Jurnal Footage akan memuat artikel tentang video “Tepian Sungai Ciujung” dalam tiga bagian yang ditulis oleh Akbar Yumni. Ini adalah bagian pertama dari artikel tersebut.
“I believe in equality for everyone, except reporters and photographers”
– Mahatma Gandhi
Pada ambilan dekat kamera, tampak visual adegan tangan-tangan yang sedang mencuci pakaian. Gambar lalu berganti pada ambilan kamera lebar sejajar mata. Di situ, tampak beberapa orang ibu yang sedang mencuci pakaian, dengan latar suasana tampian (tempat mencuci dan kakus) di tepi sungai. Beberapa ambilan kamera lainnya menunjukkan kaki seorang laki-laki yang sedang mandi. Pada adegan di tampian lain, seorang ibu sedang membersihkan bebek yang akan dipotong, sambil mengeluhkan kegiatan memasak di rumahnya. Semua adegan tampak linear, dengan visual yang berisikan beberapa dialog mulai tentang pengalaman tercebur di sungai, sampai isu-isu penggusuran rumah mereka.
(mohon maaf untuk sementara video Tepian Sungai Ciujung belum dapat ditonton karena ada masalah dalam sistem kami)
Hal menarik dalam cukilan dokumenter video yang berjudul Tepian Sungai Ciujung1 (2009) adalah, situasi yang seakan tidak mengandaikan adanya intervensi kamera, sehingga kemungkinan-kemungkinan otentisitas dalam proses representasi melalui medium video bisa dicapai secara maksimal. Pembicaraan para warga yang sedang melakukan aktifitas di tepi sungai Ciujung pada video ini berlangsung sangat linear dan ‘keseharian’, sehingga mengandaikan sebuah medium rekam video yang mampu memiliki integrasi terhadap para masyarakat yang sedang beraktifitas di tepi sungai itu.
Semangat yang mengandaikan tidak adanya intervensi kamera pada proses representasi video Tepian Sungai Ciujung, merupakan asumsi proses representasi yang dilakukan karena adanya dua hal, yakni ideologi medium dan integrasi di belakang kamera (subjek yang merekam). Hal ini membedakan pemaknaan kamera pada pendekatan ‘video variety’ apalagi ‘kamera tersembunyi’. Alih-alih penggunaan ‘video variety’ dan ‘kamera tersembunyi’, video ini lebih dekat pada kehendak merekam ‘keaslian’ dibanding ‘otentisitas’, yang menyisakan semangat menyampaikan ‘realitas’ dibanding ‘representasi’. Pembahasan mengenai ‘keaslian’ dan ‘otentik’ serta ‘representasi’ dan ‘realitas’ akan dibahas pada bagian kedua tulisan ini.
Pentingnya integrasi medium kamera maupun di belakang kamera terhadap masyarakat dalam proses representasi tentu membawa implikasi pada pembangunan otentisitas bahasa visual, yang terartikulasi pada jarak kesadaran peristiwa atau manusia yang direkam terhadap kamera beserta hubungan etisnya. Semakin tinggi tingkat integrasinya, tentu semakin memperpendek jarak kesadaran peristiwa yang berlangsung terhadap proses representasi yang sedang dilakukan. Sesungguhnya, keberadaan medium kamera dan integrasi di belakang kamera menjadi sesuatu yang identik, karena antara yang medium akan berimplikasi terhadap daya integrasinya, juga sebaliknya kemampuan berintegrasi di belakang kamera juga harus mengandaikan keberadaan mediumnya.
Ideologi Medium: Mekanisme Penggunaan dan Integrasi Atas Masyarakat
Ideologi medium merupakan kemungkinan-kemungkinan visual yang berasal dari keberadaan medium secara eksistensi alatnya. Bahwa setiap teknologi mengandaikan keberadaan sistem disiplinnya sendiri yang terartikulasi pada mekanisme penggunaan, yang berpengaruh pada proses eksekusi dalam melakukan perekaman, serta tingkat integrasi medium terhadap peristiwa yang berlangsung maupun pelaku manusia yang berada di dalam peristiwa tersebut. Tanpa harus membedakan jenis kamera seluloid dan kamera digital2 , pengertian medium kamera sebagai instrumen dilihat dari tinggi-rendahnya sistem disiplin dalam mekanisme penggunaan kamera akan berpengaruh pada proses eksekusi perekaman yang sedemikian sehingga tentu juga berdampak pada kemungkinan-kemungkinan bahasa visual yang dibangun.
