In Artikel

The reconstructions were as authentic as possible. The films were as authentic as possible. The Illusion, quite simply, is so perfect, that tourists weep. One can always scoff, but what else can a tourist do but weep?

Hiroshima Mon Amour (1959)

Kuotasi di atas memberi sedikit pijakan tentang gambaran perilaku pemirsa yang terjangkit ilusi-ilusi sinematis, yang begitu sempurna sampai membius manusia di dalamnya. Lahirnya gambar bergerak yang awalnya dianggap magis tersebut coba ditelaah dengan proses institusionalisasi, yang mana membuat perkembangannya pun tidak terlepas dari persoalan kultural, ideologi, serta dimensi estetiknya. Kekuatannya yang mampu mereproduksi realitas, dan kemampuan menciptakan realitas baru, dipakai untuk berbagai macam kepentingan. Capaian kerja mekanik serta ilusi optikal mampu memanipulasi presepsi dengan menggunakan sudut pengambilan rendah (low angle) untuk mengglorifikasi subjek sehingga subjek terlihat lebih besar, berkuasa, dan memenuhi sekujur bingkai. Sinema yang terinstitusikan membuatnya semakin mapan, dan terkadang mengisolasi dirinya sendiri baik secara estetik maupun dimensi sosial.

Filem berjudul Kaze no naka no mendori (Inggris: A Hen in The Wind) adalah filem produksi dari Perusahaan Shociku. Disutradarai oleh Yasujiro Ozu dan dirilis di Jepang pada tanggal 17 September 1948. Filem dibuka dengan bidikan lebar; memperlihatkan suatu pemukiman kumuh yang dihiasi oleh puing-puing reruntuhan. Seseorang dengan seragam rapi membawa buku di tangan kanannya, mengunjungi salah satu rumah milik Tuan Sakai. Pak Polisi itu membuka catatannya kemudian mendata beberapa nama yang memondok di rumah tersebut, Tokiko Amamiya (Kinuyo Tanaka) tidak hadir karena sedang pergi bersama anaknya, sedangkan Shuici Amimaya (Shuji Sano) dinyatakan belum pulang dari medan perang. Perkenalan singkat dan padat tersebut menjadi sebuah gambaran besar tentang ke mana arah filem ini, yaitu memotret kondisi Pasca PD II. Imajinasi tentang dampak PD II dihadirkan lewat pengalaman sehari-hari Tokiko Amamiya, yang berjuang mengurus anaknya yang sedang sakit. Sampai akhirnya Tokiko terpaksa bekerja semalam di rumah bordil untuk membiayai perawatan rumah sakit. Ketika Shuici Amimaya pulang dari medan perang, terjadilah konflik batin dengan istrinya, karena dianggap telah mengkhianatinya. Puing-puing reruntuhan, konflik rumah tangga, dan gejolak batin yang hadir dalam filem ini jauh dari kata spektakuler Lanskap dihadirkan layaknya pergulatan sehari-hari di dalam kondisi terpuruk Pasca PD II.

Estetika Struktur Rumah Jepang dan Bidikan Tatami

Drama keluarga adalah salah satu ciri khas dari karya Yasujiro Ozu. Keberpihakannya itu terlihat dengan menghadirkan adegan sedekat mungkin, mendekati realitas keseharian dengan menggunakan dialog serta gestur-gestur yang diekspresikan seperti dalam keseharian. Obsesinya untuk se-mimetik mungkin menampilkan keseharian, dimaterialkan melalui lensa kamera ukuran 50mm((Cuplikan dari filem Wim Wenders yang berjudul Tokyo-Ga (1985) dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=g0_iThToEzk)). Spesifikasi ini menjadi titik ukur untuk menghadirkan proporsi objek yang dianggap mereduksi distorsi pada gambar. Aspek ini sering dihandalkan oleh sutradara lain seperti Robert Bresson salah satunya. Jika semua dihadirkan layaknya keseharian yang non-spektakuler, di mana sebenarnya dramatik yang ditawarkan oleh Yasujiro Ozu?

Dalam pendekatan drama dalam sinema pada umumnya, gestur serta ketubuhan aktor digunakan sebagai modus untuk menginternalisasi emosi, psikologi, dan konflik batin karakter ke pemirsanya sehingga dapat menuju suatu bentuk katarsis. Kasus itu masih nampak di filem Ozu yang satu ini. Namun sejak filemnya di periode 1950-an ke atas, Ozu mulai mereduksi aspek tersebut. Upaya untuk menciptakan dramatik di filem ini dihadirkan lewat berbagai modus. Pertama, melalui adegan-adegan keseharian yang terkadang serupa dengan kejadian yang saya alami, sehingga memantik memori personal serta emosi saya, yang turut hanyut ke dalam layar. Hanyutnya saya ke dalam layar, terjalin lewat suatu rangkaian yang bermuasal dari pemaknaan kamera sebagai tubuh, yang terkadang menempatkan jarak antara pemirsa dengan karakter; sebagai pengamat “subjek transedental” ataupun pemirsa masuk ke dalam perspektif karakter tersebut. Proses internalisasi emosi ini hadir dalam bidikan tatami, di mana kamera mengimitasi posisi tubuh ketika duduk di tatami, yang kemudian dikombinasikan dengan adegan karakter berdialog mengarah ke kamera. Secara naratif karakter berbicara dengan lawan bicaranya, namun dalam konteks ruang gelap, karakter seperti berinteraksi langsung dengan pemirsanya–menerobos dinding keempat. Bidikan tatami menempatkan pemirsa ke dalam perspektif tatami, yang secara visual mendistorsi sudut pengambilan sehingga karakter tampak lebih besar di dalam bingkai. Konsekuensi dari posisi pemirsa yang lebih rendah dari karakter merupakan suatu bentuk adaptasi nilai tatakrama masyarakat Jepang “ketika duduk di atas tatami” sembari menundukan badan ketika hendak berbicara. Nilai tatakrama itulah yang kemudian diinternalisasi ke dalam gramatikal filemnya.

