Sejarah sebagai sesuatu yang terbuka menyebabkan gerak membaca masa lalu menjadi demikian beragam karena selalu dikaitkan dengan kekiniannya. Keragaman dari keterbukaan tersebut adalah usaha melawan penunggalan sejarah itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah untuk tidak menyakralkan masa lalu, ataupun masa lalu sebagai sesuatu yang kronologis dan naratif—ada awal dan akhir, dan seterusnya—yang membatasi, dari keragaman yang dihasilkan dari tafsir kekiniannya. Dalam kerangka performatif, sejarah tidak lagi perihal informasi, melainkan ia bisa berupa pengalaman akan peristiwa, kebertubuhan, kepedihan, dan lain sebagainya.
Kematian yang Banal
The Death of Louis XIV (2016) karya sutradara Spanyol, Albert Serra, sebagaimana judulnya, adalah kisah tentang sekitar dua minggu menjelang kematian Raja Louis XIV (1638-1715). Sebagai seorang raja yang dilekatkan sebagai absolutisme “negara adalah aku” oleh beberapa kalangan, Raja Louis XIV menjalani monarki terlama (selama 72 tahun), di mana ia telah menjabat tahta raja semenjak umur 5 tahun. Filem karya Albert Serra ini lebih banyak menggambarkan kronologis medis menjelang kematian Raja Louis XIV, setelah usaha para dokter Istana tidak mampu menyembuhkan penyakit sang raja.
Raja Louis XIV pun meninggal pada 1 September 1715, empat hari sebelum perayaan ulang tahunnya yang ke-77. Baru setelah kematiannya, sang dokter memperkirakan sang raja meninggal karena penyakit Gangrene, meski kemudian ada pendapat bahwa kematian itu disebabkan hal lain. Gangrene sendiri adalah semacam penyakit matinya beberapa jaringan di dalam tubuh karena suplai darah yang tidak cukup. Penyakit ini memiliki gejala adanya perubahan warna kulit di beberapa bagian tubuh, mati rasa, bengkak, nyeri, kerusakan, kudisan dan lain sebagainya yang menyerang beberapa bagian tubuh. Pada filem The Death of Louis XIV ini, diperlihatkan adegan di mana bagian kaki dari sang raja yang berwarna hitam dan mati rasa. Dugaan Gangrene muncul ketika para dokter kemudian membedah organ tubuh sang raja di bagian perut, setelah kematiannya.
Raja Louis XIV menjelang kematiannya dalam adegan filem The Death of Louis XIV pun seakan tidak ada penekanan yang istimewa secara dramatis dari peristiwa tersebut. Kita hanya menyaksikan kesibukan para dokter yang menangani sang raja yang sakit menjelang kematiannya. Adegan lainnya adalah sang pendeta yang berdoa di sisi raja yang memang dikenal saleh; beberapa bidikan juga memperlihatkan raja berdoa sambil memegang rosario. Sisanya mungkin hanya ada sekilas dari beberapa adegan terkait identitas raja yang secara politis disebut oleh beberapa kalangan sebagai pemegang kekuasaan absolut, seperti adegan dikabarkan apakah sang Raja bersedia menemui para menteri, dan adegan ketika sang raja berpesan pada cucunya sebagai calon raja agar lebih mengkosolidir wilayah tetangga secara damai. Namun gambaran raja sebagai sebuah gambaran politik tersebut hanya terlihat secara sepintas dan latar semata. Adegan kematian sang raja digambarkan ketika sang dokter berusaha memberikan asupan makanan dan minum ke dalam mulut sang raja, namun raja tak bergeming dan kemudian dokter memberitahukan bahwa raja telah tiada. Pada adegan tersebut, seperti pada penggambaran pada adegan-adegan yang lainnya pada filem ini, tanpa musik, dan pencahayaan yang memang berdasarkan lanskap ruangan.
