Ada banyak cara yang dilakukan dalam merekam perubahan masyarakat dalam sebuah kurun waktu tertentu. Kita banyak tahu buku-buku yang diterbitkan dan bicara persoalan-persoalan dalam sebuah periode. Begitu juga filem, terutama dokumenter, ribuan peristiwa dan momen-momen penting direkam oleh para pelakunya untuk menjadikannya peristiwa itu terdokumentasi atau menjadi produk pengetahuan. Merekam peristiwa dalam kurun waktu tertentu hakikatnya pasti memunculkan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, baik secara ekonomi, sosial-politik dan kebudayaan. Namun, apakah perubahan itu juga terjadi pada ‘cara’ para perekam itu (pembuat dokumenter) dalam mengemas dokumentasi atau filem itu?
Dalam sejarahnya, filem dilahirkan membawa sifat dokumentatif: Merekam. Lumière Bersaudara, pada awalnya tidak pernah membayangkan filem akan menjadi sebuah bangunan cerita drama (fiksi) dalam dunia hiburan. Ekperimentasi-ekperimentasi awal mereka, secara jelas menghadirkan sifat-sifat dokumentatif gambar bergerak, yang kemudian menjadikan fenomena reproduksi kenyataan yang bergerak ke wilayah dokumentasi dan fiksi. Pertemuan filem dengan teater/sastra—membuka lebar jarak sekaligus memperkaya persoalan filem dokumentasi dan fiksi (cerita)—sekaligus membangun kultur baru, yaitu: Sinema. Begitulah seterusnya, kita mengenal perkembangan sinema hingga sekarang dengan berbagai macam genre, gaya dan bahasa filem.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai orang Indonesia, saya cukup merasa bangga karena kita punya sejarah yang cukup ‘besar’ dalam sejarah perkembangan sinema dunia. Sejarah sinema kolonial kita tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Eropa dan Amerika sebagai pusat perkembangan sinema. Pada masa itu filem-filem fiksi cerita rakyat menjadi primadona, yang diproduksi oleh perusahaan-perusahan Belanda dan keturunan Tionghoa. Begitu juga filem dokumentasi, pemerintah kolonial sangat banyak memproduksi rekaman situasi di berbagai wilayah Indonesia yang saat ini tersimpan di Filmmuseum Amsterdam, Tropenmuseum dan Leiden. Pasca Revolusi (1945-1950), timbul sebuah usaha membangun ‘keindonesian’ dalam sinema Indonesia. Usmar Ismail dan kawan-kawan memproduksi Darah dan Doa (1951) yang secara keseluruhan produksinya berasal dari Indonesia. Meski masih mengekor dengan bahasa ‘estetika filem’ para pendahulu di Barat, Usmar cukup bisa jadikan sebagai tonggak perkembangan sejarah perfileman Indonesia. Setelah itu muncul nama-nama besar lainnya seperti; Djadoeg Djajakusuma, Bachtiar Siagian, Sjumandjaja, Teguh Karya dan lainnya, yang karya-karya mereka tidak kalah dari sutradara besar dari belahan dunia lain. Ada ratusan sutradara dan pekerja filem yang muncul sesudahnya, hingga kehancuran filem industri Indonesia pada akhir 1980an.
Bagaimana dengan filem dokumenter di Indonesia?
Setelah masa kolonial, hampir tidak ada catatan tentang produksi filem dokumenter di Indonesia. D.A. Peransi pernah menulis, Perfini sempat membuat beberapa pada tahun 1950an dan 1960an (D.A. Peransi, 2005, 46). Namun, tidak pernah tercatat judul dan tentang apa filem-filem yang diproduksi oleh perusahaan yang didirikan Usmar Ismail tersebut. Aktivitas dokumenter baru mulai aktif setelah Televisi Republik Indonesia (TVRI) hadir bagi masyarakat Indonesia pada 17 Agustus 1962, berupa program-program yang bersifat pendokumentasian dan reportase (kegiatan jurnalistik). Membaca perkembangan filem dokumenter Indonesia, secara langsung kita membaca sejarah perkembangan televisi satu-satunya itu dari masa Soekarno dan hingga akhir Orde Baru. Ada beberapa kegiatan produksi filem dokumenter atas inisiatif lembaga swasta seperti PUSKAT-Yogyakarta, pada tahun 1980an hingga 1990an memproduksi filem-filem penyuluhan untuk para petani. Ada juga Perusahaan Film Negara (PFN), perusahan-perusahan milik negara, dan perusahaan swasta nasional untuk kepentingan dokumentasi mereka atau untuk kepentingan penyuluhan. Sutradara yang cukup aktif memproduksi dokumenter dengan pertimbangan sinematik dan estetik pada periode 1960an – 1980an, yang muncul hanya D.A. Peransi. Itu pun karya-karyanya sangat sulit untuk dapat diakses (tersimpan di Eikon Film, München dan Ikon-Televisie Hilversum).