Kedua, dramatik dihadirkan lewat keterhubungan ritme antara bidikan. Seperti adegan Tokiko yang beraktivitas dan mengitari interior rumah Jepang. Koreografi karakter di ruang interior dikombinasikan dengan posisi kamera statis, namun penempatannya terus berpindah menempati sekat-sekat rumah Jepang. Salah satu aturan baku artistik dalam sinema yaitu aturan 180 derajat, untuk tetap menjaga koeksistensi spasial; posisi karakter di dalam ruang. Kamera justru menghancurkan aturan tersebut dengan perpindahan tatapan; menghantam garis imajiner. Interupsi yang dihadirkan merupakan suatu modus untuk menginternalisasi rumah adat Jepang ke dalam gramatikal filemnya–dengan menempatkan pola penempatan kamera yang hadir di setiap sekat-sekat rumah Jepang yang memutar 360 derajat. Konsekuensi ini menimbulkan inkonsistensi terhadap posisi karakter dengan ruang, sehingga sering kali menginterupsi. Namun interupsi ini justru menjadi pencapaian dramatik sekaligus membedah realitas ruang dalam sinema yang sebenarnya multidimensi dan berbeda dengan tradisi bingkaian pemanggungan.

Menstrukturkan Persoalan Keseharian Lewat Repetisi dan Duplikasi

Ketika saya menonton filem ini, setiap bidikan yang ada mempunyai struktur yang rigid dan kental dengan kesan geometris. Kausalitas antara proporsi ruang dan penempatan karakter ditempatkan pada posisi yang simetris. Kumpulan bidikan tatami yang geometris kemudian dirangkai sebagai suatu struktur. Struktur itu kemudian direpetisi (berulang), terkadang diduplikasi seperti dilakukan pengulangan namun ada penambahan. Modus ini seperti mengajak khalayaknya untuk menghapal rangkaian bidikan serta memahami segala perubahan dan juga penambahan yang ada pada struktur tersebut. Penghafalan ini layaknya kita melihat suatu kata yang sama tetapi bertempat pada struktur kalimat yang berbeda.

Pengulangan yang terjadi ini, seperti berpararel antara konflik di ruang domestik dengan kondisi lanskap Jepang Pasca PD II. Puing-puing reruntuhan diberi proporsi yang sama, baik secara bentuk dan juga durasi dalam filem ini. Nyatanya, reruntuhan dan pergulatan batin karakter yang berpararel dengan lanskap membentuk suatu konflik yang simultan. Seperti adegan Tokiko Amimaya, ketika sedang terjadi konflik yang sangat intim dengan suaminya, tentang penerimaan batin untuk memaafkan Tokiko Amimaya karena telah mengkhianatinya. Bidikan lalu mengarah ke luar jendela, meliput ruangan eksterior yang dihiasi gedung besar yang hendak direnovasi. Lalu struktur ini terus dihadirkan di sepanjang filem, di mana setiap pergulatan atau keresahan yang dirasakan Tokiko Amimaya dalam ruang domestik dan seintim apa pun persoalannya. Adegan tersebut akan terkoneksi dengan lanskap; tubuh-tubuh mungil yang berjalan di dekat puing-puing bangunan yang sedang direnovasi. Rangkaian yang terus diduplikasi ini terkadang berulang baik secara temporal dan juga proporsi citra sebagai modus untuk memahami gejala keseharian karakter, yang kemudian menjadi gambaran puitis tentang persoalan struktural yang terjadi akibat pasca PD II ke dalam segala lini. Baik yang tampak di ruang publik seperti puing-puing yang coba direnovasi, lalu beranjak pada lingkup paling kecil yakni konflik dalam ruang domestik yang coba dibenahi, sampai akhirnya menjelajahi ruang konflik batin manusia itu sendiri yang dilucuti di setiap struktur filem ini.  Persoalan di filem ini ditutup dengan adegan yang sederhana dan terlepas dari hal-hal yang spektakuler.

Salah satu pendekatan hollywood-spectacular bertujuan untuk menggugah hasrat, dengan menghadirkan kecanggihan teknologis. Kecanggihan itu yang terrepresentasikan lewat adegan spektakuler, masif, gigantis. Hal itu sering menjadi tirani dalam sinema, terutama filem bertemakan perang, yang cenderung terjebak dengan meromantisir suatu persoalan, heroisme ketokohan, serta memberi optimisme palsu, yang sampai sekarang masih membekas di dalam aspek kepenontonan maupun kepengarangan.

Penutup

Kita ketahui bahwa kodrat sinema tidak terlepas dari perkembangan teknologi dari Barat. Saya turut beranggapan bahwa Yasujiro Ozu telah menemukan spesifikasi bahasa visual yang mampu merepresentasikan Jepang. Ozu mencoba mendialogkan sinema sebagai salah satu eksponen modernitas dengan nilai kultural lama. Nilai kultural lama dirasionalkan ke dalam gramatikal filemnya yang kemudian dirangkai menjadi kesatuan realitas filemis. Ozu memberi sumbangsih dalam estetika sinema, seperti bidikan tatami, kemudian ruang 360 derajat. Filem ini mengingatkan saya bahwa kamera tidak sebatas hadir sebagai alat perekam. Filem dapat dihadirkan pula dalam keseharian yang tunduk dalam aspek kultural yang ada di sekitarnya, sebagaimana Filem mengimitasi tubuh-tubuh yang hendak duduk di tatami.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search