Bencana alam selalu menyisakan kepedihan mendalam. Apalagi, bencana tersebut merenggut ratusan korban jiwa. Begitulah yang terjadi di Sumatera Barat. Gempa bumi berkekuatan 7,6 SR mengguncang ranah Minang. Sampai tulisan ini diturunkan, sudah hampir 600 jiwa melayang. Angka yang sangat besar. Berbagai ungkapan keprihatinan pun bersebaran. Tidak hanya di dalam negeri, masyarakat internasional juga menunjukkan kepedulian. Mereka bahkan mengirimkan relawan untuk membantu proses evakuasi para korban.
Sebagai saluran penyampai informasi, media massa menjadi bagian penting dalam keseluruhan proses persebaran informasi terkini mengenai gempa. Televisi, menjadi salah satu media massa penting penyampai informasi itu. Namun, tidak sampai seminggu setelah gempa besar Sumatera barat pada Rabu sore, 30 September 2009, kita kini melihat berbagai kebusukan. Mayat-mayat bergelimpangan di ranah Minang, tapi dengan laku bak pahlawan, korporasi televisi nasional saling mengklaim sebagai pihak yang pertama menyampaikan informasi. Setidaknya, ada dua stasiun televisi besar yang mengklaim sebagai pihak terhebat dalam menyampaikan berita. Misalnya, di Padang Pariaman, salah satu stasiun televisi berita menyampaikan bahwa mereka merupakan stasiun televisi pertama yang meliput dampak kerusakan di daerah yang terisolir karena akses jalan yang hancur total. Mereka juga mengklaim sebagai televisi pertama yang melakukan siaran langsung di Pariaman. Tidak mau kalah dengan stasiun televisi berita itu, satu stasiun televisi berita dan olahraga menyiarkan tayangan langsung yang mengumumkan keandalan mereka dalam menyampaikan informasi. Klaimnya juga sama: sebagai televisi pertama yang menayangkan gambar kejadian gempa beserta kepanikan-kepanikan yang terekam sesaat dan setelah gempa. Stasiun televisi berita dan olahraga ini menyampaikan, bahwa mereka adalah media pertama yang berhasil melakukan siaran langsung sehari setelah gempa. Dan bahwa, gambar yang mereka tayangkan disiarulang oleh berbagai stasiun televisi internasional seperti CNN dan sebagainya.
Kita saksikan di sini, betapa bencana menjadi ajang pertarungan korporasi media televisi untuk menempatkan diri sebagai pemimpin dalam penyampaian informasi. Bahwa bencana alam menyisakan kepedihan bagi para korban, itu memang betul adanya. Bahwa informasi itu penting disampaikan, memang seharusnya demikian. Namun, ketika bencana alam itu digunakan sebagai ajang saling klaim siapa yang terhebat, maka sungguh, korban bencana tidak mendapatkan tempat sebagai pihak yang seharusnya dibantu. Mereka hanya dijadikan pajangan, yang secara eksploitatif digunakan oleh korporasi media televisi demi meraih keuntungan dalam kepedihan korban bencana. Kita membutuhkan informasi, namun bukan eksploitasi berita seperti yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi besar nasional itu.