In Artikel

Natsir, Ilham. 2023. “Roman Picisan: Dialog Gelap dan Terang yang Mengungkap Logika Sinematik”. Dalam A. Osman, O. Widasari, & Y. Aditya (peny.), S… Untuk Sinema. Jakarta: Forum Lenteng, hlm. 102-109.*

BAYANGAN selalu muncul ketika suatu objek menghalangi rambat lurus cahaya. Kehadirannya bersifat invasif, menjadi semacam pertentangan yang tak terelakkan. Dalam film, bayangan berhubungan dengan dua aspek utama: (1) unsur teknis dan, dalam beberapa kasus, (2) unsur yang berkaitan dengan estetika.

Dalam film-film Ekspresionisme Jerman, bayangan menjadi komponen penting yang membentuk visual khas. Selain itu, bayangan sering digunakan untuk menggambarkan kondisi emosional karakter. Pengaruh estetika ini berlanjut hingga dekade 1940-an, di mana sutradara Jerman yang bermigrasi ke Hollywood membawa gaya tersebut. Hal ini mendorong munculnya film-film dengan nuansa serupa pada periode 1940-an hingga 1950-an, yang menonjolkan permainan cahaya dan bayangan kontras. Fenomena ini kemudian dirangkum oleh Nino Frank, seorang kritikus Prancis, dalam istilah film noir, yang diperkenalkan pada tahun 1946. Istilah ini berarti ‘gelap’ atau ‘hitam’ dalam bahasa Prancis. Bayangan dalam film noir tidak hanya sekadar elemen visual, tetapi juga mampu mengungkap lapisan makna yang lebih dalam, memperkuat narasi, dan membentuk pemahaman penonton tentang karakter serta situasi yang dihadapi.

Esai ini akan membahas tiga film bergaya noir dari tiga wilayah berbeda: Double Indemnity (AS, 1944) karya Billy Wilder, Quai des Orfèvres (Prancis, 1947) karya Henri-Georges Clouzot, dan Mahal (India, 1949) karya Kamal Amrohi.

Selain permainan kontras antara cahaya dan bayangan, film-film bergaya noir juga dikenal dengan narasi tentang kriminalitas, seksualitas, dan moralitas yang ambigu. Salah satu ciri khasnya adalah kehadiran tokoh perempuan kompleks yang sering digambarkan sebagai femme fatale—karakter perempuan yang memikat dan kerap memanfaatkan daya tariknya untuk mencapai tujuannya. Dalam ketiga film tersebut, penonton akan menjumpai tiga karakter femme fatale yang memanipulasi situasi, dengan konflik berpusat pada karakter perempuan: Phyllis dalam Double Indemnity, Jenny dalam Quai des Orfèvres, dan Kamini dalam Mahal.

Double Indemnity Official Trailer | Rotten Tomatoes Classic Trailers YouTube Channel

Bayang-bayang hitam yang menjulang tinggi dari sosok seorang pria berjalan tertatih membuka film Double Indemnity. Melalui bayang-bayang itu, sutradara memperkenalkan karakter Walter Neff, seorang agen asuransi yang terlibat dalam plot rumit penipuan dan pembunuhan. Bayang-bayang panjang dan menakutkan ini menjadi simbol perjalanan gelap Neff seiring perkembangan cerita, terutama setelah pertemuannya dengan Phyllis yang memikatnya. Perkenalan tersebut membawa keduanya ke dalam skema pembunuhan Tuan Dietrichson, suami Phyllis. Rencana pembunuhan ini memiliki dua motif berbeda: Walter ingin memiliki Ny. Dietrichson, sedangkan Phyllis ingin mendapatkan kompensasi ganda dari klaim asuransi atas kematian suaminya.

