Dalam seni kontemporer, batas antara satu bidang seni dengan bidang seni lainnya sudah semakin tidak mengambil jarak yang terlalu lebar. Modus ini seiring juga dengan tema-tema yang diangkat dalam seni kontemporer, yang berusaha melakukan perluasan realitas yang sedang diangkatnya, yang semakin kompleks dan kekinian dari tradisi seni sebelumnya. Semangat ini membawa beberapa perilaku seni kontemporer yang melakukan pelibatan dan membutuhkan cara pandang seni lain sebagai bagian dari perluasan kompleksitas dan kekinian realitas, sehingga membutuhkan perluasan-perluasan medium dari satu bidang seni ke bidang seni yang lain.
Semangat perluasan-perluasan medium tersebut bisa jadi memungkinkan konsekuensi pada pengertian sebuah eksebisi dari bidang seni itu sendiri. Contoh paling kentara dari perilaku seni semacam itu, misalnya, anggapan bahwa pengertian-pengertian ‘representiasional’ (verisimilitude) dianggap sudah tidak memadai lagi untuk menjelaskan kompleksitas dan kekinian realitas yang diangkatnya, oleh karenanya seni kontemporer membutuhkan semacam ‘kehadiran’ (present) dan ‘peristiwa’ (event) demi menjangkau perluasan-perluasan realitas yang dimaksud. Perilaku itu pada akhirnya berdampak pada model eksebisi yang notabene juga berasal dari konsekuensi perluasan medium dari bidang seninya. Beberapa model eksebisi seni kontomperer, bahkan tidak lagi merujuk pada penyajian-penyajian medium yang bersifat konvensional atau yang bersifat eksklusif, dalam artian ruang yang khusus untuk seni, melainkan berusaha melebur ke dalam konteks kesadaran dan sosiologi keseharian masyarakat. Pada perkembangannya, seni kontemporer memperluas diri menjadi sebuah praktik kultural itu sendiri, sembari meluaskan idiom-idiom ‘representasional’ menjadi sebuah ‘kehadiran’ dan ‘peristiwa’ yang melekat dalam peristiwa sehari-hari masyarakat.
Sinema Diurai dalam Perilaku Sosiologi Menonton
ARKIPEL Grand Illusion—3rd Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, 2015 lalu, adalah sebuah festival filem yang mencoba menghadirkan kemungkinan-kemungkinan baru terkait penggunaan medium sinema secara kekinian, dalam menyikapi realitas sosial kultural yang semakin kompleks. Perkembangan sinema yang tidak luput dari perkembangan mediumnya tersebut, menjadikan sinema juga mengalami perluasan (expanded cinema) untuk menggapai dan menyikapi situasi kekinian. Dalam konteks keindonesiaan, sinema sebagai sejarah medium tidak lepas dari pengaruh kehadiran medium di masa lalu yang dibarengi dengan sejarah kolonial. Rentang sejarah sosial sinema dalam konteks sinema Indonesia tersebut, bisa dilihat sebagai sebuah budaya tontonan yang diskriminatif yang notabene adalah semacam homologi dengan praktik representasi visual sinema yang diproduksi di masa kolonial. Kompleksitas antara praktik representasi dan budaya tontonan di masa kolonial tersebut membutuhkan sinema tidak lagi sekedar dalam kerangka representasi, namun menuntut perluasan sinema sebagai semacam perilakunya yang sosiologis. Kerangka perluasan sinema ini, tentu membutuhkan praktik-praktik kontemporer dalam penggunaan sinema sebagai medium, yang sekaligus juga sebagai usaha dalam melakukan cara untuk membaca kompleksitas sejarah sinema kala itu.
