In Artikel
[tab] [tab_item title=”ID”]

(Jurnal Footage memuat sebuah esai panjang dari Ray Carney tentang sutradara independen Amerika Serikat, Robert Kramer. Esei ini kami unduh dari Independent Film Pages yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan The Real Indie Movement yang dimuat dalam buku The French Criticism. Esai diterjemahkan oleh Otty Widasari dan akan dimuat dalam dua edisi)

Robert Kramer

Kepada semua pembuat filem yang menemukan keterbatasan, yang (karyanya-ed) secara sosial harus diterjemahkan ke dalam aturan eksposisi yang jelas, yang berfikir bahwa film harus menggunakan kosakata yang bisa diterima untuk ‘meyakinkan’, secara esensial kami berpendapat: “Anda hanya sedang berkarya, apapun alasan anda, apapun ‘isi’dugaan anda, yang anda lakukan adalah untuk mendukung dan menopang masyarakat. Anda adalah bagian dari dari sebuah mekanisme yang menjaga stabilitas melalui reintegrasi. Filem andalah yang membantu menyatukan itu semua. Dan, akhirnya, apapun deskripsi anda berikutnya, anda telah menentukan sebuah posisi. Telaah: kesadaran struktur dan bentuk milik anda telah menjadi pilihan politik anda. Tak usah bicara soal ‘konten’—namun jika demikian adanya, saya akan bilang bahwa anda tak bisa menyamakan ‘konten’ kami dengan kesadaran yang disepakati dan terundangkan tersebut, jika benar demikian, artinya anda tidak paham. Tidak ada konten revolusioner yang sesungguhnya, semangat revolusioner itu ditata untuk ditinjau dan didagangkan di meja tawar-menawar.”

Kami ingin membuat film yang mengguncang, yang menggoyahkan asumsi-asumsi, yang menggertak, yang tidak lunak-jual, melainkan, yang semoga (sebuah idealisme yang mustahil) mampu meledak seperti granat di muka orang-orang, atau yang mampu membuka pikiran seperti sebuah pembuka kaleng yang bagus. 

–Robert Kramer

Aku adalah seorang revolisoner, tapi bukan dalam sebuah kesadaran politik…Emosi-emosi kecil ini adalah serangan politik yang luar biasa, yang mana… Kita memiliki persoalan, persoalan yang sangat buruk, namun persoalan-persoalan kita tersebut adalah persoalanumat manusia. 

–John Cassavettes

 

Hanya karena seni pelarian adalah sesuatu yang buruk, bukan berarti seni yang berhubungan dengan sosial menjadi sesuatu yang bagus. Pembuatan film yang politis bisa jadi merupakan sebuah pelarian juga: sebuah pelarian dari kompleksitas emosi-emosi manusia, sebuah pelarian dari bagian-bagian hidup yang tak terjangkau oleh politik. Pemahaman-pemahaman yang bersifat sosiologis menyisakan banyak pengalaman yang belum ditemukan. Hidup itu lebih dari sekedar sebuah ideologi, dan bahkan bagian yang paling penting dari pengalaman adalah mengelak dari pemahaman ideologis itu sendiri. Struktur yang politis dan hubungan antar kekuatan hanya menyentuh bagian permukaan dari kehidupan kita; kedalaman sebuah pengalamanlah yang mengisi bagian dalamnya. Tak ada tempat dalam analisa-analisa ideologis bagi cinta, kebaikan, kekhawatiran, ketakutan atau harapan. Misteri, pertanyaan dan ketidakpastian dari sebuah pengalaman menjadi lenyap. Siapa yang tahu bagaimana seorang seniman sebenarnya bisa menjadi jauh lebih besar, bahkan yang sekelas Eisenstein pun mungkin, jika ia tidak terjebak dalam analisis ideologi reduktif? Sebuah kereta bayi memantulkan sebuah tangga yang melayang mungkin adalah sebuah citraan yang memukau, tapi gambaran dari pengalaman yang disajikan adalah sebuah batasan nilai yang membantu kita memahami diri kita sendiri. Kadang, bahkan Godard pun telah melakukan kesalahan karena menggunakan sikap-sikap politik dan slogan-slogan sebagai cara untuk menghindari kompleksitas emosi-emosi.

Ice (1969)

Milestones (1975)

Satu hal yang membuat Robert Kramer menjadi seniman penting adalah karyanya yang secara ideologis menginformasikan tanpa harus terbatas oleh kedangkalan bentuk-bentuk ideologis dari sebuah pemahaman. Sangat politis tanpa tunduk pada kerewelan analisa-analisa politis. Pun cerdas secara sosiologis tanpa mengalah pada kecenderungan depersonalisasi sebuah pengetahuan sosiologi. Bahkan, 2 karya master Kramer terdahulu, Ice dan Milestones, mengambil keterbatasan dari pemahaman-pemahaman ideologis sebagai subyeknya.

