Pada 17 Desember, 2009, saya berkesempatan untuk menonton filem kedua Paul Agusta, Di Dasar Segalanya (At The Very Bottom of Everything) di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Berbeda dengan filem pertamanya, Kado Hari Jadi, kemasan filem ini jauh lebih rapi. Rangkaian gambar, musik dan penyuntingan begitu jauh dari kesan serampangan sutradara-sutradara yang baru memulai karirnya. Tentu saja, Paul Agusta termasuk salah seorang yang beruntung mendapatkan dana produksi digital dari Hubert Bals Fund, Festival Filem Internasional Rotterdam. Menurutnya, dana yang didapat dari yayasan tersebut berjumlah 10 kali lipat dari dana untuk produksi filem pertamanya. Jelas ini yang membuat filem keduanya menjadi lebih baik secara kemasan.
Di Dasar Segalanya merupakan kisah seorang gadis pengidap bipolar disorder (manic depression) menghadapi penyakitnya yang kian meradang. Narasi gadis muda itu tentang penyakit yang dideritanya ditafsirkan secara visual untuk membawa penonton ke alam surealis yang mengesankan. Harapannya, agar penonton dapat memahami trauma. Kekerasan, ketelanjangan, simbolisasi ikon agama mewarnai filem berdurasi 84 menit ini.
Tema penyakit dalam filem Indonesia memang tidak pernah tergarap dengan baik. Kalau pun ada, biasanya penyakit itu tidak lebih sekadar informasi permukaan yang jauh sekali dari kesan pengetahuan yang dalam. Ketika Paul Agusta mencoba mengangkat tema ini secara lebih mendalam, tentu apresiasi layak dihantarkan kepadanya.
Dalam istilah medis, bipolar disorder, atau yang dulu lebih dikenal dengan nama, manic depression, adalah sebuah kondisi mental yang dikarakterisasi dengan perasaan yang berubah ekstrem. Seorang pengidap bipolar disorder biasanya merasakan eforia berlebih (mania) serta tertekan berat (depresi). Periode mania dan depresi ini bisa berganti dalam hitungan jam, minggu maupun bulan, tergantung masing-masing pengidap. Tidak jarang, orang yang mengalami depresi tidak menyadari jika mereka mengidap bipolar disorder. Masyarakat bahkan hanya akan menganggap mereka sebagai orang gila biasa. Filem kedua Paul Agusta ini, di satu sisi, bisa menjadi referensi untuk mendalami persoalan penyakit bipolar disorder. Sebuah citra kecemasan yang coba diungkapkan dengan gaya surealistik.
Filem ini dikemas dalam narasi yang dipecah menjadi sepuluh bagian. Masing-masing bagian mengungkap kondisi emosional narator. Dibuka dengan animasi stop motion patchwork, yang kemudian dilanjutkan oleh seorang gadis duduk sendiri di ruang terang. Ia duduk sambil menyalakan sebatang rokok dan berbicara pada kamera, tentang pengalamannya menghadapi bipolar disorder. Segala luapan emosinya ditafsirkan secara visual, untuk membawa penonton masuk ke alam pikiran terdalam penderita penyakit ini.
Seperti filem pertamanya, Agusta juga tidak segan untuk menampilkan adegan kekerasan dan ketelanjangan. Pada sesi diskusi, saya cukup terkejut ketika seorang wartawan dari salah satu harian terkemuka di Indonesia memuji filem ini karena keberaniannya mengeksplorasi ketelanjangan. Saya lalu bertanya-tanya, apakah adegan telanjang yang direka sedemikian rupa oleh sang sutradara menjadi penting dalam relasinya dengan narasi filem. Sepanjang filem ini, adegan telanjang memenuhi hampir setengah dari durasi. Para lelaki dan perempuan yang telanjang itu menanggung luka berpola sama di tubuh mereka. Sutradaranya berkata pola luka itu dibuat untuk menunjukkan kesamaan antara pengidap bipolar disorder. Tapi, apakah ketelanjangan menjadi perlu dalam konteks membuka pikiran penonton akan hebatnya kekuatan merusak penyakit ini? Jika jawabannya seperti yang diungkap oleh wartawan tadi, yaitu menunjukkan keberanian, sehingga sang sutradara akan terlihat berbeda, maka jelas hal ini lemah. Sebab, dalam setiap pernyataan, selalu ada landasan untuk memperkuatnya. Saya mulai menerka-nerka. Jika adegan telanjang ini digunakan oleh sutradara untuk menunjukkan kemurnian, di mana ketelanjangan diidentikkan dengan kepolosan jiwa, maka sang sutradara pastilah seorang jenius. Ia mampu merepresentasikan sebentuk kemurnian dalam ketelanjangan. Bahwa dalam mengungkap trauma dibutuhkan keberanian khusus untuk terbuka. Dan, telanjang merupakan cara yang istimewa untuk menunjukkan keterbukaan.