Usaha-usaha ARKIPEL dalam membawa sinema untuk menjangkau kompleksitas dan kekinian realitas ini, khususnya terkait dengan bacaan tentang sejarah sinema Indonesia di masa kolonial, adalah membawa sinema pada perilakunya pada selubung-selubung struktur sosiologis. Kebutuhan perluasan sinema ini tentu membutuhkan perluasan praktik-pratik sinema sebagai medium kekinian pula, sehingga di saat yang bersamaan model eksebisi sinema juga menuntut perluasaan dan kebaruan sebagai kebutuhan menjangkau komplesitas dan kekinian realitas. Dalam kerangka ini, ARKIPEL mencoba menghadirkan sebuah pameran bertajuk “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” (19 – 29 Agustus 2015, di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta). Dengan dikuratori oleh Mahardika Yudha, pameran ini secara material menghadirkan arsip-arsip visual, baik berupa materi filem maupun poster atau teks-teks arsip lainnya, dalam model sebuah eksebisi sinema yang dihadirkan melalui tampilan pameran di ruang galeri.
Pengertian sinema dalam konteks “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” ini, pada dasarnya tidak lagi berperilaku sebagaimana pengertian eksebisi sinema secara konvensional—yang umumnya menggunakan kanal-kanal tunggal atau single channel), tetapi lebih pada bagaimana sinema dihadirkan dalam kerangka untuk menjelaskan kesadaran kultural dan sosiologi tontonan kala itu. Sinema dalam konteks pameran ini tidak lagi dibaca dalam pengertian esensialnya, tetapi lebih menekankan perilaku sinema itu sendiri sebagai medium dan struktur sosial bagi kalangan kaum pribumi Indonesia dalam kultur tontonan di masa penjajahan, Hindia Belanda. Usaha-usaha perluasan sinema dalam pameran ini, secara teknis bisa lihat kita bagaimana pengaruh-pengaruh seni lain dalam memperlakukan medium sinema, seperti ketika medium sinema yang diperlakukan secara instalatif adalah kebutuhan untuk menguarai sinema dalam perilaku interaktifnya dengan para penonton. Praktik perluasan sinema lainnya adalah membayangkan sinema sebagai sebuah medium eksebisi yang menyatu dengan perilaku menonton yang sangat cair secara ruang, dimana secara teknis dalam penyajiannya sinema yang bisa disaksikan dalam model looping (berputar berulang-ulang). Dalam konteks sinema yang diperluas melalui penggunaan medium secara kekinian ini, sedemikian hingga bisa membuat para penonton dapat menikmati tontonan sebagaimana halnya melihat sebuah pameran seni rupa di sebuah galeri.
Dalam keterangan kuratorial pameran ini menyebutkan bahwa filem pertama kali diputar di khalayak publik pada tanggal 5 Desember, 1900, di Jakarta (Batavia). Dalam khasanah sejarah sinema Indonesia itu sendiri, ada sebuah konteks situasi di mana para kaum pribumi kala itu hanya bisa menonton di dalam ruang yang dikenal sebagai ‘kelas kambing’. Konteks ‘kelas kambing’ dalam strata ruang menonton sinema pada masa kolonial ini adalah sebuah kelas menonton yang paling murah, sebagaimana konteks sosial ekonomi kaum pribumi kala itu. Saking buruknya layanan kelas kambing ini, kaum pribumi pun hanya bisa menonton di balik layar sinema sehingga mereka menonton filem dalam gambar yang terbalik, dimana subtitle pada filem pun niscaya juga terlihat secara terbalik. Dalam pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi”, struktur sosiologis sinema yang dihadirkan tersaji dalam bentuk yang instalatif, di mana sang kurator menghadirkan tiga layar yang berjajar. Ada semacam homologi antara layar-layar dengan gambar terbalik dengan situasi sosial ekonomi para kaum pribumi dalam mengakses sebuah layar tontonan di masa kolonial kala itu. Sementara secara instalatif, sinema dalam pameran ini membentuk perilaku struktural dan sosiologisnya, dalam membagi ruang tontonan bagi para penonton pribumi sehingga membentuk cara pandang representasi visual yang dihadirkan pada layar sinema secara khas.