Kedua film itu membayangkan sekelompok figur-figur yang mengorganisir hidup mereka dalam kitaran analisa-analisa politis sebuah pengalaman, dan membuat mereka terlibat secara emosional ke dalam masalah sebagai konsekuensinya. Seperti dalam film  Ice, yang bercerita tentang seorang kader teroris revolusioner yang menghuni masa depan distopia yang harus menanggung lebih dari sekedar lintasan kemiripan dengan periode di mana film tersebut dibuat—Amerika akhir 60-an. Sedangkan Milestone, berkisah tentang sekelompok para penganut politik radikal dan mantan pembangkang anti perang yang berusaha memunguti kembali kepingan hidup mereka yang hancur pada pasca perang Vietnam. Kedua film tersebut secara ideologis saling berkaitan secara ekstrem—keterakaitan antara serangan keras pada imperialisme Amerika, ketidakadilan sosial, dan kepuasan borjuis.Namun yang membuat kedua film itu menjadi luar biasa adalah caranya menunjukkan ada banyak hal lain yang ada dalam hidup daripada sekedar apa yang dicakup oleh pemahaman politik—baik melalui karakter-karakter, maupun penonton. Kramer dengan cemerlang menunjukkan bagaimana pengalaman meluap dari wadah-wadah ideologis.

Ice (1969)

Milestones (1975)

Ice dan Milestones diorganisir dalam rangkaian serial yang cepat, penjajaran ironi yang bersahaja tentang idealisme politik dan peristiwa-peristiwa personal yang menyoroti sikap ideologis yang murni. Dalam Ice, seorang revolusioner muda yang serius, berhenti sejenak di tengah kerjanya menerjemahkan rekaman audio tentang perjuangan kesetaraan kaum kulit hitam, kaum Chicanos, dan kaum perempuan—hanya untuk mencaci pacarnya karena belum siap menyajikan makan malam. Di saat yang lain, Kramer mengambil potongan adegan dari polemik kaum revolusioner tentang “kesadaran palsu”, ke dalam adegan di mana tokoh yang sama dengan tokoh di adegan-adegan sebelumnya, sedang menyuntikkan heroin. Implikasi jelasnya adalah, bahwa di satu sisi, orang yang dibawah pengaruh obat bius nyaris menjadi superior bagi yang lainnya. (Sebagai bukti pentingnya hal-hal “kontra-pernyataan” ini bagi Kramer, mungkin perlu dicatat bahwa si sutradara sendiri yang memerankan kedua adegan ‘penyiksaan kekasih’ dan ‘penggunaan narkoba’ yang dilakukan oleh si tokoh revolusionerdalam film tersebut).

Dalam Milestones, seorang pemilik bar berkata pada salah satu pramusajinya tentang partisipasinya dalam Vinceremos Brigade (sekelompok orang yang pergi ke Kuba dari Amerika pada pertengahan 60-an untuk membantu eksperimen sosialis), sebuah waxing poetic(kata-kata keseharian yang mengalir menjadi kata-kata puitis dilontarkan secara antusias dan fasih-ed) atas keindahan sebuah pengalaman, hanya sebuah monolog si pemilik bar, perlahan segue (istilah dalam musik yang berarti lanjutkan bagian berikutnya tanpa jeda-ed) menuju ejakulasi. Menjadi revolusioner adalah cara dia untuk mengencani gadis-gadis. Dalam sebuah ironi yang lebih jauh, selanjutnya kita melihat dia berinteraksi dengan pelayan, seorang penagih bill, dan seorang penampil dengan cara tidak manusiawi yang mengganggu dan tidak baik. Terlalu banyak slogan-slogan revolusioner.

Namun ironi hanyalah salah satu cara Kramer menunjukkan batasan sikap politik. Ice dan Milestones tetap meningatkan kita akan wilayah-wilayah hidup yang tidak dituju oleh analisis-analisis politik dan tak tersentuh oleh aksi revolusioner. Kramer tetap memperluas wawasan kita secara persisi pada titik-titik yang dipersempit oleh retorika politik dan sosiologis tokoh-tokohnya (atau komitmen politik pemirsanya). Di mana tokoh-tokohnya menjadi sangat berpikiran tunggal (single-minded), di situ ia memaksa pemirsa untuk menjadi berpikiran ganda (multiple-minded). Editing dan penataan suara menempatkan keterbatasan ketunggalan-pemikiran (single-mindedness) pada layar.

