Al-Kautsar, Gadis Marathon, Titian Serambut dibelah Tujuh, Hati yang Perawan, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Bintang Kejora, Keluarga Markum, Joe Turun ke Desa, Boss Carmad, Oom Pasikom (Parodi Ibukota), Nada dan Dakwah, Ramadhan dan Ramona, Fatahillah, dan baru-baru ini filem Ketika Cinta Bertasbih adalah filem-filem yang pernah disutradarai oleh Chaerul Umam. Namanya yang tak asing lagi dalam jagat perfileman nasional. Dalam sebuah kesempatan, saya berbincang-bincang dengannya dan ia mengutarakan komentarnya mengenai kompleksitas dunia perfileman nasional mulai dari pandangannya terhadap perjalanan filem Indonesia, industri filem, tema-tema filem yang ia pilih, lembaga sensor, hingga perkembangan mutakhir dunia perfileman nasional yang mencakup kedudukan komunitas dan perkembangan teknologi filem dewasa ini. Dari komentar-komentarnyalah saya temukan cara pandang dia dalam melihat konstelasi perfileman nasional yang sama-sama tak kalah rumitnya dengan persoalan mendasar bangsa ini. Terlebih lima bulan yang lalu, DPR mensahkan RUU Perfilman menjadi UU. Namun, pandangan yang ia kemukakan tidaklah sesuai dengan ideologi filem-filem yang ia buat terdahulu. Kenapa tidak, Chaerul Umam tetap memelihara status quo dalam mencermati perkembangan mutakhir filem Indonesia. Di satu sisi ia sangat prihatin dengan kondisi perfileman nasional yang tetap saja berselera rendah dan di sisi lain ia rupanya sudah sangat tertinggal dengan dinamika basis infrastruktur dan suprastruktur perfileman nasional khususnya jerih payah komunitas filem dalam membangun pondasi tatanan perfileman nasional. Dan lebih parah lagi, filem-filem yang ia sutradarai paska reformasi ini mengalami kemunduran total.
Chaerul Umam tumbuh dan dibesarkan dalam industri filem tak terlepas dari pengaruh Asrul Sani. Asrul Sani telah berhasil mengkadernya menjadi seorang sutradara yang patut diperhitungkan, terbukti debut perdana Chaerul Umam sebagai sutradara dalam Al-Kautsar telah berhasil mengantarkan filem ini masuk nominasi pada Festival Film Asia XXIII di Bangkok, Thailand 1977. Hampir semua filem yang ditulis oleh Asrul Sani, nama Chaerul Umam selalu dipercaya sebagai sutradara. Otoritas itu secara legitimate disandang Chaerul Umam dalam menerjemahkan gagasan Asrul Sani yang dituangkan dalam skenario, dan dibuat melalui gaya penyutradaraan Chaerul Umam. Pada tahun 1982, Chaerul Umam kembali menyutradarai filem-filem yang ber-genre religi dan tak tanggung-tanggung, filem yang ia sutradarai adalah sebuah filem Islam pertama di negeri ini, Titian Serambut Di Belah Tujuh yang dibuat tahun 1959 oleh Asrul Sani. Dalam filem ini, Chaerul Umam mampu memberikan sentuhan signifikan dan banyak pengamat yang memuji kualitas filem itu. Dan tentunya pujian juga datang dari sang empu, Asrul Sani. Titian Serambut Dibelah Tujuh tampil sebagai filem religi yang memukau, Chaerul Umam mampu memberikan kekuatan watak pada tiap karakter tokohnya untuk dapat mengartikulasikan persoalan-persoalan yang menimpa masing-masing pemainnya. Di samping itu, filem ini mempunyai kekuatan pada unsur-unsur stilistiknya dan nama Chaerul Umam pun serta merta terangkat karena berhasil memadukan semua elemen-elemen konstruksi filem. Hal yang sama juga berlaku pada filem Kejarlah Daku Kau Kutangkap yang meraih box office dengan capaian 166.734 penonton, sebuah angka yang fantastis ketika itu. Filem ini dengan mantap berhasil memenuhi harapan penonton sebagai bentuk filem komedi cerdas dengan menceritakan sebuah permasalahan suami-istri di sebuah rumah tangga. Berbagai Piala Citra, Piala Antemas dan filem terlaris di Jakarta sepanjang medio 1986 telah diraih filem besutan Chaerul Umam ini. Prestasi ini tak cukup berhenti disini saja dan terus berlanjut ke filem-filem berikutnya yang ia sutradarai. Filem-filem yang ia sutradarai berhasil menyedot perhatian penonton, lantaran filem-filem tersebut mempunyai basis persoalan yang riil dan dekat dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Terlebih filem itu dikemas secara komedi dan karikatural seperti dalam Oom Pasikom, sebuah filem komedi adopsi dari tokoh kartun Oom Pasikom yang dimuat di harian Kompas. Filem yang menceritakan fragmen-fragmen masyarakat ini, mampu mengartikulasikan kisah-kisah orang pinggiran akibat kebijakan pembangunan pemerintah orde baru yang salah sasaran dan berdampak terhadap tindakan sosial masyarakatnya.
