Pada edisi terakhir ini, Armijn Pane membahas lebih jauh lagi film Enam Djam di Jogja. Bila di tulisan sebelumnya Armijn Pane lebih membicarakan tentang sosok Usmar Ismail, yang menurutnya telah kehilangan ‘keberanian’ sebagai sutradara, maka di tulisan ini Armijn Pane membedah dengan detil moda naratif yang digunakan oleh Usmar Ismail. Tidak hanya Enam Djam di Jogja saja yang dibahas, Armijn Pane juga mengulas film lain yaitu Nusakambangan (Henry L. Duarte, 1950) dan Inspektur Rachman (Nawi Ismail, 1950) yang menurutnya juga melakukan kesalahan yang sama. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa Armijn Pane sesungguhnya mengkritik cara pembuatan film di Indonesia saat itu secara keseluruhan, yang menurutnya belum betul-betul mendayagunakan potensi bahasa film dengan terukur, baik, dan eksperimental.
Selamat membaca!
—
Baca bagian pertama di sini: “Enam Djam di Djogja (1)“
Di dalam film Enam Djam di Jogja, pergantian angle sering seperti di dalam Darah dan Doa serta Tjitra, tetapi di samping itu perselingan sequence dilakukan juga, sehingga mendapat continuity yang paralel, yang kemudian lalu bertemu. Jalan cerita yang paralel itu merupakan jalan perjuangan ilegal di dalam kota dan eretan paralel yang kedua diwujudkan dengan memperlihatkan perjuangan di luar kota. Kamera selamanya melihat dari sudut perjuangan Indonesia, tidak pernah ditunjukan dari arah musuh. Ada seorang peranan dikemukakan yaitu Soetedjo, seorang polisi yang memihak musuh, tetapi dia diperlihatkan dari sudut perjuangan kita, artinya dia serta teman-temannya tidaklah dipergunakan menjadi paralel yang ketiga, (atau yang kedua terhadap paralel ilegal di kota dan perjuangan di luar kota bersama-sama). Oleh karena itu, serangan dari pihak kita nantinya di dalam film, tidak terasa besar dan hebat sebagai yang hendak dilukiskan, sebab tidak diperlihatkan kekuatan pihak yang diserang. Karena itu seolah tiada klimaks dalam film itu.
Film Rusia yang sekarang beredar, misalnya yang menggambarkan perjuangan sekitar Stalingrad dan film yang melukiskan perjuangan di daerah Krim dalam perang dunia yang kedua, keduanya itu memberi montage yang paralel, pihak Rusia menjadi eretan pertama, lalu eretan pihak Jerman menjadi kedua, tetapi keduanya sama-sama penting sequence-nya, meskipun dengan sesuatu akting, pihak musuhnya menjadi kelihatan lebih lemah dan pasti akan kalah. Film-film gangster Amerika juga begitu rencananya. Begitu pula film-film cowboy.
Berat dugaan, Usmar Ismail tidak berani membawa-bawa pihak Belanda di dalam filmnya itu, sedangkan peranan Soetedjo saja sudah mungkin menimbulkan kemungkinan filmnya itu tidak akan lepas kepada peredaran. Resiko itu tidak mau dia menghadapinya, meskipun menurut penglihatan kita, secara avant-garde mestinya dicobanya memberi kekuatan kepada filmnya, dengan cara-cara film yang memberi harapan akan dapat juga meloloskan produksinya dari sensor.
Bagaimana juga, dibanding dengan kedua film lainnya Enam djam di Jogja itu sudah tidak sepi lagi iramanya, malahan di dalam riil 1 – riil 31, Usmar Ismail terlalu memotong-motong sequence jalan cerita pertama dan jalan cerita yang kedua lalu terlalu menyeling-nyelingkannya, sehingga kurang jelas jalan masing-masing paralel itu, lalu kemudian kurang terang pertemuannya.
Eretan sequence dalam ketiga riil itu ada begini :
- Di waktu pagi, scene sirene, lalu beberapa tank bergerak (kelihatannya di dekat alun-alun keraton, yaitu bagi orang yang kenal Jogja).
