Harian Kompas, Senin 15 Januari 1979
1
Judul yang panjang dari karangan ini adalah suatu semboyan, impian dan (siapa tahu mungkin juga) suatu utopia. Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dan Suryo Sumanto dengan kadar kharisma masing-masing pada masa hidup dan jaya mereka tidak hentinya mendengungkan itu sebagai semacam cakrawala idealisme bagi perfileman kita. Suatu cakrawala yang jauh tetapi indah yang harus menjadi titik akhir perjalanan perfileman kita.
Usmar dan Sumanto dengan dukungan kawan-kawan mereka di Perfini mungkin menyajikan ini dengan menyajikan serentetan filem mereka yang khas (yang sekarang telah menjadi classical masterpieces yang tak mungkin ditonton lagi karena tidak ada salinan cetaknya-hanya filem Krisis yang tidak ada salinannya, red.) seperti Lewat Djam Malam, Dosa-dosa Tak Berampun, Tamu Agung, Krisis dan Tiga Dara. Sedang Djamaluddin Malik melihatnya itu mungkin dengan pendekatan yang “berorientasi pada studio dan bintang” dengan pembangunan (Per)sari-wood yang tidak hanya lengkap dengan studionya tetapi juga dengan sistem-kontrak dengan sistem-kontrak dengan para artisnya.
Para superstarpada waktu itu seperti Raden Mochtar dan Netty Herawaty adalah kontrakan Sariwood tidak ubahnya dengan Gary Cooper dan Hedy Lamarr yang dikontrak oleh Paramount Studio di Hollywood. Filem-filem produksi Persari adalah genre filem hiburan yang komersial yang agaknya dimaksudkan untuk memenuhi selera “kaum kelas menengah-bawah” yang pernah menjadi penggemar sandiwara-sandiwara keliling pada jaman Jepang.
Dengan pendekatan masing-masing itu keduanya agak memimpikan suatu penguasaan selera yang merata pada masyarakat kita terhadap filem Indonesia. Keduanya gagal menguasai selera itu meskipun Usmar Ismail telah berusaha menggeser selera itu beberapa kali dan Djamaluddin Malik bahkan berusaha menerobosnya dengan produksi kolosal. (Bandingkan pergeseran selera Umar dari yang “dramatik” pada Lewat Djam Malam dan Dosa Tak Berampun ke “komedi satirik” dan Tamu Agung dan Krisis ke “komedi musikal” dari Tiga Dara dan Delapan Penjuru Angin serta selera Djamaluddin Malik dengan produksi kolosal-nya Rodrigo de Villa yang dalam tata-warna).
Setiap kali Usmar menyatakan kepada masyarakat bahwa ia telah menemukan rumus atau ramuan yang tepat bagi hadirnya filem Indonesia yang akan memuaskan masyarakat (seperti pada Krisis dan Tiga Dara) selalu saja ia dikecewakan oleh kenyataan yang pahit. Masyarakat sebentar menyambutnya dengan hangat kemudian segera sesudah itu membelakanginya. Usmar mengeluh: saingan dari filem India, dan filem Hollywood adalah saingan yang terlalu berat dan tidak adil.
Memang pada tahun-tahun lima puluhan itu dan bahkan juga sesudahnya hingga “penggayangan AMPAI”[i], Indonesia mengalami masa-masa emas filem Hollywood yang dengan mulus dan lancarnya diedarkan oleh MPEA[ii] lewat gedung-gedung bioskop yang dikontrol oleh pengusaha non pribumi. Sedang di “bagian bawah” dan di wilayah up countries filem-filem India dengan Raj Kapoor dan Shakila telah menancapkan pengaruhnya dengan kuat pada tubuh masyarakat setempat. Dibawah jepitan dua selera itulah Perfini dan Persari mengap-mengap kehabisan nafas dalam usahanya untuk merenggut selera masyarakat untuk kemudian mati. Studionya disita bank karena tidak dapat melunasi hutangnya.