Dalam adegan ketika Neff pertama kali bertemu Ny. Dietrichson atau Phyllis di rumahnya, bayang-bayang jatuh pada wajah dan tubuh Phyllis, menciptakan kesan sensual yang misterius sekaligus menegaskan perannya sebagai femme fatale. Neff seketika jatuh hati pada “bayang-bayang” Phyllis, dan rencana pembunuhan pun dimulai. Setelah pembunuhan berhasil dilancarkan dan klaim asuransi diajukan, karakter Barton Keyes, penyelia klaim asuransi sekaligus teman Neff, mulai merasakan kejanggalan atas kematian Tuan Dietrichson. Dualitas peran Neff digambarkan secara subtil dalam adegan saat ia berbincang dengan Keyes mengenai kasus ini di ruangannya. Dalam sorotan cahaya dan bayangan, wajah Neff terbagi antara gelap dan terang, mengisyaratkan perannya sebagai pegawai asuransi sekaligus pelaku kejahatan.

Kehadiran femme fatale, yang sering digambarkan sebagai sosok perempuan dengan kecantikan dan kecerdasan yang berbahaya, mencerminkan pergeseran peran perempuan dalam perfilman Hollywood. Karakter ini sering kali memiliki kuasa atas protagonis pria, baik melalui daya tarik fisik maupun manipulasi psikologis. Fenomena ini merefleksikan dinamika hubungan kuasa yang bergeser sekaligus kritik terhadap struktur sosial serta hubungan gender pada masanya.

Sementara itu, Henri-Georges Clouzot dalam Quai des Orfèvres menghadirkan Jenny Lamour sebagai femme fatale yang digambarkan sebagai penyanyi kabaret ambisius. Dengan kecantikan, kecerdasan, dan ketidakpedulian terhadap moralitas tradisional, Jenny berupaya mencapai ketenaran dan keberhasilan. Karakternya menjadi pusat konflik, menjebak dan memanipulasi moral orang-orang di sekitarnya, seperti suaminya Maurice Martineau, produser kaya Brignon, dan inspektur polisi Antoine. Salah satu adegan ikonik memperlihatkan Jenny mengenakan gaun menggoda saat tampil di depan Brignon, menggunakan daya tarik seksual untuk memanfaatkan ketertarikan Brignon meskipun berdampak pada hubungannya dengan Maurice.

Quai des Orfèvres (1947) - Theatrical Trailer | Allusion to Shadow YouTube Channel

Dari segi pengemasan visual, Clouzot memanfaatkan kontras cahaya dan bayangan tidak pada karakter, tetapi pada ruang-ruang di dalam filmnya. Dalam adegan Maurice di ruang pertunjukan, kamera mengikuti gerakannya menuju pintu belakang untuk mencari Jenny. Lanskap ruang melalui cermin besar menunjukkan bayangan Maurice terbelah menjadi dua, dikelilingi penonton dan aktor yang tidak menyadarinya. Penggambaran ini menghadirkan kesan “pertunjukan dalam pertunjukan”: yang pertama adalah aksi di atas panggung, dan yang kedua adalah film itu sendiri.

Clouzot menempatkan ruang sebagai elemen utama, dengan tokoh-tokoh sebagai elemen pendukung yang bergerak di dalamnya. Judul asli Quai des Orfèvres, yang merujuk pada alamat kantor polisi, diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Jenny Lamour, merujuk pada protagonis perempuan. Hal ini menegaskan Jenny sebagai femme fatale. Pendekatan Clouzot berbeda dengan estetika noir Hollywood yang menitikberatkan pencahayaan gelap-terang pada karakter. Dalam Quai des Orfèvres, pencahayaan pada tubuh dan wajah karakter cenderung rata, seolah menegaskan kesetaraan peran setiap tokoh. Dengan demikian, ruang latar menjadi elemen penting yang memengaruhi perilaku dan dinamika antar karakter.