- Di waktu pagi, seorang laki-laki keluar dari keraton, berpakaian abdi dalem, berjalan awas-awas, kemudian masuk rumah, naik tangga, dilihati oleh seorang perempuan baru selesai sembahyang, kemudian laki-laki itu di kamar tingkat dua, sedang mengganti pakaian, masuk perempuan tadi; percakapan antara keduannya, sehingga ketahuan, nama pemuda itu ialah Mochtar, dia biasanya tidak berpakaian abdi dalem, dan dia baru menumpang di rumah itu.
- Di waktu pagi, perempuan-perempuan tani masuk kota melewati penjagaan polisi pendudukan; dikemukakan seorang perempuan serta seorang polisi gemuk; diperlihatkan, polisi gemuk itu gila perempuan.
- Dua orang perempuan di kali sedang mencuci pakaian; kemudian Mochtar di terali jalan memandang ke arah kedua perempuan itu; polisi gemuk datang; ternyata kedua laki-laki itu teman; dan ketahuan, mata Mochtar mata orang yang kurang tidur, dan Soetedjo tidak merasa curiga; muka salah seorang perempuan mencuci itu tegas diperlihatkan; Mochtar dan Soetedjo pergi hendak naik jeep.
- Seorang perempuan sedang memilih-milih kain di depan lemari yang sudah banyak kosong; percakapan antara dia dengan suaminya, ternyata pegawai kantor pos, sedang ragu-ragu hendak menyeberang; kemudian masuk perempuan yang tadi mencuci di kali; ternyata dia anak pegawai kantor pos tadi, bernama Wiwik.
- Wiwik masuk ruang restoran; percakapan dengan seorang pemuda, tampak capek, kurang tidur, ternyata nanti namanya Soedjono; soal bapaknya hendak menyeberang diberitahukan oleh Wiwik.
- Perempuan muda yang melewati penjagaan polisi dalam sequence ketiga, masuk pintu rumah pegawai kantor pos, disambut oleh Ibu Wiwik; ternyata seorang anaknya laki-laki ada di luar kota; percakapan antara pegawai kantor pos dan istrinya; perempuan muda (nanti ternyata bernama Endang) ganti pakaian sarung dengan pakaian jurk, sambil diperlihatkan dia penyelundup surat dari luar kota.
- Di restoran, Soetedjo dan Mochtar bersenang-senang duduk; Wiwik menyatakan herannya kepada Soedjono, apa sebabnya Mochtar bisa berubah suka bergaul dengan pihak musuh; kemudian masuk Endang, melihat adanya Mochtar dan Soetedjo, melewati Soedjono memberi isyarat kepada Endang, supaya masuk ruang lain; Wiwik, Soejono serta Endang di ruang dapur, bercakap-cakap tentang Mochtar, istimewa Endang, rupanya teman Mochtar dulu, sangat benci kepada sikap Mochtar; Endang menyerahkan surat yang dibawanya dari luar kota kepada Soedjono, sambil menyebut alamatnya, yang dinyatakan dengan nama rahasia; Endang bertanya, siapa gerangan orangnya itu; waktu itu masuk di pintu, Mochtar, kelihatan sebagai orang yang sudah putus itu, karena Endang tidak senang lagi kepadanya.
Kelihatan pada ketiga riil itu diperkenalkan kepada kita satu-satu peranan film itu, kemudian dipertemukan di satu tempat, yaitu restoran. Di dalam riil-riil kemudian akan kita ketahui, Endang membawa surat itu selamanya dari luar kota ke dalam kota itu ialah untuk Mochtar, melalui Soejono, dan Mochtarlah pemimpin perjuangan di dalam kota, dengan tidak setahu Endang, Wiwik dan Soetedjo. Jalan cerita dalam ketiga riil itu dapat dengan gampang kita ceritakan, yaitu kalau tidak terikat menurut urutan kejadian yang diberikan oleh continuity ketiga riil itu. Misalnya tentang Mochtar dapat kita ceritakan, dia keluar dari keraton, pulang ke rumahnya atau tempatnya menumpang, ganti pakaian, lalu pergi ke kali melihat Wiwik, bertemu dengan Soetedjo, yang sudah lama ditemaninya, supaya jangan dicurigai sesudah mempercakapkan kedua anak perempuan di kali itu, mereka pergi minum-minum di restoran yang diurus oleh pemuda dan pemudi. Secara itu juga dapat diceritakan tentang Endang dan tentang Wiwik.