Layar-layar dalam uraian instalatif dengan gambar yang terbalik pada pameran ini, berisikan sebuah gambar bergerak berupa potongan-potongan dari sebuah filem, berjudul “Mina”, dan sebuah filem lagi yang diproduksi di Hindia Belanda, karya sutradara Belanda Mannus Franken dan Albert Balink, berjudul “Pareh” (1936). Menurut keterangan kuratorial Mahardika Yudha, filem “Mina” (Het Dienst meisje Gaat Inkoopen Doen) adalah semacam filem fiksi-dokumenter tentang seorang pembantu pribumi yang bekerja pada sebuah keluarga Belanda. Filem “Mina” ini dibikin 12 tahun sebelum filem “Loetoeng Kasaroeng” (1926). Sementara dalam konteks keterkaitannya dengan filem “Pareh”, kehadirannya seakan sebagai satu di antara penggambaran kaum Eropa terhadap kaum pribumi kala itu. Filem “Pareh” sendiri adalah sebuah filem yang diproduksi di Hindia Belanda, oleh Mannus Franken, salah seorang sutradara Belanda ternama kala itu.
Pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” juga memamerkan arsip-arsip berupa poster bertuliskan “Komedi Gambar”, atau sebuah poster yang bertuliskan “gambar hidoep”. Istilah “gambar hidoep” istilah untuk filem pada masa kolonial kala itu, sebagai istilah yang mungkin diasalkan dari andaian sebuah gambar yang bergerak. Poster sendiri telah menjadi bagian yang melekat dari kultur filem kala itu, seiring dengan budaya tontonan lainnya, seperti pertunjukkan komedi stamboel/bangsawan yang juga banyak diminati oleh kalangan masyarakat pribumi. Mungkin, istilah “komedi gambar” yang tertera pada poster pada pameran ini, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kultur tontonan komedi stambul yang pada saat itu memang cukup populer. Selain itu, pameran ini juga menyajikan beberapa footage-footage yang dihasilkan pada masa kolonial. Footage-footage tersebut disajikan dalam bingkaian-bingkain gambar yang di pasang di dinding galeri bagaikan karya seni rupa, namun tidak menghilangkan pengertian sinema secara luas. Konteks pengertian sinema dalam ranah yang dibingkai dalam ruang galeri ini sebenarnya tidak lepas dari perkembangan sinema pada era medium digital, dimana sinema tidak lagi dalam pengertian filem secara spesifik dalam ruang kanal tunggal sebagai kehadiran ‘representasional’, namun sinema dalam konteks ini dimungkinkan diurai ataupun diperluas sebagai perilaku sosiologis dalam bingkaian-bingkaian gambar yang ditempel di dinding. Pengertian sinema dalam konteks ini seperti halnya membayangkan pengertian seni menurut Joseph Kosuth yang membawa seni keluar dari pandangan yang formalis, dimana karya seni tidak lagi mengacu pada pengertian estetika yang konvensional, namun karya seni lebih pada proporsi analitik. Tuntunan seniman dalam pandangan Kosuth sudah tidak bergantung lagi pada mediumnya, sehingga komponen seni tidak lagi bermuara pada objeknya sendiri namun lebih pada ide atau konsep.[i] Seperti halnya Marcel Duchamp yang membebaskan makna seni dari tuntutan sempit morfologisnya. Dalam konteks ini, sinema sebenarnya juga telah dilepaskan dari medium konvensionalnya, sehingga secara gagasan bisa diurai dalam perilakunya yang lebih luas. Sinema dalam konteks pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” bisa jadi semacam proporsi analitik tentang homologi struktur budaya menonton dan praktik representasi visual tentang kaum pribumi di masa kolonial.
Model-model penyajian sinema pada pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” ini, bisa dibilang, merupakan usaha-usaha dari sinema “yang diperluas” (expanded) sebagai bagian dari budaya visual yang berlangsung di masyarakat. Dalam konteks ini, sinema tidak lagi berperilaku dalam pengertian yang esensial sebagai bahasa moving picture yang disajikan secara eksklusif dalam ruang bioskop (ruang gelap) yang secara spectacle terpisah dalam ruang keseharian masyarakat. Kehadiran sinema dalam perilakunya yang kekinian tersebut, dimaknai sebagai sebuah medium yang bisa diurai dalam moving image, sebagai bagian dari perluasan kemungkinan mediumnya dalam konteks yang lebih luas, baik sebagai sebuah pernyataan analitis, maupun bagian dari kekinian dalam perayaan budaya visual yang melekat dalam perilaku keseharian masyarakat.
