Nindyasari, D. P. 2023. “Ruang Kosong dan Strategi Bergerak di Celahnya”. Dalam A. Osman, O. Widasari, & Y. Aditya (peny.), S… Untuk Sinema. Jakarta: Forum Lenteng, hlm. 114-119.*
STRATEGI MEMBANGUN RUANG merupakan salah satu strategi yang membangun makna. Elemen spasial dan spasialitas (keruangan) menempati peran yang penting pada sebuah karya film, dan sangat berguna dalam strategi pengeksplorasian bentuk-bentuk penceritaan. Keruangan suatu karya merangsang interaksi audiens, memodulasi perasaan dan respons perseptual lewat konstruksi dunia naratifnya yang menarik audiens ke dalamnya. Bisa dibilang bahwa keberhasilan “daya tarik” ini yang sering kali menjadi ukuran keberhasilan sebuah film. Sebagai salah satu hal yang menentukan gaya dan ekspresi sinematik, strategi keruangan merefleksikan sekaligus juga dipengaruhi oleh estetika, storytelling, dan teknologi film yang berkembang dari waktu ke waktu. Mengulas aspek keruangan di dalam film terbilang penting untuk memahami estetika lebih daripada sekadar apa yang tampak di permukaan semata. Eksplorasi bentuk penceritaan berdasarkan aspek keruangan ini melampaui persoalan tematik, karena juga mengangkat lapisan-lapisan yang lebih mendalam dan sering kali implisit, seperti motivasi karakter dan bangunan psikologisnya. Kalau audiens belum berhasil “tertarik” dengan konstruksi dunia material yang terlihat di permukaan, di sini diciptakan “dunia batin” dengan segala kompleksitasnya yang menuntut keterlibatan penuh.
Dua aspek dalam film telah teridentifikasikan melalui keruangan: (1) dunia material yang eksplisit, membentuk kekhasan estetika, serta membahasakan persoalan tematik, dan (2) “dunia batin” yang implisit dan dikemas dengan “kode-kode” visual. Ruang sebagai area di mana segalanya ditempatkan secara teratur, bekerja sebagai alat penghubung yang memastikan berjalannya narasi dan pemaknaan dengan tepat. Kita juga dapat melihat ruang-ruang ini dalam masyarakat, yang hadir sebagai institusi maupun jaringan berelasi. Mereka bekerja secara sistematis, dan sekalinya terdapat suatu ketidaktepatan, seluruh konstruksi juga akan melenceng. Sebagian besar waktu, hal-hal tersebut berada di luar jangkauan yang dapat dikendalikan seorang individu dan melibatkan sistem yang lebih rumit. Apa yang akan terjadi jika ruang itu kosong dan tidak bekerja dengan semestinya? Dengan sendirinya, ruang itu akan terisi dengan hal lain dan menghasilkan strategi alternatif. Representatif dari masalah ini adalah timbulnya kriminalitas, yang biasanya hanya ditimbang dengan penilaian moralistik baik atau buruk. Namun, lebih jauh dari penilaian hitam/putih, sering kali kriminalitas lahir karena adanya kelemahan institusi atau jaringan berelasi itu sendiri. Hal ini menyebabkan ketidakadilan, ketidakefektifan, dan kegagalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun individu, menimbulkan celah yang perlu dijembatani. Lalu, celah yang eksplisit tersebut membangun respons dari mereka-mereka yang terdampak, yang kemudian hadir di dalam film dengan implisit melalui kode-kode visual.
Tiga film yang akan dibahas di sini menyuguhkan eksplorasi pada ruang-ruang kosong dan kriminalitas yang hadir sebagai strategi alternatif untuk mengisi celah tersebut. Ulasan ini akan berkisar pada film Los Olvidados (1950) karya Luis Buñuel (Meksiko), Johnny Guitar (1954) karya Nicholas Ray (AS), dan Pickpocket (1959) karya Robert Bresson (Prancis).
***
Keruangan tentu membahas apa-apa yang tampak, tetapi dalam membicarakan ruang kosong, kita juga membahas apa-apa yang tak tampak. Los Olvidados menceritakan kenyataan suram dari kehidupan anak-anak di daerah kumuh Mexico City, tempat mereka berkumpul identik dengan latar belakang lanskap bangunan-bangunan yang hancur dan terbengkalai. Menjadi kontras, suatu lembaga pemasyarakatan untuk anak-anak yang terjerat kasus hukum atau penjara anak, yang digambarkan dengan bangunannya yang terstruktur dan bersih. Secara keruangan, ia bagaikan mercusuar harapan di tengah-tengah keredupan. Namun, tampaknya institusi tersebut tidak berfungsi dengan semestinya dalam tatanan sosial masyarakat. Bagaimana Jaibo si nakal dapat melarikan diri, dan bagaimana bahkan Pedro yang bermaksud baik pun akhirnya tidak mendapat imbas baiknya, yang kemudian keduanya keluar untuk melakukan tindak kriminal lain.
