“The hardest thing to do in film is really to do nothing.”
— Peter Hutton
Peter Hutton adalah seorang pembuat filem dari Amerika Serikat yang telah menghasilkan 20 karya filem, baik itu berdurasi pendek, yaitu dibawah 60 menit, maupun yang berdurasi lebih dari itu. Namanya mungkin tidak setenar Stan Brakhage, Michael Snow, atau Jonas Mekas yang sudah menjadi semacam ikon bila membicarakan sinema eksperimental Amerika Utara, namun Peter Hutton memiliki kekhasannya sendiri, yang berbeda dari nama-nama sutradara lain yang disebutkan itu.
Apa yang berbeda dari sinema Peter Hutton? Semua filemnya hanya mengandalkan satu panca indera, yaitu mata. Filem baginya adalah medium visual yang murni digunakan untuk menangkap pergerakan sehingga Peter Hutton memberikan penekanan total pada visual di filemnya dengan memperhatikan tiap-tiap dinamika cahaya, bayangan, dan elemen-elemen lain dalam tangkapan diamnya tanpa adanya suara; mata penonton akan fokus seutuhnya pada pergerakan di layar tayang. Peter Hutton mengembalikan kodrat medium ini kembali ke dasar saat filem masih berada dalam fase awal penemuannya dan belum terdefinisikan sebagai medium seni. Sebuah fase ketika operator filem masih terkagum dengan pergerakan yang terekam tanpa ada maksud untuk menciptakan cerita dari potongan pergerakan-pergerakan itu.
Peter Hutton menolak disebut sebagai pembuat filem avant-garde. Baginya, label ‘rear-garde’ justru lebih cocok disematkan untuk karya-karyanya karena dia tidak melihat apa yang dilakukannya sebagai bentuk ekperimentasi. Sebaliknya, filem-filemnya adalah upaya untuk mengembalikan sinema ke bentuk awal mulanya.[1] Walaupun Peter Hutton menolak dikatakan sebagai seorang pembuat filem avant-garde, karya-karyanya bisa dilihat sebagai upaya progresif untuk menolak masifnya serangan informasi dalam bentuk visual dan suara yang semakin gencar pada akhir abad 20. Kesunyian dan bentuk non-naratif yang berirama lambat dalam filem-filemnya adalah pernyataan menentang pesatnya distraksi visual dan suara yang terstimulasi dari berbagai sumber.
Apa yang terekam dari kamera Peter Hutton tidak lepas dari hal-hal yang menjadi kesehariannya. Pada tahun 1971, saat masih tinggal di San Francisco, dia membuat July ’71 in San Francisco, Living at Beach Street, Working at Canyon Cinema, Swimming in the Valley of the Moon. Filem ini adalah filem kelulusan untuk gelar masternya di bidang Senirupa di San Francisco Art Institute; berisi kegiatan rutinnya selama tinggal di San Francisco beserta kawan-kawannya. Gaya kamera statis yang di kemudian hari menjadi ciri dari sinema Peter Hutton belumlah tampak di filem ini, namun sudah terlihat ketekunannya dalam merekam butir-butir pergerakan, seperti pergerakan cahaya yang masuk dari jendela dengan tekstur debu yang menyelinap di dalam cahaya tersebut. Gerakan kamera di filem ini sangatlah cair. Dalam satu adegan kamera, bahkan, diletakkan di antara rangka sepeda yang sedang bergerak untuk mendapatkan impresi dari pergerakan bayangan yang jatuh di permukaan pada siang hari. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan mengingat kamera Bolex 16mm yang digunakannya beukuran kecil dan ringan. Pengaruh dari penemuan kamera itu diakuinya berperan besar dalam keputusannya menjadi pembuat filem. Dia mengatakan bahwa tidak mungkin bagi dirinya untuk membuat filem bila kamera hanya tersedia dalam bentuk 35mm yang berbobot berat dan berukuran besar. Peter Hutton juga berupaya untuk menghancurkan mistifikasi tentang pembuatan filem yang dianggap mahal dan rumit serta diperlukan keahlian khusus untuk mengoperasikannya, dan hal itu dimungkinkan dengan kamera berukuran kecil.[2]
