Jika ARKIPEL – Jakarta International Experimental and Documentary Film Festival adalah sebuah festival filem dokumenter dan eksperimental yang membaca fenomena global lewat sinema, maka Salamindanaw Asian Film Festival adalah festival yang memberikan jembatan bagi pembuat-pembuat filem di Asia untuk saling bertatap muka dan bertukar wacana.
Pertama kali menggunakan nama Asian Film Festival setelah tiga tahun sebelumnya menggunakan nama International Film Festival, Salamindanaw tahun ini berfokus pada konvergensi filem Asia, pembuat filem, serta pengamat filem Asia. Selama 6 hari, sejak 7 November hingga 12 November, Salamindanaw Asian Film Festival menghadirkan 44 filem yang terdiri dari filem-filem Asia serta filem-filem yang spesifik berasal dari Filipina dan Pulau Minadanao. Tak kurang dari 4 filem Asia mendapatkan penghargaan. Salah satunya, ialah filem Ziarah dari Indonesia karya BW Purbanegara yang mendapat penghargaan Film Feature Asia terbaik 2016.
Sejalan dengan temanya mengenai sinema Asia, festival Salamindanaw di tahun ini pun mengadakan dua buah simposium. Pada simposium pertama yang berbicara mengenai visi periferal pada sinema regional, Teddy Co dari Filipina, Makbul Mubarak dan BW Purbanegara dari Indonesia, Philip Cheah dari Singapura, Nelly Dillera dari Departemen Turisme Filipina, dan Sakai Ko dari Jepang hadir membahas sinema di regional Asia hari ini. Sedangkan simposium kedua lebih mengambil tema tentang Kritik Filem dan menghadirkan Ed Cabagnot dari Filipina, Chris Fujiwara, Philip Cheah, Sakai Ko, dan Kitakoji Takashi dari Jepang. Dalam pelaksanaanya, kedua simposium tersebut sama-sama membicarakan kondisi sinema di berbagai negara di Asia Tenggara dan Jepang.
Melalui kedua simposium tersebut, didapati bahwa rupanya problem sinema di negara-negara Asia Tenggara dan Jepang sama-sama terkait erat dengan adanya dominasi bentuk tertentu pada sinema yang kemudian menciptakan suasana sentrisme. Umumnya dominasi ini terhubung pada sejarah kolonialisme dan keterpusatan wacana pada kota-kota besar. Hal ini kemudian membuat tema-tema dari pinggiran atau periferal kerap kurang terdengar pada wilayah sinema.
Menurut Teddy Co, fenomena sinema di Filipina masih lekat dengan kondisi Manila sentris; segala aspek perfileman hanya mengacu pada jenis kehidupan yang hadir di sana. Namun, kini telah mulai muncul usaha-usaha untuk membingkai bentuk-bentuk kehidupan yang berbeda dalam sinema sebagai upaya mengartikulasikan perspektif yang vernakular.
Makbul Mubarak mengungkapkan pula bahwa kondisi sinema di Filipina tak jauh beda dengan kondisi sinema di Indonesia yang mengalami kesentrisan terhadap ibukotanya. Menurutnya, festival filem di Indonesia memang kebanyakan tak berfokus pada sinema regional atau sinema periferal seperti halnya Salamindanaw. Umumnya, festival filem di Indonesia didasarkan pada genre dan cenderung fokus pada sinema internasional ketimbang regional. Ia menambahkan pula bahwa visi mengenai sinema regional belum terjadi pada pembuat filem di Indonesia. Namun, di sis lain, praktik-praktik yang mengarah pada hal tersebut sudah ada meskipun dalam istilah yang beda. Hal ini terjadi karena terdapat suatu kecenderungan bahwa pembuat filem Indonesia enggan menggunakan istilah sinema regional atau filem daerah. Kedua istilah tersebut dianggap terlalu identik dengan rezim otoriter pada Orde Baru. Karenanya, nama lokasi geografi umumnya lebih banyak dipakai untuk merujuk pada sinema periferal ketimbang istilah “filem daerah”.
