Jurnal Footage akan memuat artikel tentang video “Tepian Sungai Ciujung” dalam tiga bagian yang ditulis oleh Akbar Yumni. Ini adalah bagian kedua dari artikel tersebut.
Belum ada pikiran yang mardika jika mediumnya tidak memardikakan. Mungkin dalam bahasa Franz Fanon, teknologi, idealnya membebaskan manusia, bukan sebaliknya. Kelahiran video merupakan perkembangan teknologi pada medium rekam, yang penggunaannya mudah diakses bagi setiap lapisan masyarakat mana pun. Sehingga sebagai sebuah alat ekspresi, video membuka peluang terhadap bahasa-bahasa visual di luar tradisi filem dan televisi. Kemudahan daya akses pada video bagi segala lapisan masyarakat, bisa membawa implikasi terhadap proses perekaman yang tidak membutuhkan prosedur-prosedur baku. Sehingga sebagai medium bernarasi, video pada dasarnya banyak memberikan kebebasan pada penggunanya.
Sesungguhnya, semangat kemudahan dalam akses perekaman pada video, bisa memberikan kesempatan bagi para penggunanya sebagai cara bernarasi yang baru. Setidaknya, bahasa visual video bisa menjadi subkultur bahkan kultur tandingan terhadap kebudayaan visual televisi dan filem. Sehingga, apa yang sering kita katakan sebagai ‘demokratisasi visual’ pada era video ini, bandul partisipasinya tidak mengarah ke homogenitas visual. Hal yang belum dimaksimalkan dari keberadaan video ini adalah bagaimana medium perekaman yang egaliter ini mampu dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi kebudayaan visual, khususnya peluang-peluang terhadap strategi bernarasi yang baru, sebagai respon terhadap kevakuman sejarah pada narasi-narasi besar yang kadang kala berjarak dengan kesadaran masyarakat.
(mohon maaf untuk sementara video Tepian Sungai Ciujung belum dapat ditonton karena ada masalah dalam sistem kami)
Video Tepian Sungai Ciujung merupakan satu di antara usaha-usaha merayakan demokratisasi visual dari segi bahasa visual. Pentingnya bahasa visual tentu karena dilatari oleh ideologi narasi yang melatari bahasa visual. Kisah tentang keseharian ibu-ibu yang sedang mencuci di sungai Ciujung, adalah sebuah diakronik dari sepenggal kecil sejarah kebudayaan sungai kekinian. Sejarah peradaban komunal yang biasanya terpusatkan pada situs-situs resmi adat, kini masih tersisa di wilayah pinggiran sungai dalam kegiatan mencuci bersama. Tampian merupakan nama tempat di tepi sungai sebagai kakus umum, dan tempat mencuci bersama, tempat yang juga para ibu-ibu saling bersosialisasi dalam semangat komunal. Sungai yang kini tidak lagi menjadi basis peradaban di wilayah Rangkasbitung, menyisakan peran ekonomi pinggiran yang masih bertahan, masih menyisakan kisah keseharian yang memuat akumulasi kegelisahan sosial masyarakat, mulai dari persoalan rumahtangga sampai isu penggusuran yang akan mereka alami.
Strategi Bernarasi Sebagai Sejarah
Konsepsi tentang sejarah menjadi hal yang cukup kunci dalam memaknai narasi yang akan dibangun dalam proses representasi. Implikasi terhadap konsepsi sejarah ini berimbas pada pilihan-pilihan tema narasi, serta cara menuturkan tema narasi tersebut ke dalam suatu medium. Setidaknya ada dua model sejarah yang bisa dijadikan pendekatan, yakni sejarah sinkronik dan sejarah diakronik. Sejarah sinkronik mengandaikan semangat objektifitas, seperti yang tertuang pada narasi-narasi besar yang melahirkan penokohan-penokohan serta kaidah sebab-akibat. Sedangkan sejarah diakronik lebih mengandaikan semangat ‘subjektifitas’, peristiwa keseharian sebagai sejarah, tidak ada penonjolan tokoh dalam peristiwa.
Semacam prosa dan puisi, masing-masing pendekatan mengandung konsekuensi terhadap visi realitas yang direpresentasikannya. Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi pada praktik antara ‘menarasikan’ dan ‘dinarasikan’, ‘merepresentasikan’ dan ‘direpresentasikan’. Kata pada masing-masing awalannya yang membentuk kata kerja, mengandung nilai aktif dan pasif, yang berimplikasi pada ‘objektifikasi’ pada peristiwa atau subjek dalam narasi. Pergulatan di wilayah catatan etnografi, oleh Clifford Geertz merefleksikan antara ‘kepenulisan’ dan ‘kepengarangan’, yang berujung pada peran subjek manusia di belakang suatu narasi. Model penulisan investigatif misalnya, mengandaikan sejarah yang berasal literatur-literatur sejarah yang berisi narasi besar, sehingga bisa dipastikan semangat ‘kepenulisan’ selalu berada di belakang model narasi investigatif ini. Sedangkan ‘kepengarangan’ mengandaikan latar subjek manusia yang melakukan proses penulisan. Segi ‘kepengarangan’ memang sengaja menghadirkan perspektif subjektifitas dari manusia yang hadir melakukan narasi.