Terkadang efek yang digunakan sama subtilnya dengan beberapa suara yang digunakan sebagai soundtrack. Dalam adegan awal di film Ice seorang perempuan menyela pekerjaannya mengemas senjata-senjata yang dia selundupkan pada kelompok revolusioner, dan sesaat kita mendengar suara anak-anak kecil sebagai latarnya. Pada saat yang lain, selanjutnya dalam Ice, kita melihat teroris yang sama yang telah kita lihat berteriak pada kekasihnya tentang makan malam dan menembak (si teroris diperankan oleh Kramer sendiri), menembaki lemari-lemari di seantero rumah. Tiba-tiba dia menjadi panik oleh suara pintu yang terbukadi ruangan lain dan mengangkat senjatanya, melindungi diri dari serangan. Untuk beberapa detik tensi ini sangat menegangkan. Kita dan dia mengharapkan polisi mendobrak pintu seketika. Bagaimanapun, kebisingan berikutnya dalam suara latar adalah suara anak-anak—suara yang paling kita dan dia ingin dengar. Yang terdengar olehnya hanya suara anak-anak berbicara di ruang lain. Dalam kedua adegan itu, efek kepada penonton luar biasa mendalam. Di tengah-tengah sikap revolusioner, kita telah melupakan keberadaan anak-anak—korban tak berdosa dari segala situasi ini, sosok yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemahaman akan senjata dan kekuatan. Ledakan lebih lanjut, sentuhan-sentuhan keanehan dalam adegan pertama termasuk kenyataan tambahan bahwa si wanita bukanlah seorang revolusioner ‘penuh-waktu’ melainkan pengrajin yang bekerja di studio, dan juga bahwa dia menggunakan kotak roti untuk menyembunyikan senjata. Ada dunia di luar ideologi.

Bahkan kaum revolusioner sendiri tidak seluruhnya memahami retorika mereka sendiri. Dalam Ice, selama persiapan kaum revolusioner melaksanakan “aksi musim semi” (aksi pergi keluar dan membujuk warga di perumahan terdekat untuk bergabung dengan gerakan), beberapa dari mereka mengadakan pertemuan untuk berlatih apa yang akan mereka katakan dengan memainkan peranan dua sisi percakapan. Pada satu titik di sebuah adegan lelucon, seorang wanita muda meyakinkan seorang pemuda tentang asiknya menjadi martir demi revolusi. Seorang perempuan muda lainnya yang dengan cerdas dibingkai oleh Kramer pada latar belakang di sepanjang ambilan gambar melontarkan sebuat kalimat yang menyatakan bahwa dia tidak terbujuk dengan kata-kata yang berani. Mereka bertiga adalah kaum revolusioner, dan sebagai sebuah adegan lelucon,semua itu harus dilakukan dengan pura-pura. Tapi apa yang membuat momen ini jadi mengikat perhatian adalah bahwa si wanita muda secara jelas berhenti bermain-peran sejenak. Dia tidak hanya menawarkan tanda keberatan yang seharusnya dia lakukan. Dia sungguh-sungguh menghibur dengan sebuah keraguan tentang apa yang mereka lakukan. Dia benar-benar marah terhadap gembar-gembor si wanita revolusioner, dan tidak percaya dengan retorikanya yang berlebihan. Ini adalah cara Kramer untuk menunjukkan bahwa bahkan beberapa kaum revolusioner yang paling berkomitmen pun memiliki keraguan tentang jargon mereka sendiri.Keraguan mereka sendiri terus muncul ke permukaan. Tidak peduli seberapa teguh komitmen intelektual kita pada sebuah alasan, emosi masih bisa menyelinap.

Ice (1969)

Kita melihat sekilas sebuah gaya yang berbeda beberapa menit kemudian dalam film Ice. Kramer memfokuskan tentang pembuatan film persiapan kelompok sebelum ‘aksi musim semi’ di menit terakhir. Adalah mudah merubah adegan menjadi sebuah agitprop (agitasi dan propaganda): untuk menunjukkan sebuah tujuan tertentu, memfokuskan pada para kaum revolusioner yang sedang mengumpulkan perlengkapan mereka dan menjelajahi malam untuk tujuan idealis mereka. Tapi secara artistik dia melakukan sesuatu yang lebih sulit dan jauh lebih hebat: Dia mendramatisasi bermacam kebingungan, perasaan gelisah yang di saat-saat tertentu bisa benar-benar dimunculkan.Pemimpin kelompok berfokus dan berdedikasi pada sebuah ‘alasan’, tapi dia juga jelas-jelas mengoceh dan marah dan tidak yakin akan ‘hasil’-nya kelak. Kecemasannya memanifestasikan diri tidak hanya tampak dari gonggongan gugupnya yang berisi perintah-perintah tak penting dan pertanyaan-pertanyaan benada menghina ke arah asisten wanitanya (“Apa kamu ingat ini?” . . .  Kamu bikin itu ya? . . . kamu yakin?”), namun dengan demikian dia jadi gelisah secara fisik sehingga kesulitan mengikatkan dasinya dan mengenakan mantel (si perempuan harus membantunya). Pada satu titik, adegan ini bahkan jadi berada di ambang komedi tragis—saat si pemimpin tercenung mendapati kenyataan aneh bahwa tak seorangpun yang, seperti yang dia katakan: “Ada orang di luar sana memegang senapan mesin padahal dia belum pernah berkelahi.” Sebuah humor yang menyentuh dan kenyataan menyedihkan dari sebuah potongan adegan dari hasil pengamatanterhadap semua sikap para kader apokaliptik tersebut tiba-tiba membawa kita kembali tersadar. Apa artinya menjadi seorang teroris namun belum pernah mengalami sebuah perkelahian?

