Untuk memperingati sepuluh tahun reformasi, Proyek Payung menggelar acara pemutaran sepuluh filem pendek dari sepuluh sutradara muda di Kineforum tanggal 12-20 Mei 2008. Sambutan penonton terbilang memuaskan. Apa dan kenapa Proyek Payung didirikan? Mengapa mereka membuat filem peringatan, yang biasanya hanya dilakukan oleh lembaga pemerintah dan bukannya organisasi seniman. Berikut adalah wawancara jurnal Footage dengan salah seorang penggagas dan koordinator Proyek Payung, Prima Rusdi.
Bagaimana proses terciptanya Proyek Payung dan siapa saja yang terlibat?
Terciptanya sangat tidak formal. Awalnya karena saya dan Hafiz sering ngobrol, juga dengan Edwin. Intinya seperti ada kesepakatan tidak tertulis bahwa kita menghormati cara kerja dan prinsip kenapa kita mengerjakan apapun yang kita kerjakan. Selain itu ada dinamika yang cukup sehat antara kami bertiga, kami tidak ‘nongkrong’ terus-menerus, hanya bertemu sesekali. Jadi ini pertemanan yang sebetulnya lebih mengacu ke kualitas daripada frekuensi nongkrong bareng. Saya bilang sehat karena masih ada ruang untuk bisa cukup objektif di antara kami bertiga. Artinya, tidak ada beban untuk selalu sepakat, atau selalu diplomasi. Di mana perlu berargumen, kami berargumen secara sehat. Nah, setelah Konfiden 2007, secara terpisah saya bicara dengan Hafiz dan Edwin, dan kami merasa sayang kalau pada peringatan 10 tahun Reformasi 2008, kami tidak mencoba mengerjakan sesuatu. ‘Sesuatu’ yang kami maksud adalah membuat rangkaian filem pendek dengan melibatkan teman-teman yang lain.
Apa alasan tragedi Mei 1998 diangkat menjadi tema proyek ini?
Satu hal yang jelas reformasi itu pernah menjadi titik balik kehidupan kita sebagai orang Indonesia. Jadi tak ada yang tidak terkena eforia reformasi sepuluh tahun lalu. Kami juga menilai ada peranan signifikan dari anak muda waktu itu. Tak ada catatan lain soal progresi reformasi kecuali masalah transisi tak berkesudahan, juga liputan media yang cenderung hanya menyorot masa transisi ini dari sudut pandang penguasa/elit politik. Dengan demikian, waktu satu dekade itu ternyata bisa berlalu begitu cepat, dan bisa saja tidak menghasilkan apa-apa.
Kenapa memilih diputar di Kineforum?
Kineforum sudah cukup berhasil meraih penonton di luar kawasan arus utama. Kineforum juga sudah terbiasa melihat filem tak hanya sebagai filem tapi sebagai sarana edukasi publik, sehingga diskusi dimungkinkan. Kami merasa, paling tidak untuk saat ini, “9808” tidak tuntas setelah filem kelar ditonton, tapi setelah ada diskusi soal filem ini dengan penonton/publik. Alasan lainnya adalah, karena filem yang kita putar tidak perlu melalui Lembaga Sensor Film (LSF).
Ada berapa peserta yang ikut serta dalam proyek ini?
Sepuluh orang sutradara, yang biasanya akan melibatkan tim mereka saat produksi filem mereka. Dan, karena Proyek Payung bukan organisasi, maka kami menganggap rekanan produksi filem-filem para teman-teman sutradara juga termasuk partisipan proyek ini, karena tanpa mereka filem tidak akan kelar, apalagi kami tidak memodali secara finansial.
Mengapa tema rasial banyak mewarnai sebagian filem di kompilasi ini?