Semua adegan banyak dibangun melalui intensitas bidikan lebar (wide shot) pada ruang yang menggambarkan keheningan suasana kamar sang raja. Semua berlangsung nyaris tanpa penekanan dramatisasi pada aspek tertentu dari adegan Raja Louis XIV yang terbaring sakit menjelang kematiannya di dalam kamar. Penonton dibiarkan bebas mengalami sendiri pengalaman rasa sakit raja menjelang kematiannya sebagai sebuah kesibukan tim medis, pendeta, dan para kerabat dekat yang setia mendampingi sang raja. Sebagai sebuah peristiwa, bisa jadi performativitas rasa sakit tersebut dibangun melalui semacam dramatisasi keheningan dan kesibukan gestur dari para dokter yang menangani pengobatan sang raja, ketimbang dramatisasi yang menekankan detik-detik akhir hayat sebuah kekuasaan yang berlangsung paling lama dalam sejarah raja-raja Perancis. Urutan sekuen dan juktaposisi yang sistematis menjelang akhir-akhir hayat sang raja juga tidak bisa diprediksi secara sekuen adegan, karena yang digambarkan juga bukan semacam detik-detik nafas terakhir dari sang raja.
Gambaran kematian pada filem The Death of Louis XIV ini menjadi semacam banalitas kematian itu sendiri, khususnya terkait dengan gambaran kematian dari sang raja yang dikenal menerapkan absolutisme ini menjadi bukan sesuatu yang sakral, atau membayangkan semacam keruntuhan sebuah kekuasaan yang besar. Namun perihal kematian menjadi semacam tafsir dan pengalaman medis dari penyakit yang berasal dari pelaku kekuasaan yang besar yang notabene menjadi pengalaman kebertubuhan dan spiritual itu sendiri dari seorang penguasa. Dalam spasial ini, kekuasaan dilihat dalam sisi yang berbeda secara sosial politik, yakni kekuasaan dalam pengalaman kebertubuhan yang sakit, sepi, mati dan menjadi banal karena lebih pada pergulatan medis yang dialami oleh raja dan para tim medis yang menanganinya. Hanya latar ruang kamar, pakaian, dan para pelayan yang menjadi penanda bahwa peristiwa tersebut adalah pengalaman kematian seorang raja yang agung, namun kematiannya itu sendiri seakan sebuah keseharian yang diperlihatkan melalui kesibukan dan usaha keras para tim medis dalam menangani sang raja.
Kematian yang Performatif
Sejarah yang dihadirkan dalam The Death of Louis XIV bukanlah sesuatu yang kronologis karena tidak terkait pada sebab musabab kematian secara naratif. Gambaran keterangan medis pada filem ini juga tidak dijelaskan secara gamblang penyakit apa yang dihidap oleh sang raja, dan kemudian dramaturgi tentang penyakit sang raja juga tidak bisa terprediksi dalam sekuen-sekuen adagen, atau semacam urutan informasi yang memberikan keterangan secara jelas proses penyakit yang dialami oleh sang raja. Gambaran pada filem ini lebih pada bagaimana tim medis, para pendeta dan pelayan menangani sang Raja Louis XIV yang sedang sakit dan menemui ajalnya yang diperlihatkan melalui gestur dan tindakan keseharian dalam menangani seorang yang menjabat kekuasaan tertinggi di sebuah kerajaan. Menurut Albert Serra, filem ini menyatakan bahwa “Seluruh informasi terkait kematian Louis XIV adalah tembus cahaya (opaque)[i]”. Ketidakjelasan akan informasi tentang keterangan yang menyebabkan kematian Raja Louis XIV ini sebenarnya menjadikan filem ini tidak naratif, dan lebih menyingkapkan segala masa lalu yang lebih terbuka dan penuh misteri. Gambaran filem yang tidak menekankan kejelasan aspek informasi tersebut secara sadar atau tidak menjadikan filem ini lebih tentang performativitas tentang kematian sang raja, atau filem memberikan gambaran tentang pengalaman akan peristiwa dari proses kematian sang raja.