Di tahun-tahun setelahnya, Peter Hutton bekerja sebagai seorang pelaut untuk membiayai kuliahnya. Di tahun-tahun awalnya, dia hanya beroperasi di sekitar Great Lake, hingga kemudian merantau sampai Asia Tenggara. Pada masa inilah Peter Hutton membuat sebuah filem berjudul Images of Asian Music (A Diary from Life 1973-1974) (1974). Filem ini berisi keseharian Peter Hutton sebagai seorang yang berada lama di laut, bertemu daratan, dan interaksinya bersama sesama pekerja. Daratan di filem ini berlatar di Thailand dan Indonesia, tepatnya di Bali. Asian Music terlihat serupa dengan July ’71 in San Francisco, dengan kamera yang bergerak cair, namun beberapa kali Peter Hutton mencoba untuk fokus pada fenomena pergerakan seperti saat perekaman pada pohon bambu yang ditiup angin dan perahu-perahu yang datang dan pergi melewati frame. Sesungguhnya, apa yang dilakukan Peter Hutton di filem ini terutama saat dirinya merekam lanskap danau dan gunung di Bali menyerupai lukisan-lukisan mooi indie, terlebih latar tempat ini berada di Bali yang sedari dulu selalu menjadi objek eksotisisme timur. Menjadi mooi indie tentu tidak selamanya buruk karena ada craftsmanship tertentu yang harus dicapai. Namun, penggambaran Peter Hutton ini sudah terlanjur menjadi eksotik karena sangat berjarak dengan warga lokal walaupun sudah tereduksi dengan citraan hitam-putih dan beberapa kali memasukan masyarakat sekitar ke dalam frame sebagai bidikan utama di luar bidikan lanskap yang memang luar biasa indah itu. Kendala keberjarakan dengan warga lokal dikatakan oleh Peter Hutton sebagai masalah yang memang sulit diatasi, terlebih ketika dirinya yang berkulit putih mengeluarkan kamera untuk merekam, banyak orang-orang yang lari karena tampak canggung saat direkam.
Pengalaman Peter Hutton selama menjadi pelaut di Asia rupanya menyimpan kesan tersendiri. Ini diakuinya sebagai salah satu alasan mengapa filem-filem selanjutnya banyak menggunakan bidikan tetap dan berirama lambat karena terpengaruh dengan lanskap dan gaya hidup masyarakat di Asia Tenggara yang menurutnya memiliki kualitas kekekalan dan rutinitas yang lambat.[3]
Trilogi New York Portrait menjadi salah satu karya penting Peter Hutton yang mengutamakan bidikan-bidikan tetap. New York Portrait: Chapter One (1979) memperlihatkan kota besar itu dengan cara yang berbeda dari beberapa filem lain, khususnya dari ranah avant garde. New York selalu diperlihatkan sebagai kota sibuk, ramai, dan tidak pernah tidur. Seperti yang dilakukan Stan Brakhage dan Joseph Cornell di Wonder Ring/Gnir Rednow (1955) dan D. A. Pennebaker di Daybreak Express (1953). Di kedua filem pendek tersebut, New York selalu berada dalam kondisi yang dinamis, sesuai dengan orang-orang yang terlihat selalu bergerak, sejalan dengan kamera yang ditempatkan di kendaraan yang bergerak dan beriringan dengan gedung-gedung pencakar langit yang terekam di dalamnya. Peter Hutton lalu membuat New York Portrait: Chapter II pada tahun 1981 dan New York Portrait: Chapter III pada tahun 1990. Filem ini direkam di dalam kamarnya, yang berada beberapa lantai di atas permukaan tanah dengan citraan hitam-putih berkontras tinggi. Pergerakan di New York Portrait adalah pergerakan awan yang melintas di atas cakrawala kemudian masuk di antara gedung-gedung tinggi, putihnya awan kontras dengan asap hitam yang keluar dari perapian dan bangunan rusun yang saling berbaris, kertas koran yang mengeluyur di seberang jalan, angin musim dingin yang terlihat dari balik cahaya gedung, air hujan yang menggenang jalanan serta pergerakan cahaya dari sisi jendela dan pintu.