Ketika Cinta Bertasbih (trailer)
Melihat Chaerul Umam Kini
Pergantian rezim pada medio 1998, rupanya juga berdampak pada diri Chaerul Umam. Setelah menyutradarai Fatahillah di tahun 1997, karirnya sebagai sutradara filem untuk sementara vakum. Ia justru lebih memilih dan asyik menjadi seorang sutradara sinetron. Mungkin pilihannya tersebut berdasar pada kelesuan dan mati surinya industri filem nasional dan adagium yang menyatakan hijrahnya orang-orang filem ke industri televisi rupanya berlaku juga bagi Chaerul Umam. Sinetron Bengkel Bang Jun, garapan pertamanya dalam menyutradarai sinetron. Dalam satu dekade paska reformasi ini, ia lebih banyak menyutradarai berbagai sinetron religi yang sedang marak ketika itu. Sebut saja Maha Kasih, Jalan Takwa, dsb. Baru di tahun 2008, Chaerul Umam untuk pertama kalinya kembali menyutradarai filem. Ketika Cinta Bertasbih adalah filem arahannya dari adaptasi novel Habiburrahman el-Shirazy dengan judul yang sama. Filem ini pada dasarnya mengikuti pola dan resep yang sama dari filem sebelumnya, Ayat-ayat Cinta. Kebetulan novel tersebut best seller di pasaran, dan filem ini pun meraup sukses komersial yang luar biasa. Melihat begitu besarnya potensi pasar, Chaerul Umam pun tak ketinggalan untuk sesegera mengangkat novel tersebut ke layar lebar. Hasilnya bisa ditebak, raihan penonton dalam filem ini pun cukup signifikan meskipun belum mampu menyaingi Ayat-ayat Cinta yang fenomenal. Dan layaknya seperti sinetron, filem ini pun bersambung pada Ketika Cinta Bertasbih II. Filem yang bertabur bintang dan kaya nuansa serba gemerlap ini, terasa kontraproduktif dengan tokoh Azzam, seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar yang berjuang menyelesaikan kuliahnya. Filem ini terjebak pada arketipal opera sabun dan sama sekali tidak memberikan fatsun politis—kalau mau dikatakan seperti itu, dan ini berbeda dengan filem-filem yang ia buat di medio 1970-1980an yang mampu menangkap realitas sosial—persoalannya lain dulu, lain sekarang. Memang, boleh dikatakan seperti itu, namun kita harus menengok kembali bahwa filem-filem religi secara naratif dan stilistik perlu dikaji ulang. Bukannya jauh-jauh Gus Dur telah memperingatkan, bahwa filem-filem Islam seyogyanya melepaskan diri dari keseragaman bentuk—dalam hal formalitas agama. Menurutnya, baik segi sinematik dan non-sinematik perlu ada keragaman wajah dan kebebasan bentuk, seperti yang ia tulis dalam esainya pada 28 tahun silam dengan judul Film Dakwah; Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk. Dewasa ini, kenyataan berkata lain, filem-filem bertema religi tak mampu sebagai agen transformasi sosial seperti yang tersari dengan apik dalam filem-filem yang disutradarai Chaerul Umam; Al-Kautsar dan Titian Serambut Di Belah Tujuh. Secara parsial, Islam digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan yang bersifat domestik.
Dan kita pun segera mengetahui posisi Chaerul Umam kini yang tak lebih dari ‘kenaifannya’ ikut serta memproduksi budaya kitsch, demi memenuhi ambisi produser untuk mencapai akumulasi keuntungan yang berlipat. Posisi Chaerul Umam ini, secara eksplisit menegaskan bahwa kedepannya orang yang membuat filem harus mendatangkan income, begitulah jawabnya tatkala saya menanyakan perihal dalam satu dekade geliat perfileman nasional. Celakanya lagi, sangat disayangkan bahwa kenaifan Chaerul Umam jatuh pada pemahaman sektarian dengan mencederai karirnya sebagai sutradara. Ia mengatakan bahwa dalam filem religi yang ia buat pemainnya harus Islam, adegan-adegan tetap dalam koridor syariat agama, begitupun dalam komposisi sinematiknya, jika ia berjilbab maka tak perlu dilepas jilbabnya. Jelas sekali, Chaerul Umam jatuh pada sikap mental yang mereduksi agama pada taraf tertentu yang amat sempit. Sikap yang ia ambil, secara sinematik juga mematikan ruang kreatifitas dan bersifat close reading—begitulah saya menyebutnya di mana pembacaan bahasa sinema menjadi tertutup.
Ketika Cinta Bertasbih 2 (trailer)
Tak cukup disitu saja, perubahan karakter Chaerul Umam semakin menempatkan dirinya pada posisi status quo, pandangannya tentang sensor, berkembangnya komunitas-komunitas filem, industri filem, teknologi dan tema-tema filem ia tanggapi dengan dingin. Mengenai sensor, ia memandang masih sangat diperlukan dengan pertimbangan masyarakat kita belum siap jika sistem sensor dihapus. Baginya, sensor di sini bukan secara kelembagaan yang salah, melainkan orangnya. Ia menambahkan lembaga sensor kedepannya harus lebih diperkuat lagi sistemnya, karena produk audio visual yang tak terbendung lagi di masyarakat seperti DVD, dan sebagainya. Tawaran mengenai lembaga klasifikasi filem sebagai pengganti lembaga sensor menurutnya sebagai bentuk demokrasi yang kebablasan, yang hanya diperjuangkan segelintir orang saja.