Pameran “Jajahan Gambar Bergerak” sebagai Perluasan (Expand) dari Kekinian bagi Kesejarahan Sinema di Indonesia
Seperti yang telah disebutkan, pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” pada dasarnya adalah usaha untuk membuat semacam simulasi tentang sosiologi dan struktur budaya tontonan yang berlangsung pada masa kolonial besertaan dengan praktik representasi pihak kolonial dalam memandang kaum pribumi dalam bahasa visual (pameran). Praktik-praktik visual macam ini sesungguhnya juga tidak lepas dari perkembangan teknologi digital, semacam video dan komputer, dimana terdapat kesadaran baru dalam perilaku-perilaku sinema dalam memaknai kompleksitas dan kekinian realitas yang sedang berlangsung. Kesadaran baru yang muncul dari perkembangan medium sinema tersebut, oleh salah seorang teoretikus seni dan politik media, Gene Youngblood, disebut sebagai ‘sinema yang diperluas’ (expanded cinema). Istilah ‘sinema yang diperluas’, menurut Gene Youngblood sendiri, sebenarnya lebih berbicara tentang sinema sebagai perluasan kesadaran[ii], meski kemudian kesadaran baru tersebut juga tidak luput dari pengaruh adanya perluasan bentuk dan penggunaan teknologi dari medium sinema itu sendiri. Hal ini terkait dengan istilah sinema yang bukan dalam pengertian esensial yang sepenuhnya, tetapi pada pengertian yang lebih luas dimana jejaring antarmedia, seperti sinema dan televisi, yang dalam kekiniannya sudah berfungsi bagaikan sistem saraf manusia. Sinema yang diperluas itu, seperti halnya kehidupan manusia, mengalami proses kemenjadian secara terus-menerus, yang digerakan oleh sejarah dalam mewujudkan kesadarannya di luar pikiran.
Pada pameran ini, ketika sinema diurai dalam perilaku secara instalatif, adalah untuk memperlihatkan sebuah kesadaran visual yang melatari masyarakat pribumi kala itu melalui kemunculan teknologi pemutar filem di masa penjajahan. Dalam konteks ‘sinema yang diperluas’, keberadaan penoton, khususnya kalangan pribumi Hindia Belanda, adalah realitas yang ingin coba diangkat dalam pameran ini, yakni bagaimana sebuah rentang sejarah dan struktur sosial budaya yang melingkupi sebuah representasi tentang kaum pribumi diproduksi di masa kolonial. ‘Sinema yang diperluas’ dalam konteks ini lebih diarahkan pada keberadaan kaum pribumi dalam budaya tontonan yang berlangsung di masa kolonial, dimana berlangsung semacam homologi dengan produksi visual yang dihasilkan kala itu. Sinema melalui kemungkinan medium di era digital menjadi semacam proposisi tentang produk representasi dan konteks sosialnya, dimana hal tersebut menjadi bagian dari perluasan kesadaran sinema ketika dibaca dalam konteks perilaku sosiologis dan struktur sosialnya. Melalui sebuah instalasi, sinema diurai untuk memperlihatkan bagaimana sebuah struktur tontonan pada ‘kelas kambing’ yang dialami kaum pribumi, seakan memiliki ”homologisasi” pada praktik representasi visual kaum kolonial dalam memandang kaum pribumi pada filem “Mina” maupun “Pareh”.
