In Kronik

Aneka No.6/ Tahun III/ 20 April 1952

Panti pengetahuan filem yang diusahakan  atas inisiatif Pak Kasur alias sdr. Surjono telah mengadakan pertemuannya dengan pertunjukan filem “Samson and Delilah” buah tangan Cecil B. de Mille. Maksud pertemuan ini tidak melihat filem saja, juga membicarakan filemnya sebagai bahan pertukaran pikiran untuk menambah pengertian tentang filem.

Saya ulangi pembicaraan filem tersebut dengan tulisan ini, karena pada malam pertemuan itu banyak soal-soal yang belum bisa saya terangkan dengan jelas berhubung dengan sempit waktunya dan suasana pertemuan juga amat meruncing.

Sikap saya pada malam itu terlalu menyerang daripada menerangkan, karena terutama saya benci terhadap orang-orang yang tidak mengerti apa yang harus dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Misalnya pada umumnya orang-orang yang datang masih membicarakan filem sebagai suatu pelajaran pengetahuan (een vakkennis). Mereka belum dapat melepaskan diri dari pertukangan. Kita datang sebagai anggota dari Panti Pengetahuan bukan akan menerima suatu pelajaran bagaimana cara membikin filem, tetapi kita ingin mengetahui persoalan dalam filem; jadi kita hadapi filem itu sebagai suatu problem stelling, bukan suatu vak.

Sekarang tentang filemnya. Filem adalah suatu pernyataan, suatu alat penterjemah dari sesuatu yang akan kita ceritakan.

Cecil B. de Mille dengan filemnya “Samson and Delilah” telah menterjemahkan suatu cerita dari Bibel, suatu cerita yang mengandung hakiki ketuhanan. Menurut pendapat saya dengan apa saja dinyatakan cerita ini harus tetap mengandung hakikinya. Misalnya cerita “Samson and Delilah” ini kalau kita nyatakan dengan sajak, lukisan, musik, sandiwara, tari atau filem, sekalipun bentuk filem itu show, harus tetap mengandung isi yang latent, yakni hakiki ketuhanan. Karena adanya isi latent ini, maka kesenian mempunyai kewajiban “sosial”, bahwa seni mempunyai faedah dalam masyarakat. Faedah ini ialah bahwa hasil seni kuasa membangkitkan rasa-rasa tersebut kepada penonton.

Tetapi setelah kita melihat “Samson and Delilah” buah tangan Cecil B. de Mille tidak ada kesan yang tertinggal sebagai apa yang diharapkan seperti yang tertulis diatas. Kita hanya melihat suatu rentetan dari kejadian-kejadian, suatu reportase yang berbentuk cerita.

Jadi untuk saya Cecil B. de Mille adalah gagal dalam menterjemahkan cerita “Samson and Delilah” dengan filem sebagai alat pernyataannya.

Regie

Dalam regie (penyutradaraan) Cecil B. de Mille-pun tidak ada menggambarkan kemungkinan nafsu hidup baru. Usahanya penuh dengan pengulangan dan kelancaran. Bahkan ada dia mengambil over barang-barang baru dari Eropa akan tetapi penuh dengan kegagalan. Misalnya dalam cerita ini banyak adegan-adegan yang juga kita temui dalam filem Hamlet atau filem-filem Eropa belakangan ini. Umpamanya melepaskan seorang dari kenyatannya dan dihadapkannya dengan alamnya. Jadi mengadakan suatu konfrontasi antara seorang dengan alamnya, atau memberi pernyataan diri pada si pelaku. Lawrence Oliver dalam Hamletnya dapat menguasai adegan situasi ini dengan dialog atau sebuah komposisi. Saya masih ingat bagaimana Hamlet berkata dalam diri sedang dibelakangnya nampak suatu suasana perundingan raja dengan menteri-menterinya. Kadang-kadang dia jalan menjauhi ruangannya menuju ke kamera, dan ditangkap oleh kamera menjadi close up untuk membangkitkan sesuatu emosi. Semua ini dikerjakan oleh Oliver dengan tidak meninggalkan suasana en toch apa yang hendak dikemukakan, yakni suatu konfrontasi tercapai.

Cecil B. de Mille mencoba ini juga, tetapi tidak tercapai. Setiap kali apabila ia hendak memberi pernyataan diri pada si pelaku selalu gagal. Dan di dalam kegagalan ini, dipindahkan gambaran keadaan (totale shot) ke gambaran seseorang (close up) dengan secara lancar, sehingga penonton kagum dan tertutuplah kekosongan itu.