Hingga periode akhir pemerintahan Orde Baru, keadaan yang sama masih berlangsung, meski ada banyak produksi-produksi filem dokumenter yang diproduksi kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang diproduksi secara sembunyi-sembunyi dan berizin, tapi hampir semuanya menitikberatkan pada penyuluhan, advokasi dan reportase. Hampir tidak ada yang menjadikan unsur sinematik dan estetik menjadi bagian penting dalam dokumenter-dokumenter tersebut. Apalagi yang diproduksi oleh televisi pemerintah atau lembaga-lembaga negara, secara pasti diperuntukkan untuk propaganda dan penyuluhan.
Bagaimana filem dokumenter pasca Reformasi (1998)?
Sebuah era keterbukaan telah hadir, runtuhnya Orde Baru—rezim militer yang sentralistik, buah gerakan mahasiswa dan resesi finansial 1997. Muncul berbagai inisiatif dari masyarakat dalam mengisi keterbukaan itu. Keterbukaan pers, juga menambah euforia era baru demokrasi di Indonesia. Namun, adakah yang berubah dari produksi filem dokumter kita? Di sinilah letak persoalannya. Ada banyak produksi filem dokumenter yang lahir pasca Reformasi, dengan berbagai isu yang diangkat. Yang paling menonjol adalah mengangkat trauma-trauma Orde Baru seperti yang dilakukan Lexy Rambadeta dan beberapa aktivis lainnya. Tema kemiskinan dan orang-orang tertindas menjadi tema utama filem-filem dokumenter pada masa ini. Yang paling menarik adalah meski pada tahun 1999, telah lahir inisiatif dari Komunitas Film Independen (Konfiden) yang menghadirkan Festival Film Pendek Indonesia, namun hampir seluruh karya-karya yang hadir adalah fiksi. Komunitas-komunitas filem di kampus-kampus, kota-kota besar maupun kecil di Indonesia, telah melahirkan generasi baru dunia perfileman Indonesia. Dari pertemuan saya dengan beberapa komunitas (terutama di Jawa, Bali dan Lombok) pada tahun 2001 untuk riset seni video di Indonesia bersama ruangrupa, hanya beberapa gelintir yang memproduksi dokumenter, dengan referensi bahasa filem yang sangat terbatas; reportase berita televisi atau gaya penyuluhan Orde Baru.
Mulai menjamurnya televisi swasta pasca Reformasi, juga memberikan dampak pada produksi dokumenter. Muncul berbagai program dokumenter, seperti Anak Seribu Pulau (ada banyak sutradara yang terlibat untuk program ini seperti; Garin Nugroho, Abduh Azis, Yudhi Datau yang juga seorang juru kamera, Nan Achnas, Wisnu Adi, dan lain-lain) dan berbagai program peliputan ala jurnalistik televisi. Mayoritas produksi dokumenter televisi dengan gambar-gambar cantik ini, dikuasai oleh alumni Institut Kesenian Jakarta. Hingga sekarang, ada beberapa stasiun televisi yang menghadirkan program dokumenter/reality show tentang petualangan—yang sering juga dianggap dokumenter yang edukatif bagi beberpa kalangan, seperti Si Bolang, Jejak Petualang dan sebagainya. Di sisi lain, ada banyak sutradara luar (internasional) yang mulai masuk ke Indonesia dalam memproduksi filem dokumenter. Sebut saja seperti Leonard Retel Helmrich, Curtis Levy, Robert Lemelson, Karel Doing, dan banyak lagi lainnya yang menjadikan isu-isu di Indonesia sebagai ‘makanan lezat’ karya filem mereka. Jakarta International Film Festival (Jiffest), juga memberi andil dalam memunculkan pembuat-pembuat dokumenter dengan program kompetisi script writing-nya yang disponsori Jan Vrijman Foundation—IDFA. Selain Jiffest, di Yogyakarta hadir Festival Film Dokumenter, yang secara khusus menghadirkan filem dokumenter. Lalu, Festival Film Indonesia (FFI) yang memasukkan sesi filem dokumenter sebagai salah satu penjuriannya. Yang paling ‘heboh’ tentu kompetisi Eagle Award yang diadakan oleh Metro TV. Pada masa sepuluh tahun terakhir, muncul juga kelompok/organisasi seperti In-Docs, Offstream, Forum Lenteng, Ragam, dan Komunitas Film Dokumenter, yang semuanya mendorong dan fokus pada pengembangan dokumenter di Indonesia.
