In Kronik

Artikel ini pernah dimuat dalam majalah berbahasa Belanda, Koloniale Studien, Vol. 25/No. 5/1941 yang diberi judul “De vestiging van een Indische Filemindustrie”. Jurnal Footage akan memuat tulisan ini dalam dua artikel berseri.

Usaha-usaha Pertama Orang-orang Cina di Hindia untuk Membuat Filem

Berkat kemajuan filem-filem Cina dalam pengambilan (gambar), cerita dan teknik bermain, produksi dari studio-studio Shanghai sangat laku. Pemutaran filem-filem Cina waktu itu selalu disertai kenaikan harga karcis masuk.

Sukses ini membuat orang Cina yang berjiwa pengusaha berpikir apakah mungkin membuat filem-filem hiburan di Hindia ini? Apakah filem-filem yang dibuat di kawasan ini dan berisi cerita Cina Hindia juga mempunyai kemungkinan mencapai sukses?

Wong Bersaudara

Wong Bersaudara

Adapun tulisan Liem Goan Kie almarhum, wakil muda dari Handel-maatschappij (Perusahaan dagang) di Betawi, yang berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab dengan positif. Setidaknya ia memutuskan untuk meriskir kerugian finansial dan segera membuat filem dengan cerita yang mengisahkan kejadian di kalangan Cina di Hindia. Untuk filem mana? Kalau tidak salah, Wong bersaudara, yang dua-duanya kini telah terkenal di Hindia, didatangkan dari Cina untuk dipekerjakan sebagai juru kamera. Nona-nona Lie Lian Hwa dan Lie Bow Tan, yang di Surabaya telah membuat nama di bidang olahraga dan pertunjukan-pertunjukan untuk amal (nyanyi dan tari), diminta untuk memainkan peran utama. Sedangkan beberapa penduduk Cina di Betawi menjadi pemain-pemain pembantu. Filem ini diberi judul “Melati van Java”[1] (Melati dari Jawa) dibuat di Betawi. Studionya menempati suatu persil[2] di Prinsenlaan (Jalan Mangga Besar).

Ini terjadi pada tahun 1928.

Tuan Liem Goan Lian adalah lulusan dari Fu Tan University di Shanghai. Selama sekolah di Shanghai ia mendapat kesempatan luas untuk mencari pengetahuan pembuatan filem. Untuk filem “Melati van Java” ia memilih pembantu-pembantu teknis yang tangguh dari negeri asalnya.

melati-van-java

Melati van Java (1928)

Jadi filem “Melati van Java” adalah filem pertama yang dibuat oleh orang-orang Cina di Hindia. Perhatian untuk filem ini besar sekali. Terutama karena produksi ini tidak hanya memakai teks Melayu, juga disertai teks bahasa Cina.

Tetapi setelah itu rupanya timbul perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh utama pada perusahaan almarhum tuan Liem Gian Lian. Perusahaan itu tak melanjutkan pembuatan filem kedua.

Sementara itu muncul perusahaan filem lain yang mendapat perhatian dari seorang rekanan dari tuan Liem Gioan Lian, yakni Nancing Film Co. Perusahaan ini tidak hanya mempekerjakan pemain-pemain amatir, tetapi tidak segan-segan untuk mengontrak artis filem Cina terkenal yang juga telah tersohor di kawasan ini karena beberapa filemnya pernah diputar di sini: Miss Olive Young (Yang Ai Li).

Filem, untuk mana Olive Young telah didatangkan dari Cina, diberi judul “Resia Boroboedoer”[3] (Rahasia Borobudur), suatu filem mistik, untuk mana beberapa pengambilan dibuat di dalam dan sekitar Borobudur. Biaya-biaya besar yang diperlukan untuk semuanya ini tidak menjadi soal. Sayangnya, tidak semua detail diperhatikan secara serius. Dalam filem ada satu adegan, misalnya dimana pahlawan wanita kita (Olive Young) dikejar rakyat. Orang yang cermat akan melihat, bahwa pengejarnya baik laki-laki maupun perempuan, yang seharusnya mencerminkan kemarahan, lari dengan wajah ketawa.

