Ada sedikit pergeseran yang terjadi pada filem Indonesia dalam memandang sejarah. Setidaknya hal ini terlihat pada dua karya filem dalam sesi kuratorial bertemakan “Mencari Indonesia” pada Malang Film Festival (Mafie) ke-14, tahun 2017, baru-baru ini, yakni On the Origin of Fear (2016) karya Bayu Prihantoro Filemon dan pada filem penutup festival berjudul Memoria (2016) karya Kamila Andini. Pada dua karya ini, pengaruh filem Jagal (atau The Act of Killing, 2012) karya Joshua Oppenheimer tampaknya cukup terasa, yakni tentang bagaimana kekerasan atau efek dari kekerasan pada peristiwa di masa lalu bisa masuk ke dalam tubuh penonton. Itu artinya bahwa pengertian sejarah pada filem tidak lagi berlaku dalam kerangka yang ‘naratif’ atau pembuktiaan terhadap kebenaran tertentu yang ingin disampaikan kepada penonton, baik melalui kesaksian maupun dokumen-dokumen tentang masa lalu. Namun, sejarah dalam konteks pada dua karya filem ini lebih tentang bagaimana impresi tentang masa lalu itu sendiri—dalam hal ini, mereka seperti mengambil modus kekerasan pada filem Jagal, yang difokuskan pada efek kekerasan yang berlangsung di masa lalu itu. Efek kekerasan yang berlangsung di masa lalu tersebut menjadikan sejarah sebagai hal yang performatif, sementara hal-hal yang informatif (konstatif) hanya menjelaskan konteks yang melingkupi ekspresi kekerasan tersebut.
On the Origin of Fear sendiri merefleksikan praktik kekerasan negara yang terjadi di masa Orde Baru melalui pemutaran filem setiap 30 September. Konteks filem yang dimaksud dalam karya ini adalah Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1984) karya Arifin C. Noer. Filem tersebut cukup didominasi oleh adegan kekerasan yang membawa efek trauma dan stigma pada identitas tertentu. Sementara itu, filem karya Kamila Andini sendiri berkisah tentang trauma yang dialami oleh Maria salah seorang korban kekerasan seksual di Timor Leste pada masa kemerdekaan mereka. Adegan-adegan kekerasan pada Memoria ini jadi semacam kesasksian performatif dari korban yang diambil melalui dampak traumatik dari pengalaman peristiwa di masa lalu. Penggunaan efek-efek kekerasan dalam kedua karya ini cukup dominan untuk mendapatkan efek memori traumatik ketimbang penekanan pada nilai informasi dalam menggambarkan masa lalu. Atau, mereka lebih menghadirkan ulang pengalaman akan realitas kekerasan di masa lalu daripada memberikan gambaran informatif tentang masa lalu. Secara umum, kedua karya ini berusaha memberikan ‘pengalaman’ (experience) masa lalu, ketimbang sebuah makna (representation) tentang masa lalu. Dari modus makna menuju pengalaman terhadap sejarah inilah yang kemudian, pada model-model dokumenter yang menggambarkan masa lalu dalam perkembangan filem Indonesia, sedikit banyak mulai mengalami perubahan cara pandang sejarah yang disampaikan secara filemis.
Perfomativitas Melalui Suara
Berbeda dengan Jagal yang memilih efek kekerasan melalui semacam rekonstruksi ulang dari para pelaku kekerasan di tahun 1965, On the Origin of Fear lebih memilih efek kekerasan dari pengalaman menonton filem yang pernah di alami masyarakat Indonesia pada setiap 30 September di masa Orde Baru. Modus efek kekerasan ini jelas diperlihatkan di dalam filem; filem ini memuat adegan seorang aktor yang sedang berakting di ruang studio dalam memerankan adegan praktik kekerasan terhadap orang lain, yang kemudian pada skena berikutnya dia beradegan sebaliknya: ia mengalami kekerasan itu sendiri. Adegan kekerasan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan lebih menekankan ekspresi suara dalam perlakuan kekerasannya. Jika Jagal lebih menenkankan efek kekerasan secara fisik melalui rekontruksi ulang peristiwa kekerasan, pada karya Bayu Prihantoro ini, efek kekerasan lebih menekankan efek suara dari pengalaman kekerasan. Suara inilah yang kemudian sebenarnya dijadikan sebagai sebuah modus dalam On the Origin of Fear untuk menyampaikan pengalaman di masa lalu.