2
Kekalahan Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik saya kira bukan terutama karena kalah bersaing dalam merebut selera masyarakat. Kekalahan mereka adalah kekalahan pelopor-pelopor suatu media kesenian baru yang tidak diberikan kesempatan untuk membudayakan media baru itu dalam masyarakatnya. Selera yang mesti diperjuangkan dan dimenangkan itu biasanya mesti ditantang oleh suatu ekspresi kesenian yang dinyatakan dengan media yang sudah akrab yang sudah sedikit banyak “membudaya” di tangan senimannya. Seperti kesusastraan yang harus memenangkan suatu selera dengan bahasa yang merupakan kebudayaan dari masyarakat itu. Atau pelukis yang mesti meyakinkan suatu selera kepada masyarakat dengan alat-alat yang sudah akrab di tangannya dan diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan mereka.
Dalam perjuangan meyakinkan selera ini orang boleh kalah atau menang asal waktu sang seniman untuk membudayakan media keseniannya itu di dalam masyarakat –kalau media itu merupakan media yang masih baru atau asing. Angkatan Pujangga Baru dalam kesusastraan Indonesia menjumpai banyak kesulitan dalam masa pertumbuhannya tetapi kemudian berhasil meyakinkan masyarakat akan hadirnya suatu selera baru dalam kesusasteraan. Waktu dan masyarakat telah cukup bermurah hati memberikan kesempatan kepada Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya untuk membudayakan bahasa Indonesia sebagai media ekspresi kesenian Pujangga Baru di dalam masyarakat. Hal yang sama dapat juga dikatakan di sini tentang Sudjojono dan kawan-kawannya yang tampil dalam Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia).
Mereka telah cukup diberi kesempatan oleh waktu dan masyarakat untuk membudayakan media mereka. Cat, kuas dan kanvas mereka sempat mereka kuasai secara akrab untuk dapat mereka kuasai secara akrab untuk dapat mereka pakai sebagai alat untuk meyakinkan masyarakat akan perlunya hadir satu selera baru dalam seni lukis Indonesia.
Rasanya Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik tidak seberuntung Sutan Takdir Alisjahbana dan Sudjojono. Pada waktu mereka mengira telah siap untuk menjajakan atau mencobakan selera mereka dengan idealisme “filem Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri” waktu dan masyarakat tidak memberikan mereka cukup waktu untuk membudayakan filem sebagai media baru di tengah-tengah kita.
Sebagai media kesenian, filem adalah salah satu media yang paling mahal, paling kolektif dan paling sarat oleh campur tangan teknologi baru. Ia mesti didukung oleh satu modal dan usaha kuat dan kontinyu yang bertekad untuk diperhitungkan sebagai kekuatan kebudayaan dan ekonomi. Ia mesti ditampilkan oleh kerjasama yang secara artistik benar-benar terpadu dari begitu banyak seniman dan tukang yang secara teknik benar terampil dan sudah akrab dengan media itu.
Maka bagaimanapun mungkin seringkali kelihatan “konyol” dan “murahan” tema cerita filem-filem India dari Raj Kapoor itu janganlah lupa bahwa dibalik itu berdiri satu rentetan dukungan yang mantap. Ia didukung oleh satu industri filem yang sudah merupakan kenyataan kultural dan ekonomi yang kokoh di India; ia didukung pula oleh penguasaan media yang akrab dan terampil. Kehadirannya di negeri kita saya kira bukan sekadar kehadiran barang impor tetapi suatu produk kebudayaan dan ekonomi yang mempunyai suatu kemauan subyektif yang jelas tanpa rasa kurang harga diri. Hal yang sama (apalagi!) dapat dikatakan tentang filem Hollywood.