Pandangannya tentang sensor terlalu parsial. Sensor dilihat sebagai perkara moral, dan tak ubahnya kebijakan pemerintah kolonial tentang masyarakat jajahannya yang dianggap masih terbelakang dan perlu dididik secara moral. Pengandaian itu berlaku pada pandangan Chaerul Umam tentang sensor, ketidaksiapan masyarakat adalah alasan kuat mengapa sensor masih diperlukan. Masyarakat kita berada dalam demokrasi yang semu. Segala regulasi mengenai moral tertuang sangat jelas, baik dalam peraturan perundang-undangan, Perda-perda, dsb. Lagi-lagi praktik hipokrisi menjangkiti elemen negara di berbagai sektor, termasuk perfileman. Jika dulu, sensor berhubungan mengenai ketertiban dan keamanan dari tindakan subversif, kini sensor berada pada kuasi moral yang tidak boleh berseberangan dengan kriteria moral pemerintah dan kehendak umum (mainstream). Di sinilah letaknya sensor tak mampu mengatasi begitu saja persoalan, berbanding terbalik dengan tema-tema perfileman nasional saat ini di mana horor + komedi + seks bertaburan dibuat. Lalu di manakah lembaga sensor berfungsi dengan baik, tatkala filem-filem seronok pun lolos sensor. Bukankah ini sama saja dengan menjilat ludahnya sendiri—saya kira Chaerul Umam terjebak dalam pusaran aparatus moral yang merasa mempunyai otoritas dalam mengawal moral masyarakat. Ironis sekali sikap Chaerul Umam yang dulu dikenal sebagai sutradara yang melahirkan filem-filem berkelas—mampu menggambarkan persoalan yang ada di masyarakat dengan sangat apik dan genial.
Apakah Islam dapat dijadikan pembenaran? Bagi Chaerul Umam, tentu iya. Pandangannya tentang Islam dipilih sebagai tema yang ia sukai ternyata menyisakan satu masalah tersendiri. Pertama, ia bisa dikatakan mengkhianati Asrul Sani. Kenapa? Berkat tangan dingin Asrul Sani-lah Chaerul Umam mendapat tempat terhormat di ranah perfileman nasional. Tak perlu diragukan lagi, pandangan Asrul Sani sangat mempengaruhi jagat kebudayaan Indonesia di mana ia mengumandangkan semangat humanisme universal yang mensyaratkan universalitas manusia dalam mengekspresikan diri. Asrul Sani jelas pendiriannya, ia sangat menentang sekali status quo yang merugikan Islam. Gaung ini tentu tertinggal dalam jejak-jejak yang ditinggalkan Asrul Sani dalam teks-teksnya dan orang-orang yang ia ’didik’ termasuk Chaerul Umam. Kedua, dengan sendirinya Islam dijadikan satu-satunya pembenaran dan ini jelas menaruh agama pada ke-eksklusifan-nya. Islam disandingkan pada konteks oposisi biner yang melihat persoalan pada tingkat hitam-putih, baik-buruk, muslim-non muslim, kaya-miskin, dsb. Ketiga, Chaerul Umam gagal menerjemahkan visi Islam sebagai agama yang pro terhadap proses transformasi sosial, seperti apa yang dilakukan oleh Saiful Bahri, tokoh utama filem Al-Kautsar, Pak Guru Ibrahim dengan daya istiqomah-nya mampu merubah apa itu Islam secara lebih esensial ketimbang Ketika Cinta Bertasbih—menaruh Islam dalam konteks formalitas agama. Di sinilah saya meyakini tema Islam yang digadang-gadangkan oleh Chaerul Umam gagal untuk menjadikan Islam sebagai agen liberasi dan transformasi sosial. Keempat, Chaerul Umam mengalami inkonsistensi dalam menerjemahkan nilai-nilai keislaman pada filemnya—dimana dalam Al-Kautsar, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nada dan Dakwah serta Fatahillah—Islam adalah sumber inspirasi bagi penggerak zaman dan bertindak sebagai moral force umat. Dalam Ketika Cinta Bertasbih, hal ini kurang terasa dan lebih menonjolkan Islam pada sektor privat dan pembakuan agama. Dan kelima, dalam statement-nya, Chaerul Umam benar-benar menjadikan Islam sangat kaku dan formalistik ditambah agama yang sangat eksklusif. Islam disini dipahami sebagai agama yang sangat sempit, anti dialog, tertutup, dan jumud (ortodoks). Chaerul Umam menempatkan Islam sebagai agama yang sektarian, termasuk implementasi bahasa sinematiknya di mana ada sebuah adegan-adegan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami diharamkan untuk bersentuhan. Dan ia menyebutkan pula bagaimanapun seorang wanita muslimah harus memakai jilbab, karena itu ketentuan syariat termasuk pembingkaian gambar ketika di kamar—tetap wanita tersebut tidak boleh melepas jilbabnya. Dan saya melihat ini sebuah hal yang konyol dalam terminologi pengadeganan. Sejatinya, mana ada orang yang hendak tidur di kamarnya terbungkus jilbab. Lantas, apakah hal tersebut dapat dibenarkan dalam logika visual? Di sinilah kepiawaian sutradara diuji. Hal yang sama juga berlaku di Iran, sebuah negara Islam yang melarang adanya adegan non muhrim bersentuhan dan adegan-adegan yang memperlihatkan aurat. Namun, sutradara-sutradara besar Iran seperti Abbas Kiarostami, Samira Makhmalbaf secara genial dan inovatif mampu menciptakan bahasa filem yang sesuai dengan syariat—kalau mau dikatakan seperti itu atau konvensi masyarakat Iran pada umumnya, namun tidak terjebak pada formalisme agama yang sempit, sehingga wajarnya saja filem-filem Iran menjadi langganan pada festival-festival filem internasional bergengsi.
