(Hanya dalam Bahasa Indonesia)
Selama 55 tahun festival filem pendek Oberhausen telah menjadi ajang bertemunya sutradara, distributor, pembeli dan peminat filem pendek dari seluruh dunia. Sebagai bekas kota industri, dengan tingkat pengangguran yang tinggi, festival ini tetap memberi magis bagi orang-orang seluruh dunia untuk datang dan merayakan. Saking besarnya festival filem pendek ini, sampai-sampai Direktur Festival Oberhausen, Lars Henrik Gass, menyatakan, “Filem pendek sudah mati, tapi tidak di Oberhausen.” Klaim ini tentu tidak berlebihan mengingat pengalaman selama 55 tahun penyelenggaraan sukses festival di sebuah kota kecil, di Jerman bagian Barat.
Di tengah isu flu babi yang meluas dan menjadi berita utama di berbagai media dunia, festival filem pendek internasional Oberhausen tetap berlangsung meriah. Setiap pagi hingga malam hari, ruang festival penuh sesak. Tidak hanya menonton filem atau menghadiri podium yang terletak tidak jauh dari bioskop Lichtburg, tempat di mana pemutaran berlangsung, tetapi juga disesaki oleh banyaknya orang yang hanya sekadar berbincang akrab. Tempatnya yang terpusat membuat festival filem Oberhausen menjadi tempat yang tepat untuk bersosialisasi. Semua orang tampak akrab, meski baru mengenal satu sama lain mungkin hanya dalam beberapa menit saja. Ini menjadi salah satu kelebihan penyelenggaraan festival di kota kecil dengan tempat terpusat. Acara dimulai pada pukul sepuluh pagi waktu setempat dan berakhir sekitar pukul satu dini hari. Begitu setiap hari, dari tanggal 30 April-5 Mei 2009. Aura kelelahan juga tidak tampak dari para peserta dan panitia festival, sebab setiap malam setelah pemutaran berakhir, mereka berkumpul di sebuah lounge, sekitar tiga blok dari bioskop hingga pukul empat pagi. Di sini, setiap orang kembali bersosialisasi tanpa mengenal batasan berarti.
Unreal Asia: Pembanding Sejarah Tertulis
Tema Festival tahun ini cukup istimewa. Setelah tahun sebelumnya festival filem pendek internasional Oberhausen mengangkat tema cukup mencengangkan, Whose History, kali ini tema yang diangkat tidak kalah menarik. Unreal Asia. Menurut kuratornya, Gridthiya Gaweewong dan David Teh, tema Unreal Asia ingin mengangkat sejarah tidak resmi yang tak pernah tertuliskan dalam buku sejarah mengenai Asia.
Sebanyak 71 filem diputar pada program selama lima hari yang terbagi dalam tema-tema sebagai cara untuk membaca Asia kekinian. Yang menarik, jika dibandingkan dengan keyakinan rasional Barat, banyak orang Asia percaya bahwa metode keilmuan empirik bukanlah satu-satunya cara untuk mendapat pengetahuan. Epistemologi Asia bercampur baur dengan kepercayaan akan pemujaan pada leluhur dan animisme. Dua hal ini seakan menjadi cara untuk tetap bertahan di tengah derap moderenisasi dan globalisasi. Geliat transisi negara agrikultur menuju moderen di berbagai negara Asia mungkin tampak jelas, namun secara mental, seperti ditulis oleh Gaweewong dan Teh, keyakinan ‘irasional’ lawas ini memainkan peran penting dalam gaya hidup Asia. Budaya Konfusian, tradisi Budhisme, Islam, feng shui, ramalan dan remeh-temeh supranatural masih menghiasi sebagian besar ruang hidup orang Asia.
Menyaksikan filem-filem yang diputar pada program Unreal Asia seperti menyaksikan keterpecahan Asia. Meski dalam cara pandang kebanyakan orang-orang Asia tidak jauh berbeda, tapi luasnya geografi menolak kemungkinan penyatuan perspektif. Belum lagi keterpecahan ideologis sebagai hasil dari kondisi yang diciptakan selama Perang Dingin. Asia, sebagaimana negara-negara yang secara tidak adil disebut sebagai ‘dunia ketiga’, menjadi ajang dari perang perwakilan kepentingan antara blok barat dan timur (kapitalis-liberal dan sosialis-komunis). Lahirnya ASEAN, sebagai wadah bersatunya negara-negara Asia Tenggara, ternyata hanyalah sebuah rekayasa yang sangat beraroma partisan. Waktu itu, pendirian ASEAN tidak lebih dari hasil kesepakatan negara-negara pro barat (kapitalis-liberal), sebab tidak ada satupun negara yang berideologi komunis menjadi anggota sejak pendiriannya tahun 1967, sebelum Perang Dingin berakhir (Vietnam menjadi anggota ASEAN pada 1995, sedang Laos dan Myanmar pada 1997).