Sakai Ko dari Jepang pada simposium tersebut pun mengungkapkan bahwa situasi yang tak jauh beda terjadi di Jepang. Negara ini memiliki banyak ragam bahasa dan dialek, namun narasi kebanyakan sinemanya masih mengacu hanya pada Tokyo. Kultur Tokyo pun terus diimitasi sekalipun dalam sinema provinsialnya sehingga wacana regional tetap tak tampak. Keberadaan festival filem di wilayah pinggiran pun sangat sedikit. Kalaupun ada, maka festival tersebut masih memperkenalkan sinema dan kultur Tokyo saja.
Menurutnya, kesulitan membuat filem regional di Jepang umumnya disebabkan oleh kurangnya orang yang mempunyai kapasitas memadai secara teknis serta tiadanya rumah produksi. Permasalahan yang sama pun sebetulnya dialami juga di Indonesia. Meskipun ada banyak pembuat filem yang memiliki sensitivitas regional, namun untuk membuat sebuah filem mereka harus menyediakan diri untuk masuk ke industri di pusat terlebih dahulu.
B.W. Purbanegara dari Indonesia di simposium yang sama juga menambahkan bahwa kehadiran festival filem pada dasarnya memberikan kesempatan bagi pembuat filem untuk lebih berkembang. Di sisi lain, keagenan dari pegiat sinema pun bisa dilakukan melalui kehadiran dan pengoptimalan festival filem. Philip Cheah dari Singapura pun mengungkapkan bahwa Jogja NETPAC yang merupakan salah satu festival filem di Indonesia hadir sejak awal sebagai sebuah festival filem regional. Kini ia menjadi salah satu festival utama di Indonesia yang diminati dengan tema regionalnya. Sebagai dampaknya, festival filem pun memberi peluang bagi kita untuk memetakan sinema di Asia sendiri.
Merujuk pada perbincangan simposium tersebut, regionalisme sebetulnya bisa dilihat secara mikro dan makro. Secara makro, regionalisme memiliki bentuk yang formal dan dimainkan oleh aktor negara. Sedangkan dalam bentuk yang mikro, regionalisme justru memungkinkan subunit dalam sejumlah negara menjalinkan interaksinya ke dalam suatu integrasi regional tertentu. Sehingga kemudian, terdapat pergantian otoritas pengorganisasian regionalisme dari pusat ke otoritas regional yang berada pada wilayah periferal. Tak heran jika regionalisme kemudian kerap dihubungkan sebagai kontradiksi atas globalisasi jika dilihat dari fungsinya yang memberi garis antara mana yang regional dan mana yang global. Namun, proses regionalisme pun membutuhkan adanya regionalisasi, yaitu proses empiris yang spontan oleh aktor-aktor dalam tatanan dunia yang secara simultan menjejaringkan interaksi pada bidang sosial, politik, dan ekonomi. Sifatnya cenderung tidak terencana, tidak terarahkan namun lebih bottom-up ketimbang top-down. Konsep regionalisme dan regionalisasi adalah hal komplementari yang butuh berjalan secara berdampingan.1
Dalam hal ini, festival filem Salamindanaw adalah bentuk dari regionalisasi yang mengarah pada mikro-regionalisme sinema di Asia. Interaksi yang terjadi antara pegiat filem di sana pada akhirnya menciptakan jejaring tersendiri yang berusaha menggeser pusat sinema dari pusat-pusat kota di metropolitan menuju ke wilayah-wilayah periferal, baik secara wacana maupun bentuk dalam sinemanya sendiri. Sayang, proses ini baru mencapai tahap saling menukarkan wacana dan memetakan saja, sedangkan proses pembacaan atas bahasa sinema yang dominan di Asia sendiri belum sempat muncul ke permukaan, kecuali tentang kebutuhan untuk artikulasi bahasa vernakular dari periferi. Integrasi pun masih belum terjadi sekalipun dalam tahap mikro-regionalisme sinema Asia. Barangkali, ini pun karena kali pertama Salamindanaw menjadi sentra konvergensi bagi pegiat filem di Asia.
Endnotes