Menyikapi pemberitaan media massa belakangan ini benar-benar membutuhkan sensor diri. Bagaimana tidak, kita seakan telah kehilangan kontrol. Belakangan ini kita dirasuki bacaan, dengaran dan lihatan berita pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan. Ketika kasus ini mereda, berita soal penyebaran rekaman kotak hitam pesawat Adam Air yang jatuh pada Januari 2007 menguak. Muncul entah dari mana hulunya. Ya, kita memang perlu berita, sebab itu merupakan salah satu ciri masyarakat beradab. Sebuah ciri masyarakat berpengetahuan. Betul pula kalau kita butuh media, sebab media massa adalah salah satu pilar demokrasi. Tapi di lain sisi, kita juga perlu sensor diri, karena tanpa sensor diri, asupan informasi yang kita terima mungkin tidak lagi sempat kita pikirkan dengan jernih.
Peristiwa pembunuhan yang dilakukan Ryan dan penyebaran rekaman kotak hitam pesawat Adam Air belakangan sangat menyita perhatian massa. Lagi-lagi, media massa diuntungkan melalui dua peristiwa menyedihkan ini. Tidak tanggung-tanggung, berbagai media massa cetak nasional menerbitkan laporan utama mereka selama berminggu-minggu menyangkut peristiwa pembunuhan berantai ini. Tidak ketinggalan pula media elektronik, terutama televisi. Dari pagi hingga pagi lagi, berita terkini sampai acara-acara sempalan seperti infotainment, memberitakan persoalan ini. Bingkaian utamanya menyajikan sisi orientasi seksual psikopat pembunuh itu. Ryan ternyata seorang homoseksual. Suatu konsumsi yang, entah bagaimana, sangat disukai massa. Tidak heran pula banyak orang bersuara, seakan kasus ini berarti ladang rejeki baru bagi mereka yang haus akan ketenaran. Tengok saja para psikolog berbicara. Tengok pula anggota-anggota parlemen yang tidak mau kehilangan suara. Atau juga omongan remeh para selebritis yang dengan mimik sangat terpaksa seolah kecewa dan tersayat hati menganalisa kejadian ini.
Kenapa berita seorang pembunuh homoseksual begitu menarik perhatian massa? Kasus mutilasi yang dilakukan Benget, seorang homoseksual yang diberitakan membunuh karena cemburu, atau pedofilia yang dilakukan Robot Gedek, yang menyodomi dan membunuh korbannya, sempat menjadi perbincangan hangat di wilayah media massa. Berbagai analisa kemudian bertebaran agar berita tampak berbobot. Para psikolog menyebut kaum homoseksual ini memiliki perasaan sensitif dan sangat posesif sehingga mereka mampu melakukan apapun, termasuk membunuh, untuk mempertahankan apa yang telah mereka dapat. Tapi bukankah pembunuh, siapa pun itu, tetap saja bernama pembunuh, terlepas dari orientasi dan preferensi seksualnya?