Shooting-script yang kita catat dari eretan gambar itu, memang kelihatan banyak membawa pergantian sequence jalan cerita yang paralel, karena itu baik secara film. Tetapi di sini, memotong-motong itu dilakukan terlalu, artinya tidak dengan mengingat persambungan yang lancar antara satu sequence dengan sequence berikutnya. Sequence pertama berpindah kepada sequence kedua masih agak lancar, karena ada diperlihatkan alun-alun kemudian pada sequence kedua, mula-mula ditunjukkan sesuatu tempat, di dalam keraton. Sebetulnya, mungkin karena sangkaan saya atau dugaan saya atau pun karena saya sudah pernah di Jogja, maka kedua sequence itu bagi saya ada bersambungan, yaitu berhubungan oleh tempat yang sama di samping waktu (pagi) yang sama. Sebenarnya, perpindahan dari sequence kedua hendaknya diatur dengan suatu bentuk yang sama, misalnya: suatu gerbang keraton, atau suatu tembok keraton diperlihatkan pada akhir sequence pertama, lalu sequence kedua memperlihatkan tembok itu dari balik keraton sendiri, barulah diperlihatkan Mochtar.
Keempat sequence pertama hendak diikat hanya dengan waktu yang sama yaitu waktu pagi, tetapi itu tidak cukup, apalagi kalau pada akhir tiap-tiap sequence itu ada orang yang bergerak, maka harapan mata kita ialah melihat lanjutan gerak itu dalam sequence yang berikut. Begitulah pada akhir sequence kedua, Mochtar bergerak hendak pergi dari kamarnya, tetapi di sequence berikutnya, diperlihatkan bentuk tubuh perempuan tani, apalagi ambilan Mochtar dari dekat, sedang ambilan perempuan tani itu panorama shot (dari jauh). Di dalam hal itu mata kita kecewa, lalu menjadi heran, bingung, tidak mengerti, jalan cerita terasa terputus. Demikian juga, di akhir sequence ketiga, Endang berjalan kearah kita, tetapi sequence keempat mulai dengan perempuan duduk, perempuan lain duduk, artinya tidak bergerak, baik orangnya, maupun keadaannya. Gerak Endang itu baru dilanjutkan atau dilengkapkan dalam sequence tujuh, jadi berantara tiga sequence. Tidak heran, kalau kita bingung, tidak mengenal Endang, waktu dia tiba-tiba masuk ruang rumah orang tua Wiwik pada sequence tujuh. Begitu juga kita heran dan tidak kenal, waktu Wiwik tiba-tiba masuk ke ruang dua orang laki-istri yang sedang bertukar pikiran dalam sequence lima, sedang tadinya dalam sequence empat dia kita tinggalkan duduk di kali itu tidak bergerak, sedang sequence itu berakhir dengan Mochtar dan Soetedjo bergerak, lalu disambung oleh sequence kelima, mulai dengan perempuan di depan lemari, duduk. Dari enam kepada tujuh, dari tujuh kepada delapan, di situ juga tidak ada perpindahan dan persambungan yang lancar. Di dalam memotong-motong jalan cerita yang terjadi dari beberapa yang paralel, penyusun shooting-script ingat akan perlunya memotong-motong, tetapi lupa, memotong-motong dengan menghilangkan continuity, pekerjaan itu malahan tidak secara film. Menurut penglihatan kita, di dalam hal itu, penyusun skenario lebih baik mengurangi sequence-nya di dalam ketiga riil itu, artinya: sequence-sequence yang diikat oleh satu peranan, supaya disatukan saja menjadi satu sequence. Pada permulaan atau pembuka film malahan lebih baik mulai dengan sequence yang panjang, sehingga memberi pembukaan yang tenang; seenaknya memperkenalkan peranan-peranan dan kejadian-kejadian yang akan membawa cerita selanjutnya. Malahan bagi “Enam djam di Jogja” pembukaan yang tenang itu dapat menggambarkan kepatahan semangat rakyat di kota.