Opening Title, Anak Seribu Pulau
Lalu, bagaimana situasi filem dokumenter Indonesia sekarang?
Dalam sebuah tulisan, D.A. Peransi menulis bahwa dunia filem kita itu terjebak dalam ortodoksi, sehingga tidak dapat menbaca perkembangan lanjut dari filem (D.A. Peransi: 2005, 30). Keterbatasan pengetahuan kita tentang ‘bahasa’ audiovisual membuat filem tidak berkembang dalam membaca fenomena baru, apalagi melihat hubungannya dengan berbagai ‘kemungkinan’ dalam sejarah filem dan media seperti; filem eksperimental, filem avant-garde, filem-filem hibrida, dan seni video (video art). Usaha untuk merumuskan dokumenter masih terjebak dalam paradigma ‘mengemas informasi’ layaknya dunia pemberitaan di media massa, terutama di Indonesia. Padahal, ada banyak kemungkinan yang bisa dilakukan dalam bereksperimentasi dalam penggunaan bahassa dokumenter. Dalam buku Introducing to Documentary, Bill Nichols menulis ada enam gaya filem dokumenter, yaitu; 1) Poetic Mode, dengan bangunan struktur sinematik dan estetik yang sangat ketat. Filem dengan gaya ini memainkan irama dan emosi penonton dalam kemasan naratifnya; 2) Expository Mode, yang lebih menitik beratkan distribusi informasi objektif, seperti berita; 3) Observatorial Mode, sering juga disebut dokumenter keterlibatan, dimana pembuatnya mengikuti kehidupan sehari-hari subjek-nya dalam jangka waktu tertentu; 4) Participatory Mode, menempatan keterlibatan secara penuh pembuat dengan subjeknya dimana posisi keterlibatan subjek menjadi sangat penting; 5) Reflexive Mode, membangun kesadaran tentang tentang membahasakan realitas melalui filem. Gaya ini sering dipakai dalam filem-filem eksperimental yang menjadikan kenyataan sebagai subjeknya; 6) dan Performative Mode, menghadirkan pembuat sebagai bagian dari dokumenter, dalam gaya ini Nichols memasukan reality show sebagai bagian dari gaya Performative Mode (Bill Nichols: 2010, 31-32. ed-2).
Dalam sepuluh tahun terakhir, di Indonesia saya melihat hubungan antara apa yang disebut dokumenter dengan sinema masih sangat jauh. Hubungan itu hanya terjadi pada tingkat teknis, seperti penggunaan kamera, suara dan pengorganisasiannya. Dokumenter masih ditempatkan sebagai produk jurnalistik dan bukan sinema. Sehingga bingkai bahasa lebih banyak menekankan bagaimana mengemas informasi. Selain itu, ada banyak pembuat filem dokumenter kita terjebak dalam bahasa ‘televisi’ (termasuk di dalamnya; berita, reality show, infotaiment, dan bahkan sinetron), yang notabene mementingkan hiburan dengan memainkan emosi penonton yang kadang jauh dari realitas; seperti sinetron. Dalam sebuah wawancara saya dengan Abduh Aziz—seorang pembuat dokumenter dan aktivis perfileman mengatakan, para pembuat filem kita masih terjebak dalam ‘stigma korban’ (Jurnal Footage: 2010). Saya tentu sependapat dengan yang dikatakan oleh Abduh, karena memang pada dasarnya ‘korban’ adalah berita bagus dan menjual bagi kalangan media massa—seperti jargon dalam dunia jurnalistik; “Bad news is good news“. Yang paling mengkhawatirkan adalah menjadikan ‘korban’ tersebut sebagai ‘produk’ yang menjual.