Maka kalau kita bandingkan keadaan itu dengan Perfini (Usmar Ismail) dan Persari (Djamaluddin Malik) pada tahun lima-puluhan itu nyata benarlah bedanya! Bagaimana menarik dan artistik filem-filem Usmar Ismail dan bagaimanapun komersial dan “kolosal” filem-filem Djamaluddin Malik, mereka tidak didukung oleh modal dan industri yang kuat (termasuk jaringan distribusi dan bioskop yang luas) dan penguasaan media yang sudah benar-benar akrab dan terampil. Masyarakat –dan pemerintah adalah masyarakat juga– tidak memberinya kesempatan untuk membudayakan kehadiran mereka sebagai kehadiran kurtural dan ekonomi.
Dari sorotan di atas jelaslah bahwa kemungkinan negeri ini tidak pernah memiliki dua industri filem nasional dengan gaya dan pendekatannya masing-masing tetapi yang didukung oleh idealisme dan kemauan subyektif untuk menanamkan selera filem nasional, telah pernah dibiarkan berlaku. Pada waktu dua perusahaan itu beserta dua tokohnya harus mundur –untuk kemudian hilang– dari percaturan produksi filem nasional, pengganti-pengganti mereka bukanlah lagi dari orientasi yang sama.
Para produser filem sesudah itu adalah pedagang campuran importir filem dan usaha lain yang secara sporadik membuat filem atau produser filem kecil yang meskipun memiliki iktikad menjadi “produser filem murni” toh harus mengandalkan dukungan keuntungan dari impor filem mereka yang mereka lakukan secara kecil-kecilan.
Kedua tipe produser filem ini jelas lain dari Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, yang meskupun juga mengimpor filem secara kecil-kecilan untuk menutup kerugian produksi filem mereka, sejak semula dengan Perfini dan Persari ingin memberikan “cap” yang khas pada filem-filem mereka. Pengganti-pengganti mereka bukanlah tokoh-tokoh dengan kemauan subyektif yang demikian.
Pada hakikatnya mereka adalah pedagang-pedagang yang melihat filem sebagai barang dagangan. Sedang sutradara, juru kamera, juru edit, aktor dan aktris filem yang paling kreatif pada masa ini muncul sebagai maverick atau “samurai-samurai” yang tangkas dengan pedangnya tetapi sangat tergantung kepada para warlords yang menyewa mereka.
Mereka bukan lagi orang-orang kreatif yang menggerombol sebagai pendukung ide sang tokoh seperti Suryosumanto, Djajakusuma, Gajus Siagian, Max Tera, Cok Sinsu menggerumuni Usmar Ismail atau seperti Rempo Urip dan Awaluddin dan kawan-kawannya mengelilingi Djamaluddin Malik. Bukan! Mereka adalah orang-orang berbakat yang mesti “terlunta-lunta” dari produksi dari berbagai produser zaman “pasca Usmar Ismail-Djamaluddin Malik” itu. Mereka menjadi tukang-tukang yang mesti dengan terampil menerjemahkan kemauan dagang para produser itu.
Ironi dari ini semua adalah bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu justru pemerintah mulai campur tangan langsung dalam pembinaan filem nasional. Pemerintah yang agaknya “terpesona” melihat kesenjangan (discrepancy) antara keuntungan yang menyolok dari impor filem dan keuntungan yang sangat kecil dan tidak menentu dari produksi filem nasional nampaknya telah menjadikan kesenjangan ini menjadi titik fokus dari wilayah persoalan pembinaan perfileman kita. Maka lahirlah pikiran untuk menjadikan kesenjangan ini sesuatu yang menguntungkan perkembangan filem nasional.
Artinya, keuntungan yang melimpah dari impor filem itu mestilah bisa dimanfaatkan untuk produksi filem nasional. Rentetan kebijaksanaan pemerintah sesudah itu pada hakekatnya adalah pelbagai variasi dari dasar pemikiran “memanfaatkan filem impor untuk pembinaan filem nasional”.
