Oleh Manshur Zikri
Artikel berjudul “Apa Jang kau Tjari, Pak Misbach?” ini pertama kali terbit dalam katalog ARKIPEL – International Documentary & Experimental Film Festival, 2013, hal. 103-108, ditulis oleh seorang peneliti film Dag Yngvesson untuk pengantar kuratorial pada program penayangan film yang bertajuk sama pada festival tersebut.
Yngvesson merefleksikan keterkesimaannya pada Sinematek, dan begitu pula pada film berjudul Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (2013) karya Hafiz Rancajale, melalui sudut pandang yang sangat personal. Dalam pengantar ini, dapat kita cerna bahwa Yngvesson menyoroti langgam metaforis dari film tersebut yang dianggapnya berhasil mempersonifikasi objek sejarah melalui biografi subjek sejarah, yang mana antara objek dan subjek itu (yaitu, antara Sinematek dan Misbach) mempunyai hubungan yang erat bagaikan dua sisi mata uang koin.
Membaca kembali pengantar Yngvesson hari ini, kita sekali lagi diingatkan soal krisis infrastruktur perfilman Indonesia dan bagaimana masyarakat dan juga “sinema Indonesia” menjadi korban dari krisis tersebut.
Akan tetapi, sebagaimana perjuangan Pak Misbach, optimisme terhadap sinema selalu diadakan, dan diperjuangkan untuk mencapai cita-cita yang diidamkan.
Menyandingkan Anak Sabiran dengan sebuah film berbeda gaya penceritaan dan tahun produksi, yaitu Apa Jang Kau Tjari Palupi (1970) karya Asrul Sani, Yngvesson agaknya berupaya menegaskan optimisme itu dalam konteks “aksi kuratorial” — yaitu sesuatu yang berhubungan dengan usaha-usaha penghadiran film (sebagai cara untuk tetap mengingat) lewat pengadaan tayangan publik, melalui mana usaha-usaha tersebut akan bertemu dengan aksi penjelajahan arsip dan pengongkretan “pengalaman ber-arsip” bagi publik.
Di sini, kita tahu bahwa arsip tak akan pernah lepas dari upaya kurasi, bahkan ketika uraian kuratorial itu berangkat dari refleksi yang sangat personal sekalipun. Demikianlah teks Yngvesson ini penting untuk direnungkan kembali.
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Jurnal Footage pada tanggal 7 Oktober 2013. Kami memuatnya kembali di situs ini menggunakan tanggal yang baru, dengan suntingan kecil di beberapa bagian, sebagai bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.
Selamat membaca!
Apa Jang Kau Tjari, Pak Misbach?
1. Sang Arsip: Server Internal
Pada saat ibadah sholat Jumat di Masjid Mal Pasar Festival-Kuningan, aku duduk di ruangan besar yang sehari-harinya dipakai sebagai gedung olahraga, lantainya kini dilapisi dengan karpet sajadah, muadzin mengumandangkan adzan. Bersama para pegawai lembaga Arsip Film Nasional-Sinematek, yang berlokasi di gedung sebelahnya, Budi, Sandas, dan beberapa yang lainnya, dengan kepala tertunduk dan mata setengah terbuka, aku mendengarkan kiai berkata: “Allah telah memasang sebuah kamera CCTV di dalam kehidupan manusia. Segalanya telah terekam, bahkan walau itu hanya berupa bisikan dalam hatimu yang tak terucapkan. “
Sebagai seorang umat yang secara aktif berpartisipasi mendengarkan ceramah dalam sholat Jumat itu, aku mengeluarkan buku catatan kecilku dan mulai menuliskan: Sejarah dan pengalaman manusia di dalamnya, sepenuhnya ditangkap dan dipreservasi di sebuah server yang sangat besar, yang mana hidup kita akan ditinjau dan dievaluasi. Karena Tuhan selalu ‘men-shoot’ kita, apa yang telah kita perbuat, Sang Penceramah berargumen—melalui perilaku yang melekat pada suara kita, pikiran kita—pasti merefleksikan tujuan yang lebih besar. Bahkan perpaduan yang paling personal dalam diri kita pun merupakan elemen kunci dalam sebuah proses tajam dari sebuah pembentukan imajinasi kolektif. Kalau kita bisa mengkonseptualisasi zaman baru di mana kesalahan-kesalahan masa lalu tidak diulang, kemudian kita dapat menerapkannya ke dalam sebuah praktik.