Warisan keterpecahan ini berlangsung hingga sekarang. Kultur filem di negara-negara Asia, terutama Asia Tenggara, juga sangat sulit untuk digeneralisasi. Namun, ketika sampai pada kultur video kekinian, satu hal yang bisa diamati: Asia sedang menuju pada satu peluang demokratisasi yang meluas. Lahirnya video, dengan segala kemudahan dan kemurahan akses untuk memilikinya, telah membuat banyak hal terungkap. Bahkan, hal-hal yang dahulu tabu dibicarakan kini menjadi suatu hal yang lumrah. Di Indonesia, misalnya, sebelum kelahiran teknologi digital, sulit sekali untuk membayangkan bagaimana membicarakan masalah besar dengan begitu dekat, sesuai dengan pandangan orang-orang biasa. Kenyataan-kenyataan politik, sosial dan ekonomi sehari-hari menjadi begitu dekat dengan atau didekatkan melalui video. Pada akhirnya, video pun menjadi semacam kultur lisan baru, yang bercerita banyak mengenai kenyataan, yang jauh berbeda dengan sejarah-sejarah tertulis dan resmi.
Profil: Membaca Kembali Sejarah
Tidak hanya tema besar Unreal Asia, festival filem pendek internasional Oberhausen juga mengangkat profil-profil sutradara luar biasa. Ada lima profil yang diangkat kali ini. Mereka adalah Matsumoto Toshio, Sarajevo Documentary School, Nicholas Echevarria, Factory of Found Clothes dan Herbert Fritsch. Menurut Olaf Moeller, kurator untuk profil Matsumoto Toshio, pengangkatan profil-profil ini bukan tanpa maksud. Secara khusus, ia menyebutkan bahwa profil-profil sutradara yang kali ini diangkat dalam festival Oberhausen adalah untuk membaca sejarah lawas dan kekinian, yang sering dilupakan orang.
Kondisi represi dalam rezim diktator komunis di Yugoslavia ditampilkan dengan sangat apik dan menyentuh oleh Mazhab Dokumenter Sarajevo, yang dihadiri oleh dua orang veterannya saat pemutaran, Vefik Hadzismajlovic dan Vlatko Filipovic. Sedang realisme magis ditunjukkan sutradara Jepang, Matsumoto Toshio. Filem dokumenter luar biasa yang mengangkat keintiman antara sinkretisme religius suku Indian-Meksiko menjadi tema dalam filem-filem Nicholas Echevarria. Kelompok Factory of Found Clothes dari Rusia mencoba merealisasikan filem dengan seni pertunjukan, yang terasa segar, dengan mengangkat tema spesifik gender dan fenomena sosial. Herbert Fritsch mencoba membebaskan hasrat dengan cara-cara komikal dalam filem-filemnya.
Pemilihan profil-profil ini seakan menggiring penonton untuk membaca lagi sejarah dalam suatu perspektif yang sangat berbeda, yang hampir jarang ditemukan dalam berbagai sejarah tertulis resmi di buku-buku sekolah. Pemilihan kelima profil sutradara dan kelompok sutradara ini juga sangat mewakili dunia kekinian, terlepas dari tidak adanya sutradara Afrika yang diangkat di dalamnya.
Tempat Suci Festival Filem Pendek
Dalam sebuah wawancara, Vlatko Filipovic pernah mengatakan bahwa Oberhausen itu seperti Mekkah bagi filem dokumenter, di mana festival ini selalu merujuk pada jenis filem dokumenter kreatif yang menunjukkan kebenaran dan gaya hidup. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa festival filem pendek internasional Oberhausen menjadi salah satu tempat suci bagi para pelaku dan peminat filem pendek seluruh dunia.
Direktur Festival, Lars Henrik Gass, mengklaim bahwa penyelenggaraan festival kali ini merupakan penyelenggaraan tersukses sejak penyelenggaraan pertamanya 55 tahun lalu. Pernyataan ini didasarkan pada meningkatnya jumlah penjualan tiket dan kehadiran orang-orang dari seluruh dunia, baik sutradara, distributor, pembeli filem dan jurnalis sebanyak lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Pada acara penutupan dan pemberian penghargaan tanggal 5 Mei 2009, Gass menyatakan, “Filem pendek itu sudah mati, kecuali di Oberhausen.”