Ambilan kamera3 berupa visualisasi kegiatan mencuci ibu-ibu pada video Tepian Sungai Ciujung, memiliki intensitas cukup dekat. Bisa dipastikan, beberapa seperti adegan tangan yang mencuci di pinggir sungai Ciujung, kontinuitas dialog serta visualnya mengandaikan mekanisme perekaman yang cukup familiar, sehingga mampu menangkap kemungkinan-kemungkinan visual secara spontan. Sifat familiar pada aplikasi medium video sangat membuka peluang subjektifitas visual dalam membangun proses representasi pada suatu peristiwa atau entitas masyarakat tertentu. Bisa dianggap, proses representasi visual melalui video Tepian Sungai Ciujung, hampir tidak mengintervensi keseharian atau kegiatan masyarakat di tepi sungai Ciujung. Hal berbeda tentunya, jika mekanisme penggunaan medium yang membutuhkan disiplin tinggi, maka akan berdampak pada proses perekaman yang tidak memiliki spontanitas dan tentu berdampak pada subjektifitas gambar. Sebagai tambahan, sistem disiplin pada mekanisme penggunaan medium yang cukup tinggi masih menyisakan kebutuhan-kebutuhan artistik dalam proses perekaman. Implikasinya bisa jadi adalah objektifitas visual yang dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan artistik yang menyesuaikan sistem disiplin mekanisme penggunaan medium. Tidak jarang, medium canggih mempengaruhi visi visual yang akan direkam, dan tidak jarang pula melakukan kontrol terhadap peristiwa dan manusia demi memenuhi visi yang berasal dari mekanisme penggunaan medium.
Kemudian pada integrasi medium terhadap peristiwa dan masyarakat sebagai ideologi medium, adalah bagaimana kemampuan medium rekam secara instrumen mampu memiliki daya integrasi dengan peristiwa dan masyarakat. Pengalaman-pengalaman dalam penggunaan medium rekam macam kamera camcorder4 yang digunakan pada video Tepian Sungai Ciujung, memiliki kemampuan berintegrasi dengan masyarakat di sekitar sungai Ciujung yang sedang mencuci, sehingga seakan tidak mengandaikan kehadiran kamera yang dapat mengintervensi peristiwa dan masyarakat. Kata kuncinya terletak pada integrasi kamera dengan peristiwa beserta manusia yang sedang direkamnya, berdasarkan keberadaan instrumen kamera tersebut pada peristiwa dan masyarakat. Bisa dipastikan bahwa bahasa-bahasa visual yang dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya proses integrasi medium dengan masyarakat akan memiliki peluang-peluang yang berbeda.
Sebagai catatan tambahan tentang hubungan manusia dengan medium rekam, berdasarkan sosiologi masyarakat di Indonesia, khususnya wilayah pinggiran macam penduduk yang berada di tepi sungai Ciujung, secara umum masyarakatnya memiliki stereotipe yang berbeda ketika berhadapan dengan medium kamera. Medium kamera yang berukuran besar bisa diandaikan oleh masyarakat sebagai institusi visual tertentu macam televisi yang memproduksi acara televisi atau rumah produksi yang menghasilkan filem. Stereotipe masyarakat tersebut tentu membawa pengaruh pada jarak kesadaran terhadap keberadaan medium. Ketika medium kamera memiliki stereotipe ‘institusi’, akan membawa jarak kesadaran masyarakat saat berhadapan dengan kamera. Jarak kesadaran masyarakat dan medium inilah yang kemudian memberikan batas-batas bahasa visual yang dimungkinkan ketika proses perekaman sedang dilakukan. Dari sini, maka persoalan representasi sedikit banyak dipengaruhi oleh persoalan bersifat instrumental dalam proses integrasi medium kamera terhadap peristiwa dan masyarakat.