Salib dan Simbolisasi Trauma
Saya teringat filem Paul Agusta yang pertama, Kado Hari Jadi, untuk melihat konsistensi berkarya sutradara muda ini. Saya temukan Agusta menggunakan ikon agama sebagai simbolisasi sebuah peristiwa. Jika di Kado hari Jadi, Agusta menggunakan bunga kamboja di atas Alquran terbuka, maka di filem ini, ia menggunakan salib. Pada dasarnya, alasan yang diungkapkan Agusta menggunakan ikon-ikon itu cukup masuk akal. Dalam sebuah pembicaraan, ia mengatakan bahwa ketika menggunakan bunga kamboja di atas Alquran terbuka pada filem Kado Hari Jadi, tidak lain adalah untuk merepresentasikan kematian. Kado Hari Jadi adalah cerita tentang kematian seorang kawan, dan untuk merepresentasikan kematian itu, bunga kamboja di atas Alquran menjadi simbol. Lagipula, Alquran itu dibuka pada surah Yasiin, yang sering dibacakan umat muslim dalam banyak peringatan, termasuk peringatan kematian. Pada filem Di Dasar Segalanya, salib digunakan Agusta untuk menggambarkan beban berat yang harus dipikul. Agusta merujuk pada sebuah frase dalam bahasa Inggris, the cross you bear (salib yang kau panggul). Istilah ini memang mengacu pada perjalanan Yesus Kristus yang mesti memanggul salibnya sendiri menuju kematian, sebab ia telah menghinakan imam Yahudi. Dalam konteks kekinian, istilah ‘salib yang kau panggul’ merujuk pada kondisi mental seseorang yang harus memikul beban kehidupannya. Simbolisasi ini cukup menarik bagi saya. Agusta, tampaknya tidak berpretensi untuk menggunakan agama dalam arti yang superfisial. Lebih dari itu, ikon keagamaan digunakan Agusta untuk merujuk situasi psikis, yang dalam filem ini lebih merujuk pada kondisi mental dan sosial pengidap bipolar disorder. Salib, di filem ini, diartikan sebagai beban traumatis para penderita ketertekanan jiwa yang akut.
Pada tafsiran-tafsiran tentang ketelanjangan dan simbolisasi ikon agama tersebut, saya mungkin masih dapat memahami. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganggu saya dalam filem ini. Animasi stop motion boneka pada bagian VI, menjadi tanda tanya besar bagi saya. Boneka itu telanjang, dan menurut saya tidak perlu ada dalam filem, sebab aktor manusia sudah memerankan ketelanjangan itu. Jika fungsi stop motion boneka digunakan sebagai variasi, maka tentu variasi ini berlebihan dan tidak memiliki makna berarti Namun, terlepas dari itu, filem ini menarik karena mengambil tema yang jarang sekali diangkat sutradara Indonesia kebanyakan. Kita bisa berharap, semoga di masa depan, Paul Agusta akan membuat karya-karya yang lebih inovatif lagi.
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
Di Dasar Segalanya: A Surrealistic Image of Anxiety
On December 17, 2009, I had the opportunity to watch Paul Agusta’s second film, Di Dasar Segalanya (At the Very Bottom of Everything) at Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Unlike his first film, Kado Hari Jadi (The Anniversary Gift), Agusta’s second undertaking is more carefully made. Sequential, music, and editing are far from the sloppiness typically associated with rookies. Of course, Paul Agusta was lucky to receive a grant for digital production from Hubert Bals Fund, Rotterdam International Film Festival. According to him, the fund was ten times as much his production budget when making his first film. It has clearly resulted in a better filmmaking process.