Mulai dari penggarisan kebijaksanaan SK 71[iii] dengan D(ewan) P(roduksi) F(ilem) N(asional)-nya yang hingga pengaitannya yang lebih langsung lagi dari filem impor dengan produksi filem nasional yang mewajibkan para importir filem memproduksi satu filem nasional untuk setiap tiga filem yang diimpornya, pemerintah telah bergerak membina perfileman kita lewat dasar pemikiran seperti tersebut diatas. Bahkan kebijaksanaan pemerintah yang baru yang telah membebaskan para importir filem kita dari wajib produksi filem nasional, pemerintah sesungguhnya masih sedikit berorientasi pada dasar pemikiran di atas karena masih mewajibkan para importir membeli sertifikat produksi. Lihat SK no. 224, 2078 dan 213.
Tetapi apa yang ironis disini? Bukankah sekarang pemerintah telah membina langsung perfileman itu? Bukankah ini yang sesungguhnya diharapkan sejak Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik dahulu bergulat mati-matian dengan Perfini dan Persari mereka? Yakni memohon perlindungan terhadap persaingan yang adil dengan filem-filem Hollywood dan India? Bahkan sekarang, disamping kebijakan tersebut, pemerintah juga telah mewajibkan bioskop-bioskop memutar filem-filem Indonesia dengan membantu mendirikan PT Perfini yang bertindak sebagai koordinator dari pengaturan pertunjukan filem-filem kita di bioskop-bioskop! Apa lagi yang kurang?
Agaknya yang kurang disini ialah membina perfileman nasional dalam kerangka menyiapkan kehadirannya sebagai kenyataan –bahkan kekuatan– kultural dan ekonomi. Sebab meskipun dalam dasawarsa yang terakhir ini pemerintah telah langsung membina perfileman kita dan jumlah produksi filem kita –kecuali pada tahun 1978– cenderung meningkat (lebih kurang 134 produksi pada tahun 1977) filem nasional kita belumlah bisa dikatakan sebagai kenyataan kultural yang berarti.
Benar, sutradara seperti Sjumanjaya, Teguh Karya, Ami Priyono, Nya’ Abbas Acup, Wim Umboh, Asrul Sani, Wahyu Sihombing dan akhir-akhir ini juga Arifin C Noer sanggup melahirkan filem-filem yang cukup bermutu, tetapi pada dasarnya –dengan pengecualian Sjumanjaya mungkin– mereka adalah “samurai-samurai” yang cerai-berai yang “terlunta-lunta” dari sewaan produser yang seorang ke produser yang lain. Dengan beberapa pengecualian, filem mereka bukanlah filem mereka, bukanlah filem dengan cap mereka yang khas. Filem mereka kebanyakan masih merupakan filem “ramuan” bersama dengan ide produser mereka yang orientasinya sangat komersial. Dan filem-filem selebihnya yang dibuat oleh sutradara-sutradara “kelas bulu” (dengan pengecualian beberapa sutradara berbakat seperti Chaerul Umam) adalah filem dagangan murahan yang seringkali menakjubkan rendah seleranya!
Inilah potret filem-filem kita yang dibuat dalam kecenderungan kuantitas meningkat hingga tahun 1977. Dan kalau toh kuantitas itu adalah sesuatu yang harus diperhitungkan karena bagaimanapun ia berarti menunjang kesempatan kerja lebih banyak dan merata serta kesempatan yang lebih luas dan banyak untuk melatih berbagai keterampilan bagi para karyawan dan seniman filem kita, haraplah juga dipertimbangkan bahwa mutu yang terlalu rendah dari mayoritas filem kita justru dapat menjadi titik balik yang tidak produktif dan tidak efektif.
Juga kuantias yang tinggi itu dipikul oleh sekian banyak importir filem dan sekian banyak “produser murni” yang “cerai-berai”. Produser yang terlalu disibukkan oleh pencapaian sasaran keuntungan komersial yang cepat dan bukan oleh dukungan perusahaan-perusahaan filem yang bergerak atas dasar perhitungan jangka panjang yang ingin mengembangkan modal dan keuntungan dengan memproduksi filem. Dari sudut ini kehadiran filem kita yang mencapai kuantitas lumayan itu bukan kehadiran ekonomi yang berarti.