Sinema, dalam konteks ini, menjadi semacam bahasa yang berusaha mendapatkan aktualitas kekinian dalam memperlihatkan sejarah struktur sosial sinema di Indonesia. Dengan demikian, sinema berperilaku menggantikan ide filem lebih ke arah yang fenomenologis. Kerangka utama pameran itu mengurai sinema ke dalam pengalaman dalam budaya “mentonton filem” yang berlangsung pada masanya. Artinya filem dalam kerangka ini menjadi sesuatu yang bukan genuine, melainkan diperluas menjadi semacam ‘parasinema’ (paracinema), yakni sebuah istilah untuk merealisasikan potensi sinema tanpa filem[iii]. Dalam hal ini, parasinema dipertimbangkan sebagai kesamaan atau kemiripan dari gagasan expanded cinema itu sendiri. Ia menjadi pembeda. Bila expanded cinema mencari perluasaan dalam hubungan sinema, kemenjadiannya, kesekitarannya, sementara parasinema mencari eksplorasi sinema ‘diluar atau melampaui mesin filem.[iv]
Tentu, pengertian dari perluasan terhadap sinema ini adalah sebuah cara pandang yang dilatari dari banyak disiplin. Dalam kerangka kajian sinema (cinema studies), pengertian-pengertian sinema dalam konteks kekinian, terkait dengan sinema yang diperluas itu, menjadikan pengertian sinema juga mengalami perluasan dari sebagai sebuah moving picture menjadi moving image. Dalam kuratorial edisi Inggris, judul pameran ini juga menggunakan istilah ‘gambar bergerak’ dengan kata moving image. Sebagai sebuah istilah moving picture, ia adalah pengertian sinema secara spesifik, merujuk pada pengertian bahasa sinema secara esensial sebagai pada medium filemnya. Moving picture adalah sebuah rangkaian image fotografis secara berturut-turut yang diproyeksikan ke dalam sebuah layar dalam pergantian yang cepat sebagaimana untuk memberikan ilusi dari gerak[v].Sementara sebagai istilah “moving image”, ia adalah pengertian sinema yang lebih luas, karena sinema dilepaskan dalam kerangka esensi mediumnya. Pengertian medium secara esensial kira-kira adalah doktrin yang mana masing-masing bentuk seni memiliki kekhasan mediumnya sendiri, sebuah medium yang membedakan kelainan bentuk yang lain.[vi] Secara epistemologis, moving image bisa dimaknai cara pandang sinema dalam pengertian yang lebih luas, seperti ketika sinema disandarkan dalam cara pandang psikologis, semiotik, antropologis, sosiologis dan lain sebagainya.
Dalam konteks teknologi, sinema dalam perkembangan kekinian juga sangat dekat dengan perkembangan teknologi digital, sehingga perilaku image sinema di era digital menjadi semakin kompleks dan memungkinkan untuk menggunakan bidang seni lain dalam perkembangan bahasanya. Perkembangan teknologi juga memungkinkan orang tidak lagi menonton sinema dalam tradisi yang spectacle, seperti membayangkan menonton dengan menggunakan in-focus dimana sorot cahaya bisa berada di depan penonton dan bukan di belakang penonton. Hal ini memungkinkan menonton sinema dalam konteks kekinian bisa berada di ruang yang terbuka, dan tidak lagi terfokus pada sebuah medium pemutaran yang eksklusif yang terpisah dari ruang-ruang sosial lainnya. Latar teknologi ini pulalah yang kemudian pameran “Jajahan Gambar Bergerak” pada ARKIPEL ke-3 kali ini juga yang memungkinkan sinema dihadirkan pada ruang-ruang galeri, menyatu dalam kesadaran keseharian masyarakat. Pengaruh perkembangan teknologi juga membawa batas-batas sinema secara konvensional dalam konteks kekinian telah mengalami perluasaan, sehingga kosa kata image dianggap sebagai sesuatu yang lebih luas. Konteks ini juga dibarengi dengan kultur kontemporer tentang pengertian seni luhur dan seni populer yang semakin memudar, sehingga pengertian kanon-kanon sinema seperti auteur cinema, experimental cinema dan lain sebagainya, juga mengalami perkembangan dari konvensinya yang tradisional.