Saya belum putus asa, saya tunggu barangkali dalam close-up dia dapat mengadakan situasi tersebut. Rupanya inipun tidak, dialognya masih tetap percakapan, dan mimiknya juga tidak ada. Coba kita bandingkan dengan Orson Welles dalam “Machbet”. Ini suatu contoh sebuah konfrontasi tidak dengan dialog. Saya masih ingat bagaimana Orson Welles mengambil suatu close up setengah muka orang hampir satu layar penuh dengan seorang yang berdiri kecil jauh dibelakang terletak di bawah hiduungnya.

Orson Welles tidak berkata apa-apa (zonder dialog), hanya menggerakkan mukanya. Kesan yang saya dapat dari pelukisan ini, ialah seorang yang meletakkan alamnya dibawah hidungnya dan dapat mencium segala sesuatu yang akan terjadi. Disinilah letaknya kegagalan Cecil B. de Mille sebagai sutradara. Dia tidak mempunyai hati untuk manusia, sedang yang dipakai sebagai material tidak lukisan kejadian (taferelen and landscape) saja, tetapi juga manusia.

Saya bandingkan dengan Joris Ivens. Joris Ivens juga seorang pembuat filem yang mempunyai kekuatan seperti Cecil B. de Mille, yaitu tidak mempunyai hati untuk manusia. Dalam filemnya “Indonesia Calling” tidak tergambar orang-orang yang sedang berjuang, hanya keadaan kesibukan-kesibukan belaka dan pemandangan-pemandangan serta peristiwa-peristiwa yang dibuatnya lebih beruntung dari pada Cecil B. de Mille.

Dari itu saja percaya bahwa filem Joris Ivens De Brug (The Bridge, 1928), dan lain-lain, filem baik selama dia tidak memakai manusia sebagai material. Joris Ivens dapat mengambil suatu keagungan dari barang-barang biasa, seperti jembatan, pohon, bendungan air, dan lain-lain.

Tetapi Cecil B. de Mille tidak. Apabila ia mau menarik perhatian, dikagumkan penonton itu dengan barang-barang yang luar biasa, misalnya meletusnya gunung, runtuhnya bangunan yang besar atau kekacauan dari ratusan orang. Dan ini semua dibikin dalam massa-regie (penyutradaraan yang melibatkan jumlah massa besar). Cecil B. de Mille terkenal dengan massa-regienya, tetapi dalam massa-regienya dia tidak sampai pada apa yang harus dicapai. Dengan massa-regienya dia hanya mengadakan kesombongan saja (humbigheid). Sesuatu yang agung (imposant) yang harus terbentuk oleh massa-regie tidak terlukis. Sebagai bahan perbandingan saya ambil filem “Stromboli”. Suatu contoh bagaimana kita melukiskan keagungan sebuah gunung dan massa-regie, tidak dengan kesombongan.

Bachtiar Siagian dan Basuki Resobowo dalam rapat Dewan Juri Festival Film Asia Afrika 1964 di gedung Ganefo. Foto: Koleksi Oey Hay Djoen/ISSI

Kesimpulan

Jadi untuk saya filem “Samson and Delilah” bukan contoh filem yang baik, yang mempunyai nilai kesenian.

Filem ini banyak memberi pelajaran kepada penonton. Filem yang banyak menarik penonton belum tentu berarti mempunyai faedah dalam masyarakat. Cecil B. de Mille dalam filem ini banyak memiliki kemampuan dalam kelancaran teknik. Misalnya tiap kegagalan dalam usaha memberi pernyataan diri pada si pelaku, diadakan pemindahan dari gambaran seluruhnya dari gambaran close-up.

Cecil B. de Mille terlalu lancar dalam teknik, sehingga pemindahan-pemindahan dari satu ke lain gambar dikerjakan dengan kelancaran sebegitu rupa, sampai penonton tidak ada kesempatan lagi untuk mengadakan renungan dari tiap-tiap kejadian. Kesan yang tertinggal ialah penonton melongo, heran akan kelancaran teknik. Bukankah filem sebagai cabang dari kesenian juga mempunyai kewajiban mendidik dan memelihara perkembangan derajat manusia, yang keluar dengan khayal (fantasi). Dan perbuatan-perbuatan spontan serta intuisi (naluri) yang sangat tajam. Ini adalah sifat-sifat yang selalu harus ditutup, karena ketiga sifat itu memberi gerak dan hidup terus dalam pertumbuhan jiwa manusia. Sebagai punutup saya heran mengapa filem semacam itu mendapat hadiah. Apanya yang diberi hadiah?

Saya takut, kalau hadiah itu hanya merupakan commercieele propaganda (propaganda komersil). Dan untuk saya Cecil B de Mille bukan seorang seniman, dia hanya pemborong kerja (aannemer).

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search