Beberapa catatan yang bisa diambil dari karya ini adalah, bagaimana penggunaan suara untuk mendapatkan efek traumatik, atau bagaimana cara pengalaman kekerasan di masa lalu itu bisa masuk ke dalam tubuh penonton. Tapi filem ini masih belum mempercayai sepenuhnya kekuatan suara (sound) sebagai sebuah kekuatan dramaturgi yang bisa jadi jauh lebih efektif dalam memainkan efek traumatik. Sesungguhnya, penekanan penuh terhadap kekuatan suara secara otonom menjadi sangat penting tanpa harus menghadirkan keberadaan tubuh di dalam filem untuk menggambarkan ekspresi pengalaman kekerasan. Ketika adegan-adegan yang diambil di dalam sebuah studio, di dalam filem On the Origin of Fear ini, yang jelas menunjukkan bahwa karya ini memang sedang berusaha mendapatkan ilusi tentang kekerasan melalui suara, filem ini justru masih menyisakan kehadiran tubuh sang aktor di dalam frame gambar, menyebabkan fokus terhadap efek suara tersebut menjadi mendua. Kehadiran tubuh pada ekspresi suara tentunya membuat penonton mendapatkan dua fokus impresi, yakni tubuh dan suara yang mengalami kekerasan. Faktor ini sebenarnya mengakibatkan efek kekerasan tersebut secara langsung juga menjadi tidak maksimal karena memicu dua impresi tadi. Kehadiran tubuh pada adegan suara teriakan atau mengerang, secara imajinatif menjadikan suara itu sendiri tidak otonom, karena masih memperlihatkan sebuah repitisi dari kehadiran tubuh. Kehadiran tubuh dari performans suara pada filem yang merefleksikan peristiwa kekerasan di masa lalu ini, membuat penonton jadi memiliki rujukan visual yang notobene bersifat repetitif terhadap suara.
Secara tidak langsung, kehadiran tubuh tersebut menyebabkan daya traumatik yang dihasilkan suara menjadi gugur, karena tubuh itu secara langsung juga memberikan rujukan visual terhadap efek traumatik dari pengalaman mendengarkan suara. Padahal, seharusnya dapat diyakini bahwa, pada dasarnya, performans suara secara otonom memiliki dan dapat memberikan gambaran ilusi visualnya sendiri. Kehadiran suara secara an sich, tanpa harus dibebani kehadiran visual didalamnya, sesungguhnya bisa menciptakan kekuatan visual yang diserahkan kepada benak penonton. Dengan kata lain, kehadiran suara yang secara an sich itu sejatinya bisa membuat penonton mengkonstruksi visualnya sendiri, tanpa harus ditambahkan lagi rujukan visual melalui kehadiran tubuh. Ekspresi suara sesungguhnya bisa memberikan kemungkinan-kemungkinan visual yang tak terduga bagi penonton. Tanpa kehadiran tubuh, suara justru bisa memberikan peluang-peluang traumatik yang tak terduga karena sifatnya yang tidak stabil dan sangat emosional.
Suara sebagai sesuatu yang otonom, pada dasarnya memiliki tingkat kontingensi dan kebersituasian yang cukup tinggi, karena suara secara an sich memiliki “daya visual”-nya sendiri yang memiliki cara kerja yang berbeda dengan Visual. Suara secara otonom pada dasarnya lebih bersifat performatif karena menyerahkan peluang visualnya kepada para penonton yang mendengarkannya. Suara secara otonom bisa bersifat tak terprediksi dan penuh kejutan. Dalam konteks teater, sering kali kekuatan suara bisa begitu saja digugurkan dalam akting tubuh, atau suara sering kali juga digunakan sebagai penegasan terhadap gerak tubuh. Suara memiliki tingkat kontingensi dan spasialitas yang tinggi, yang mana kontingensi itu sendiri yang sebenarnya memungkinkan dramaturgi yang bisa keluar dari teks.
Dalam konsepsi teater cruelty-nya Antonin Artaud, suara menjadikan teater sebagai sesuatu yang antinaturalis, antirealis, antipsikologis, atau keluar dari pengaruh teks sebagai logos. Suara bisa menghadirkan kehidupan itu sendiri, atau impresi terhadap pengalaman atau peristiwa (event), kehadiran (present) dan bukan lagi makna dalam kaidah ‘representasi’. Suara berupa teriakan, tangisan, erangan, dan seluruh dari suara disonan dari tubuh manusia, sesungguhnya memiliki tingkat kesetaraan yang penting dengan kata yang tertulis, atau bisa jadi melampaui teks itu sendiri untuk menolak totalitas makna yang berasal dari sesuatu yang metafisis menuju ‘ketakberhinggaan’ terhadap pengalaman akan emosi dan sensasi dari kehidupan. Dramaturgi suara bisa memberikan dramaturgi ‘kebersituasiaan’ itu sendiri, karena menghadirkan pengalaman.