Bintang Kejora
http://www.youtube.com/watch?v=sEXebJhNAFQ
Di sela-sela percakapan saya dengan Chaerul Umam, dengan entengnya ia mengatakan bahwa ia pernah membuat filem-filem jahiliyah—begitulah terminologi Chaerul Umam untuk membedakan dengan filem-filem bertema religi yang ia buat. Meskipun ia berkelakar, namun tak sepatutnya ia mengucapkan terma filem jahiliyah—lagi-lagi Chaerul Umam dengan mudahnya melakukan pengkategorisasian, melihat serba hitam-putih, padahal dari yang saya kaji, filem-filem yang ia sutradarai adalah filem-filem yang bernas dan mempunyai visi yang jelas. Filem-filem yang ia buat tak pernah satu pun nirapresiasi, terbukti beragam penghargaan diterimanya dan ini sebuah prestasi yang luar biasa. Di sinilah kita dapat melihat ambivalensi Chaerul Umam yang menurut hemat saya, ia sendiri telah mencederai gagasan luhur Asrul Sani, bahwa filem dapat menjawab problematika umat dengan mengedepankan Islam sebagai agama rahmatan lil’ alamin. Bukan sebuah agama yang dijadikan pelarian, bukan pula membawa agama pada ranah komodifikasi demi eskalasi modal. Bukankah ia mengatakan dengan lugas kepada saya, bahwa filem bukan hanya sekedar barang dagangan yang menghamba pada keuntungan semata, filem harus berisi informasi, pendidikan, dan tentunya filem sebagai sumber inspirasi hidup yang mencerahkan.
Chaerul Umam, Pendapatnya Tentang 60 Tahun Perfileman Nasional dan Keberadaan Komunitas Filem
Tahun 2010 jika dihitung mundur ke tahun 1950, terbilang 60 tahun. Ya, tepat 30 maret 2010 usia perfileman nasional genap berusia 60 tahun. Bagi insan perfileman, 30 maret adalah tanggal yang monumental bagi sejarah filem Indonesia. Pada tanggal itulah tepat dimulai shooting perdana Darah dan Doa atau The Longmarch yang bercerita tentang seorang prajurit divisi siliwangi yang melakukan hijrah ke Jawa Tengah, namun ia jatuh hati pada seorang tawanan yang notabene orang Belanda. Filem ini disutradarai oleh Usmar Ismail dan dibuat sepenuhnya oleh pribumi termasuk rumah produksinya, PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Tanggal 30 maret ditetapkan sebagai hari filem nasional melalui Keppres No.25/tahun 1999 oleh Presiden B.J Habibie setelah menunggu lama untuk mendapat pengakuan dari pemerintah Indonesia. Nah, momentum 60 tahun perfileman nasional ini juga mendapat tanggapan dan komentar dari seorang Chaerul Umam. Ia dengan lugas mengatakan bahwa, filem Indonesia sangat terlambat perkembangannya terutama dalam hal produksi filem. Ia menandaskan, seharusnya Indonesia sudah mampu membuat filem-filem semi kolosal, filem sejarah dan filem spektakuler lainnya. Mungkin saja yang ia maksud adalah filem Indonesia di usianya yang ke-60 sekiranya dapat sekaliber filem-filem kolosal produksi Hollywood. Baginya, filem Indonesia dewasa ini masih berkutat pada tema horor, seks, dan sadisme.
Dalam pandangan Chaerul Umam, ada banyak faktor yang menyebabkan filem Indonesia terlambat untuk berkembang, diantaranya ialah adanya semacam penjajahan budaya, faktor politik, faktor ekonomi, dan pendidikan perfileman Indonesia yang tidak seimbang dengan usia perfileman nasional. Bayangkan, untuk negara seluas Indonesia ini cuma ada satu institusi/sekolah perfileman yaitu IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Diperparah dengan tema-tema yang monoton dan tidak berkembang, kurang ada inovasi. Begitupun ia berpendapat dengan persoalan teknologi yang berpengaruh terhadap operational cost, produksi filem yang sekali lagi tidak sesuai dengan persoalan tematik filem, tetap saja jalan ditempat. Tampak Chaerul Umam tidak melihat dalam satu dekade terakhir ini perkembangan filem Indonesia semakin tinggi grafik peningkatannya, dimana operational cost seperti yang ia khawatirkan tidaklah seperti itu karena berkat teknologi video siapapun dapat membuat filem. Menjamurnya berbagai macam lapisan masyarakat yang memanfaatkan kamera video handheld, memberikan arti secara lebih berarti bagi pondasi industri perfileman nasional. Tak dipungkiri, grafik produksi filem nasional yang terus naik ditambah apresiasi masyarakat sebagai penontonnya, tak lepas dari peranan para pembuat filem yang diklaim sebagai pembuat filem indie atau secara kolektif disebut komunitas filem.