Kesalahan-kesalahan di dalam film Indonesia. Memang juga soal itulah yang paling sulit di dalam menyusun skenario dan di dalam pekerjaan montage. Tetapi perkembangan film dalam negeri bergantung juga kepada sanggup tidaknya kita menyusun continuity yang lancar, yang hidup dan teratur menurut satu ikatan yang tegas jalannya.
Di dalam film Nusakambangan (Henry L Duarte, 1950), seorang lepasan dari Nusakambangan pulang ke rumahnya, disambut oleh isterinya di luar rumah; diceritakan isterinya, anak-anak mereka sudah besar, selama ini dikatakannya bapak mereka di luar negeri; baiklah suaminya itu pergi dulu ke kota mereka dulu, di sana ada pakaiannya; kalau sudah bersih dan berpakaian bagus, datanglah: nanti akan diceritakannya kepada anak-anaknya, bapak mereka sudah kembali dari luar negeri; orang dari Nusakambangan itu pun berjalan, tidak kelihatan lagi dalam gambar, tinggal istrinya. Sequence berikutnya, ialah dalam ruang rumah, dua orang anak perempuan, sudah perawan, membicarakan bapaknya sudah pulang dari luar negeri, kemudian percakapan itu dicampuri oleh ibunya serta saudara mereka laki-laki; mereka bersiap-siap. Di dalam persambungan kedua sequence itu terasa ada yang putus. Kalau ditanya kepada penonton, tidak dapat di terangkannya, tetapi dia merasa tidak puas, pandangannya seolah-olah tertipu, karena gambar atau sesuatu ucapan pada penutup sequence dulunya tidak ada menggambarkan sesuatu yang akan ada pada gambar pembuka sequence berikutnya: berupa bentuk, berupa gerak, berupa pengertian, yang sama atau yang bertentangan dengan bentuk, gerak, pengertian dalam gambar penutup sequence duluan. Dapat diduga dengan mempergunakan fade out, dissolve, dan semacamnya. Sebaiknya sequence dalam Nusakambangan itu diikuti oleh sequence tentang lepasan Nusakambangan itu sampai di rumahnya yang lama, berpakaian, lalu menuju ke kota tempat istrinya, lalu dalam perjalanannya misalnya dia cerita kepada orang lain, dia hendak bertemu istrinya, sudah lama tidak bertemu. Lalu waktu mengucapkan kata “istri saya”, mulailah gambar pembuka sequence berikutnya, ialah istrinya sedang bercakap-cakap dengan anak-anaknya tentang bapak mereka sudah pulang dari luar negeri.
Continuity yang terputus-putus begitu sering kita bertemu di dalam film Nusakambangan itu, begitu juga di dalam produksi film cerita Perusahaan Film Negara yang terakhir Inspektur Rachman (Nawi Ismail, 1950). Misalnya di dalam riil 3, di dalam kamar komisaris polisi bercakap-cakap empat orang, komisarisnya sendiri, anaknya laki-laki yang menjadi inspektur polisi, anaknya perempuan serta inspektur Rachman, baru saja disambut sebagai tenaga baru di tempat itu; Rachman dan anak perempuan komisaris itu pergi bersama-sama, karena hendak ke tempat ibu inspektur Rachman; tinggal komisaris serta anaknya, berbicara sebentar. Sesudah sequence itu, mulai sequence baru: seorang perempuan tengah umur melihat-lihat sebuah foto, tampak seorang laki-laki, perempuan serta anaknya; ingatan perempuan itu kepada jaman dulu, digambarkan, nyatalah dia itu istri Mochtar yang sudah diceritakan pada sebelum sequence itu; kemudian dia melihat-lihat foto seorang pemuda, ternyata Rachman berpakaian polisi. Sesudah sequence itu kita lihat sequence tentang inspektur Rachman serta anak perempuan komisaris berjalan sampai sebuah rumah; kemudian kelihatan perempuan itu lagi; lalu Rachman dan temannya anak komisaris itu masuk ke tempat ibunya itu.