Teknologi Trauma
On the Origin of Fear sebenarnya sudah berangkat dari titik yang cukup menarik, yakni mencoba merefleksikan ulang pengalaman kekerasan yang harus dialami masyarakat Indonesia di masa Orde Baru, ketika mereka diwajibkan menonton filem Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” baik di ruang-ruang pendidikan maupun di ruang keluarga melalui televisi. Artinya, peran teknologi juga turut memengaruhi pembentukan trauma di kalangan masyarakat. Dalam filem karya sutaradara asal Yogyakarta ini, sebenarnya telah termuat adegan saat di dalam studio, sang aktor yang sedang beradegan kekerasan, mendapat arahan suara dari sutradara yang berada di balik kaca studio, yang sedang mengarahkan ekspresi suara sang aktor. Tubuh sang sutradara itu sendiri tidak tampak di dalam adegan, ia hanya muncul sebagai suara yang berasal di depan kaca studio. Lalu, ada adegan yang memperlihatkan bagaimana tangan sedang memainkan semacam pengatur suara. Secara tidak langsung, perihal teknologi sebenarnya turut dominan memainkan peran penting dalam mengatur irama suara yang secara serentak juga mengatur daya dramatik dari suara atau peristiwa yang sedang direkayasa.
Filem Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI bagi sebuah generasi di masa Orde Baru telah secara kuat memengaruhi persepsi penontonnya kala itu dalam memandang peristiwa 30 September. Kekuatan filem ini bahkan nyaris membentuk identifikasi terhadap sejarah itu sendiri. Satu di antara kekuatan filem Arifin C. Noer ini adalah kekuatan montase dalam memilah dan menyusun jukstaposisi gambar untuk mengonstruksi peristiwa yang berlangsung di seputar 30 September 1965. Tapi selain itu, ialah kekuatan musik dan suara pada filem ini yang juga memperkuat impresi kekerasan dari peristiwa masa lalu yang membawa banyak korban jiwa tersebut. Konteks kekuatan dramatik dan trauma pada filem Arifin C. Noer ini memang berkaitan dengan sebuah situasi yang tidak memiliki rujukan visual lainnya dalam memandang sejarah 30 September 1965. Filem Arifin C. Noer yang bersifat fiksional itulah yang menjadi rujukan. Kekuatan fiksional dari filem produksi Orde Baru tersebut justru banyak memengaruhi masyarakat di masa Orde Baru dalam memandang atau mengimpresikan peristiwa politik pada 30 September 1965. Dalam hal ini, trauma yang dibentuk melalui filem Arifin C. Noer adalah sesuatu yang teknologis-musik, montase, filem, dan lain sebagainya.
Melalui tubuh, dunia dihayati atau dialami secara langsung. Menurut filsuf asal Amerika, Don Ihde, dalam fenomenologi teknologi, tubuh berinteraksi dengan lingkungan melalui teknologi. Dalam konteks kekiniaan, media sosial, teknologi optis, layar, filem, dan lain sebagainya telah menjadi intensionalitas penglihatan; manusia melihat dunia melalui perang-perangkat teknologis. Dalam cara berkehidupan masyarakat hari ini, pengalaman itu “dialami” (noesis) melalui perangkat-perangkat itu sehingga relasi manusia dengan dunia atau lingkungannya selalu dimediasi oleh perangkat. Ketika teknologi menjadi memediasi hubungan antara manusia dan lingkungannya, ia sering kali tidak disadari telah menjadi bagian dari tubuh manusia. Dan sebenarnya, intensionalitas kesadaran bukan terletak pada teknologi itu sendiri, melainkan lebih pada kehadiran dunia yang mengemuka melalui teknologi. Teknologi dalam konteks ini bukan hanya sekadar menjadi perangkat atau instrumen semata, karena ia telah menjadikannya konteks atau latar. Dengan kata lain, Teknologi seakan-akan menjadi perluasan tubuh itu sendiri.
Demikian pula dalam pengertian trauma di mana teknologi memainkan peran penting dalam mengonstruksi impresi terhadap realitas atau peristiwa di masa lalu. Dalam konteks filem Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, sejarah peristiwa 30 September 1965 telah dimediasi oleh teknologi filem yang mengisi kekosongan karena tidak adanya kesaksian para warga mengenai detik-detik penyiksaan yang berlangsung di seputar peristiwa saat itu. Kekuatan teknologi filem dan bahasa sinemanya, nyaris seakan membentuk kenyataan ‘yang seakan-akan’ terjadi, dan membentuk trauma terhadapnya. Filem On the Origin of Fear seharusnya bisa memiliki peluang untuk merefleksikan bahwa perihal yang traumatik, yang dikonstruksi oleh kekuasaan di masa lalu, adalah sebuah praktik teknologi semata, atau bahkan masa lalu juga perihal teknologis dan rekayasa. Jika dibayangkan bahwa filem Jagal bermain di wilayah kekerasan yang ‘riil’ terjadi di masa lalu, refleksi selanjutnya semestinya adalah terhadap kelahiran filem Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI; refleksi atas peran teknologi yang membentuk trauma di benak masyarakat.