Olive Young, pemeran Young Pei Fen dalam filem Resia Boroboedoer (1928)

Olive Young, pemeran Young Pei Fen dalam filem Resia Boroboedoer (1928)

Pemutaran ini “diperkuat” dengan pemunculan Miss Olive Young sendiri yang mementaskan beberapa tarian dan nyanyian. Kami tidak tahu ada sebabnya, apakah karena kesadaran bahwa filem ini lemah atau karena keinginan memperkenalkan Miss Olive Young pribadi, pemegang peranan utama, langsung kepada publik. Kami sendiri harus mengakui bahwa permainan Olive Young dalam filem Hindia-nya yang merupakan filem kedua buatan orang-orang Cina di negeri ini kurang memikat hati kami dibandingkan dengan pemunculannya dalam filem-filem Cina.

Produksi Nancing Filem Co. ini masuk dalam peredaran tahun 1929.

Sementara itu, dengan mendatangkan seorang artis profesional dari Shanghai, para pengusaha filem Cina di Hindia ingin memanfaatkan pengalaman yang diperoleh di Cina dibidang pembuatan filem di Hindia.

Hasil-hasil finansial dari filem ini rupa-rupanya tidak memenuhi harapan para produser. Sebab usaha kedua untuk membangun satu industri filem di kawasan kita terbatas pada pembuatan filem pertama “Resia Boroboedoer” ini. Olive Young meninggalkan daerah tropis ini menuju Amerika. Beberapa waktu kemudian, kami melihat namanya disebut dalam iklan filem sebagai leading lady dalam filem Tom Mix sebagai pemegang peranan utama. Tetapi kami tidak tahu, apakah ini satu-satunya pemunculannya di Hollywood.

Setelah filem ini, oleh orang-orang yang enerjik telah dicoba usaha-usaha lain dalam bidang produksi filem, yang sampai saat ini belum cukup dijajaki. Kebanyakan dari mereka, seperti produsen-produsen dari filem-filem “Melati van Java” dan “Resia Boroboedoer”, tidak sampai lebih banyak dari produk pertama mereka.

Wong kakak beradik misalnya, mendirikan perusahaan filem sendiri di Bandung, Malimoen Film Co. Mereka telah membuat beberapa filem, tetapi akhirnya studio mereka tutup.

Novel Setangan Berloemoer Darah dan Si Tjonat

Novel Setangan Berloemoer Darah dan Si Tjonat

Tan Boen Soan, seorang wartawan, sekarang redaktur utama dai Harian Soeara Semarang di Semarang, telah membuat filem dari sebuah novel Indo-Cina yang sudah diterbitkan bukunya dalam bahasa Melayu. Novel ini ialah “Setangan Berloemoer Darah” (De Bloedbevlekte Zakdoek), suatu cerita berisi percintaan-percintaan dan perkelahian-perkelahian.

Ada seorang pengusaha Cina di Betawi yang membuat filem “Si Tjonat”[4] sesuai dengan nama novelnya, yang mengisahkan tentang jalan hidupnya seorang pemimpin penjahat.

Dua filem yang disebut terakhir ini telah mengangkat cerita dari novel-novelnya yang populer di kalangan publik golongan Cina penggemar bacaan Melayu. Juga tuan The Teng Chun tertarik pada pembuatan filen. Ayahnya tuan The Kim Ie, seorang importir filem-filem Cina. Jadi filem-filem buatan Cina-lah yang untuk pertama kali menghubungkan dirinya dengan soal-soal filem. Maka tak mengherankan juga bahwa ketika dari berbagai pihak diadakan usaha untuk membangun industri filem sendiri di Hindia, tuan The Teng Chun yang gesit memutuskan untuk memberinya bantuan dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari saudara-saudaranya.

Perusahaan keluarga The diberi nama The Java Industrial Film Co.

Sementara perusahaan-perusahaan filem lain sesudah produksi mereka kebanyakan gulung tikar, The Java Indusrtrial Film Co. setelah produksi pertamanya tetap jalan terus dan memperbaiki diri.