Kejarlah Daku Kau Kutangkap
Lucunya, Chaerul Umam tidak melihat ini sebagai sesuatu yang menggembirakan bagi lanskap perfileman nasional. Tentunya mereka-mereka yang bekerja pada sektor ‘independen’ atau komunitas dengan beragam bentuknya, ikut dalam perumusan strategi kebudayaan nasional di tengah-tengah globalisasi, terlebih globalisasi informasi. Inilah yang masih dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang merasa kedudukannya sudah mapan, termasuk Chaerul Umam yang memandang sinis raison d’etre komunitas filem sebagai wadah penyalur hobi an sich. Ia masih berpandangan bahwa yang kita perlu bicarakan bagi perkembangan perfileman nasional ialah filem yang dapat ditonton dan mendatangkan income, sedangkan bagi filem-filem independen nanti dulu, belum saatnya. Karena filem-filem tersebut tidak menjual (bukan untuk ditayangkan di bioskop), meskipun ia sendiri mengakui bahwa filem-filem yang disajikan oleh penggiat filem indie atau komunitas bagus. Namun, ia harus ditayangkan di tempat-tempat khusus yang memutar filem tersebut. Nah, ambivalensi Chaerul Umam terlihat sangat jelas untuk masalah ini, padahal ia sendiri yang menyebutkan kalau filem harus berisi informasi, pendidikan, dan tentunya filem sebagai sumber inspirasi hidup yang mencerahkan. Celakanya, sebagian besar industri filem belum mau menyentuh apa yang dicita-citakan Chaerul Umam ini, termasuk ia sendiri pada filem terakhirnya yang ia buat belum lama ini dengan menjadikan agama sebagai komoditas. Dan beruntunglah para penggiat filem indie atau komunitaslah yang terus membuat karya-karya yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara sosial, politik, budaya dan estetika itu sendiri. Saya kira bukan hanya Chaerul Umam saja yang masih memandang sebelah mata keberadaan komunitas filem, melainkan mereka-mereka yang tidak mau terganggu kedudukannya di dalam ranah perfileman nasional, padahal kehadiran penggiat filem indie atau komunitas telah memberikan daya tawarnya bagi posisi Indonesia di mata internasional dan juga turut serta mendefinisikan perfileman nasional. Hal inilah yang kurang direspons oleh pihak-pihak yang kedudukannya tak mau diganti. Penyelenggaraan festival filem tidaklah semata monopoli Festival Film Indonesia (FFI). Kini kita dapat menjumpai ragam penyelenggaraan festival filem seperti Festival Film Pendek Konfiden (FFPK), Jiffest (Jakarta International Film Festival), JKFB (Jaringan Kerja Film Banyumas), dan lainnya yang mempunyai kontribusi besar bagi narasi kebudayaan Indonesia kontemporer.
Kini, Chaerul Umam telah mendefinisikan jikalau filem-filem Islam harus sesuai dengan syariat agama dan Chaerul Umam pun terjebak dalam pereduksian dan formalisasi syariat. Pendekatan naratif dan sinematiknya mengalami disoritentasi dengan mengasumsikan bahwa, yang Islami harus sesuai dengan konvensi syariat. Tafsir bias Chaerul Umam, setali tiga uang dengan semakin menguatnya formalisasi agama di berbagai bidang kehidupan di negeri ini. Alih-alih ingin memberikan pemahaman secara didaktis kepada umat, namun ia gagal untuk mentransmisikan pesan-pesan agama secara lebih luwes dengan mengedepankan Islam rahmatan lil’ alamin. Di sini, kiranya patut mendapat catatan, apakah Chaerul Umam sudah meninggalkan pesan-pesan sosio-etik dari Asrul Sani yang telah membesarkan namanya, atau ia lupa dengan cita-cita Asrul Sani agar agama dapat memberikan sebuah pencerahan?
Sumber Foto: Google
[/tab_item]
[tab_item title=”EN”]
Chaerul Umam’s Ambivalence
Al-Kautsar, Gadis Marathon, Titian Rambut Dibelah Tujuh, Hati yang Perawan, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Bintang Kejora, Keluarga Markum, Joe Turun ke Desa, Boss Carmad, Oom Pasikom (Parodi Ibukota), Nada dan Dakwah, Ramadhan dan Ramona, Fatahillah, and recently Ketika Cinta Bertasbih are films directed by Chaerul Umam. His name echoes in our film industry universe. During an occasion, I had a chance to have a conversation with him. He uttered his comments regarding the complexities of our film industry in general: his views on the journey of Indonesian films, the industry, the themes he chose for his films, censorship, and also the rapid growth in the field with regard to the presence of communities and technological advances nowadays. From his comments I learned that his views on the film industry’s constellation are as complicated as other fundamental issues this country has. Especially when five months ago, the Parliament ratified the draft on Film Regulations into legitimate law. His views, however, are not in line with the ideology he’s known for when making his earlier works. He fosters the status quo in observing the rapid growth of our film industry. On one hand, he has concerns over the lowly taste the industry still feeds to the public, while on the other, he has apparently overlooked the dynamics of the industry’s infrastructural and suprastructural bases, especially the hardships undergone by film communities in establishing the foundations of our film industry. Moreover, the quality of films he directed during post-reformation era has declined drastically.