Kamal Amrohi, dalam film Mahal, juga menyuguhkan pendekatan gaya noir seperti kedua film sebelumnya. Namun, ia mengadopsi gaya tersebut untuk menyajikan narasi yang lebih kompleks, khususnya narasi tentang mistik dan sistem kasta yang berhadapan dengan logika—sebuah analogi dari sistem tradisional yang berhadapan dengan modernitas. Pendekatan ini mencerminkan konteks sosial-politik dan budaya India pascakemerdekaan, yang sangat dipengaruhi oleh semangat Nehruvian. Setelah kemerdekaannya pada tahun 1947, negara ini mengalami pergolakan besar antara mempertahankan tradisi lama dan mengadopsi modernitas. Pandangan Jawaharlal Nehru, sebagai Perdana Menteri pertama India, mendorong modernisasi dengan mengedepankan rasionalitas dan mengkritik tradisi lama yang dianggap irasional. Semangat tersebut dihadirkan Amrohi melalui estetika noir untuk menarasikan tema reinkarnasi, hidup dan mati, sistem kasta, dan cinta abadi. Kisah tentang cinta yang melampaui kematian antara si miskin dan si kaya, serta keberadaan roh-roh yang mengembara, disuguhkan dengan latar rumah megah bak istana. Ruang-ruang besar dan dekorasi di dalam rumah tersebut menggambarkan kemewahan sekaligus kehidupan yang terisolasi dari dunia luar.

Mahal (1949) karya Kamal Amrohi | Hindi Classics YouTube Channel

Melalui rumah megah tersebut, penonton disuguhkan konflik dan ketegangan. Rumah menjadi tempat terjadinya pengalaman mistis yang menghinggapi karakter utama, Hari Shankar, anak keluarga kaya yang baru saja membeli rumah tersebut. Ia mendapat gangguan dari arwah perempuan sejak pertama kali memasuki rumah itu. Gangguan tersebut terlihat pada awal film, setelah ia bertemu lelaki tua bernama Krisna, tukang kebun sekaligus penjaga rumah. Percakapan dengan Krisna mengungkap bahwa rumah megah yang kini menjadi miliknya menyimpan kisah cinta abadi antara penghuni pertama rumah itu dan kekasihnya, Kamini. Sepasang kekasih itu tewas dalam sebuah kecelakaan. Bersama wujud rumah, kisah tersebut dirawat oleh Krisna dan menjadi mitos selama puluhan tahun.

Di rumah yang berinterior mewah itu, Shankar menemukan potret penghuni lama rumah yang sangat mirip dengannya. Adegan ini seakan memperlihatkan hubungan rumit antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan modernitas. Selanjutnya, penonton diajak masuk ke dalam kebingungan yang dialami Shankar melalui serangkaian adegan kemunculan Kamini. Setelah mendengar kisah Kamini dari Krisna, Shankar perlahan-lahan menjadi terobsesi oleh bayangan Kamini yang mempermainkan jiwanya. Wajah Kamini sebagai sosok femme fatale disorot dengan cahaya kontras, menghantui Shankar di ruang-ruang dalam rumah. Sebagai anggota keluarga kaya dan berpendidikan, Shankar akhirnya percaya bahwa Kamini adalah cinta sejatinya.

Kontras cahaya dan bayangan yang memenuhi ruang-ruang rumah itu memperkuat kesan mistis, membedakannya dari penggunaan cahaya dan bayangan dalam dua film sebelumnya. Permainan kontras gelap dan terang dalam film ini tidak lagi berbicara tentang baik dan buruk, melainkan menggambarkan kontras antara si miskin dan si kaya, si hidup dan si mati, serta intelektualitas dan sistem kepercayaan.

Seluruh kisah di atas, yang dibangun dari narasi mistis, seketika runtuh saat adegan pengadilan tiba. Shankar dituduh membunuh istrinya sendiri. Di pengadilan, seorang perempuan bernama Ashabala, anak Krisna, muncul dan memberikan pengakuan. Ashabala mengungkapkan bahwa sosok Kamini yang dilihat Shankar selama ini adalah dirinya. Ia memanfaatkan keyakinan Shankar terhadap kehadiran Kamini sebagai cinta sejatinya. Menjadi Kamini adalah cara utopis Ashabala untuk menantang sistem kasta yang berlaku di India. Sebagai anak tukang kebun yang berkasta rendah dan tidak berpendidikan, ia berhasil menguasai ruang, pikiran, dan mempersembahkan gagasan radikal terhadap sistem kasta yang tidak memberinya peluang untuk mengubah statusnya. Apa yang selama ini menghantui Shankar—kemunculan dan hilangnya sosok Kamini seperti hantu, hingga menyeretnya ke kasus pembunuhan—ternyata hanyalah sebuah permainan. Ashabala memahami seluk-beluk rumah Shankar dengan baik. Pengakuan tersebut membuktikan bahwa tidak ada hal mistis di rumah itu selain rasionalitas.