Pada permulaan tuan The Teng Chun, untuk bahan bagi pembuatan filem-filemnya, banyak juga mengambil dari hasil-hasil karya sastra Cina yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, yang memang merupakan kekayaan besar. Ia telah membuat filem-filem tentang Pat Bie To[5] (Delapan Wanita Cantik), Pat Kiam Hiap[6] (Delapan Pejuang Berpedang) dan ada beberapa lagi. Pada pembuatan filem dari cerita-cerita Cina jaman dahulu tentu saja dirasakan perlunya untuk meniru pakaian-pakaian dan kebiasaan-kebiasaan dari hari-hari yang telah lama berlalu itu, semirip mungkin. Sampai taraf tertentu The Java Industrial Film Co. memang berhasil, tetapi ternyata kadang-kadang ada beberapa adegan yang moderen sekali. Dalam filem “Pat Bie To” misalnya, tampak sebuah mobil yang tentu saja pada waktu kisah itu terjadi belum ada. Bagian-bagian moderen ini dapat dianggap sebagai konsesi-konsesi terhadap keinginan-keinginan publik.

The Teng Chun di kantor The Java Industrial Film Co

The Teng Chun di kantor The Java Industrial Film Co

Kalau pada pembuat filem, yang pertama-tama disebut, hampir semuanya belum pernah berurusan dengan soal-soal filem, baik sebagai importir filem maupun dalam kedudukan lain, tuan The Kim Ie dan anak-anaknya telah lama sebelum produksi pertama mereka, mempunyai kepentingan dengan cerita filem. Meskipun mula-mula mereka hanya bertindak sebagai importir filem-filem Cina. Maka dalam hal keluarga The kami dapat melihat adanya pengaruh langsung dari filem-filem Cina. Satu pengaruh yang menyebabkan bahwa kini di Betawi saja telah beroperasi tidak kurang dari enam perusahaan filem Cina dan di Malang sedang dibangun dua perusahaan serupa.

Tetapi impor filem-filem Cina juga membawa akibat-akibat lain. Karena pertunjukan filem-filem ini, beberapa aktor dan aktris menjadi terkenal di Hindia, dan tentu saja terutama di kalangan orang-orang Cina. Ketika suatu grup kabaret Cina datang di sini, dimana Li Ming Hui atau May May Lee, seorang aktris yang juga di Hindia telah populer, ikut main dan yang dipimpin oleh ayah aktris itu sendiri, Li Ching Hui, maka perhatian penonton sangat besar. Berkat ketenaran nama Li Ming Hui sebagai aktris berbakat yang tidak sedikit pengaruhnya. Di Hindia rombongan ini mempertunjukkan acara-acara tari dan nyanyi yang sangat memuaskan penonton. Jadi ia merupakan aktris besar Cina kedua yang mengunjungi Hindia. Juga seorang aktor tenar dari layar perak Cina pernah berkunjung ke kawasan ini. Aktor tersebut tidak lain dari Chang Wei Chung, pemimpin ternama dari rombongan akrobat Cina dengan nama yang sama yang pada tahun-tahun terakhir ini mengadakan pertunjukan di Pasar Gambir Betawi. Publik golongan Cina pertama kali mengenal Chang Wei Chun melalui filem-filem Cina, dimana ia bermain di dalamnya. Peranan yang dimainkan oleh Chang Wei Chun biasanya sebagai pahlawan yang berjuang melawan unsur-unsur jahat. Di kalangan publik pengunjung bioskop ia diberi julukan Tom Mix Cina. Juga Chang Wei Chung pertama kali datang ke Hindia dengan rombongan akrobat, yang seperti rombongan Li Ming Hui telah berhasil memikat penonton.

Jadi filem-filem Cina telah meninggalkan bekas-bekasnya di berbagai bidang di Hindia.

Industri Yang Sedang Tumbuh

Memang aneh bahwa sejak masuknya filem-filem suara Cina (yang pertama diperkenalkan di sini tidak oleh perusahaan filem Cina, tapi Amerika), filem yang dibuat Cina merosot popularitasnya di kalangan orang Cina yang dilahirkan di sini dan tidak lagi mengerti bahasa Cina. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena filem-filem suara ini tidak diberi teks-teks penjelasan dan tentu saja untuk sebagian dari orang-orang Cina yang tidak mengerti kebiasaan bahwa filem-filem Cina sekarang yang bersuara kehilangan sebagian dari penontonnya.