Namun kata-kata Si Kiai ini mengandung paradoks. Kita diharapkan belajar dari sebuah “arsip” masa lalu kolektif yang terwacanakan secara ketubuhan yang kita, sebagai individu, hanya dapat [dalam] serpihan akses sangat terbatas. Jadi sebenarnya kita tinggal menunggu firman Allah yang membimbing kita, dan kiai dan ulama yang berperan sebagai penerjemah dan gurunya. Mungkin sebetulnya ini hal yang wajar: arsip itu, dengan ketidakterbatasan kemampuannya untuk menyimpan dan melestarikan, pasti akan berisi kesan sisi gelap jiwa kita yang mungkin berjumlah sangat besar. Semata bagi manusia, melihat ke dalam masa lalu yang direkam secara persis dan total justru mungkin juga membuka jurang keputusasaan karena kemustahilan mengubah karakter manusia dari waktu ke waktu akan menjadi sangat jelas. Dengan demikian batas-batas memori perseorangan juga dapat melindungi kita dari diri kita sendiri, dari melihat sebagaimana “manusia” kita sebenarnya.
2. Sang Dokumenter: Arsip, The Movie
Dalam Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, 2013, sebagaimana dalam kehidupannya, Misbach Yusa Biran adalah seorang penjaga dan pemandu spiritual Sinematek, sebuah “ruang penyimpanan” di mana bisikan hati yang filmis dan kolektif dari negeri ini—dari masa pascakemerdekaan—dikumpulkan. Melalui wajahnya Misbach, pada suaranya, melalui surat-suratnya, dan pada gerak tubuh rentanya, terlukiskan dinamisasi ketegangan antara sifatnya apa yang dia sebut sebagai “rekaman sejarah yang paling akurat mungkin” dan ideal penggunaan koleksi rekaman/impresi itu sebagai alat untuk melayani konsep yang sangat spesifik dari harta karun publik. Anak Sabiran sendiri bergulir di dalam ketegangan ini, dan menanggapinya. Daripada sekadar hanya menyajikan narasi audio-visual mengenai kehidupan dan kelahiran Misbach beserta arsipnya (yang mana juga dilakukan oleh film ini), dengan perlahan, hati-hati dan meraba-raba dengan rasa, menjalani hubungan yang rumit Indonesia kini dengan masa lalunya, dan, yang lebih penting, dengan sejarahnya yang kaya dan kurang dijelajahi sebagai sebuah negara yang memproduksi sinema.
Dalam sebuah adegan, yang secara jeli menunjukkan, film ini mengikuti langkah terpatah-patah Pak Misbach ke sebuah klinik di mana dia menjalankan sebuah terapi setrum (listrik). Kita menyaksikan bagaimana dia dipijat, dan menerima sejenis terapi kejut listrik yang menyakitkan pada kaki dan punggungnya yang nyeri. Sekuen ini kemungkinan meninggalkan pertanyaan dalam sejumlah penonton tentang durasinya dan banyaknya rincian tentang pengobatan tersebut yang sepertinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengarsipan dan sinema. Tapi sebenarnya adegan ini secara subtil berhasil menyampaikan komentar penting tentang tema sentral filmnya. Setelah mengorbankan hidupnya dengan berjuang untuk “menyelamatkan” Indonesia dengan melestarikan masa lalu, tubuh “Sang Arsip” menjadi kaku dan membatu seperti juga citra yang sudah dibekukan dalam waktu.