Sukses komersial dari Inem Pelayan Sexy, komedi satir yang bagus dari Nya’ Abbas Akup itu, yang pernah memecahkan rekor box office perfileman kita itu! Apa sebab? Karena produser asli filem itu terlalu cepat menjual filemnya yang bagus itu kepada pihak lain dalam jumlah yang lumayan saja, sehingga bukan sang produser itu yang menikmati sukses komersial dari filem itu.
Juga deretan yang seakan tidak kunjung berhenti dari filem-filem cengeng dengan penampilan para superstar Roy Marten – Yati Octavia – Yenni Rachman itu bukan cermin dari kemantapan ekonomi perfileman kita! Justru sebaliknya cermin dari kurang percaya pada wawasan perfileman sendiri. Karena filem-filem dengan casting yang tiba-tiba dan tema dan cerita yang itu-itu saja adalah ide yang berasal dari tekanan dan bujukan para pengedar perantara filem yang begitu menguasai perputaran dan perdagangan filem nasional kita. Jangankan profil atau potret seorang Run Run Shaw, raja filem Hongkong itu yang mendikte filem kungfu di seluruh dunia. Kilasan bayang seorang Usmar Ismail atau Djamaluddin Malik saja tidak kita dapat pada kebanyakan produser filem masa kini kita. Potret produser filem masa kini kita masih potret pedagang musiman yang masih sangat peka oleh goncangan permintaan yang sangat artifisial dari pasaran filem kita. Dan bukan potret pengusaha nasional yang memiliki kewiraswastaan yang percaya kepada wawasan ekonomi perfileman sendiri.
Filem Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Agaknya ini tidak sekadar membayangkan gedung-gedung bioskop kita di mana-mana memutar filem Indonesia. Di negara-negara mana filem mereka sudah dapat dikatakan menjadi tuan rumah di negeri sendiri tidak usah diartikan bahwa filem-filem asing tidak lagi diputar di negeri itu.
Di Perancis, Inggris dan Swedia, misalnya, filem-filem asing masih berdampingan dengan filem-filem mereka sendiri. Orang Perancis atau orang Inggris atau orang Swedia rasanya tidak merasa kurang harga diri melihat filem asing itu karena agaknya mereka akan selalu tahu bahwa kapan saja mereka kepingin melihat filem mereka sendiri mereka dapat menontonnya.
Setiap kali sutradara-sutradara kenamaan mereka tampil dengan karya mereka yang baru, mereka akan menyambutnya dengan perhatian yang besar. Agaknya, ada beberapa persyaratan pokok yang mesti dipenuhi untuk mencapai status menjadi “tuan rumah di negeri sendiri” itu. Pertama, secara “kultur” ia mesti hadir di tengah masyarakat. Kedua, secara kemampuan ekonomi ia mesti hadir di tengah masyarakat. Ketiga, kehadiran filem asing di negeri itu bukan merupakan suatu ancaman.
Secara “kultur” hadir berarti filem itu sudah menjadi bagian yang enak, yang comfortable, dari kebudayaan negeri itu sendiri. Sebagai media ekspresi kesenian, filem itu bukan lagi merupakan “anak tiri” atau “sinyo asing” diantara kesenian lainnya di negeri itu. Dengan demikian penduduk negeri itu dari lapisan masyarakat manapun ia datang –akan melihat filem nasional mereka tanpa suatu kompleks perasaan yang macam-macam. Mereka akan melihat filem-filem dengan perasaan wajar tanpa harus menyediakan serentetan sikap “memaafkan” yang meninabobokan atau sinisme dan sarkasme yang menyakitkan hati. Mereka datang ke gedung bioskop untuk dengan wajar saja mau berdialog dengan suatu karya kesenian bangsa sendiri. Apakah dengan motivasi untuk menghibur diri atau latihan “berolah seni”.