Melalui mata Peter Hutton, New York terlihat sunyi dan kesepian, tidak ada hiruk-pikuk orang yang pergi bekerja. Penampakan manusia justru banyak terlihat statis, seperti kameranya itu sendiri. Beberapa orang terlihat sedang tidur di sisi jalan, seorang gadis melihat diam dari luar jendela, beberapa anak kecil bermain kelereng di jalanan dan terlihat dari jendela atas lalu keluar dari frame beberapa saat setelahnya dan kerumunan manusia yang berdiri diam saat melihat pawai udara. Tidak ada cerita, atau sesuatu yang mampu memantik drama dalam New York Portrait. Kalaupun ada, yaitu adegan di akhir New York Portrait: Chapter III yang merekam peristiwa kebakaran di sebuah gedung. Peristiwa tersebut terkoneksi dalam beberapa tautan adegan, dari gedung yang terbakar, orang-orang yang datang membantu korban yang tergeletak di jalanan, hingga datangnya paramedis. Peristiwa dramatis seperti itu sesungguhnya tidak banyak terjadi, bila kita melihat filem-filem Peter Hutton secara keseluruhan, namun itu bukanlah berarti tidak ada hal yang dramatis dalam filem-filemnya. Sebaliknya, komposisi gambar yang dimainkan dengan imajinasi penonton, pergerakan antara objek alam, dan kerelasiannya dengan keberadaan manusia menjadikan filem Peter Hutton penuh dengan imajinari sensasional. Dalam fotografi, efek tangkapannya ini serupa dengan foto-foto oleh Ansel Adams.
Peter Hutton selalu menyisipkan ruang kosong saat transisi menuju cuts beberapa adegan, ruang kosong berupa layar hitam yang dibaurkan perlahan sebelum dan setelah adegan lain, atau sering juga disebut dengan fade-in/out. Cara ini sudah digunakannya sejak filem-filemnya di periode awal hingga filemnya yang terakhir. Dalam tradisi pembuatan filem, penggunaan fade-in/out semacam ini berkaitan dengan keinginan pembuat filem untuk mendikte mood penonton, melambatkan tempo, dan menyiapkan mata penonton untuk mengantisipasi ke adegan setelahnya. Efek yang terjadi dalam filem-filem Peter Hutton memang terasa juga demikian, terutama karena tempo filem-filemnya yang ‘tidak cepat’ dan dalam filem citraan hitam-putih, ruang kosong ini terlihat berbaur halus untuk transisi ke adegan setelahnya.
Namun, menurut saya, ada alasan lain mengapa ruang kosong dalam Peter Hutton bekerja lebih efektif ketimbang fade-in/out dalam filem-filem lain, dan ini berada di luar dari visual itu sendiri, yaitu pilihan Peter Hutton untuk tidak pernah memasukkan suara apa pun di filem-filemnya. Peter Hutton percaya betul dengan kekuatan gambar yang dia miliki sehingga memasukan suara justru akan merusak kehebatan visual yang sudah digenggamnya. Dalam keheningan, kita akan lebih mudah mencerna kehadiran visual itu, dan ruang kosong yang disediakan Peter Hutton adalah ruang untuk berpikir artikulatif di frame yang datang sebelumnya.
Peter Hutton juga tampaknya sangat menyukai objek-objek yang terlihat seperti penggambaran pasca apokaliptik, tentang kehancuran, baik itu yang disebabkan oleh manusia ataupun oleh alam. Boston Fire (1979) sepenuhnya diisi oleh pelukisan kebakaran yang terjadi di Boston dan upaya pemadamannya. In Titan’s Goblet (1991) dipenuhi kontras dua dunia antara keindahan cahaya langit di malam hari dan asap-asap yang bergerumul dari tanah gambut yang baru saja dipadamkan. Sementara Budapest Portrait (Memories of a City) (1986) dan Lodz Symphony (1993) adalah perekaman dua kota yang banyak menampilkan ruang-ruang kosong, di tempat publik seperti di jalanan dan taman. Bidikan gedung-gedung serta pabrik yang terlihat hampir runtuh, dengan kontras hitam-putih yang tinggi menciptakan suasana kota seperti mendekati kehancuran. Diawali dengan Time and Tide (2000), filem-filem Peter Hutton berikutnya menggunakan stok filem berwarna. Dirinya beralasan bahwa, sejak tahun 2000, sangat sulit mendapatkan stok filem hitam-putih dari Kodak.