Chaerul Umam was raised in the film industry by Asrul Sani. He succeeded to shape Chaerul Umam to become a notable director, as proven by his debut Al-Kautsar being nominated in the 23rd Asia Film Festival in Bangkok, Thailand on 1977. For almost every film written by Asrul Sani, Chaerul Umam was sure to be appointed as director. Such authority was legitimately carried by Chaerul Umam for being able to translate Asrul Sani’s ideas from script to screen with his distinct style. In 1982, Chaerul Umam directed more religious-themed films and went full fledge by directing the first Islamic film in Indonesia, Titian Serambut Dibelah Tujuh which was written by Asrul Sani in 1959. In this film, Chaerul Umam successfully gave his gold touch, earning praise from critics. Praise also came from the mastermind himself, Asrul Sani. Titian Rambut Dibelah Tujuh surfaced as a fascinating religious film through Cherul Umam’s ability to give each character a heartfelt intensity in articulating the problems undergone by each character. Other than that, the film has strong stylistic elements and Chaerul Umam’s name immediately soared for this ability to combine all constructive elements of a film successfully. A similar success was repeated when Kejarlah Daku kau Kutangkap hit the box office with 166.734 viewers, a fantastic figure for the time. This film unwaveringly fulfilled market’s expectation of a smart comedy about life problems of a married couple. A number of Citra Award, Antemas Award and a predicate as Jakarta’s bestselling film in 1986 have rewarded the film. His achievement didn’t stop there, but was continued to his next films. His films attracted audience’s attention for their precise depiction of the society’s real problems and proximate experiences. Moreover, it was wrapped with illustrative comedy as in Oom Pasikom which was an adaptation of the comic strip Oom Pasikom printed in Kompas daily. A story of society’s life fragments, it articulates the tale of marginalized people as a result of the faulty objectives of the New Order regime’s governmental policies.
Ketika Cinta Bertasbih (trailer)
Looking Up to Chaerul Umam Today
The regime’s dethronement in mid 1998 apparently has its impact in Chaerul Umam. After he directed Fatahillah in 1997, his career as film director dimmed. During the time, he preferred to direct sinetron (television soap opera). His decision was understandable considering the film industry being dormant. The adage that implies the flight of filmmakers to television industry apparently applied for him. His first sinetron was entitled Bengkel Bang Jun. For a decade during the post-reformation era, he did numerous religious sinetrons which were highly consumed by the market then. Maha Kasih, Jalan Takwa is to name a few. Later in 2008, Chaerul Umam made his comeback to filmmaking. Ketika Cinta Bertasbih was an adaptation of Habiburrahman el-Shirazy’s novel by the same title. It basically has a similar pattern with a film of the same religious theme made earlier, Ayat-ayat Cinta. The novel was a hit bestseller, thus the film gained huge commercial success. Observing the market’s potentials, Chaerul Umam seized the opportunity to immediately film the novel. As predicted, the film drew a large number of audience although not quite as successful as the phenomenal Ayat-ayat Cinta. And not unlike sinetron, the film was to be continued to Ketika Cinta Bertasbih II. The all-star cast and glamorous ambience of the film seemed to contradict the character Azzam, an Al-Azhar University student who strived to finish his study. The film was trapped in soap opera archetype and did not deliver any political statement—to speak of it that way, differing greatly from the films he made during the 70-80’s that brilliantly captured social reality. Of course, different times have different matters. We may say that, but we also have to reconsider how, narratively and stylistically, religious films need to be reviewed. Long beforehand, Gus Dur has warned that Islamic films should free themselves from uniformity, in terms of religious formality. According to him—cinematically, as well as non-cinematically—there has to be diversity of faces and freedom in form, just as he mentioned in his essay 28 years ago, Religious Films; In Need of Diversity of Faces and Freedom in Form. Nowadays, reality unfolds a different truth: religious films do not function as agent to social transformation just as neatly delivered by Chaerul Umam’s earlier films Al-Kautsar and Titian Serambut Dibelah Tujuh. Partially, Islam is staged as a tool to solve domestic problems.
We may soon find out Chaerul Umam’s current position as nothing but his naivety to participate in producing kitsch culture in order to fulfill the producer’s ambition to gain maximum profit. His position clearly denotes how all filmmakers, in the end, have to generate income, so he said when I asked about the wake of our film industry for the past decade. It is highly regrettable how his naivety falls into a sectarian perspective by hurting his career as a director. He said that, for his religious films, the cast has to be moslems, the scenes have to stay within sharia requirements, as well as in cinematic composition; an actress doesn’t have to unveil her hijab if she does wear one. Obviously, Chaerul Umam has fallen into a certain mentality that belittles religion into a narrow-minded interpretation. Such mentality cinematically limits the room for creativity in filmmaking and turns into a closed reading—that’s how I term a condition where cinematic language is read in a closed-minded manner.
Ketika Cinta Bertasbih 2 (trailer)
Not only that, the change in Chaerul Umam places him in a status quo position. His views on censorship, the growth of film communities, film industry, technology and film themes; all was taken coldly. He feels that censorship is still needed in this country with the consideration that our society is not yet ready if one day censorship is annihilated. For him, the mistake is liable not to the institution, but to the men behind it. He added that, institutionally, censorship system needs to be strengthened due to the unstoppable, massive production of audio-visual products such as DVD, etc. The option to switch censorship institution to film classification institution is, to him, a manifestation of overruling democracy fought by minorities.