Kami telah mengatakan bahwa ada filem-filem (bisu) yang atas permintaan seseorang importir Cina dari filem-filem buatan Cina untuk distribusi di kawasan ini ceritanya diangkat dari hasil-hasil karya sastra Cina yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan telah terkenal di Hindia. Dalam hubungan ini, ada filem suara Cina berjudul “Terug Naar Het Natuurlijke” (Kembali Kepada Yang Alami) yang sampai dibikin versinya dalam bahasa Melayu. Di Hindia diimpor salinannya dengan dialog-dialog dalam bahasa Melayu yang menunjukkan adanya penghargaan terhadap golongan Cina yang berbahasa Melayu dan tidak lagi menguasai bahasa Cina sebagai pengunjung bioskop. Tetapi dengan cara ini, pada gilirannya, orang Cina yang dilahirkan di Cina sepatah kata pun tak mengerti dari apa yang diomongkan dalam filem itu.

Filem suara juga telah membawa perubahan besar dalam pembuatan filem di kawasan ini.

The Java Industrial Film Co

The Java Industrial Film Co

Dalam masa peralihan dari filem-filem bisu ke filem suara, hanya tinggal satu perusahaan Cina yang dapat mempertahankan usahanya: The Java Industrial Filem Co. di Betawi, dibawah pimpinan yang tangguh dari tuan The Teng Chun. Sesuai dengan perubahan yang terjadi pada usaha bioskop, The Java Industrial Filem Co. ketika itu mulai membuat filem-filem bersuara. Untuk filem-filem ini selalu masih dipilih cerita-cerita populer yang telah disalin kedalam bahasa Melayu. Tetapi disamping itu juga dibuat kisah-kisah sendiri yang menggambarkan keadaan di kalangan orang Cina peranakan (Indo-Chineezen).

Tak lama kemudian Betawi mendapat studio filem kedua yang juga dibangun oleh pihak Cina. Tuan Jo Kim Tjan pemilik toko Populair di Pasar Baru, di kota ini, membuat filem suara berbahasa Melayu dari sebuah fragmen dari novel Cina terkenal yang juga sudah dapat dibaca dalan bahasa Melayu, tentang pengembaraaan Kaisar Ch’ien Lung Chiangnan.

Untuk sementara rupa-rupanya sukses finansial dari filem-filem suara berbahasa Melayu tidak terlalu besar; pendirian perusahaan-perusahaan pembuatan filem tidak ditambah. Memang bisa dimengerti. Pengalaman dalam produksi filem-filem suara pada waktu itu belum ada. Belum ada aktor-aktor dan aktris yang baik. Hal mana mengakibatkan bahwa baik aksi maupun dialog-dialog keduanya kurang memuaskan. Segi teknisnya juga perlu sekali diperbaiki.

Baru kira-kira 3 tahun yang lalu produksi filem-filem berbahasa Melayu mendapat perangsang ke arah yang menguntungkan. Ini terjadi karena filem “Terang Boelan”[7] yang di produksi oleh ANIF, satu perusahaan filem Belanda di Betawi, yang sekarang sudah tutup, dengan sutradara tuan Balink. Ceritanya ditulis oleh tuan Saeroen, seorang wartawan pribumi. Pembuatan filem ini dibantu oleh Wong bersaudara yang dulu didatangkan dari Cina untuk membuat filem-filem bisu pertama yang dihasilkan oleh orang Cina di Hindia (Melati van Java, Resia Boroboedoer). Maka dari itu, filem “Terang Boelan” mengingatkan kita kepada filem-filem pertama yang dibuat oleh orang Cina di Hindia dan melalui ini kepada industri filem Cina di Shanghai, dimana Wong bersaudara dulu bekerja.

Miss Roekiah (2 dari kiri) dalam filem Terang Boelan (1937)

Miss Roekiah (2 dari kiri) dalam filem Terang Boelan (1937)

Sebagai pemain peranan utama untuk filem “Terang Boelan” dipilih seorang aktris benar-benar, meskipun bukan artis filem, Miss Roekiah[8], yang telah berpengalaman di panggung sandiwara Melayu. Lagi pula, ia seorang penyanyi. Keahlian yang menguntungkan untuk main dalam filem suara, dimana sering sekali nyanyi dan tari merupakan unsur-unsur penting.

Jadi “Terang Boelan” merupakan produk dari perusahaan filem Eropa dan selanjutnya dapat dianggap sebagai hasil terakhir dari kerjasama antara golongan Eropa-Pribumi-Cina.

Filem ini mendapat sukses besar dimana-mana.