Di Dasar Segalanya is a story of a girl with bipolar disorder in dealing with her aggravating madness. The young girl’s narration about her manic depression is interpreted visually to present a fascinating surrealistic world, in hope for the audience to comprehend trauma. Violence, nudity and symbols of religious icons occupy this 84-minute film.
Theme of illness has never been worked well in Indonesian films. When made into film, it always seems to have an air of superficiality, far from explorative depth of knowledge about the illness. When Paul Agusta ventured to raise the theme with more depth, appreciation shall certainly be given.
Medically speaking, bipolar disorder—previously known as manic depression—is a mental illness characterized with extreme changes of mood. Someone with bipolar depression switches mood from excessive euphoria (mania) to severe depression. The manic and depressive period may shift within hours, weeks, or months, varying in each person. Often, people with depression are not aware of their bipolar disorder. Most normal people would even regard them as just any other mental people. Agusta’s second film, in one hand, may wall be a reference for studying bipolar disorder. An image of anxiety presented in surrealistic style.
The film is divided into ten narrative parts. Each part conveys the narrator’s emotional condition. It begins with stop motion patchwork animation, followed by a depiction of a girl sitting alone in a brightly-lit room. She sits while lighting a cigarette and talks to the camera about her experience with bipolar disorder. Her every emotional burst is interpreted visually, delivering the audience to enter the mind of a mentally ill.
As in his first film, Paul Agusta is not reluctant to picture violence and nudity. In a discussion, I was surprised when a reporter of a well-known daily praised the film for its boldness in exploring nudity. I then wondered if the nudity constructed by the director is necessary in relation to the film’s narrative. Throughout the film, nude scenes occupy more than half of its duration. All the naked men and women bear a similar pattern of wound. The director states that the wound represents similarities among people with bipolar disorder. But is it truly necessary, in regard to its context, to present nudity in order to inflict in the audience’s mind the destructive force of the disorder? If the answer lies in the reporter’s comment, i.e. to manifest boldness, to demonstrate the director’s distinctiveness, then it’s fundamentally weak. There has to be a reason to establish every statement in a film. I started to guess. If nude scenes are used to represent purity, where nudity is associated with the bareness of soul, then the director must be a genius for being able to represent a form of purity in nudity. To expose trauma, it takes courage to be open. And nudity is a distinguished approach to show openness.
A Cross and Symbolization of Trauma
I recall Paul Agusta’s first film, Kado Hari Jadi, to trace this young director’s consistency in filmmaking. I learned that Agusta uses religious icons to symbolize an occurrence. While in Kado Hari Jadi Agusta uses a frangipani above an opened Koran, here in his second film he uses a cross. Essentially, his usage of icons is reasonable. In a conversation, he said that a frangipani above the Koran in Kado Hari Jadi is none other to represent death. Kado Hari Jadi is a story of a friend’s death, and to represent his death, frangipani above the Koran is used as a symbol. The Koran is opened on the surah Yasiin, which is often read by moslems in many occasions, including in commemorating the departed. In Di Dasar Segalanya, Agusta uses a cross to describe a heavy burden. Agusta referred to a saying “the cross you bear”. This phrase refers to Jesus’ journey to crucifixion where he had to bear his own cross because he was deemed of offence to Jew priest. Nowadays, the saying “the cross you bear” pertains to one’s mental condition upon bearing the burden of life. This symbolization interests me. Agusta doesn’t seem to pretend and heed to depict religion in an artificial way. More than that, Agusta uses religious icons to bring forward psychological situation, which in this film is specifically about mental and social condition of someone with bipolarity. The cross in the film is interpreted as the traumatic burden of acute depression.
I might still be able to comprehend Agusta’s interpretation on nudity and his symbolization of religious icons. But there is one thing about this film that bothers me, still. The puppet stop motion animation in part VI leaves within me a question. The puppet is naked, which I think is unnecessary because nakedness in the film is performed sufficiently by its human actors. If puppet stop motion functions as a variation, it appears to be overwhelming and meaningless. But other than that, it is an interesting film nonetheless, due to its ability to bring up a theme rarely picked by most Indonesian directors. One can expect for Paul Agusta, in the future, to make more innovative works.
[/tab_item]
[/tab]