Dari sepuluh filem sebetulnya yang langsung bicara soal diskriminasi/eliminasi kultur secara terstruktur oleh pemerintah hanya dua filem: “Sugiharti Halim” (Ariani Darmawan), dan “A Letter of Unprotected Memories” (Lucky Kuswandi). Dua filem ini menawarkan sudut pandang etnis Indonesia keturunan Cina. Isu Cina yang lain muncul di filem “Di mana Saya?” (Anggun Priambodo). Kenapa isu ini terasa dominan? Saya pikir karena ada sejumlah isu yang sebetulnya benang merahnya ‘soal Cina’ tapi belum pernah dibicarakan secara gamblang. Seingat saya, belum pernah ada penyebutan kata Cina yang diucapkan begitu jelas di dalam filem Indonesia, karena selama ini kata Cina dianggap tabu.
Bagaimana proses kurasi yang dilakukan dalam antologi filem-filem ini?
Pengkurasian sebetulnya telah kami lakukan saat mencoba menyusun nama-nama peserta. Arahan yang kami berikan adalah daftar acuan tiga lembar yang merupakan diskusi bolak-balik via e-mail antara saya, Hafiz, dan Edwin. Kami sepakat untuk tidak membatasi pendekatan estetika/gaya bertutur dari teman-teman peserta, bahkan isu pun tak kami batasi asalkan masih relevan.
Harapan apa yang ingin disampaikan?
Harapan kami adalah mencoba membuka dialog melalui antologi ini, saya bahkan melihat keikutsertaan kami dalam antologi ini lebih sebagai warganegara bukan pembuat filem/pekerja seni.
Apa Proyek Payung akan mengusung tema seperti ini di masa mendatang?
Sejujurnya, sejak awal kami memposisikan proyek ini sebagai sarana pembelajaran bersama, untuk mencoba menjajagi kemungkinan lain dalam menyuarakan suatu isu dengan segala keterbatasan yang ada baik waktu, maupun (apalagi) dana, dan apa yang terjadi bila ada sejumlah orang yang sebetulnya bukan dari satu kelompok, mencoba mencapai tujuan yang sama. Jadi, belum ada rencana apakah proyek ini akan berlangsung lagi atau tidak. Kami bahkan senang kalau ada orang lain yang mencoba melakukan hal yang sama seperti yang kami coba dengan proyek ini.
Bagaimana respon penonton setelah mereka menyaksikan antologi sepuluh filem ini?
Respon penonton beragam. Meski yang cukup melegakan, umumnya mereka menganggap antologi ini penting. Keragaman cara tutur dalam antologi ini berisiko. Jarang ada penonton yang bilang mereka suka semua filem, namun setiap orang punya kemungkinan ‘relate’ dengan filem yang berbeda. Kelompok umur muda (remaja) cenderung suka dengan filem “Di Mana Saya?” dan “Trip to the Wound”. Sementara kelompok yang lebih dewasa (25 tahun lebih) biasanya suka “Sugiharti Halim” dan “Sekolah Kami Hidup Kami”. Kelompok 30 tahun ke atas merespon “Yang Belum Usai”. Tapi, satu hal menggembirakan adalah, Kineforum mencatat kenaikan ‘kualitas’ penonton dalam arti kata, “9808” berhasil mendatangkan kelompok penonton di luar pengunjung yang rutin.
Akankah proyek selanjutnya merekrut kalangan yang bukan sineas?
Kami belum merencanakan proyek selanjutnya karena saat ini masih separuh kelar, sejumlah pemutaran masih akan dilangsungkan di beragam tempat, tidak hanya di Jakarta.
Prima Rusdi: We May Not Accomplish Anything After a Decade of Political Reform
To commemorate the ten years of political reform, Proyek Payung held a screening event of the ten short films from ten young directors at Kineforum Jakarta, May 12 to 20th 2008. The respond is satisfying. But what and why is Proyek Payung founded? Why are they making commemoration films, which normally only execute by governmental institution, not artists organization. To find out more, we interviewing one of the initiators and coordinator of Proyek Payung, Prima Rusdi.
How is the making process of Proyek Payung, who are the persons involve?