Video Tepian Sungai Ciujung berangkat dari peristiwa keseharian tentang kegiatan masyarakat di tepi sungai Ciujung Rangkasbitung, untuk membaca suatu entitas masyarakat. Memaknai peristiwa keseharian sebagai strategi membaca entitas masyarakat merupakan sejarah diakronik yang menghadirkan representasi massa dibanding individu.
Narasi besar selalu mengandaikan adanya subjek-subjek sebagai tokoh, beberapa di antaranya bahkan tidak mampu melepaskan diri dari sejarah sebagai biografi tokoh. Pengandaian tokoh dalam narasi besar berdampak pada model narasi yang melulu mengorientasikan diri terhadap peran tokoh sebagai basis peristiwa. Sehingga sejarah pada narasi besar hanya dimaknai sebagai sejarah penokohan. Penokohan mengandaikan adanya individu yang dominan, yang dampaknya akan menutup peluang terhadap kehadiran masyarakat dan massa sebagai pelaku dan representasi pada peristiwa sosial. Sebaliknya, sejarah anonim mengandaikan adanya suatu peristiwa yang tidak berasal dari narasi besar, yang segi narasinya tidak menonjolkan peristiwa-peristiwa dramatik yang menghadirkan konsep ‘hero’. Sejarah sebagai peristiwa keseharian merupakan kehadiran anonim, sekaligus kehadiran representasi massa.
Pada video Tepian Sungai Ciujung, terdapat semangat memaknai peristiwa keseharian kegaiatan masyarakat di sekitar tepi sungai Ciujung sebagai sejarah. Semangat narasi video Tepian Sungai Ciujung tersebut pada dasarnya berangkat dari semangat sejarah diakronik, sebagai tandingan atas sejarah sinkronik yang selalu mengandaikan adanya suatu penokohan atau kaidah protagonis dan antagonis. Sejarah pada karya video Tepian Sungai Ciujung, mengidentifikasi tokoh anonim. Subjek yang diandaikan dalam karya video Tepian Sungai Ciujung teridentifikasi melalui tema yang terdapat pada pembicaraan para penduduk di pinggir sungai Ciujung. Bisa diandaikan bahwa tema sebagai subjek ini mengingatkan kita akan diktum Roberto Rossellini yang menyatakan bahwa subjek dalam neorealisme Italia adalah tema cerita itu sendiri. Pada video Tepian Sungai Ciujung, pembicaraan ibu-ibu yang sedang mencuci di tepi sungai memiliki identitas berdasarkan kosakata dan tema pembicaraan. Tema-tema keseharian yang dibicarakan oleh ibu-ibu yang sedang mencuci seperti repotnya seorang ibu memasak daging bebek, adalah bagian dari identitas masyarakat di tepian sungai Ciujung.
Identifikasi masyarakat melalui kegiatan mencuci merupakan representasi terhadap identitas subjek melalui aktifitas keseharian. Identifikasi terhadap kegiatan mencuci sebagai konstruksi sosial yang lebih relevan untuk dibangun, dibandingkan dengan konstruksi sosial melalui normatif sosial seperti nama, status sosial, jabatan dan lain sebagainya.
Video Tepian Sungai Ciujung pada dasarnya mengandaikan ‘representasi’ sebagai kehendak pada bahasa visual, sebuah pendekatan yang membedakan terhadap bahasa visual yang mengandaikan ‘realitas’. Representasi secara bahasa visual mengandaikan adanya suatu tindakan untuk menghadirkan tanda atau simbol sebagai bagian strategi bernarasi tentang suatu entitas tertentu. ‘Representasi’ mengandaikan sebuah subjektifitas, sedangkan ‘realitas’ lebih mengandaikan objektifitas beserta klaim-klaim kebenarannya. Representasi pada video Tepian Sungai Ciujung diartikulasikan melalui kegiatan masyarakat di tepi sungai Ciujung sebagai subjektifitas yang menandingi objektifitas narasi-narasi besar, yang nalar dan kaidah bernarasinya masih dipengaruhi konstruksi kekuasaan.
