagi oleh produser. Kemerosotan moral tenaga kreatif perfilman disebabkan oleh masalah “periuk nasi” belaka. Dari diskusi-diskusi yang selama ini diadakan oleh kalangan perfilman kita, dapat simpulkan bahwa uanglah yang tetap menjadi prinsip yang menentukan di dalam produksi film.
Sementara itu, gunting Badan Sensor Film menjadi lebih tumpul. Sehingga walaupun patokan-patokan telah ditentukan sebelumnya, masih pula masyarakat umum bertanya-tanya mengapa berbagai adegan dan dialog diperbolehkan lolos. Tentu pertanyaan dapat diajukan, apakah dengan situasi seperti ini Badan Sensor Film telah menjadi “permissive” juga. Pada lain pihak, Badan Sensor Film lebih ketat terhadap penggarapan tema yang menyangkut keadilan sosial seperti yang tampil dalam film Matahari, Matahari [karya Arifin C. Noer, 1985—red.].
Ada beberapa produser dan sutradara, seperti Sjumandjaja, Wim Umboh, Teguh Karya, Nya Abbas Akup, Arifin C. Noor, dan Wahyu Sihombing, dan akhir-akhir ini Eros Djarot dan Slamet Rahardjo, yang berusaha untuk mempertahankan nilai film-filmnya dan tidak semata-mata memproduksi barang dagangan. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa produksi-produksi mereka sering secara ekonomis merupakan suatu kegagalan. Pembuat film yang serius ini menghadapi dilema yang memang cukup rumit. []