The making is very informal. Originally, because of me and Hafiz chats a lot, and so with Edwin. Basically, there is a kind of unwritten pact that we respect our own way of works and principals, how we manage our works and whatever the things that we have done. Apart from that, there is enough healthy dynamics between us three, we never hang around continuously, only once in a while. So, this friendship refer to the quality rather than frequency of the meeting. I say it’s healthy because there still a room for objectivity between us. Meaning, no burden to always agree, or to always diplomacy. Whenever we need to argue, we argue healthily. And well, after Konfiden 2007, separately I spoke to Hafiz and Edwin. We feel very sorry if we’re not trying to do something on the commemoration of ten years of political reform. ‘Something’ that we intend to make is a series of short films which involving our other friends.
What is the reason to elevate the May 1998 tragedy as a theme of this project?
One thing for sure, the political reform was somekind of reverse point in the life of Indonesian people. So, no one wasn’t affected to the euphoria of the reform, ten years ago. We also consider the significant role of youngsters back then. No other notice on the progression of reform except for the unsettling transition matters, as well as the media which has the tendency to only spotlighting the time of this transition from the perspective of the rulers/elite politics. Thus, a decade can really be bygone, and possibly we’ll never accomplish anything.
Why pick Kineforum to screen the films?
Kineforum is very succesful to attain viewers outside the mainstream area. Kineforum also getting use to watch films not only in term of films, but also as a tool to education the public, therefore make the discussions’ possible. We think that, at least this moment, “9808” won’t finished after the films are shown, but follows with discussion on the films with the public. Another reason is, because the films which we have screen are unnecessarily sorted by Film Censorship Institution (LSF).
How many participants involved in the project?
Ten directors, whom usually involving their team to produce their film. And, because of Proyek Payung is not an organization, we consider as a production partner of the directors whose involve in this project, because without them, the film will never be completed, especially we don’t capitalize them financially.
Why is so many racial theme in some films of this compilation?
Actually there are little who spoke about that sort of themes from all the ten directors. Only two films which spoke about the structured cultural discrimination/elimination by the government: “Sugiharti Halim” (Ariani Darmawan), and “A Letter of Unprotected Memory” (Lucky Kuswandi). These two films propose a Chinese-Indonesian point of view. Other Chinese issue appear in the film, “Where Was I?” (Anggun Priambodo). Why the issues become very dominant? I think it’s because certain issues on the ‘Chinese problem’ are not utter with clear mind. As far as I remember, there are no such mention of a word China pronounce very clear in any Indonesian films, because along this time the word China is consider as taboo.
What about the curatorial process in the films anthology?
Actually we perform the curatorial when attempting to arrange names of participants. The three sheets of the term of reference which we pass to the participants is the back and forth discussion via email between me, Hafiz and Edwin. We agree to not restricted the aesthetical/stylistic approach of the participants. Even, we never limited issues as long as they’re still relevant.
What expectations that you want to articulate in the project?
Our expectation is to reopen dialogues through this anthology. I even consider that our participation in the anthology more likely as citizens rather than filmmakers/artworkers.
Will Proyek Payung elevated such themes in the future?
To be frank, since the very beginning we position this project as a medium for collective learning, attempting on the possibilities of expressing an issue with all the limitation that emerge, whether it’s time, or (what else could it be?) finance, and what could happened if there are certain people whom in reality were not in one group, attempting to reach the same puprose. Thus, there is no single plan whether this kind of project will still be held or not. We are very please if there are some other party willing to make the exact same effort as we did in this project.
What about the viewers respond after they watch all the films?
There are variety of responds. It is quite a relief, somehow, because in general, they consider this anthology as important. To be honest, the variety of narrative method in this anthology is risky. It is seldom that viewers like all films, unless they have a kind of ‘related’ condition with certain films. In the category of youngsters (teenagers), they has tendency to like the film, “Where Was I?” and “Trip to the Wound”. While in more mature category (25 years and up), usually love “Sugiharti Halim” and “Our School Our Life”. The upper 30 years old group responded to “The Endless Path”. However, one thing that really thrill me, Kineforum note the improvement of ‘quality’ viewers in a sense that “9808” manage to bring a group of spectators outside the routine visitors.
Will the next project recruit a non-cinema activists?
We haven’t planned the next project yet, because at the moment we are half the way through. Some screening will be held in various venues, not only in Jakarta.