Pembingkaian Sebagai Siasat Wawancara
Ekspresi pribumi masyarakat di tepi kali Ciujung dalam video ini tidak mengandaikan adanya suatu praktik wawancara. Posisi kamera dalam merekam pembicaraan penduduk yang sedang mencuci pada video Tepian Sungai Ciujung, tidak berada dalam posisi berhadapan dengan subjek (face to face). Video Tepian Sungai Ciujung lebih mengandaikan dialog antar penduduk yang sedang mencuci, ketimbang sebuah monolog yang berasal dari eksekusi wawancara. Justru karena tidak mengandaikan adanya praktik wawancara dalam video Tepian Sungai Ciujung, video tersebut bisa mendapatkan sebuah alam piker pribumi masyarakat secara lebih otentik.
Metode wawancara ini seringkali digunakan dalam filem-filem dokumenter, sebagai usaha menangkap alam pikir pribumi pada subjek yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu. Namun, implikasi etis dalam teknik wawancara tersebut bisa berdampak pada dominasi kamera yang kadang berhadapan langsung dengan wajah subjek yang direkam, sehingga alam pikir pribumi yang direkam bisa dipertanyakan otentisitasnya. Merefleksikan metode wawancara yang dilakukan secara berhadap-hadapan antara kamera dan subjek yang diwawancara memiliki setidaknya dua implikasi. Yang pertama adalah implikasi yang berasal dari dominasi kamera berhubungan dengan subjek yang diwawancara. Pada konteks wilayah masyarakat yang masih memiliki jarak kesadaran terhadap medium kamera sebagai wilayah kebebasan berekspresi, dominasi kamera tentu masih sangat kentara. Tidak jarang, yang paling maksimal yang bisa dilakukan pada proses wawancara di wilayah masyarakat-masyarakat marginal masih sebatas ungkapan-ungkapan yang bersifat informatif. Atau dalam bahasa Jean Rouch, peran kamera yang sebatas sebagai cermin yang sekadar memantulkan realitas. Implikasi kedua dari proses wawancara adalah bagaimana konteks sosial masyarakat yang masih mengalami represi dan intensitas pada situasi hegemoni, tentu identifikasi realitasnya adalah identifikasi realitas yang dikonstruksi kekuasaan. Situasi yang diungkapkan oleh Michel Foucault sebagai homogenisasi ini menjadi persoalan tersendiri ketika praktik wawancara mengharap sebuah alam pikir pribumi. Tidak jarang rentang realitas yang menghadirkan situasi ‘homogenisasi’ yang membawa kehadiran kebudayaan visual video adalah kepanjangan tangan dari ideologi televisi dan filem.
Sebagai tambahan, teknik-teknik wawancara pada dasarnya tidak jarang mengandaikan sebuah pertanyaan yang tentu sudah diatur. Pastinya, intervensi di belakang kamera menjadi cukup dominan dalam mengarahkan ekspresi subjek yang sedang direkam. Alam pikir pribumi pun jelas-jelas menjadi konstruksi sang sutradara. Persoalan-persoalan otentisitas dari alam pikir pribumi tentu dipertanyakan dengan skema wawancara semacam ini. Suatu kehadiran subjek yang distimulir oleh sutradara dan lain sebagainya.
Dialog para ibu yang sedang mencuci di sungai pada karya video Tepian Sungai Ciujung merupakan kemampuan bingkai (frame) kamera menangkap peristiwa yang di dalamnya memuat suatu dialog antarsubjek masyarakat. Strategi-strategi ‘framing’ dalam merekam peristiwa menjadi relevan untuk membaca perstiwa yang berlangsung di masyarakat. Ambilan-ambilan kamera pada video Tepian Sungai Ciujung adalah ambilan kamera sejajar mata, dengan beberapa ambilan bingkaian lebar pada pembicaraan kaum ibu, merupakan pembeberan konteks sosial pada peristiwa perbincangan para ibu yang berlangsung. Pada video ini, hampir tidak ada ambilan dekat yang memfokuskan pada wajah atau subjek individu tertentu, sehinggap konstruksi penokohan bisa diminimalkan. Siasat ‘frame’ atau pembingkaian sebagai strategi wawancara pada video Tepian Sungai Ciujung menjadi cukup strategis dan sekaligus etis, karena dilakukan berbarengan dengan proses pembingkaian yang merekam kegiatan masyarakat yang sedang berlangsung. Bisa diandaikan, pendekatan ini adalah praktik wawancara berdasarkan peristiwa dan bukan eksekusi wawancara yang tuturannya berada di luar konteks sosial masyarakatnya.
Kebudayaan filem mengandaikan sejarah isi dan bentuk sebagai konsekuensi ketika filem memasuki pergulatan seni. Bisa dibaca, sejarah isi dan bentuk adalah bagian dari sejarah bernarasi. Nyatanya, ditemukannya kamera begitu banyak mempengaruhi cara bersastra, sekaligus mempengaruhi visi memandang realitas. Menjadi relevan memaknai keberadaan video dalam konteks strategi bernarasi, karena berimplikasi pada visi sejarahnya.