Jelas kelihatan, memotong continuity kurang tepat. Jalan cerita di bagian itu dibawa oleh inspektur Rachman, artinya dialah yang pegang continuity secara istilah di studio, karena itu, kalau bagian cerita itu dipotong-potong atas beberapa sequence, maka inspektur Rachman lah yang menjadi penyambung sequence itu semuanya. Pada sequence pertama dia bergerak, dikatakanlah dalam percakapan para peranan, dia serta Madja (nama sebenarnya) hendak ke rumah ibunya, maka dalam sequence berikutnya, gerak serta isi percakapan itu hendaknya dipenuhi, tetapi gerak itu serta tujuan gerak itu yang sudah diramalkan dengan ucapan itu, diselingi oleh satu shot lain, kemudian oleh satu sequence. Semestinya, sesudah diucapkan tentang Inspektur Rachman hendak ke rumah ibunya, lalu dia serta anak komisaris bergerak keluar pintu, maka sequence baru hendaklah di teruskan dengan sambungan gerak itu, misalnya mereka berdua berjalan sampai rumah ibu Rachman, sebagai sudah digambarnya di dalam film itu juga. Percakapan komisaris dengan anaknya dapat didahulukan, kalau isi dialog itu memang perlu, misalnya diucapkan sebelum Rachman masuk, sebab memang juga komisaris dan anaknya itu sudah bercakap-cakap sebelum itu. Kalau sequence kedua, hendak merupakan ibu inspektur Rachman juga, maka penyambung continuity janganlah gerak inspektur Rachman, melainkan cukup ucapan tentang dia hendak ke rumah ibunya, lalu sesudah mengucapkan maksud itu janganlah dia bergerak hendak berjalan, melainkan dengan segera dissolve atau cara teknis lain, memperlihatkan sequence ibu Rachman sebagai diceritakan di atas tadi. Tetapi juga janganlah ada lagi sequence inspektur Rachman serta Madja, maka sequence tentang ibu tidak dapat begitu, melainkan sesudah sequence keluar dari kamar komisaris, teruslah sequence Rachman dan Madja, kemudian mereka masuk rumah ibu Rachman, barulah di ketika itu kelihatan ibu Rachman, artinya inspektur Rachman serta Madja yang jadi pengikat continuity. Dapat juga di dalam sequence berjalan-jalan dengan Madja itu, Rachman bercerita tentang ibunya atau Madja tentang ibu Rachman, lalu serentak itu dapat mulai sequence ibu Rachman melihat foto itu. Rachman dan Madja tidak lagi memotong sequence itu, tetapi sesudah ibu Rachman sendiri serta Madja, sebab di situ dapatlah foto Rachman itu menjadi penyambung continuity.
Contoh continuity yang terputus-putus ialah juga dalam film Inspektur Rachman itu, ketika Rachman dan Madja berjalan-jalan, menyatakan perhubungan mereka yang rapat, kalau saya tidak salah ingat, ditutup dengan mereka berdua di sebuah ayunan; sequence itu terus diganti dengan seorang tua dan dua orang pemuda bercakap-cakap tentang sewa rumah, disusul oleh gambar seorang masuk jendela, disusul temannya, kemudian seorang laki-laki tidur, kedua pemuda tadi sedang mau mencuri uang orang yang mau tidur itu. Kedua sequence itu dapat berurut, asal ada penyambungnya, sebagai sudah disebut tadi.