Mitos kisah cinta penghuni rumah terdahulu dan kekasihnya, Kamini, terus bereproduksi di rumah besar tersebut. Mitos itu dimanfaatkan oleh anak tukang kebun untuk mengambil keuntungan: menjadi istri Shankar, dicintai, dan meningkatkan status sosialnya. Aksi faktualisasi Ashabala di pengadilan meruntuhkan kenyataan faktual milik Hari Shankar, hingga ia mati karena penderitaan. Permainan presentasi dan representasi dalam film ini dihadirkan melalui bayangan gelap dan terang yang berlaku berbeda dengan kedua film sebelumnya. Kamal Amrohi menggunakan gaya noir sebagai permainan misteri (kontras cahaya dan bayangan) yang menunggu untuk diungkap.

Kehadiran film noir di industri film Amerika memiliki peran yang penting. Kemunculannya merupakan respons terhadap rentetan sejarah kelam dunia, seperti Perang Dunia hingga Great Depression. Peristiwa-peristiwa tersebut mengguncang berbagai lini kehidupan, termasuk industri Hollywood. Penggunaan teknik pencahayaan kontras gelap-terang dan hitam-putih memungkinkan produksi film-film dengan biaya rendah. Seksualitas dan kriminalitas kemudian dihadirkan sebagai elemen penting dalam strategi pemasarannya. Alhasil, lahirlah serangkaian film kelas B bernuansa serupa pada masa itu, yang dikenal sebagai pulp fiction, dime store novel, atau roman picisan. Salah satu contohnya adalah film Double Indemnity karya Billy Wilder.

Estetika ini, oleh Henri-Georges Clouzot dan Kamal Amrohi, diadopsi untuk membahas tema yang berbeda. Clouzot memanfaatkan kontras cahaya dan bayangan yang menjadi ciri khas film noir untuk mempertegas skenario ruang sebagai panggung pertunjukan karakter-karakter di dalamnya. Melalui estetika filmnya, Clouzot menghadirkan kritik terhadap industri Hollywood itu sendiri. Jika dalam Double Indemnity adegan pembunuhan disajikan sebagai realisme yang terinspirasi dari sejarah kelam industri di Amerika—di mana adegan tersebut disaksikan oleh salah seorang penumpang kereta, dan oleh penonton—dalam Quai des Orfèvres, semua adegan dihadirkan sebagai pemanggungan. Khususnya adegan pembunuhan yang berlandaskan roman picisan, yang biasanya dijadikan materi dagangan sebuah film, justru disajikan dalam ruang tanpa saksi, termasuk oleh kita sebagai penonton.

Lebih jauh, Kamal Amrohi mengadopsi estetika noir, baik teknik pencahayaan maupun narasi misteri, untuk menghadirkan mitos-mitos irasional ke dalam film. Mitos-mitos tersebut justru digunakan untuk mengungkap hal-hal yang rasional. Ia memanfaatkan kulturnya sendiri, seperti mitos dan sistem kasta, untuk menyelaraskan tradisi dengan logika modern. []

* Redaksi Jurnal Footage menyunting ulang kalimat-kalimat tulisan asli menjadi lebih efektif, serta menyesuaikan beberapa bagian lainnya berdasarkan ketentuan redaksional jurnal ini. Pemuatan tulisan ini di Jurnal Footage adalah dalam rangka distribusi pengetahuan secara terbuka.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search