Adegan berikutnya, sebuah wawancara dengan sutradara terkenal pasca-Reformasi, Riri Riza, mengisahkan Pak Misbach muda, saat masih sehat dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta pada 1990-an. Saat itu, Sang Pengarsip dengan enerjiknya memangku peran sebagai seorang agen dan provokator, yang sangat bertekad untuk membentukkan imajinasi nasional/kolektif yang lebih bajik dengan cara mengarahkan karya dari para pembuat film yang masih muda dan bercita-cita. Sebagai muridnya, bagaimanapun, tampaknya Riri Riza langsung patah arang. Tesis filmya ditolak karena dianggap terlalu “tidak jelas”, membiarkan moralitas para tokoh dan situasi-situasinya terbuka, kekurangan dialog berat yang secara garis bawah dianjurkan oleh Misbach serta harus memperkuat nilai yang positif.
Bagi Riri, sinema dalam pemahaman idealisme Misbach terlalu kaku dan propagandaistis. Namun pada saat dia berkunjung ke kantornya di Sinematek, gambaran tentang sang dosen pun berubah. Di sini seorang yang benar-benar percaya, dengan cara yang mirip keyakinan terhadap agama, dengan kekuatan yang berada dalam sinema. Penghormatannya pada segala makhluk ciptaan Tuhan yang rela membungkukkan badan untuk mengangkat kamera terlihat sangat jelas: dalam konteks pengarsipan, tak ada waktu untuk melemparkan tuduhan. Perihal ‘baik’ dan ‘buruk’ keduannya adalah bagian penting dari Keseluruhan, maka wajib dilestarikan masing-masing sebelum itu semua punah selamanya. Misbach dengan rendah hati meminta Riri Riza untuk menyerahkan ‘apa pun’, apa saja yang berhubungan dengan produksi film-filmnya, ‘apa pun’ untuk dibagi demi koleksinya.
Anak Sabiran sendiri mengambil perspektif seorang pengunjung yang baru pertama kali ke kantor Pak Misbach. Seperti semua tamu-tamu di situ, disambut baik untuk berkunjung dan menjelajah, juga pastinya menemukan hubungan di antara benda-benda dan citra-citra lamanya dengan dunia masa kini di luaran sana. Di dalamnya, gedung tersebut (sebelum direnovasi tahun ini) tampak seperti badan yang tua dan renta, penuh dengan sebuah totalitas “rekaman-rekaman” yang tak terpahami, namun dijiwai oleh sebuah kekuatan yang jarang: sebuah idaman yang hebat dan tidak gentar untuk mengingat dan berbagi. Pada rak-rak dan temboknya, ambiguitas perasaan kolektif terhadap citra-citra yang angker karena diawetkan dari masa yang hilang, tertuliskan di mana-mana sebagai terabaikan dan kerusakan. Seperti pernyataan berulang-ulang yang diucapkan Pak Misbach di bagian akhir film, di mana itu adalah seminggu masa akhir hidupnya, “Kamu pikir gampang mengumpulkan semua benda ini? Tidak gampang.” Selama 40 tahun berhadapan dengan ketidakpedulian masyarakat dan negara, memang kemungkinan hanya sebuah kekukuhan yang tumbuh dengan kegairahan yang membabi buta adalah satu-satunya cara yang mampu menyelamatkan runutan-runutan masa lalu ini.