Selebihnya lagi, pada keseluruhan film, institusi pendidikan formal yang kita kenali sama sekali tidak hadir. Hal yang tak tampak juga menjadi signifikan dalam memungkinkan konstruksi film dan kenyataan yang coba dihadirkannya. Lalu, strategi alternatif muncul dalam relasi kelompok pertemanan. Namun, jaringan berelasi ini menjadi tempat, ajang, dan alat untuk melanggengkan kriminalitas yang didorong oleh kondisi kemiskinan, dari tindakan mencopet sampai pembunuhan. Kedua hal tersebut, ruang kosong dan strategi alternatif yang dilahirkannya, saling memengaruhi sehingga membentuk siklus sistem yang kejam.
Penyaksian atas suatu pembunuhan yang membuat Pedro dipenuhi rasa bersalah juga mengonstruksi ruang atau dunianya sendiri, yaitu lewat dunia mimpi. Kenyataan realitas yang pelik disandingkan oleh Buñuel dengan tafsiran yang surealistik. Di dalamnya, dunia bergerak dengan temporalitas yang lamban sehingga segala emosi tersorot dan menggambarkan kegelisahan Pedro dengan tegas. Kemudian, terdapat visualisasi pendambaan Pedro akan kasih sayang ibunya, di mana ibunya memberikannya seekor ayam mati yang akhirnya direbut darinya. Ayam di sini merupakan kode visual yang signifikan karena kehadirannya yang berulang sepanjang film. Suatu pernyataan yang gamblang oleh Buñuel, bahwa “dunia batin” bukan hanya dibentuk oleh kode visual yang implisit, bahkan kode-kode tersebut dapat menjadi bangunan ruangan tersendiri.
Kriminalitas yang terorganisasi dalam sebuah kelompok juga terdapat dalam Johnny Guitar. Pada genre old western, sindikat tersebut bisa dibilang sudah menjadi bagian dari budaya. Pembunuhan, sama halnya dalam Los Olvidados, juga hadir sebagai pemantik berjalannya narasi film. Pencarian dan pendakwaan akan pelaku pembunuhan tersebut memperlihatkan posisi lembaga hukum dan kepolisian yang mencoba untuk melangsungkan proses yang semestinya, tetapi lemah di hadapan sindikat kriminal dan para penguasa. Pencarian dimulai pada sebuah bar milik Vienna. Vienna dan barnya yang berlokasi di tengah gurun yang akan dibangun jalan kereta api hadir sebagai kode akan angan-angan datangnya pembangunan. Dalam adegan tersebut, polisi tidak dapat menghadapi kemarahan dan pergolakan kuasa para penguasa dan sindikat kriminal. Mereka kalah jumlah dari kumpulan massa yang mendominasi ruangan bar dan lebih mempercayai strategi-strategi alternatif tersebut.
Strategi alternatif sebagai budaya ini menjadi signifikan dalam melanggengkan kriminalitas karena memiliki kekebalan yang lebih dari justifikasi “rasional,” seperti faktor ekonomi, yang mengantarkan individu atau kelompok untuk melakukan tindakan kejahatan. Kepercayaan yang tertanam adalah kepercayaan yang lebih mendalam, yaitu loyalitas. Alhasil, keadilan, kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi ini, menjadi gagasan yang arbitrer karena berada di tengah-tengah kepentingan kelompok yang bertentangan. Kekosongan akan sistem hukum di sini bukan dihasilkan oleh kinerja institusi yang buruk, melainkan dari berbagai strategi alternatif yang mencoba mengokupasi ruang. Bahkan, hal ini mungkin juga bisa dilihat sebagai ruang yang penuh, bagaimana banyaknya aktor dalam kontestasi kuasa memorakporandakan ruangan yang teratur, dan akhirnya gagal untuk membentuk sistem hukum yang dominan. Tidak jarang, pergolakan kuasa atau menyimpangnya jaringan relasi ini menghasilkan kenyataan yang pahit untuk sebuah negara. Hal ini diperlihatkan dengan kekacauan kota yang berakhir pada pembakaran bar Vienna. Dalam keadaan di mana tidak ada sistem hukum yang konkret, ruang yang melambangkan pembangunan tersebut terpaksa hancur.