ANIF, yang memang tidak mempunyai tujuan untuk membuat filem-filem hiburan, tidak membuat hiburan berbahasa Melayu yang lain. Tetapi produk ini telah menarik perhatian di kalangan Cina yang berjiwa pengusaha. Dan dengan demikian Miss Roekiah, tak lama setelah itu dibentuk Tan’s Film Co., yang juga berkedudukan di ibukota Hindia.

Filem yang kedua, yang ceritanya juga ditulis oleh tuan Saeroen dan pengambilannya juga dipercayakan kepada Wong bersaudara, diberi judul “Fatimah”. Fakta bahwa “Lief Java”[9], perkumpulan keroncong terkenal di Betawi ikut mendukung filem ini, pasti ikut menyebabkan filem ini mencapai sukses.

Sejak itu Tan’s Film Co. membuat filem-filem lain, selalu dengan Miss Roekiah untuk pemeran utama. Kadang-kadang didampingi oleh penyanyi terkenal Annie Landouw.[10]

The Java Industrial Film Co. sementara itu telah memproduksi filem jungle (belantara) Hinda yang pertama “Alang-alang”.[11]

Poster filem Alang-alang (1939)

Poster filem Alang-alang (1939)

Setelah sukses filem-filem ini, muncul perusahaan-perusahaan filem Cina lainnya di Betawi. Satu diantaranya, Oriental Film Co., untuk filem-filemnya yang pertama “Kris Mataram” dan “Zoebaida”, telah mendapat bantuan dari tuan Njoo Cheong Sing, seorang pengarang roman Cina yang selama beberapa tahun pernah bekerja pada satu rombongan opera Cina-Melayu dan Eropa-Melayu (Miss Riboet dan Dardanella). Dan isterinya Fifi Young yang juga pernah ikut opera “Dardanella” (pemiliknya tuan A. Pedro adalah seorang Rusia); selanjutnya tuan Hjoo Cheong Sing sebagai penulis skrip dan nyonya Fifi Young sebagai leading lady dalam produksi-produksinya.

Satu tahun yang lalu pada tahun 1940 didirikan perusahaan filem lain di Betawi, The Union Film Co. Produksinya yang pertama ialah filem “Kedok Ketawa” (Het Lachende Masker), yang mewakili apa yang disebut “filem-filem perkelahian”. Sampai sekarang perusahaan ini telah menghasilkan berbagai filem. Yang terakhir ialah “Asmara Moerni” dengan pemegang peranan utama Drs. AK Gani, seorang intelektuil Indonesia, hal mana telah menghebohkan sebagian dari masyarakat pribumi.

Juga The Java Industrial Film Co. telah memilih tenaga-tenaga yang dapat diandalkan dan berpengalaman di atas pentas (teater). Untuk filemnya “Rentjong Atjeh” (Atjehsche Rentjong) ada beberapa pemain pria dan wanita yang dulu tergabung pada opera Dardanella.

Rentjong Atjeh (1940)

Rentjong Atjeh (1940)

Populair Filem menghasilkan filem “Garoeda Mas” (De Gouden Adelaar).

Perusahaan pembuatan filem yang paling akhir dibangun di Betawi ialah Star Film Co. Perusahaan ini mempekerjakan tenaga-tenaga teknis dari Shanghai, dan juga mendatangkan perlengkapannya. Filemnya yang pertama berjudul “Pendekar Boediman Pah Wongso” (De Nobele Held Pah Wong) dengan tuan L.V. Wijnhamer dari Betawi, yang di kalangan orang-orang Cina dan pribumi di kota ini dikenal sebagai Pah Wongso, pada peranan utama.

Meningkatnya aktivitas di bidang produksi filem-filem suara Melayu oleh perusahaan-perusahaan Cina tentu dipengaruhi oleh inisiatif Belanda yang menghasilkan pembuatan filem “Terang Boelan” produksi ANIF, dengan seorang aktris opera pada peranan utama. Sebab memang sebelumnya selalu dibuat filem-filem suara Melayu, tetapi perhatian publik umum, di luar kalangan kecil dari mereka, untuk siapa filem-filem itu dimaksudkan? Tidak ada. Baru setelah sukses filem “Terang Boelan” buatan ANIF, detail-detail dari filem-filem yang hendak dibuat lantas lebih diperhatikan. Sedangkan persaingan yang timbul dengan bertambahnya perusahaan-perusahaan baru, tentu saja menguntungkan produksi-produksi.

