Di blog pribadinya, Hanung Bramantyo menyebut filem Doa yang Mengancam memiliki pesan untuk bercermin diri. Menurutnya, filem ini bertema keikhlasan. Manusia menjadi bersahaja karena dirinya ikhlas. Ikhlas bukan aktivitas pasrah. Ikhlas adalah perjuangan. Perjuangan melawan egoisme. Bukan menerima, layaknya falsafah Jawa: Nrimo ing Pandum (menerima apa yang diberikan). Ikhlas adalah wacana berserah diri. Bagi Hanung, Madrim mewakili prototipe manusia kini, khususnya manusia Indonesia yang digempur oleh materialisme. Madrim pun kemudian memandang Tuhan hanya sebagai ornamen material belaka.
Filem yang diproduksi oleh Sinemart Pictures dan ditulis berdasarkan cerpen Jujur Prananto ini merupakan salah satu filem Hanung yang bergenre agama. Dalam wawancaranya, Hanung mengatakan bahwa Doa yang Mengancam sangat berbeda dengan Ayat-ayat Cinta karena lebih bersifat komedi hitam religi. Lebih berbicara tentang Tuhan di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Hanung ingin menunjukkan bahwa Tuhan ada di mana saja. Bukan hanya di kalangan atas seperti dalam AC, tetapi juga di tempat-tempat kumuh, di mushala-mushala kecil, di pasar-pasar tradisional yang kotor dan becek. Menurutnya, di tengah masyarakat kotor, kumuh, ternyata juga masih ada ”nafas-nafas” Tuhan. Tuhan ada di sebuah mushala butut, pasar, kios-kios. Dalam cerita ini, Tuhan juga dilafalkan oleh seorang bodoh. Hanung menegaskan bahwa religiusitas tidak hanya ada pada orang yang punya uang, tetapi juga mereka yang tak punya. Penegasan ini kita lihat dari fragmen-fragmen sinematografis, di mana terlihat ’hamba’ Tuhan yang beribadah di mushala sempit bersebelahan dengan toilet umum, permukiman padat nan kumuh dan pelosok-pelosok sudut kota yang biasa kita lihat seperti di terminal dan pasar-pasar tradisional.
Namun benarkah nasib malang mengantarkan sebuah pengutukan terhadap kehidupan? Filem ini berkisah tentang kehidupan kuli panggul di pasar bernama Madrim yang berubah mendadak sejak istrinya, Leha, kabur dari rumah karena tidak tahan akan hidup miskin ketika tiba di Jakarta. Leha kabur sebab Madrim, suaminya, telah ’membohonginya’. Praktis, kehidupan yang dijalani Madrim sebagai kuli panggul dengan honor 20 ribu, secara tiba-tiba berubah drastis akibat sang istri kabur. Hidup Madrim ruwet dengan segala ratapan atas kepergian istrinya, ditambah lilitan utang di sana-sini. Ini tergambar dengan jelas ketika ia pulang ke rumah dan melihat istrinya tidak ada, bersamaan dengan itu sang pemilik kontrakan menagih uang sewa yang ditunggak. Utangnya pun menumpuk di rumah makan. Sontak, beban hidupnya kian bertambah sampai akhirnya ia diusir dari kontrakannya.
Ketika menghadapi situasi sulit dalam waktu yang bersamaan ini, Madrim menemui temannya Kadir (Ramzi), seorang marbot Mushola yang juga sahabatnya. Ia lantas menceritakan apa yang menimpanya dan Kadir pun menyarankan agar Madrim berdoa kepada Tuhan. Saran temannya tersebut ia ikuti hingga ia merasa bosan dan bahkan putus asa, lantaran doa-doanya tidak terkabulkan.