Dalam sejaran seni rupa modern Indonesia, pada tahun 1938, Persatuan Ahli-Ahli Gambar (PERSAGI) yang dimotori oleh S. Sudjojono, telah mengkritik gaya lukisan Mooi Indie (Indonesia jelita), yang menggambarkan hanya gunung, sungai dan sawah (trimurti). Baginya, produk visual Mooi Indie hanyalah melayani kebutuhan turisme atau pelancong pensiunan kaum pekerja Eropa. Paham ini sangat dekat dengan gambaran ‘ideal’ terhadap situasi masyarakat kolonial yang dibayangkan masyarakat Eropa di masa lalu. Cara pandang ‘melayani’ kebutuhan turisme ini, menurut saya masih berlaku bagi sebagian para pembuat dokumenter kita. Apabila kita melihat filem dokumenter kita sekarang, terutama yang dihadirkan oleh televisi, apa yang pernah dikritik oleh S. Sudjojono masih berlaku, meski dalam bentuk yang lain. Sekarang, bukan hanya pemandangan alam atau Indonesia molek yang dijual, namun apa yang disebut Abduh; stigma korban yang menjadi bahan turisme model baru.
Tidak ada yang salah mengangkat persoalan ‘korban’ sebagai tema dalam dokumenter. Persoalannya, ada banyak dokumenter kita mengobjektifikasi ‘subjeknya’, seperti; persoalan kemiskinan menjadi daya jual utama bukan sisi sinematik dan objektifitas dalam mengemas filem tersebut. Harus ada usaha yang lebih keras bagi kawan-kawan pembuat dokumenter yang bertemakan ‘korban’ tersebut, karena sering terjebak dalam eksotisme isu itu sendiri. Menurut saya, yang namanya ‘filem’ bukanlah itu, ada persoalan objektifitas, sinematik dan artistik yang saling berhubungan. Apalagi di dalam filem dokumenter material utamanya adalah ‘kenyataan’. D.A. Peransi menulis, filem dokumenter mengambil kenyataan-kenyataan objektif sebagai bahan utamanya, namun kenyataan itu ditampilkan melalui interpretasi pembuatnya. Karena itu kenyataan yang biasa bisa menjadi baru bagi penonton, bahkan membuka perspektif baru. Di sinilah letak hakikat dari filem dokumenter (D.A. Peransi: 1986). Periode awal filem pribumi Indonesia, Usmar Ismail pernah mengatakan bahwa para pembuat filem kita sering berlaku ‘tempel-sambung-hantam-kromo’, yang penting kelihatan ‘jalan’ dan logis, kebanyakan terlepas dari kerja dengan prinsip montase (Usmar Ismail: hal. 20-25, 1953).
Bagaimana eksperimentasi dalam filem dokumenter kita Sekarang?
Dalam pandangan Bill Nichols tentang berbagai gaya dalam dokumenter, ia memasukan Man with a Movie Camera (Dziga Vertov, 1929) dalam gaya filem dokumenter Reflexive Mode, yang menekankan eksperimentasi bahasa dan temuan-temuan baru dalam mengemas kenyataan. Tentu pilihat Nichols bukan hanya karena filem ini mengambil kenyataan dengan kekuatan mata kamera seperti yang dilakukan Vertov. Namun, Man with a Movie Camera, mampu memberikan tawaran ‘bahasa’ dalam merepresentasikan kenyataan sebuah masyarakat. Dalam sejarahnya, hubungan antara filem dokumenter dengan filem-filem eksperimental sangat dekat. Selain Vertov, adalan Alain Resnais, Chris Marker, Jonas Mekas, Werner Herzog, Jean-Luc Godard, dan banyak lagi lainnya. Ideologi dalam memandang kenyataan dalam perspektif bahasa visual-lah yang mendekatkan dua genre ini. Dalam beberapa festival yang sempat saya hadiri, seperti Festival Film Pendek Internasional Oberhausen (Kurzfilmtage), Jerman dan Images Festival di Toronto, Kanada, hampir 50% karya-karya yang dihadirkan merupakan karya dokumenter dengan eksperimentasi-eksperimentasi bahasa filem yang beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Masalah eksperimentasi ini sering disalahartikan oleh para pembuat dokumenter kita. Mereka memandang bahwa eksperimentasi itu dilihat hanya sebagai kemasannya belaka, yaitu aneh seperti layaknya karya-karya seni video (video art). Padahal, ekperimentasi itu juga berlaku pada bagaimana filem dokumenter itu membangun perspektifnya dalam isi. Contohnya filem Milestones (1975) karya Robert Kramer dan John Douglas, yang secara jelas memposisikan diri sebagai kritik keras pada sejarah hitam Amerika. Namun, Kramer dan Douglas mampu memainkan pertanyaan kepada penonton tentang kenyataan ‘dokumenter’ dan ‘fiksi’. Tidak salah kalau Werner Herzog—salah seorang tokoh New German Cinema dan sutradara dokumenter—tidak percaya pada perbedaan filem fiksi dan dokumenter (Eric Ames: Cinema Journal, 2009). Baginya, semua ‘kenyataan’, saat dibingkai dengan filem, dia punya muatan fiksinya.