Adanya jaringan berelasi yang menyimpang juga bisa dilihat sebagai gejala dari suatu zaman. Pickpocket memperlihatkan hal ini melalui persoalan relasi yang dihasilkan modernitas Barat. Michel, yang hidup di metropolitan Paris, jauh dari kerabat maupun keluarganya, menjalani hari-hari yang terasingkan. Kamarnya yang datar dan tidak memiliki “kepribadian,” juga kehampaan suara sepanjang film menjadi tanda-tanda akan isolasinya. Inilah ruang kosong yang dibentuk oleh modernitas. Ia bekerja sebagai pencopet, bukan terdorong oleh faktor ekonomi atau budayanya, tetapi keyakinan personal atas status superioritasnya yang bisa dibilang tidak luput dari keterasingan itu sendiri.
Dalam aksi copetnya, Michel juga terlibat dalam suatu sindikat yang sangat terstruktur. Sindikat ini secara tidak langsung menjadi ruang di mana ia dapat menyuguhkan “kepribadian” sebenarnya tanpa rasa waspada. Pengambilan gambar aksi copetnya menggambarkan bagaimana tangan-tangan mengitari tubuh dan bergerak dengan terampil, halus, dan elegan. Kedua hal tersebut justru memberi tanda bahwa Michel dapat menemukan keintiman dan kedekatan yang selama ini hilang dari hidupnya dalam tindakan kriminal. Dengan kata lain, kriminalitas menjadi strategi alternatif untuk menjembatani isolasi dari modernisme. Tetapi secara bersamaan, ini yang menjadi hambatan untuk menjalin keintiman dengan kerabatnya, karena penting untuk tidak dikenal, membaur, dan menjadi si tanpa nama untuk keberhasilan pencopetannya. Dinamika “kejar-kejaran” dengan seorang polisi juga memperlihatkan hal tersebut, bagaimana ia terus berada dalam ambang-ambang diketahui dan tidak diketahui. Sampai di saat sang polisi menjabarkan semua tindakan Michel yang ia ketahui dan berterus terang telah menggeledah kamarnya, tetapi dengan rasa angkuh Michel tidak mengakui hal-hal tersebut. Sebab, mereka belum dapat menemukan rahasia Michel yang terdalam, yang terletak di kompartemen kecil di belakang kasurnya, berisikan hasil curiannya.
Tidak hanya dari aspek visual, keruangan ternyata dapat dibentuk dari konstruksi waktu lewat mimpi Pedro, dan juga suara (atau kurangnya suara) dari “kesunyian” di kota Paris. Bahkan, dialog pun dapat mengambil bagian, misalnya bagaimana perannya dititikberatkan oleh Nicholas Ray. Hal ini bisa terbaca dari penggalan perbincangan antara Vienna dan Johnny, ketika Johnny berkata, “Five years ago I met you in a saloon, now I find you in one. I don’t see much change.” Lalu Vienna menyahut, “Except I own this one.” Kecerdasannya atas konstruksi dialog memperlihatkan bagaimana ia dapat “menarik” audiens ke ruang yang terbentuk dari sejarah waktu, dua lokasi yang berbeda, dan kejenakaan penokohannya. Pada spasialitas, dialog juga dapat membangun ruangnya tersendiri, bukan hanya aspek “tambahan” yang sama sekali tidak terhubung.
Ruang kosong juga menjadi gagasan yang tampaknya perlu ditelaah kembali. Ia tidak hanya ruang yang tidak “terisi,” seperti keinginan Michel akan keintiman yang tidak terpenuhi, atau sesuatu yang tidak ada, seperti institusi pendidikan di daerah kumuh Mexico City. Sedangkan dalam film Johnny Guitar, kontestasi kekuasaan dalam ruangan yang penuh menyuguhkan narasi yang berbeda atas “ruang kosong” dalam masyarakat, atau malfungsi sistem. Bagaimana suatu yang tidak berfungsi ini tidak hanya dihadirkan dan dibentuk oleh ruang kosong, tetapi juga ruang yang “penuh.” []
* Redaksi Jurnal Footage melakukan penyuntingan pada beberapa bagian (untuk menyesuaikan ketentuan redaksional jurnal ini). Pemuatan tulisan ini di Jurnal Footage adalah dalam rangka distribusi pengetahuan secara terbuka.