Awalnya, filem bisu hanya diiringi oleh pemain piano tunggal sebagai pengisi suara. Kemudian, dalam perkembangannya, filem bisu diiringi oleh musik orkestra. Gubahan-gubahan orkestra terbaru pun dipertunjukkan.
Rabu lalu, 14 Mei 2008, sebuah ensembel dari Vietnam National Academy of Music menggelar pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta. Pertunjukan yang digelar dalam rangka peringatan hari lahir Johann Wolfgang von Goethe ini diselenggarakan oleh Goethe Institut.
Pertunjukan tersebut dirangkai sebagai pengiring pemutaran filem bisu Der müde Tod (Takdir), besutan sutradara ekspresionis Jerman, Fritz Lang. Filem hitam putih buatan 1921 ini berkisah tentang seorang perempuan muda yang menuntut malaikat maut untuk mengembalikan kekasihnya yang diambil. Romantisme, kepercayaan kepada nasib dan mistik melebur jadi satu.
Iringan musik orkestra pimpinan Pierre Oser ini mendayu di sepanjang kisah romantis-tragis filem bisu Fritz Lang. Ensembel bernama Hanoi Philharmonic Orchestra ini, yang semua pemainnya berkebangsaan Vietnam, bermain apik sepanjang filem. Penggubahnya, Pierre Oser, mengatakan bahwa dirinya sangat menikmati menggubah karya untuk mengiringi filem ini. “Inspirasi saya berasal dari kisah yang terpampang di gambar,” katanya saat ditemui oleh jurnal Footage seusai pertunjukan.
Oser, yang merupakan seorang komposer dan dirigen berkebangsaan Jerman ini, memang sering menggubah komposisi untuk pertunjukan teater dan filem. Baginya musik yang dimainkan secara langsung di hadapan khalayak akan sangat berbeda dengan musik yang dimainkan di kamar. Letupan emosi penonton akan lebih terasa dalam pertunjukan langsung ketimbang yang telah direkam ke dalam bentuk cakram digital. “Pertunjukan musik langsung untuk sebuah film bisu akan lebih bermakna ketimbang mendengarnya dari sebuah keping dvd,” tegasnya.
Kurang Imajinatif
Penonton yang memadati ruang pertunjukan Gedung Kesenian Jakarta menyatakan ragam pendapat soal pertunjukan musik filem bisu Fritz Lang ini. Salah seorang penonton menyatakan kegembiraannya usai menyaksikan pertunjukan.
“Jarang-jarang ada tontonan pemutaran filem yang diiringi musik orkestra secara langsung dan tanpa sama sekali mengurangi nilai dari filem itu,” tutur Ajeng, mahasiswi yang baru pertama kali menonton pertunjukan filem diiring musik orkestra secara langsung.
Memang, sepanjang tahun 2008 ini, pertunjukan konser filem bisu baru pertama kali diadakan. Penyelenggaranya, Goethe Institut, telah berkali-kali menggelar konser filem bisu. Pertama kali tahun 1999, di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta. Kala itu, filem yang diputar juga karya Fritz Lang, Metropolis (1927), diiringi pula konser musik langsung, tetapi bedanya dimainkan hanya oleh seorang pianis solo.
Sebagai suatu hal yang lumrah digunakan baik dalam filem bisu maupun suara, komposisi musik ditujukan untuk membuat rangkai imajinasi yang mampu menggugah perasaan penonton filem. Rizka, adalah satu satunya. Dia merasa terharu setelah menonton konser filem bisu ini. ”Sebuah rangkai cerita manis diselaraskan dengan musik sendu yang membangun suasana romantis dan sangat miris. Saya terharu,” ujarnya.
Namun, ilustrasi musik dalam filem juga bisa kurang imajinatif ketika ia terlalu memadankan suara dengan gambar. Hafiz, seorang pembuat video dan pendiri Forum Lenteng menyatakan kekecewaannya seusai pertunjukan. “Konser filem bisu ini kurang imajinatif. Komposisi yang dimainkan Oser terlalu ilustratif,” ungkapnya kepada jurnal Footage. Menurutnya, pertunjukan filem yang diiringi konser musik orkestra adalah dasar dari sebuah pertunjukan teater, di mana ilustrasi musik terpisah dari gambar. Semua itu ditujukan untuk membuat filem menjadi lebih imajinatif.
Orchestra of Silent Film at the Jakarta Arts Building
Initially, there was only a single piano player that accompany silent films to fill the voice. Then, in its development, silent films were accompanied by orchestral music. Eventually, the latest orchestral compositions were performed.
Last Wednesday, May 14, 2008, an ensemble of the Vietnam National Academy of Music held a show at the Jakarta Arts Building. The Goethe Institut organized the show intending to commemorate Johann Wolfgang von Goethe’s birthday.
The show was assembled as an accompaniment to the silent film Der müde Tod (Destiny), made by a German expressionist director Fritz Lang. This black and white film was completed in 1921. It tells the story of a young woman who demands the angel of death to return her taken lover. Romance, as well as the belief in fate and mystique, merge into one.
This orchestral musical accompaniment led by Pierre Oser flowed throughout the romantic-tragic story of Fritz Lang’s silent film. The Hanoi Philharmonic Orchestra, whose players are all Vietnamese nationals, played well throughout the film. The composer, Pierre Oser, said that he enjoyed composing works to accompany this film. “My inspiration comes from the story that is displayed in the picture,” he told Jurnal Footage after the show.
Oser, a German composer and conductor, has often composed compositions for theater and film performances. For him, music played live in front of the audience will be very different from the music played in a room. The audience’s emotional bursts will be felt more in the live performance than the one recorded on a digital disc. “Live music performance for a silent film would be more meaningful than hearing it from a DVD,” he stressed.
Less Imaginative
The audience who filled the Jakarta Arts Building’s performance space expressed their varied opinions regarding Fritz Lang’s silent film music performance. One of the audiences expressed her joy after watching the show.
“It is rare to find the screening of a film accompanied by a live orchestral music and without reducing the value of the film at all,” said Ajeng, a student who for the first time watched a film performance accompanied by live orchestral music.
Indeed, throughout 2008, this is the first silent film concert performance that was held. The organizer, the Goethe Institut, has repeatedly held silent film concerts previously. The first time was in 1999, at the Haji Usmar Ismail Film Center (PPHUI), Jakarta. At that time, the film by Fritz Lang, Metropolis (1927), was accompanied by a live music concert, the difference only that a solo pianist played it.
As something that is commonly used in both silent and sound films, musical composition is intended to create a series of imaginations that can stimulate film audiences’ feelings. Rizka is one of the examples. She felt touched after watching this silent film concert. “A series of sweet stories harmonized with melancholy music that creates a romantic and sorrowful atmosphere. I was touched,” she said.
However, music illustrations in films can also become less imaginative when they try to match the sound with the pictures too much. Hafiz, a video artist and founder of Forum Lenteng, expressed his disappointment after the show. “This silent film concert is less imaginative. Oser’s composition is too illustrative,” he told Jurnal Footage. According to him, a film performance accompanied by an orchestral music concert is the basis of a theater performance, where musical illustrations are separated from the pictures. The aim of this music is indeed to make films more imaginative.