Rossellini pernah berkata, era sinema sudah habis dengan datangnya media televisi. Orang sudah enggan berduyun-duyun datang ke bioskop hanya untuk menonton filem. Bertahun-tahun setelah pernyataan itu, indikasi berakhirnya sinema tampak tidak terjadi. Sampai sekarang, orang masih dengan gembira mendatangi bioskop-bioskop. Fenomena filem yang ditonton banyak orang di bioskop dan menghasilkan miliaran hingga triliunan rupiah membuktikan hal itu. Namun, meski demikian, kita tidak bisa memungkiri bahwa televisi sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat sekarang. Terutama di Indonesia. Hampir setiap rumah di desa maupun kota, pesawat televisi sudah menjadi barang penghias yang tidak lagi mewah.
Kini, sebuah revolusi tampaknya akan segera dimulai dalam dunia penyiaran televisi Indonesia. Beberapa hari belakangan, kita menyaksikan iklan kampanye siaran televisi digital yang dibuat oleh Konsorsium TV Digital Indonesia. Rencana yang sudah digembar-gemborkan sejak tahun 2008 lalu ini, akhirnya diaplikasikan. Setelah siaran percobaan siaran digital oleh TVRI pada Agustus 2008, ujicoba siaran digital televisi swasta pertama mendapat giliran tanggal 20 Mei 2009 lalu. Ini berarti, siaran televisi analog lambat laun akan ditinggalkan, meskipun masyarakat masih bisa menggunakan TV mereka sekarang dengan menambahkan alat konversi set-top box. Sekitar 900 set-top box dibagikan gratis, yang di pasaran dihargai masing-masing Rp. 300.000.
Merujuk pada undang-undang No. 32 tentang Otonomi Daerah tahun 2002, era siaran televisi digital disinyalir akan memunculkan banyak stasiun-stasiun televisi baru. Prinsip lokalitas dan anti monopoli siaran mewajibkan setiap stasiun televisi memiliki basis siarannya tersendiri di daerah-daerah di Indonesia. Bisa dibayangkan, akan banyak bermunculan pula produksi visual yang nantinya mengisi siaran televisi digital. Bagi pemerintah hal ini merupakan indikasi baik, sebab saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya menggulirkan program industri kreatif.
Persoalannya, kita melihat di masa siaran televisi analog banyak tayangan tak bermutu. Untuk itu, kita perlu bergerak melakukan intervensi intelektual pada tayangan televisi. Semakin banyaknya kanal yang dapat dipakai di era penyiaran digital menjadi ladang tersendiri untuk memupuk kesadaran intervensi intelektual tersebut. Tapi, sekali lagi, intervensi ini tidak akan berhasil jika komunitas visual tidak memiliki kesadaran organisasi yang kuat. Kesadaran bahwa membuat karya-karya intelektual itu penting. Kesadaran bahwa sejarah harus ditulis sendiri, bukan dicatat oleh orang lain. Bahwa siaran televisi memang mampu menjangkau relung-relung terdalam massa, sehingga menjadi semacam kewajiban untuk kita membuat banyak tayangan berkualitas. Sebab tayangan itu nantinya akan memupuk kesadaran partisipasi politik massa.
Tantangan ke depan sungguh nyata bagi komunitas visual. Jika bukan kita yang bergerak untuk menampilkan tayangan-tayangan edukatif, maka siapa lagi? Industri hanya peduli soal banyaknya uang yang diraih, bukan soal peningkatan kecerdasan masyarakat. Ayo, kita berikan alternatif tayangan di era siaran televisi digital ini. *