Jelas bahwa dari segi instrumen video, yakni ukuran kamera, akan berpengaruh terhadap peluang-peluang bahasa visual yang dibangun. Kamera camcorder yang digunakan pada video Tepian Sungai Ciujung tentu mempengaruhi visi visual yang akan dibangun, Visi visual ini dipengaruhi oleh sifat cair kamera camcorder dari segi bentuknya yang kecil, membawa kemudahan medium kamera berintegrasi terhadap peristiwa dan masyarakat. Dengan begitu, visi visual dalam proses perekaman pada kamera camcorder akan membuka peluang subjektifitas pada proses representasi yang lebih besar. Yang lebih esensial lagi pada kemampuan integrasi kamera terhadap peristiwa dan masyarakat secara instrumental, adalah otentisitas pada kemungkinan-kemungkinan dalam menangkap alam pikir pribumi masyarakat.
Kita mengenal istilah ‘medium is the message’ dalam kaidah komunikasi McLuhan. Pada konteks video mungkin bisa diandaikan sebagai ‘medium is represent’. Artinya bahwa setiap medium selalu mengandaikan sebuah ideologi yang berasal dari eksistensi medium itu sendiri. Sehingga pada dasarnya bahasa visual memiliki kemandiriannya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh instrumen medium rekamnya, sebagai antitesa terhadap Hegelian bahasa visual yang tidak menyentuh persoalan-persoalan instrumental.
Integrasi Di Belakang Kamera; ‘Pribumi’ atas ‘Pribumi’
Banyak perspektif yang bisa diambil dalam mengasumsikan integrasi di belakang kamera. Bahkan persoalannya bisa menjadi manusia atas manusia, menarasikan dan dinarasikan, merepresentasikan dan direpresentasikan. Integrasi di belakang kamera adalah sejauh mana subjek yang sedang melakukan proses perekaman melalui medium kamera, mampu berintegrasi terhadap peristiwa dan subjek masyarakat yang direkamnya, yang tingkat integrasinya mempengaruhi jarak kesadaran terhadap peristiwa yang berlangsung. Persoalannya memang bisa menjadi etnografis, pada hubungan yang merepresentasikan terhadap yang dipresentasikan, atau yang memvisualkan terhadap yang divisualkan,
Situasi yang mengandaikan tidak adanya intervensi kamera pada bahasa visual yang terdapat pada video Tepian Sungai Ciujung, tidak lepas dari situasi di belakang kamera. Artinya keterlibatan manusia di belakang kamera terhadap integrasinya pada peristiwa dan masyarakat menjadi kunci yang memungkinkan sejauh mana peluang bahasa visual menjangkau alam pikir natif masyarakat secara otentik. Karya video Tepian Sungai Ciujung merupakan hasil proses workshop yang melibatkan para partisipan yang berasal dari warga Rangkasbitung-Lebak. Kemampuan kamera yang secara otentik mampu merekam perbincangan para warga yang sedang mencuci di sekitar sungai Ciujung, Rangkasbitung-Lebak, tidak lepas dari peran pihak yang berada di belakang kamera –yang cukup dekat dengan masyarakat di sekitar sungai Ciujung tersebut. Kemampuan berintegrasi menjadi hal kunci untuk mendapatkan sebuah proses representasi yang mampu menggali sebuah alam pikir ‘pribumi’. Dalam karya video Tepian Sungai Ciujung, pada dasarnya, kita boleh anggap, adalah sebagai ‘pribumi’ atas ‘pribumi’, sehingga persoalan integrasi dengan warga di sekitar sungai Ciujung tidak lagi menjadi persoalan metodologis.
Namun hal terpenting adalah integrasi pihak yang berada di belakang kamera, di mana merupakan jembatan etis terhadap pihak yang direpresentasikan. Pada konteks ini, bukan peluang medium yang secara eksistensi bisa bersikap egaliter terhadap entitas yang direkamnya. Hal yang mungkin lebih prinsipil adalah integrasi manusia terhadap masyarakatnya sebagai sesuatu di belakang kamera. Dengan begitu, integrasi manusia di belakang kamera dapat meminimalisir jarak kesadaran terhadap peristiwa dan masyarakat yang direpresentasikannya.