Ultimatum Atas Tuhan
Dalam kebimbangan dan keputusasaan akibat doa yang tak kunjung terkabul, Madrim lantas mengancam Tuhan dengan mengultimatum dalam doanya. Memberi Tuhan tenggat tiga hari untuk mengabulkan doanya atau ia akan murtad. Benar saja, doa Madrim tidak dikabul. Akhirnya, Madrim berkelana dan tersambar petir di sebuah desa. Anehnya, ia tidak terluka atau bahkan meninggal akibat tersambar petir, malah ia selamat dan memiliki semacam kekuatan untuk mengetahui keberadaan seseorang hanya melalui fotonya saja. Keajaiban yang ia miliki terbukti benar. Melalui kesaktian ini, hidupnya berubah drastis. Sekejap, Madrim pun menjadi orang penting. Lewat keberhasilannya menemukan anak Pak Lurah yang menghilang selama setahun, Madrim langsung dipercaya polisi yang kebetulan hadir dalam suasana di mana putri Pak Lurah ditemukan sedang syuting. Tiba-tiba Madrim dengan kemampuan yang ia miliki dapat mengungkap berbagai kasus buronan. Tanpa ia sadari, kehebatannya dalam mengungkapkan keberadaan buronan membawanya kepada seorang penjahat kerah putih bernama Tantra (Dedi Sutomo). Penjahat ini sangat takut apabila ia ditangkap polisi gara-gara Madrim yang memberi tahu keberadaannya. Singkat cerita ia pun disekap oleh Tantra dan hendak dilenyapkan. Lagi-lagi, Madrim berdoa agar ia tidak dibunuh. Madrim tidak dibunuh, malahan Tantra memeliharanya dengan gaji 10 juta per bulan, mobil pribadi dengan seorang pengawal dan ditempatkan di sebuah apartemen tanpa melakukan pekerjaan apapun.
Berkat Tantra, ia kembali berkunjung ke rumah kontrakannya yang dulu sambil memandangi foto istrinya yang masih terpampang di dinding. Di tempat tinggal lamanya itu, ia membagi-bagikan uang kepada warga sekitar, melunasi utang-utangnya dan menemui sahabat karibnya Kadir yang tak henti menasihatinya. Kemudian ia pergi ke rumah ibunya, namun kecewa sebab kemampuan yang ia miliki membawa malapetaka yang amat tidak ia harapkan. Ia dapat mengetahui masa lalu ibunya yang ternyata seorang pelacur. Jelang akhir cerita ini ditandai dengan Tuhan mengabulkan doa Madrim agar ia dipertemukan dengan istrinya. Doanya pun kabul, namun istrinya berubah menjadi seorang pelacur kelas atas yang dikontak Tantra saat Madrim dilihatnya begitu ingin mendapatkan wanita. Pelacur itu tidak lain istrinya sendiri. Madrim terkejut menemukan istrinya menjadi seorang pelacur kelas atas. Ia dan istrinya kejar-kejaran hingga ke atas apartemen. Di atas atap apartemen, Madrim memberikan pilihan kepada istrinya, untuk kembali atau loncat. Istrinya yang malu memilih loncat dari apartemen, lalu meninggal dunia. Lagi-lagi, Madrim mengutuk penderitaan yang ia alami. Ia mengancam Tuhan melalui doanya.
Penggambaran tersebut tampak sangat karikatural. Madrim datang ke tempat kontrakannya yang kumuh dengan membagi-bagikan uang seolah ingin balas dendam atas apa yang menimpanya. Ia yang sebelumnya dipandang sebelah mata kini ingin menunjukkan bahwa ia masih punya harga diri. Dan harga diri itu sendiri diukur dengan seonggok materi. Frase karikatural ini juga ditemui saat Madrim datang ke diskotik, terkesan penggambarannya tidak ’pas’ karena terlalu dibuat-buat. Apa Madrim dapat bertindak aneh dan sangat aneh di tempat tersebut hingga ia tersengat listrik akibat lampu diskotik jatuh menimpanya. Kehadiran sahabat karibnya, Kadir, di sana seakan menambahkan kesan yang tidak realis: mana mungkin seorang dengan penampilan ’alim’ dapat masuk ke diskotik.