Cerita dari filem-filem yang dibuat selama tiga tahun terakhir ini, setelah “Terang Boelan”, menggambarkan lingkungan pribumi dengan beranekaragam liku-likunya. Jadi, filem ini dimaksudkan untuk sebagian besar penduduk golongan-golongan pribumi dari kalangan mana direkrutir para pelakunya.

Terang Boelan (1937)

Terang Boelan (1937)

Rupa-rupanya para produser kurang berani membuat filem-filem berbahasa Melayu yang menggambarkan keadaan-keadaan di kalangan Cina peranakan mengingat penghasilan finansial yang diharapkan. Tetapi filem semacam itu toh dibuat juga, ialah “Impian di Bali” (Een Droom op Bali). Ada seorang pedagang Cina di Betawi yang tertarik pada perusahaan yang membuat filem ini. Tetapi filem ini rupa-rupanya kurang berhasil dan isinya agak fantastis. Berlawanan dengan pengiklanan yang dipentingkan oleh enam perusahaan filem yang disebut terlebih dulu untuk produksi-produksi mereka, filem ini, yang menampilkan keadaan-keadaan di kalangan orang-orang Cina, boleh dikata tidak diberi publisitas. Karenanya, filem ini menyebabkan para pembuatnya mengalami kekecewaan-kekecewaan saja. Dari perusahaan, yang menghasilkan filem ini, tidak kedengaran apa-apa lagi.

Tetapi kegagalan ini tentunya tidak hanya disebabkan karena untuk “Impian di Bali” dipilih cerita yang mengisahkan kejadian-kejadian di kalangan orang Cina, tetapi juga karena faktor-faktor lain, misalnya pengambilan dan permainannya.

Artinya untuk Hindia

Tidak perlu diterangkan dengan panjang lebar bahwa industri filem yang sedang tumbuh ini mempunyai arti besar untuk Hindia.

Pertama, dengan usaha-usaha ini terbuka lapangan-lapangan kerja baru yang menguntungkan bagi mereka yang berbakat kuat untuk main di layar perak, untuk sutradara dan pengarang cerita-cerita filem, dan selanjutnya semua orang yang berkepentingan, seperti ahli-ahli teknik dan pemain-pemain musik. Sekarang orang-orang ini semuanya dapat mengabdikan bakat dan keterampilan untuk penyempurnaan filem-filem berbahasa Melayu yang dibuat di sini. Yang meskipun kemajuannya tidak dapat disangkal, masih banyak memerlukan perbaikan-perbaikan.

Kedua, nilai filem-filem yang dibuat di sini untuk Hindia, di luar negeri tidak dapat dianggap remeh. Tak usah diragukan bahwa dengan meningkatnya penyempurnaan filem-filem buatan sini dalam semua segi-segi pengambilan suara, cerita, permainan, dan sebagainya, kalangan luar negeri akan memberi perhatiannya. Sekarang filem-filem berbahasa Melayu buatan Hindia sudah diputar di Straits/Malaka. Salin dari produksi pertama Star Film Co., yakni filem “Pendekar Boediman Pah Wongso”, menurut kabar akan dikirimkan ke Cina karena orang-orang Cina ingin sekali melihat tuan Wijnhamer yang telah begitu banyak berbuat untuk pengumpulan dana-dana Palang Merah Cina di Hindia meskipun hanya di layar perak.

Pah Wongso Pendekar Boediman (1940)

Poster filem Pah Wongso Pendekar Boediman (1940)

Pemutaran filem-filem buatan Hindia di luar negeri mengandung unsur propaganda untuk negara dan bangsa di kawasan ini. Kalau sampai terjadi, bahwa filem-filem buatan sini secara tetap dipertunjukkan di luar negeri, hal ini akan dianggap sebagai tanda terima kasih orang-orang Cina kepada negara yang telah menjadi seperti tanah air mereka yang kedua.

Ketiga, filem-filem ini akan bisa lebih meyakinkan penduduk Hindia yang berjuta-juta ini tentang kenyataan, bahwa keindahan alam di negeri sendiri tidak kalah dengan negera-negara lain. Maka dari itu kalau produksi-produksi ini diberi perhatian lebih besar kepada kekayaan Hindia akan pemandangan-pemandangan alam yang indah, hal ini akan menunjang kepariwisataan dalam negeri.