Ice (1969)

Poin dari setiap ironi dan keanehan-keanehan ini adalah: tak adanya kemurnian pada sebuah ideologidan tak adanya konsistensi dari sebuah tujuan. Ide-ide besar memang baik dan bagus, namun hidup yang kacau dan canggung tetap akan terjadi. Kramer menunjukkan bahwa, kita bisa saja sedang memfilmkan sebuah revolusi, namun tetap didera oleh keraguan dan ketakutan. Seperti si wanita penyelundup senjata, kita bisa saja menjadi seorang revolusioner, tetapi pada saat yang sama juga harus bergulat menjadi seniman dan seorang ibu (lalu pergi ke toko roti). Seperti si pemuda penerjemah, kita bisa saja bicara tentang sebuah retorika keadilan namun tetap terjebak dalam pola yang sangat tak adil tentang perilaku dan perasaan.

Bukan sebuah kebetulan jika, dalam salah satu di antara adegan-adegan hebat dari seluruh karya Kramer, satu karakter penting dalam Ice, seorang pemilik toko buku bernama Howard (yang agak apolitis dan akibatnya tidak dipercaya oleh para kaum revolusioner garis keras) menciptakan sebaris puisi yang menggairahkan pada seorang gadis bernama Leslie tentang kebebasan, tidak menjadi sebuah pernyataan politis melainkan sebuah pencapaian intelektual dan emosional. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang dimenangkan di jalanan melainkan sebuah kualitas dari jiwa kita. Kemerdekaan sejati berada di dalam bathin dan bersifat sipritual. Suara Howard hadir sedekat kita mendengar suara Kramer sendiri dalam film Ice. Dia mengatakan pada kita lewat sebaris kata apa yang dilakukan oleh shot demi shot secara visual dan askustikal: bahwa aspek-aspek politis dari pengalaman kita takkan terlepas dari seluruh kehidupan kita.

Ice (1969)

Akhirnya itulah yang membuat film Kramer, Ice, begitu berbeda dari film-film yang dibuat oleh kader-kader revolusioner itu sendiri. Film-film yang diproduksi oleh kaum revolusioner begitu sombong, percaya diri, meyakinkan diri sendiri, dan rewel. Kramer membuat sebaliknya: rendah hati dan eksploratif. Filmnya mengajukan pertanyaan dan membuat pikiran terbuka untuk kemungkinan tak terduga. Film-film dalam film memperlakukan konsep ideologi seperti “imperialisme”, “kebebasan “, “kesadaran palsu,” dan “aktivitas revolusioner” seolah-olah mereka bisa lepas dari seluruh kehidupan. Kramer menghubungkan kembali ideologi dengan kekumuhan emosional dan intelektual dari pengalaman hidup.

Bersambung

 


Tentang Robert Kramer

Robert Kramer lahir di New York 1940. Menempuh pendidikan filsafat dan Sejarah Eropa di Swarthmore College dan Stanford University. Pada tahun 1965 ia membentuk Newark Community Project (N-CUP). Dia pernah menjadi reporter di kawasan Amerika Latin untuk berbagai macam penerbitan. Dia bekerjasama dengan Peter Gessner dalam proyek filem gerliya di Venezuela. Pada tahun 1966, ia membentu Alpha 60—yang merupakan gerakan independen yang menggunakan News Reel sebagai alat agitasi. Dalam rentang tahun 1967-1971, dia menghasilkan 60 filem pendek, dokumenter, dan film-filem agitasi. Pada tahun 1980, ia pindah ke Paris Prancis. Ia wafat pada 10 November 1999 .
[/tab_item] [tab_item title=”EN”] (Temporarily available only in Bahasa Indonesia)
[/tab_item] [/tab]

Recommended Posts
Comments
  • nyoharwan
    Reply

    Amazing..

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search