Akhir Bahagia Madrim
Cerita yang disuguhkan dalam filem ini tentunya berpretensi ingin memenuhi harapan penonton. Dalam kacamata penonton, akhir bahagia adalah prasyarat wajib bagi sebuah filem berbasis komersial. Logika Aristotelian ini menjadi syahadat bagi insan filem nasional, tak terkecuali Hanung Bramantyo, yang ingin menghadirkan ini sesuai selera penonton. Sebab, jika tidak sesuai dengan keinginan penonton pastilah filem ini terasa hambar dan ia akan dikutuk karena filemnya tidak memenuhi standar selera penonton.
Dalam setiap narasi yang diwartakan, akhir bahagia mendapat tempat yang utama. Ia menjadi locus pelepasan dan pemenuhan penonton. Dalam psikologi penonton, akhir bahagia merupakan antiklimaks dari persoalan-persoalan yang dibangun dalam sebuah filem dan berkorespondensi dengan harapan penonton yang bisa jadi mengalami tekanan sosial atau bahkan itu yang diingini penonton. Lagi-lagi, sang pembuat filem harus takluk di hadapan selera penonton.
Setelah lelah bergulat dengan segala rentetan kejadian yang ia alami secara bersamaan. Madrim menemukan apa yang ia cari, kebahagiaan. Sebelumnya, ia mengira bahwa kebahagian itu berupa sebuah materi yang ia peroleh dan mendapatkan seorang istri yang cantik namun hal tersebut menjadi terbalik lantaran tuntutannya akan ’kebahagiaan’ material membuatnya tambah sengsara. Ketika ia mengancam Tuhan dalam doanya agar ia keluar dari jeratan kemiskinan yang menimpanya, justru ia diberi Tuhan kemampuan lebih dan uang yang banyak namun apa yang telah diraihnya tidak memberikan ia kebahagiaan apapun. Ia malah tersiksa akibat pemberian yang telah Tuhan berikan kepadanya. Singkat cerita, Madrim menemukan kebahagiaan hakiki di tempat ketika ia menjadi kuli panggul sebelumnya. Di sana, Madrim membuka rumah makan bersama ibunda tercintanya dan Kadir temannya ada selalu bersamanya baik dalam saat Madrim mengalami dekadensi hingga Madrim menemukan makna hidup yang fitri. Bersamaan dengan itu Madrim telah berhasil merebut fitrah kebahagiaannya tersebut. Pertama ia bahagia hidup berkecukupan dengan membuka rumah makan bersama Ibunya. Kedua ia selalu ditemani oleh Kadir kawan karibnya yang senantiasa hadir sebagai teladan hidupnya. Ketiga, ia menemukan cinta seorang gadis mantan pramusaji di rumah makan tempat di mana ia selalu berutang dulu.
Madrim: Sebuah Sketsa Hidup Kaum Subaltern
Benarkah sosok Madrim mewakili sketsa kaum subaltern, yang tergerus dan terpinggirkan? Pertanyaan ini menjadi penting ketika dikaitkan dengan terminologi subaltern yang diperkenalkan Gayatri Chakravorty Spivak, seorang Internasionalis perempuan India, yang juga seorang profesor di Pittsburgh University. Pada tahun 1985, Spivak menerbitkan satu esai berjudul “Can Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice” di jurnal internasional terkemuka, Wedge. Tak pelak tulisan yang berbicara tentang bunuh diri janda di India (sati) ini menjadi sebuah diskursus hangat di antara para intelektual kala itu. Melalui tulisan tersebut, Spivak semakin memantapkan posisi intelektual yang mengkaji teori-teori pascakolonial. Kalangan intelektual pascakolonial merupakan garda depan pembela hak-hak kaum minor yang tertindas, yang telah dimiskinkan oleh struktur sosial-politik-ekonomi-budaya dan bahkan keyakinan agama.