His view on censorship is indeed partial. Censorship is seen as a moral issue, similar to the way colonial government sees the colonized society as lagged and morally uneducated. The analogy applies to Chaerul Umam’s view on censorship, that the society’s unpreparedness is a strong ground why censorship is still needed. Our society lives in false democracy. All moral regulations are explicitly contained in law regulations, regional regulations, etc. Yet and again, hypocrisy seeps into numerous elements of the country’s administration, including the film industry. Back then, censorship is required to filter subversive works, to maintain order and stability. While today, censorship gets its hands on moral playground to assure that everything is in line with moral criterion of the government and mainstream interest. This is where censorship fails to tackle the problem of the industry where—quite the opposite to its ideals—the hotcake themes are, sadly, horror+comedy+sex. How can it deliver its function if, in fact, x-rated films are available for viewing? Doesn’t it seem like he’s eating his own words? I should think that Chaerul Umam is cornered in the whirl of moral apparatus who think that they have the authority to guard the society’s moral standard. It’s very ironic of Chaerul Umam, who’s previously known as the director of high-standard films that neatly and genially depict the real problems of society.
Does Islam serve as a justification? To Chaerul Umam, yes of course. His views on Islam as translated into his preferred theme leaves off particular problems. First, he may as well be regarded as betraying Asrul Sani. Why? Asrul Sani took Chaerul Umam under his wings and helped him earn a respectable place Indonesian film industry. Undoubtedly, Asrul Sani’s views have influenced Indonesia’s cultural sphere where he reverberated the spirit of universal humanism that implies human’s universality in expressing themselves. Asrul Sani had a clear standpoint, he strongly opposed status quo that deterred Islam. His views are stored in the footprints he left in the texts he wrote and of course also in his ‘teachings’ to his pupils, including Chaerul Umam. Second, by making Islam as his sole justification, Chaerul Umam has placed religion in exclusivity. Islam is juxtaposed in a binary opposition context that sees matters in black and white, right and wrong, Moslem and non-Moslem, rich and poor, and so on. Third, Chaerul Umam failed to translate the vision of Islam as a religion pro to social transformation, as Saiful Bahri—the main character in Al-Kautsar—did. Ibrahim the school teacher—the main character in Titian Serambut Dibelah Tujuh—with his istiqamah* attitude transforms Islam more essentially than Ketika Cinta Bertasbih which placed Islam in religious formality. This is where I’m convinced that the Islam Chaerul Umam resonated has failed to represent Islam as an agent of liberation and social transformation. Fourth, Chaerul Umam is inconsistent in translating Islamic values in his films, where in his earlier films namely Al-Kautsar, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nada dan Dakwah, and Fatahillah, Islam is the inspiration of the era and the people’s moral force. In Ketika Cinta Bertasbih, however, this tone resonates less since it emphasizes Islam more in individuals’ private sectors and the homogenization of religion. And lastly, in his statement, Chaerul Umam has truly implied Islam as a rigid and institutionalized religion, a very exclusive one. Islam is comprehended as a dogmatic, anti-dialogue, narrow-minded, and jumud (orthodox) religion. He placed Islam as a sectarian religion, including in his cinematic language where scenes not in accordance to Islamic sharia are prohibited. He also mentioned how a Moslem woman should always wear her hijab to conform to sharia—even in shots taken inside her bedroom, she still has to wear hijab. I see this as a ridiculous scene terminology. In reality, a women will not go to bed inside he own room wearing a hijab. Can this be justified with regard to visual logic? This is where a director’s expertise is tested. The same rigid regulations are applied in Iran, an Islamic country in which scenes where persons not of muhrim** association and scenes exposing aurat*** are prohibited in films. Yet renowned Iranian directors, namely Abbas Kiarostami, Samira Makhmalbaf, are genially and innovatively able to build film language which accords to Islamic sharia—to speak of it that way—or to the conventions of Iranian society at large without being trapped in dogmatic religious formality. It’s not surprising that Iranian films are regularly screened in prestigious international film festivals.
Bintang Kejora
http://www.youtube.com/watch?v=sEXebJhNAFQ
At one point during my interview with Chaerul Umam, he lightly mentioned how he directed—at certain point in his career as a director—jahiliyah**** films; the term he used to differentiate the films with the religious ones he made. He was in fact joking, but he should not term them jahiliyah, nevertheless. Again, Chaerul Umam has categorized things and taking it lightly, seeing matters in black and white, whilst from my observation, his earlier films were succinct and carried clear vision. None of his films are unappreciated. This is proven from the numerous awards he received; a remarkable achievement, clearly. Here we can see Chaerul Umam’s ambivalence which, to my opinion, has damaged Asrul Sani’s grand ideas of how films solve people’s problems by putting forward Islam as a rahmatan lil’alamin***** religion, but not as an escapade, nor bringing it to commodification for the sake of capital escalation. Didn’t he matter-factly say to me that films are not merely commodities traded to gain profit; that films have to contain information, education, and, moreover, enlightening inspiration?