Sudah barang pasti manusia sebagai entitas yang berada di belakang kamera dalam merepresentasikan peristiwa dan masyarakat tidak lepas dari persoalan ideologi yang melingkupi manusia di belakang kamera tersebut. Sesungguhnya bukan debat berbusa-busa tentang ideologi yang mempengaruhi proses representasi yang disedang diusulkan pada tulisan ini. Di luar ideologi apapun tentang cara pandang terhadap realitas dan manusia di luar entitasnya, yang lebih esensial dan etis lagi adalah relasi manusia atas manusialah yang menjadi landasan menentukan peluang-peluang dalam menjangkau otentisitas alam pikir pribumi. Sejarah visual tentang dokumentasi masyarakat-masyarakat pribumi di Nusantara, bahkan entitas masyarakat di manapun, bisa dipertanyakan ulang otentisitasnya karena tidak lepas dari sejarah kolonial, atau sejarah institusi atas manusia, bahkan sejarah dominasi manusia atas manusia.
Pada video Tepian Sungai Ciujung, peran-peran etis manusia atas manusia dijembatani dengan melibatkan masyarakat setempat dalam merepresentasikan entitas masyarakat melalui metode workshop video. Usaha menjangkau alam pikir pribumi secara otentik dilakukan dengan melibatkan pribumi atas pribumi, sehingga dapat meminimalisir jarak kesadaran terhadap peristiwa yang berlangsung di sekitar masyarakat. Pun, jika tanpa melibatkan masyarakat setempat, dalam proses representasi, asumsi integrasi tetap menjadi jembatan etis yang memungkinkan peluang-peluang menjangkau alam pikir pribumi secara otentik. Pentingnya integrasi di belakang kamera terhadap peristiwa dan masyarakat kaitannya adalah dengan jarak kesadaran dalam proses representasi dalam menjangkau peluang-peluang alam pikirpribumi. Idiom video membuka peluang terhadap demokratisasi visual tampaknya tidak menemukan esensi, sebelum basis material relasi sosialnya terpenuhi. Kecuali, penggunaan video adalah kebebasan kreatif yang bersifat pengrajin.
Jean Rouch, salah seorang pembuat dokumenter di wilayah-wilayah masyarakat pribumi, menyatakan bahwa kamera tidak lagi sebagai cermin bagi para penduduk ‘pribumi’, tetapi kamera justru sebagai medium yang memprovokasi para ‘pribumi’ untuk mengungkapkan dirinya (testimony). Apa yang dilakukan oleh Jean Rouch adalah semangat mendapatkan alam pikir ‘pribumi’ yang tidak lepas dari relasi manusia dibelakang kamera terhadap manusia yang sedang direpresentasikannya. Kondisi manusia relasi manusia atas manusia dalam proses representasi inilah yang mempengaruhi peluang-peluang otentisitas nativisme. Yang tentu berbeda implikasinya adalah apakah testimoni dilahirkan dari proses integrasi manusia atas manusia secara egaliter ataukah lahir dari situasi manusia di belakang kamera sebagai sesuatu yang institusional atas manusia. Kedua situasi tersebut bisa diklaim sebagai testimoni. Persoalannya adalah bagaimana cara pandang manusia atas manusia, atau yang aplikatif lagi adalah kehendak bahasa yang akan divisualisasikan dalam merekam entitas masyarakat tertentu. Semuanya tidak lepas dari persoalan manusia atas manusia. Akhirnya, memang sifat bingkai layar untuk keluar dari realitas, yang kemudian menjadikan sinema dan video lebih bertanggung jawab secara moral terhadap persoalan sejarah kehidupan manusia, dibandingkan bidang seni lainnya.
1 Video Tampian adalah hasil workshop ‘akumassa’ komunitas Forum Saidjah Rangkasbitung dan Forum Lenteng Jakarta yang dilaksanakan pada bulan November-Desember 2008.
2 Secara instrumental, beberapa kamera digital bisa dibedakan dari kemudahan aplikasi perekamannya, serta kemudahan eksekusinya.
3 Kamera digital yang digunakan pada video Tepian Sungai Ciujung adalah jenis kamera yang secara aplikatif mudah diakses oleh masyarakat umum.
4 Kamera video yang memiliki ukuran kurang lebih 10 x 5 cm. Namun pada prinsipnya, kamera camcorder bersifat familiar, mudah digunakan dan mudah dijinjing.