Di tempat-tempat lain dalam film itu masih ada beberapa kali diperlihatkan kekurangan rasa continuity. Malahan pada mempertemukan dua jalan cerita yang paralel, kelihatan juga kekurangan rasa itu, pada ketiga riil yang pertama, ialah pembuka jalan cerita. Mula-mula diperlihatkan perjalanan cerita tentang Mochtar, keluar dari bui, tidak dengan sengaja masuk gerombolan penjahat, tidak dapat menemui istrinya dan anaknya, serta dia ternyata tidak dapat diterima masyarakat dengan baik. Jalan cerita kedua yang sejajar, tentang Rachman mendapat latihan polisi di Sukabumi, kemudian ditempatkan di Jakarta, sebagai sudah diceritakan sequence nya di atas tadi. Kedua jajaran cerita itu baru dipertemukan, ketika ibu Rachman melihat foto itu, sehingga tahulah kita, Mochtar yang masuk gerombolan itu ialah bapak Rachman yang baru keluar dari sekolah polisi itu dan ditempatkan justru di Jakarta untuk membasmi penjahat-penjahat. Sequence foto itu ditaruh pada akhir riil 3. Panjangnya film, 11 riil, berarti pembukaan memakan kira-kira seperempat dari panjangnya, tinggal tiga perempat untuk jalan cerita ke puncak klimaks serta penutup cerita. Jalan cerita ke arah klimaks itu terlalu pendek, artinya pembukaannya terlalu panjang. Menurut taksiran saja, sequence foto itu hendaknya ditaruh di riil 2, pada penutupnya. Di situlah dipertemukan jalan hidup Mochtar dan dengan jalan hidup istri dan anaknya. Sesudah melihat foto Rachman pakaian polisi itu, teruslah diperlihatkan Rachman mendapat latihan polisi dengan sungguh-sungguh, lalu ditempatkan di Jakarta. Percakapan dalam kamar komisaris, tentang Rachman dan Madja hendak ke rumah ibu Rachman, kemudian sequence menyambut mereka berdua oleh ibu Rachman yaitu sequence yang sudah ada juga dalam film itu. Ibu Rachman tidak usah diperkenalkan lagi kepada kita dalam bagian itu, karena sudah kita tahu dia tadi dalam riil 2. Dengan jalan begitu, tentang Rachman mendapat tugas di Jakarta itu termasuk bagian cerita yang membawa spanning (ketegangan dramatik), bagian tengah cerita. Membawa spanning, karena kita tahu, dia akan mungkin menghadapi bapaknya sendiri, di luar kemauan mereka berdua.
Memang film Inspektur Rachman itu banyak mengandung kemungkinan tentang spanning dan mengharukan hati, tetapi pemotongan atas sequence itu kurang mengingat syarat-syarat continuity, karena itu kurang dapat mempergunakan kemungkinan-kemungkinan itu. Kekurangan di dalam continuity itu sudah tegas pada dua usaha film kita yang terbaik, apalagi di dalam film-film usaha produsen lain-lainnya. Hasil-hasil produsen Perfini dan P.F.N. kurang memuaskan continuity-nya, karena sudah berani memotong-motong jalan cerita sebanyak-banyaknya, lalu mengaduk-aduknya (menyeling-nyelingkannya) sebanyak-banyak, serta tiap-tiap sequence itu sudah terjadi dari bermacam-macam scene dan shot, tidak terikat oleh adanya tempat saja, tetapi sudah mempergunakan kamera sebaik-baiknya. Pada hasil produsen-produsen lain, sampai sekarang, kelihatan adanya kekurangan kesadaran continuity itu, lantaran tidak berani memotong-motong sebanyak-banyak, masih memandang laku cerita dari sudut tempat, sebagai menurut kebiasaan cerita di atas panggung tonil. Tetapi kedua golongan itu sama-sama masih kurang sadar akan cara-cara menyambung satu shot dengan shot lain, scene dengan scene, serta sequence dengan sequence berikutnya, supaya dengan jalan begitu mendapat urutan gambar yang lancar dan menyenangkan mata.
Mudah-mudahan produksi Perfini yang akan datang, sudah meningkat lagi di dalam hal continuity. Kalau filmnya yang ketiga itu nanti kenyataan masih juga kehilangan keberanian, maka kelemahan itu dapatlah diimbangi oleh kemajuan dalam hal kesadaran continuity itu. *
Endnotes