Secara kemampuan ekonomi ia mesti hadir berarti bahwa filem itu mestilah produk dari suatu sarana ekonomi yang mantap dan bonafit. Filem itu mestilah produk dari kemauan teguh dan berencana dari satu keistimewaan yang berani berkarya dengan risiko. Ini berlaku baik bagi seorang Carlo Ponti, Artur Rank, Louis B. Mayer, Run Run Shaw di dalam sistem liberal-kapitalis ataupun perusahaan filem negera di dalam sistem sosialis-berencana.
Sedang syarat yang ketiga, dimana filem asing tidak boleh merupakan ancaman adalah status dan posisi filem asing itu bukan menjadi kiblat (apalagi yang mendikte) selera artistik atau selera lainnya bagi filem nasional dan penonton negeri itu. Munculnya kelompok sutradara “Gelombang Baru” (Nouvelle Vague) di Perancis yang dicetuskan oleh Truffaut dan kawan-kawannya yang bergerombol disekitar lembaran Cahiers du Cinema adalah antara lain sebagai reaksi terhadap kecenderungan untuk menerima filem asing sebagai kiblat selera artistik di Perancis waktu itu. Begitu sesuatu atau beberapa filem asing itu berhasil menjadi kiblat selera dalam suatu negara, biasanya pada waktu itu juga kematian filem nasional tidak dapat dihambat lagi.
Dengan kebijaksanaannya yang baru, pemerintah sekarang telah melepaskan para importir filem dari kewajiban memproduksi filem meskipun ia masih membebaninya dengan pembelian sertifikat produksi yang berharga tiga juta rupiah untuk setiap filem yang diimpor. Lewat pernyataan Menteri Penerangan, pemerintah juga melihat filem sebagai sesuatu yang “kultural dan edukatif”.
Kebijaksanaan baru serta pandangan terhadap filem sebagai “kultural dan edukatif” ini masih akan ditunggu penjabarannya. Masih akan kita lihat apakah dari pemisahan impor filem dari produksi filem nasional dengan imbalan sumbangan sertifikat produksi serta penghayatan filem nasional sebagai sesuatu yang “kurtural dan edukatif” itu akan dilahirkan suatu package pembinaan produksi filem nasional yang baru.
Apapun bentuknya itu nanti, bila dasar orientasi dari strateginya masih tetap “filem Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri” ia akan tetap dibingkai oleh tiga persyaratan seperti tersebut di atas. Ini berarti bahwa pembinaan perfileman nasional itu nanti harus tetap memberikan proteksi. Tetapi proteksi yang memberi cukup perangsang bagi produser filem nasional untuk dapat berusaha dengan tenang dan berani mengembangkan wawasan produksinya dalam semangat kewiraswastaan yang mantap. Suatu strategi proteksi yang menjamin suatu kemungkinan untuk pada suatu hari filem nasional kita hadir secara “kultur” dan secara kemampuan “ekonomi”. Bila proteksi ini tidak dapat membayangkan kemungkinan itu, saya khawatir segala teriakan tentang “filem Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri” akan tetap menjadi teriakan yang utopis. Sebab bagaimana kita akan bisa menjadi “tuan rumah” kalau kita belum menjadi bagian yang sah dan enak dari keseluruhan lingkungan rumah yang kita tinggali itu?
Budayawan yang pernah menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia di tahun 1984 ini juga seorang pemain filem yang handal, salah satu tokoh legendaris yang diperankannya yaitu tokoh Soeharto dalam filem Pengkhianatan G 30S yang disutradarai oleh Arifin C. Noer.
==== ======================================================
Maaf, kalau tidak salah Pak Kayam berperan sebagai Bung Karno, bukan Soeharto…