Keempat, juga untuk menyebarluaskan bahasa Melayu di seluruh Nusantara. Filem mempunyai arti besar. Bukankah filem-filem ini menggunakan bahasa Melayu? Jelas, bahwa filem-filem ini di waktu-waktu mendatang sedikit banyak akan meningkatkan mutu dialog-dialog yang ada dalam filem-filem ini, bahasa Melayu lalu akan diperhalus.

Akhirnya nilai pendidikan dari filem-filem ini terhadap rakyat banyak sangat penting. Dimana cerita-cerita dari produksi-produksi ini mengisahkan keadaan atau kejadian di lingkungan pribumi di antara orang-orang pribumi. Rakyat akan mengenal masyarakat dan pandangan hidupnya sendiri dalam filem-filem ini. Ia akan lebih bisa menghayati pertunjukan ini daripada kalau melihat filem Barat. Memang rakyat bisa saja terpikat oleh filem-filem impor, tetapi suasana didalamnya begitu lain daripada yang meliputi dunianya sendiri. Jalan pikiran yang mendasari tindak laku tetap asing untuk rakyat dan adat istiadat kebiasaan-kebiasaan begitu berbeda dengan apa yang lazim dikenalnya. Sehingga penghayatannya tidak bisa begitu mendalam seperti filem-filem yang dibuat di sini dan menggambarkan kejadian-kejadian di lingkungannya sendiri.

Dengan filem-filem buatan Hindia sebagai media, akan dapat dicapai efek-efek psikologis lebih banyak di kalangan rakyat.

Jadi yang penting sekali ialah bahwa produksi-produksi industri filem Hindia terus bertambah baik dan mencapai mutu lebih tinggi. Menurut pendapat kami hal ini sudah dijamin dengan adanya lebih dari satu perusahaan filem. Karena dengan begitu, timbul persaingan yang mendorong ke arah perbaikan. Terutama karena sekarang filem-filem berbahasa Melayu sudah tidak bersifat baru lagi. Filem-filem ini dapat tetap memikat perhatian publik hanya melalui penyempurnaan.

Dengan begitu industri filem yang sedang tumbuh ini akan merupakan berkah untuk kawasan ini dan keuntungan yang lumayan untuk kebudayaan di negeri ini. Di samping itu, penduduk golongan Cina akan merasa puas sekali bahwa dengan bekerja di bidang ini boleh membantu dalam pembangunan kebudayaan.

Industri filem Hindia pantas mendapat perhatian dan dorongan dari semua orang dalam segala aspeknya. Siapa bilang bahwa perusahaan-perusahaan filem ini, dimana sekarang inisiatif Cina dan Indonesia dapat dilaksanakan bersama secara harmonis kelak, kalau para sineas dan artis Belanda mengambil bagian di dalamnya, tidak bisa menghasilkan karya-karya untuk publik Eropa?


[1] Lihat: https://jurnalfootage.net/v4/kronik/melati-van-agam-produksi-paling-baru-dari-tans-film

[2] Persil, sebidang tanah dng ukuran tertentu (untuk perkebunan atau perumahan) (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php)

[3] Lihat: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-r016-28-593950_resia-boroboedoer#.USRdfxn-s-M

[4] Lihat: https://jurnalfootage.net/v4/kronik/filem-si-tjonat-keluaran-pertama-dari-jakarta-motion-picture-company

[5] Lihat: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p008-33-089406_pat-bie-to#.USRgAxn-s-M

[6] Cerita tersebut pernah populer di harian Sin Po pada tahun 1924.

[7] Lihat: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-t012-37-272359_terang-boelan#.USRoPhn-s-M

[8] Lihat: http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/roekiah.html

[9] Awalnya orkes ini bernama Rukun Agawe Santosa (Bersatu Kita Jaya), didirikan tahun 1918 oleh musisi Suwardi dan Abdullah Kusumowijoyo. Anggota dari orkes ini kebanyakan memiliki pendidikan seperti MULO, AMS, HBS, dan KWS. Mereka melakukan latihan di rumah Abdullah Kusumowijoyo di daerah Kepu, Senen, Jakarta Pusat (http://katakelana.wordpress.com/2012/10/22/orkes-lief-java-dalam-pusaran-sejarah-musik-keroncong-indonesia/).

[10] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Annie_Landouw

[11] Lihat: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-a011-39-585675_alang-alang#.USRqFxn-s-M


Pembangunan Industri Filem Hindia (I)


Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search