Durasi filem-filem Peter Hutton tidak pernah lebih dari 60 menit, kecuali pada dua filem terakhirnya, yaitu At Sea (2007) dan Three Landscape (2013). Kedua filem tersebut adalah filem monumental dan ambisius bila dibandingkan dengan filem lainnya yang berdurasi jauh lebih pendek. Filem panjang ini seperti akumulasi dari filem-filem pendek sebelumnya, di mana kita bisa mendapatkan rangkaian gambar bergerak yang fantastis, presisi, serta diiringi dengan pernyataan personal Peter Hutton terhadap kondisi dunia, terutama dalam hal ini adalah komentarnya terhadap globalisasi di berbagai lokasi. Three Landscape merekam pekerja di tiga tempat, yaitu daerah industrial di Detroit, petani di pesisir Sungai Hudson, dan penambang garam di Gurun Danakil. At Sea adalah filem yang menurut saya puncak tertinggi dari oeuvre Peter Hutton. Seperti banyak lukisan karya J. M. W. Turner yang melukiskan perjalanan dan keadaan kapal-kapal dagang di pelabuhan dan lautan pada abad 18 dan 19 dan juga sama-sama dengan intensif mempelajari ketertampakkan cahaya dalam medium yang mereka gunakan, Peter Hutton menangkap fenomena pengiriman kapal besar kargo di masa kontemporer. Diawali dengan kelahiran sebuah kapal kargo di Korea Selatan, kemudian perjalanan kapal tersebut berada di laut dan diakhiri dengan kematian kapal itu di Bangladesh. Filem ini menjadi semacam autobiografi bila melihat latar belakang Peter Hutton yang dulunya bekerja sebagai pelaut. Salah satu adegan luar biasa yang terekam dalam At Sea adalah saat kamera berada di kapal yang menjelajahi samudra. Kamera jarang berdiri diam karena kondisi laut yang selalu bergejolak, hingga hari berganti hari. Adegan tersebut semacam menangkap keterasingan manusia di tengah lautan dan kerinduannya akan hal yang tidak tampak di situ, yaitu daratan. Peter Hutton menyoroti beberapa detil dimensi seperti garis-garis kargo dan cakrawala yang sepertinya tanpa penghujung. Takdir kapal ini lalu berakhir di negara berkembang di mana material baja dari lapisan luar kapal dikuliti oleh kerumunan orang-orang, sebuah pemandangan pasca apokaliptik yang mengingatkan kita pada filem-filem sebelumnya.
Filem-filem Peter Hutton bukanlah sekedar dokumentasi personal seseorang yang ditulis menggunakan kamera. Peter Hutton mampu menerjemahkan pengalaman sehari-hari dengan cakap, mengartikulasikan fenomena keseharian yang tampak periferal di mata menjadi terlihat, dan mengekspresikan fenomena tersebut menjadi sebuah keindahan di dalam medium filem. Kredo “less is more” diaplikasikannya hingga ke dalam bentuk yang maksimum.
Tentang Peter Hutton:
Peter Barrington Hutton, atau lebih dikenal dengan nama Peter Hutton, adalah seorang pembuat filem juga pengajar di beberapa universitas di Amerika, seperti CalArts, Hampshire College, Harvard University, SUNY Purchase, dan Bard College. Dia lahir pada tanggal 24 Agustus, 1944, mempelajari Senirupa dan Film di San Francisco Art Institute. Sepanjang hidupnya, dia menghasilkan banyak filem pendek dan juga dua filem berdurasi panjang. Peter Hutton meninggal pada tanggal 25 Juni, 2016.
Filmografi:
In Marin County (1970)
July ’71 in San Francisco, Living at Beach Street, Working at Canyon Cinema, Swimming in the Valley of the Moon (1971)
New York Near Sleep for Saskia (1972)
Images of Asian Music (A Diary from Life 1973-1974) (1974)
Florence (1975)
Boston Fire (1979)
New York Portrait: Chapter One (1979)
New York Portrait: Chapter Two (1981)
Budapest Portrait (Memories of a City) (1986)
Landscape for Manon (1986)
New York Portrait: Chapter Three (1990)
In Titan’s Goblet (1991)
Lodz Symphony (1993)
Study of a River (1997)
Time and Tide (2000)
Looking at the Sea (2001)
Two Rivers (2003)
Skagafjordur (2002-2004)
At Sea (2007)
Three Landscapes (2013)
[1] Hampshire College TV (2010 December 3) Hampshire College 2010 Tashmoo Lecture Series Peter Hutton, dari https://www.youtube.com/watch?v=bMXY4uRuKH4
[2] The Screening Room series by Robert Gardner color, 72 min, 1977
[3] Ibid