3. Sang Kurator: dari Kumpulan Arsip
Tidak seperti citraan yang terkunci dengan saksama yang dikumpulkan oleh kamera internal CCTV kita, potensi radikal dalam arsip-arsip yang tentu (dan ini sangat tidak mengecualikan kumpulan yang “acak” atau tidak resmi) terletak dalam aksesnya, bagi mereka yang cenderung punya waktu untuk menggali, terhadap kesungguhan “sudut pandang Tuhan” mengenai sejarah. Tak seorang pun, tentunya, bisa meyerap, atau memilah masa lalu secara menyeluruh. Namun proses sederhana dari menjelajahi citraan, ide-ide, dan momen dalam waktu yang direkam dapat memberi rasa keterhubungan dan pemahaman yang kuat dan memabukkan, bahkan bisa menimbulkan kebencian atau kecintaan: yaitu di sini ‘kita’ dan ‘mereka’ terlahir dari narasi-narasi yang dibuat oleh para penjelajah arsip, mengkristal dalam jalur-jalur yang mereka tarik dari masa lalu ke sekarang. Ini bukan sesuatu yang dapat dianggap enteng.
Hingga kini aku telah menghabiskan beberapa tahun mengumpulkan banyak DVD dan membenamkan diri dalam dunia ratusan film Indonesia. Walaupun, sebagian besar dengan resolusi rendah dan beraspek rasio sinemaskop yang dipangkas secara keras menjadi 4:3, mengurangi nyaris 50 persen area gambar dalam bingkaian. Oleh karena itu, sulit dijelaskan betapa menyenangkannya bisa berkutat berminggu-minggu terakhir ini di ruang bawah tanah Sinematek, menghirup aroma kimia dan menyaksikan goresan-goresan frame 35 mm yang tak terhitung jumlahnya dalam layar meja edit untuk melihat film seluloid. Ketika saya menyadari, untuk alasan yang rumit, ini adalah pandangan tertentu tentang masa lalu yang amat, teramat sedikit pernah dialami orang Indonesia, terutama yang usianya di bawah 40 tahun. Sebagai seorang peneliti asing, dan seseorang dari “Hollywood” sebagai tambahannya, setidaknya sekali seminggu saya dihujani pertanyaan meragukan kegiatanku yang selalu sama: “Mengapa Anda tertarik dengan sinema Indonesia??”
Saya menganggap tulisan ini, di antara lainnya, sebagai kesempatan untuk memberi jawaban yang paling tidak merespon sebagian. Dalam memilih ‘film pasangan’ yang akan dijajarkan dengan Anak Sabiran, saya telah mengacu kembali dari ‘jurang’ gelap arsip tadi dengan karya yang memberi sebuah harapan untuk masa depan. Apa Jang Kau Tjari Palupi (1970) karya Asrul Sani bukan hanya sebuah film Indonesia favorit saya, tapi salah satu yang saya letakkan di antara karya-karya sinema papan atas secara general. Rasa harapan yang dimunculkan, walaupun, bukan hasil ending yang bahagia atau kata-kata bijak yang dituturkan oleh aktor karismatik. Sebaliknya, sumbernya adalah pandangan sejarah dan pengalaman manusia yang tak tergoyahkan serta keterusterangan yang keras, meskipun tidak terlalu ‘dingin.’ Menerjemahkan pengulangan kesalahan manusia yang sudah pasti ke dalam bayangan kelabu yang pergeseran, goresan dan mengharukan: tidak pernah benar-benar hitam atau putih, dan selalu berwarna.
Jika semua berjalan sesuai rencana, film Asrul Sani yang Anda tonton akan datang dari ruang bawah tanah penyimpanan film yang sama yang baru saja terjelajahi dalam karya Mr. Rancajale dan teman-teman. Kedua film ini, pada kenyataanya, diproduksi di era yang sangat berbeda dan memiliki genre, struktur formal, dan teknologi media yang berlainan, namun menampilkan kegelisahan yang sama dengan kaidah penceritaan klasik. Keduanya mengundang mata penonton untuk berlama-lama menatap gambar atau sekuen ini-itu, memilih gambar peristiwa, atau suara yang resonan, dan melibatkan kita ke dalam sebuah dunia yang selalu dialami melalui kumpulan rekaman dan ditata oleh para kolektor jeli. []