Chaerul Umam, His Views on the 60th Anniversary of Indonesian Film Industry and Film Community
Looking back to year 1950, the year 2010 may be considered as the 60th anniversary of our film industry. Exactly on March 30th, 2010, our national film industry is 60 years old. For film practitioners, March 30th is a monumental date in Indonesian film history. On the said date, the first shooting of Darah dan Doa (The Longmarch) began. It tells the story of a soldier in the westbound Siliwangi division marching to Central Java who falls in love with a Dutch detainee. The film was directed by Usmar Ismail and made completely by native Indonesians, including its production house PERFINI (Indonesian Film Company). March 30th is then named as National Film Day by the Presidential Decree No. 25 in the year 1999 issued by President B. J. Habibie after a long-pended acknowledgement from Indonesian government. This 60th anniversary momentum also received Chaerul Umam’s attention and comment. He forthrightly remarked that Indonesian films are lagging behind, especially with regard to production. He added how Indonesia is, at this point, supposedly able to produce semi-colossal films, historical films, and other spectacular films. He probably means that, in its 60th year, Indonesian film industry should have been able to produce colossal films as grand as Hollywood. To him, recent Indonesian films are engaged mainly in common themes of horror, sex, and violence.
To Chaerul Umam’s opinion, there are various factors contribute to this lag, among them are cultural colonization, political factor, economic factor, and the film education in Indonesia incommensurate to the industry’s age span. To picture, there is only one film school/institution in a country as vast as Indonesia, i.e. IKJ (Jakarta Art Institute). The situation is also worsened by the ever-recurring monotonous themes, indicating low innovation level in the industry. He also remarked on the technological problems which by turn affect operational cost, film production that mismatches its thematic problem, things that keep treading the water. He didn’t seem to acknowledge an increase in the industry within the last decade, in which operational cost is, as a matter of fact, not as worrying as he might think since we have video technology which enables practically anyone to make films. The increasing usage of handheld video by many people from all walks of social class gives more meaning to the foundation of our film industry. Undoubtedly, an increase in film production level, plus appreciation from wider audience, is gained with great contribution from indie filmmakers who are also collectively known as film community.
Kejarlah Daku Kau Kutangkap
Ironically, Chaerul Umam did not see this as a heartwarming development in the landscape of our film industry. People who work in independent field or communities of all kind of course took part in formulating our national cultural strategies amidst globalization, especially information globalization. This is precisely what has been only partially valued by people of established position in the industry, including Chaerul Umam who cynically perceives raison d’etre of film community as merely channels for hobbyists. In his opinion with regard to the film industry growth, what we need to pay attention to is the massively viewable films that generate income, whereas the time for independent films is yet to come. Independent films do not quite sell (they’re not made for cinema screenings), although he admitted that the films produced by independent filmmakers are inherently good but they require a special screening venue. Chaerul Umam’s ambivalence can be strongly sensed where he particularly mentioned that films should be informative, educational, and enlighteningly inspirational. Regrettably, the largest part of Indonesian film industry does not seem to look up to this acme Chaerul Umam has dreamed of, including—ironically—himself, for recently making his last film which commodified religion. Lucky for indie filmmakers and communities for being able to bring about works that are socially, politically, culturally, and aesthetically responsible. I should think Chaerul Umam is not the only one to partially value the presence of film communities, but also the whole lot of practitioners in the film industry who do not wish their positions to be disturbed. Indie filmmakers and communities have certainly laid out their bargaining power in representing Indonesia in the global stage and also in helping to define our national film industry. Yet this role remains unnoticed by certain parties in the bigger industry who do not wish for their established positions be replaced. Film festival organization is now not only the sole monopoly of Indonesian Film Festival (FFI). Today we can see variety in film festival organizations just as resembled by Konfiden Short Film Festival, Jiffest (Jakarta International Film Festival), Banyumas Film Network, and also others who have largely contributed to the contemporary Indonesian cultural narrative.
Now, Chaerul Umam defined how Islamic films have to conform to sharia which puts him cornered in sharia devaluation and formalization. His narrative and cinematic approach disorients by assuming that ‘Islamic’ means to rigidly follow sharia conventions. His biased interpretation is similar to the ever-increasing tendencies of religious institutionalization in this country. Instead of giving didactic comprehension to public, he failed to transmit the religious messages fluently by putting forward the concept of rahmatan lil’alamin Islam. It’s worth noting if indeed Chaerul Umam has deliver the socio-ethical messages endowed by Asrul Sani who has nurtured him into greatness, or has he forgotten Asrul Sani’s idea of religion as enlightenment?
Sumber Foto: Google
* Istiqamah means to stand firm, to keep on the right path.
** Muhrim is the degree of consanguinity between a man and a woman that renders marriage impossible but gives them the right of association. E.g.: the relationship between a brother and a sister, or a son and his mother.
*** Aurat refers to parts of body that must be covered for the sake of basic decency. For men, aurat extends from the navel to the knees. As for women, aurat refers to whole body except for the face, hands, and feet.
**** Jahiliyah literally means ‘ignorance’. The word originally referred to the decadent and perverse lifestyle of pagan Arabs before Islamic mission began.
***** Rahmatan lil’alamin means ‘blessing for the whole world’. The phrase refers to Islam as a universal teaching that brings beneficial for the world and all mankind.
[/tab_item]
[/tab]