Filem ini banyak memperlihatkan latar ruang kamar dari seorang raja, gestur dan tindakan para tim medis dan pelayan, serta gestur sang raja yang mengalami penderitaan sakit sampai kondisinya yang semakin lemah dan mati. Hampir semua gambar memperlihatkan logika gelap dan terang di mana pencahayaan yang berasal dari luar ruangan bagaikan lukisan Rembrandt (1606-1669) atau Caravaggio (1571-1610). Meski demikian, logika terang dan gelap pada pencahayaan tidak berfokus pada satu titik figur tokoh atau karakter tertentu. Beberapa adegan memperlihatkan gerak tokoh di ruang yang gelap, sehingga perspektif gelap terang lebih pada lanskap ruang ketimbang orientasi pada karakter dan dramatisasi peristiwa. Keheningan ruangan dalam filem layaknya ruangan kamar seorang raja, hal ini menjadikan ruangan kamar raja juga menjadi bagian dari performativitas yang coba dihadirkan dalam filem ini. Detail-detail ruangan kamar raja itu sendiri coba dihadirkan selain melalui keheningan juga melalui suara burung di luar ruangan dan detak jam yang terdengar samar-samar.
Hari-hari menjelang kematian Louis XIV yang dihadirkan pada filem The Death of Louis XIV ini sebenarnya adalah semacam pengalaman akan rasa sakit dari seorang raja, atau juga pengalaman akan tubuh yang berjuang melawan penyakit yang menghinggapinya yang tidak berlangsung secara kronologis apalagi naratif. Adegan-adegan pengalaman rasa sakit tersebut dihadirkan secara performatif bukan lagi semacam durasi secara kronologis, namun lebih pada sebuah keberlangsungan akan peristiwa kematian Raja Louis XIV, sebagaimana konsepsi Henri Bergson tentang waktu objektif di mana durasi bukan terkait pada lamanya waktu, namun lebih pada sebuah keberlangsungan. Proses performatif pada adegan-adegan kematian sang raja bukan bagai sebuah durasi waktu karena terkait hal informasi yang tidak lagi dibakukan dalam filem, sehingga filem ini memang lebih ingin memperlihatkan sebuah keberlangsungan tentang proses kematian Raja Louis XIV itu sendiri.
Sejarah sebagai sesuatu yang terbuka pada dasarnya sejarah yang tidak lagi berpaku pada hasrat menyampaikan sebuah kejelasan informasi. Karena sifat keakuratan informasi tersebut secara tidak langsung cenderung sesuatu yang representasional dan naratif, serta cenderung membuat sejarah menjadi hal yang tertutup. Sejarah sebagai sesuatu yang perfomatif ini adalah semacam masa lalu yang coba dihadirkan pada hari ini. Perfomativitas memberikan image yang memuat tegangan antara masa lalu dan masa kini ini, adalah semacam tegangan antara yang nyata dan yang imajinatif, yang aktual dan yang virtual untuk mendapatkan pengalaman akan kebersituasian dan keberlangsungan di masa lalu yang hadir di masa kini.
Raja Louis XIV sendiri diperankan oleh aktor ternama Jean-Pierre Léaud, seorang aktor yang mengawali karirnya sejak kecil ketika bermain The 400 Blows-nya Francois Truffaut. Ia memerankan sang raja cukup performatif dalam memerankan tubuh yang mengalami penyakit, dan memainkan tatapan mata yang tidak selalu menuju pada kamera yang seakan membuat semacam jarak emosional pada penonton sehingga diarahkan pada pengalaman tubuh yang menderita sakit. Menurut keterangan sutradara Albert Serra, pengambilan gambar pada filem ini sendiri menggunakan tiga kamera, di mana Jean-Pierre Léaud sendiri ketika berakting tidak pernah tahu kamera mana yang akan diputuskan akan diambil sebagai gambar[ii]. Trik Serra dalam proses pengambilan gambar ini cukup menarik, karena berusaha untuk mendapatkan sebuah adegan yang performatif secara mandiri tanpa harus diarahkan pada satu kamera. Pengambilan gambar melalui tiga kamera ini menyebabkan aktor tidak diajak pada satu fokus titik kamera, sehingga tatapan dan arah tindakan aktor juga tidak diarahkan para satu titik tertentu.
[i] Diambil dari screenanarchy.com/2017/03/interview-albert-serra-talks-the-death-of-louis-xiv-jean-pierre-leaud-and-his-beautiful-method.html 18 Desember, jam 16. 30
[ii] Ibid.