Milestones (1975), Robert Kramer dan John Douglas
Minimnya ekperimentasi ‘bahasa’ dan isi ini menurut saya disebabkan minimnya pengetahuan tentang sinema. Tentu saya tidak menyalahkan para pembuat dokumenter kita, karena fasilitas dan akses pengetahuan sinema kita masih sangat kurang, apalagi dokumenter. Meski banyak workshop dan pelatihan yang dilakukan oleh beberapa komunitas dan organisasi, yang terjadi adalah pengulangan kembali pada ‘kecelakaan’ pada pengetahuan tentang filem dokumenter itu sendiri. Pelatihan-pelatihan tersebut lebih banyak mencetak para jurnalis audiovisual dari pada sineas filem dokumenter yang sesungguhnya.
Dokumenter Indonesia, masih ada harapankah untuk menjadi lebih baik?
Salah satu yang mengganjal saya adalah melihat perkembangan terakhir dunia pendidikan sinema kita, adalah ditutupnya Jurusan Kajian Film di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, di mana seharusnya lembaga inilah yang paling terdepan mengembangkan pengetahuan tentang sinema di Indonesia melalu kajian-kajiannya.
Melihat perkembangan sepuluh tahun terakhir, dengan mulai menjamurnya pembuat filem dokumenter Indonesia, tentu saya sangat optimis dengan perkembangan tersebut. Mulainya berdiri banyak komunitas, kelompok, organisasi dan lembaga yang secara khusus mendalami dunia filem dokumenter merupakan indikasi positif bagi filem dokumenter Indonesia. Beberapa kelompok mulai secara spesifik mendalami bidang-bidang tertentu, seperti; pemberdayaan, advokasi, dokumentasi, festival, riset, distribusi pengetahuan sinema dan ekperimentasi. Lembaga/Komunitas seperti Kampung Halaman, Forum Lenteng, Ruangrupa, Ragam Sensory Ethnography Lab, Indocs, Festival Film Dokumenter Yogyakarta dan lain-lain, tentu dapat memberi ruang pengetahuan dan komunikasi dalam pengembangan filem dokumenter di Indonesia. Cita-cita filem kita yang dibayangkan oleh para founding father dunia perfileman Indonesia, sebenarnya sudah digenggaman, yang belum adalah pengetahuan sinema. Harus ada usaha yang lebih dari para aktivis sinema kita (bukan hanya filem dokumenter) untuk memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan sinema kepada para pecinta filem atau pemirsa yang lebih luas.
Jadi, marilah kita bekerja untuk pengetahuan sinema Indonesia. Jangan percaya bahwa sinema kita sudah dalam fase yang baik. Karena itu hanya ilusi (yang tercipta oleh gagasan industri filem) yang akan hilang tanpa bekas.
*Makalah Seminar Dokumenter Indonesia: Sejarah, Pasca Orde Baru, Festival Film Dokumenter (FFD), Yogyakarta, 8 Desember 2011.
Daftar Pustaka
- Teori dan Estetika Film, diktat kuliah Akademi Sinematografi LPKJ, 1970. Diterbitkan kembali dalam buku FILM/MEDIA/SENI, D.A. Peransi, editor Marseli Sumarno, FFTV-IKJ Press, 2005.
- How Do We Can Define Documentary Film?, Bill Nichols, Introduction to Documentary, 2nd Edition, Indiana University Press, 2010.
- Abduh Azis: Tentang Sejarah, Filem, Dokumenter, Video Komunitas dan Cita-Cita Perfileman, Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net), 2010.
- Majalah Star News, yaitu; No. XV Tahun 1953. Halaman 10-14 No. XVI Tahun 1953, halaman 13, 16, 20 & 21.
- Herzog, Landscape and Documentary, Eric Ames, Cinema Journal 48, No. 2 Winter2009, p. 69.
[/tab_item] [/tab]