Tesis Spivak mengenai kaum subaltern ini secara genealogis merujuk pada gagasan yang digunakan oleh Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, subaltern ialah mereka yang diposisikan pada kelompok inferior atau subordinat yang tidak mempunyai akses atas kelas penguasa di level hegemonik. Dalam catatannya tentang sejarah Italia yang terbit 1934, Notes on the Italian History, Gramsci menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang kelas-kelas subaltern. Menurutnya, sejarah kelas-kelas subaltern tak kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini lebih diakui sebagai “sejarah resmi”. Ini bisa terjadi karena kelas-kelas subaltern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. Menurut Gramsci, hanya sebuah “kemenangan permanen” (yaitu revolusi kelas) yang bisa memotong pola subordinasi ini (Antariksa, Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy: 2003).
Sedangkan dalam kacamata Ranajit Guha, sejarawan India dari Subaltern Study Group, subaltern adalah ”mereka yang bukan elit”. Sedangkan elit ialah mereka yang berada di kelompok-kelompok dominan. Tentunya, anasir subaltern ini melampaui gagasan oposisi biner yang dinukilkan Jacques Derrida dalam tesisnya. Sebab, istilah subaltern menjadi menarik untuk melihat kaum yang selama ini terpinggirkan dan berada hanya dalam wacana kaum elit. Subaltern tidak dilihat dari kacamata penguasaan oleh kelompok dominan seperti dalam kasus kolonialisme melainkan semacam pleidoi kaum intelektual terhadap mereka yang diposisikan ’lemah’. Tampaknya proyek subaltern menjadi penting sebagai sarana untuk melakukan liberasi dan transformasi sosial. Namun, proyek subaltern juga dapat menjadi blunder. Spivak sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Dan adapun bahaya klaim bahwa mereka (kaum intelektual) hadir atas dasar suara-suara kelompok subaltern dapat menjadi hegemonik. Relasi yang terbangun justru ”tuan-hamba” sehingga cita-cita liberasi dan transformasi tidak terpenuhi.
Suara kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak bisa berbicara, karena mereka memang tidak bisa bersuara. Intelektual datang bukan buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai “pesimisme intelek dan optimisme kemauan” –skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan (Antariksa, Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy: 2003).
Kembali lagi pada persoalan di atas, benarkah Madrim mewakili suatu kelompok subordinat atau tepatnya kaum subaltern? Benarkah ia tidak punya kuasa apapun seperti yang ditulis kaum subaltern oleh Spivak maupun Ranajit Guha? Dalam pembacaan saya, sosok Madrim dapat dikategorikan sebagai seorang yang mewakili kaum subaltern. Sebab ia berada di posisi kelas pekerja khususnya seorang kuli panggul yang hidup dengan pergulatan hidup yang keras. Lingkungan sosial yang seakan tak ramah padanya membuatnya tak berdaya dan seperti yang diistilahkan oleh Spivak Tidak Dapat Berbicara. Ia hanya dapat berbicara kepada Tuhannya dengan untaian doa-doa yang dalam filem ini doa yang disematkan merupakan sebuah ultimatum atau ancaman kepada Tuhannya. Hal itu persis seperti dalam terminologi subaltern ketidakberdayaan akibat relasi sosial. Tuhan tempat satu-satunya sebagai tempat menyuarakan aspirasi. Penulis cerita filem ini secara tidak sengaja menggambarkan betapa tidak berdayanya sosok Madrim ketika dihadapkan dengan keadaan objektif dirinya dengan segenap persoalannya –mulai dari utang-piutang yang melilitnya, kepergian istrinya hingga menjadi ’peliharaan’ penjahat kerah putih. Dari kacamata subaltern, kita dapat melihat Madrim juga tak kuasa pada polisi yang sepertinya menggunakan cara irasional akibat frustrasi tidak kunjung menemukan buronannya dan menggunakan jasa Madrim sebagai metode dalam mengungkapkan dan menangkap para buronan.