Dalam konteks ‘sinema yang diperluas’, moving image menjadi semacam ‘fenomena sinema’, yakni pengertian sinema tidak berpatok langsung pada filem sebagai teknologi, tetapi bisa jadi lebih pada barisan-barisan teknologi. Pengertian moving image disini, dengan kata lain, menjadi semacam perilaku atau refleksi diri terhadap sinema itu sendiri, dan tentunya dalam uraian teknologi yang secara sinematis pula. ‘Sinema yang diperluas’ dalam pandangan Gene Youngblood adalah sinema yang keluar dari bingkai (frame) filem, ia kemudian berinteraksi dan terkoneksi dengan bentuk-bentuk kultur yang lain. Dalam pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi”, pengertian filem itu sendiri sebenarnya sedang dipertanyakan melalui kerangka yang sinematis. Hal ini jelas terlihat pada bagaimana model instalasi yang menggambarkan ‘kelas kambing’ pada pameran, yang menujukkan sebuah periode di masa analog, dimana cahaya memainkan peranan penting sehingga pertunjukkan filem bagaikan pertunjukkan wayang, yang mana orang pun dimungkinkan menonton dari balik layar. Era-era analog filem seakan menunjukan sebuah era kolonial secara homologi, dimana tidak ada andaian egaliter bagi kaum pribumi dalam mengakses instrumen hiburan kala itu, ketika sifat medium analog mengandaikan sebuah tontonan yang secara ruang bersifat eksklusif seperti halnya pertunjukkan wayang dalam kultur masyarakat pribumi. Konteks analog di masa kolonial adalah sebuah periode yang berbeda di era digital sekarang ini. Era digital memungkinkan semua masyarakat secara egaliter untuk mengakses instrumen hiburan karena sifatnya yang mobil dan tersebar luas.
Dalam konteks ‘moving image’, sinema bisa memperluas diri terkait bentuk penyajiannya, sembari memperlihatkan bagaimana konteks sosial struktur budaya tontonan sebagai pola konsumsi kebudayaan. Pameran “Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi” merupakan usaha-usaha dari perluasan dari bahasa sinema yang menggunakan medium seni diluarnya, seperti instalasi, atau bingkaian seni rupa, yang disajikan secara terbuka dalam kerangka galeri, sehingga medium sinema tidak lagi dihadirkan sebagai sebuah tontonan dan bahasa yang bersifat konvensional atau eksklusif (kanal tunggal). Kebutuhan perluasan ini sesungguhnya juga tidak lepas dari bagaimana sinema sanggup mengungkapkan realitasnya yang semakin kompleks, termasuk didalamnya adalah bagaimana model eksebisi sinema yang juga mempertimbangkan kompleksitas kultur dan mobilitas masyarakat kontemporer. Sinema pada pameran ini bukan lagi sekedar persoalan representasi, namun lebih pada bagaimana sinema sanggup menjadi sebuah ‘kehadiran’ dan ‘peristiwa. Dalam konteks ini, sebuah peristiwa seni, khususnya sinema, adalah sebuah peristiwa perayaan budaya visual yang melekat dalam keseharian dan perayaan visual yang berlangsung dalam ruang publik yang lebih cair. Tabik…
[i] Joseph Kosuth. “Art after Philosophy”, dalam Conceptual Art: A Critical Anthology Edited by Alexander Alberro and Blake Stimson (Massachusetts: MIT Press 1999), hlm. 162
[ii] Gene Youngblood. “Expanded Cinema” (Toronto and Vancouver: Clarke, Irwin & Company Limited,1970), hlm. 41
[iii] Istilah para sinema di ambil dari A.L. Rees “Expanded Cinema and Narrative: a Troubled History” dalam Expanded Cinema: Art, Performance, Film; ed. A.L. Rees et.al (London: Tate Publishing 2011), hlm. 12.
[iv] Ibid.
[v]“Moving picture”, http://www.thefreedictionary.com/moving+picture.Di unduh pada 19 Desember 2015.
[vi]Noel Carrol.“Theorizing The Moving Image” (Cambridge: Cambridge Univesity Press 1996), hlm. 49.