Sebuah legenda dalam media massa tidak pernah berlangsung lama. Sifat mortalnya selalu menimbulkan kejenuhan. Untuk mengatasi itu, diperlukan pemunculan legenda baru. Inilah yang dilakukan media massa ketika melihat tanda-tanda kejenuhan massa. Rekaman suara kecelakaan pesawat Adam Air yang mengerikan dibingkai untuk membangkitkan gairah keingintahuan publik. Harus diakui, bingkai pemberitaan ini menjadi suatu konsumsi yang begitu menggiurkan sebagai pemuas dahaga informasi massa. Rekaman kotak hitam pesawat Adam Air ini, terlepas dari benar atau tidaknya, sungguh mengerikan. Merujuk pada hukum yang berlaku, rekaman seperti ini tidak seharusnya tersebar, mengingat etika dan rahasia negara yang mungkin terkandung di dalamnya. Tapi media massa tidak memiliki urusan dengan semua itu. Mereka bekerja dengan prinsip bahwa semua orang berhak untuk tahu. Selama suatu peristiwa dianggap mempunyai nilai berita tinggi, persebaran harus dilakukan. Tidak masalah jika harus menguak luka yang belum juga sepenuhnya pulih. Tidak jarang pula berondongan pertanyaan matematis diajukan demi memenuhi standar kelayakan pemuatan. Ketika Anda menjadi narasumber, maka jawaban Anda harus memenuhi standar ‘ya’ dan ‘tidak’. Sebuah pernyataan kategoris dalam ilmu dasar logika. Bahkan orang harus menjawab pertanyaan soal perasaan mereka setelah mendapat sebuah musibah. Pertanyaan bodoh seperti: ‘Bagaimana perasaan Anda soal kejadian ini?’ terlontar tanpa malu dari mulut para pengejar berita. Orang idiot manapun pasti tahu, tanpa harus ditanya, mereka yang terkena musibah itu sudah barang tentu sedih dan terluka. Tapi manipulasi visual melalui media televisi memang menggoda. Massa teryakinkan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu penting untuk memperjelas informasi. Karena manipulasi tersebut, persoalan sebenarnya kabur. Pada akhirnya kita pun terjebak pada jaring bingkaian informasi yang memang sudah dirangkai oleh media massa.
Betul bahwa manusia memiliki sifat ingin tahu, namun keingintahuan yang dieksploitasi sedemikian rupa cenderung malah memperkeruh suasana. Eksploitasi keingintahuan meningkatkan manipulasi atas kesadaran. Terlebih, manipulasi visual yang memanjakan kita. Televisi tahu betul bagaimana memainkan manipulasi ini. Dan semakin kita ingin tahu, semakin kita dipermainkan oleh kehebatannya yang mampu memanipulasi kejernihan pandangan kita. Maka tidak salah jika Siddhartha pernah berkata: “Musuh terbesar pengetahuan adalah keingintahuan, sebab sifat ingin tahu itu malah akan menjauhkan manusia dari pengetahuan sejati.”
Betapa kita telah memasuki abad di mana sihir berkuasa. Dan, media massa adalah kerajaan sihir terbesar abad ini. Begitu berkuasanya, sampai-sampai kita tidak tahu lagi harus terus menerima atau muak. Melalui sihirnya, media massa mampu memanipulasi kesadaran kita. Saking kuatnya sihir itu, kita tidak lagi diharapkan untuk tahu, bahwa semua yang dilakukan oleh media massa adalah bentuk manipulasi kesadaran. Media massa adalah Houdini, yang memainkan sulap dengan mengalihkan perhatian. Pembacaan, pendengaran dan penglihatan kita dialihkan dan apa yang diterima oleh pikiran dianggap sebagai kebenaran.
Kalau kita harus menilik lebih jauh, berita semacam ini ternyata hanya digunakan sebagai pengalih perhatian. Jauh-jauh hari, Erich Fromm pernah berpesan akan bahaya informasi dalam massa media. Menurut penelitiannya, di abad ke-19 terjadi pembodohan massal dari para pembaca suratkabar disebabkan banyak yang tidak mengerti situasi politik sebenarnya. Terlebih sekarang, di mana media televisi memiliki kemampuan repetisi, efek bombastis sebuah berita serta merta kita terima. Tanpa sadar, kita dibuat sejenak terlena dan melupakan persoalan-persoalan mendasar yang kita hadapi sehari-hari. Bukannya kita tidak bersimpati terhadap keluarga korban. Bukan pula kita tidak peduli pada perasaan massa dengan berbagai peristiwa yang berlangsung belakangan ini. Tapi selayaknya kita sadar, bahwa kita tengah dipermainkan demi pencapaian keuntungan sesaat dari pihak-pihak yang berkuasa pada arus informasi. Mata kita perlu sensor dari manipulasi visual televisi. Satu hari kita perlu mempertimbangkan untuk mematikan televisi. *