Mungkin di benak penulis skenario filem ini ingin menggelitik aparatur penegak hukum kita dengan sebuah satir yang karikatural ini. Namun sosok Madrim bisa juga tidak mewakili sedikitpun kelompok subaltern. Penggambaran karikatural, memperlihatkan sebuah drama kolosal kaum elit yang bisa saja mengeksploitasi kemiskinan dengan Madrim sebagai prototipenya. Pembacaan ini bisa benar adanya, selama apa yang dihadapi Madrim hanya menyenangkan kelompok subaltern sesaat di akhir cerita dengan akhir bahagia. Capaian akhir bahagia Madrim dan sosok sahabatnya Kadir menjadi semacam ’mimpi’ yang diproyeksikan dan dibayangkan oleh pembuatnya tanpa adanya proses pemberdayaan. Akhir bahagia hanya dijadikan ’pelarian’ oleh pembuat filem ini. Laku yang ditonjolkan bisa jadi bagaikan mimpi buruk proyek kolonialisme di mana adanya distingsi yang kuat antara Barat-Timur. Relasi ini mungkin bisa saja terbangun. Madrim bisa saja mewakili sosok dunia ketimuran yang eksotik dengan kemiskinannya dan ia berhasil menemukan kebahagiaannya. Pembuatnya tampil mewakili sosok oksidental yang mempunyai akses kuasa untuk bernarasi. Penggambaran tentang Madrim dengan segala konsekuensi hidup, bisa jadi blunder bagi Hanung Bramantyo sendiri, sebab dalam wacana pascakolonial, khususnya pembahasan mengenai subaltern, dikotomi antara penindas-tertindas, tuan-budak terlampaui. Bagi mereka yang mengaku sebagai pembela kaum subaltern bisa terjebak. Jangan-jangan justru ia sendiri yang berlaku sebagai penindas kaum subaltern.
Persoalan-persoalan ini menjadi sebuah proyek besar untuk dapat diselesaikan oleh para intelektual dan seniman dalam perubahan sosial. Pertanyaan yang menggelitik di sini ialah siapa sesungguhnya kelompok marginal yang mau dibela atau diberdayakan? Suara siapakah yang ingin disampaikan? Bagaimana peran intelektual dan seniman dalam misi perubahan sosial yang terkesan profetik itu? Dan benarkah Hanung telah memulainya bagi masyarakat kita? Atau apakah seperti yang disebut Eric Sasono, bahwa Hanung telah menanggung beban berat sejarah: yaitu dengan memasukkan tema agama dan kemiskinan secara bersamaan dalam sebuah filem yang ia buat? Doa yang Mengancam, menurut Eric, adalah komentar sosial politik yang kental.
Terlepas dari berbagai anasir yang menggempurnya, filem ini patut dijadikan referensi untuk menengok persoalan keumatan yang terpotret sangat liris di sudut pasar meskipun penggambarannya terkesan karikatural. Di akhir cerita, Madrim rupanya ia ’berdamai’ dengan kemiskinan yang membalutnya. Perjalanan untuk menemukan kebahagiaan pun merupakan jalan penuh liku dengan iman sebagai pertaruhannya. Pergulatan iman inilah yang akhirnya menemukan makna hakiki sebagai seorang manusia paripurna. Dalam Islam, manusia seperti ini disebut sebagai umatan wasathan (umat utama). Untuk meminjam tesis Clifford Geertz, masalah yang dihadapi Madrim ialah sebuah lanskap pandangan dunia, sebagai entitas manusia yang bergulat dengan iman yang ia peluk untuk membentuk sebuah suasana hati, intimasi dan motivasi-motivasi yang kuat akan yang Ilahiah dan bermuara pada cerminan dirinya. Madrim telah menemukan asketisme dalam dirinya dengan pergulatan iman yang sangat heroik tentang narasi besar yang tak ia sadari, yakni keimanan dan kemiskinan.