Meskipun kurang dianggap setara dengan gerakan perjuangan arustama, gerakan perempuan menjadi elemen penting dalam sejarah Indonesia, sejak era pergerakan nasional hingga era pasca-kemerdekaan. Penyelenggaraan KOWANI pada tanggal 22 Desember 1928 menjadi salah satu tonggak kemajuan gerakan perempuan, bahwa banyaknya perempuan seperti Putri Mardika, Istri Sedar (cikal-bakal Gerwani), Perwari, Aisyiyah, Wanita Katolik, dan lain-lain yang mulai menyadari posisi mereka di tengah masyarakat. Tercipta solidaritas antar-perempuan, dan keinginan untuk memperbaiki nasib masyarakat, terutama perempuan, melalui jalur pendidikan dan sosial.
Gerakan perempuan tetap aktif dalam berbagai lini setelah kemerdekaan, khususnya pemberantasan buta huruf, penyuluhan sosial, dan tuntutan terhadap pengesahan Undang-Undang Perkawinan.1 Salah satu media yang mengarsipkan fenomena tersebut secara audiovisual adalah filem berita (newsreel) Gelora Indonesia. Diproduksi dan disebarluaskan oleh Perum Film Nasional (PFN) di bawah Departemen Penerangan, Gelora Indonesia meliput kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia selama tahun 1951 hingga 1976 secara mingguan. Pada tahun 1953, Gelora Indonesia menayangkan edisi khusus peringatan seperempat abad pergerakan wanita di Indonesia (GI 144). Arsip berita filem tersebut meletakkan Kartini sebagai titik pijak kemajuan perempuan Indonesia, yang mendorong runtuhnya tembok yang membatasi gerak kaum perempuan. Dalam berita filem tersebut, dipamerkan berbagai aktivitas yang bebas dilakukan oleh perempuan modern di Indonesia, seperti kebebasan untuk bekerja di segala bidang, beragama, memilih pasangan, hingga mengendarai transportasi.
Pemberdayaan perempuan juga dilakukan di bidang ekonomi. Beberapa orang tokoh pengusaha perempuan, salah satunya Ibu Datuk Tumenggung (yang muncul sebagai cameo dalam filem Amor dan Humor) menggagas dibentuknya Gelanggang Dagang untuk Wanita pada tahun 1951. Pameran ini diselenggarakan di Lapangan Merdeka Utara, dan skalanya tidak sebesar Pekan Raya Jakarta.2 Gelanggang Dagang Wanita menjual produk-produk rumah tangga yang digunakan untuk perempuan, dan juga hasil-hasil kerajinan yang dibuat oleh perempuan. Salah satu edisi Gelora Indonesia meliput berbagai stand kerajinan dari berbagai pengrajin daerah di Indonesia (GI 465, 1961), antara lain dari stand PN Fadjar Bhakti, stand Sumatera Barat, dan peragaan busana wanita dari Korps Angkatan Darat. Sementara, edisi Gelora Indonesia lainnya meliput acara peragaan busana di Gelanggang Dagang Wanita, antara lain perlombaan Ratu Kacamata, pameran sepatu dari Bata, dan pameran pakaian adat (GI 243, 1956). Pameran kerajinan dan peragaan busana merupakan bentuk-bentuk representasi perempuan yang sering muncul dalam Gelora Indonesia. Dalam kasus peragaan busana, kerap kali diiringi narator yang mengomentari para perempuan yang sedang memeragakan busana dengan lelucon-lelucon ringan hingga lelucon yang kurang pantas. Liputan peragaan busana dan kontes ratu kecantikan yang berformat demikian juga dapat dijumpai di GI 112 (1953), GI 130 (1953), dan GI 651 (1970),
Saya berkesempatan melihat arsip-arsip tersebut di Arsip Nasional Republik Indonesia bersama kawan-kawan Kultursinema saat melakukan riset untuk pameran Gelora Indonesia. Perihal perempuan dan representasinya dalam seri filem berita tersebut menjadi fokus saya dalam menyusun salah satu kuratorial pameran.3 Saat menonton filem Amor dan Humor yang berlatar di Gelanggang Dagang Wanita, memori arsip-arsip Gelora Indonesia pun hadir di benak saya, terutama saat sampai di adegan peragaan busana yang terletak di akhir cerita.
Secara mendasar, kedua media tersebut amat berbeda: Gelora Indonesia diproduksi di bawah pemerintah sebagai tayangan berita sehingga narasi yang disampaikannya otomatis menjadi resmi; sedangkan Amor dan Humor seperti kebanyakan filem fiksi lainnya, lebih bebas untuk berdiri sebagai hasil pemikiran, ekspresi seni, sekaligus produk ekonomi. Namun, Amor dan Humor menggunakan simbol-simbol yang sama dengan Gelora Indonesia untuk membicarakan gagasan kemajuan perempuan, di antaranya adalah pameran dagang dan peragaan busana.
Saya jadi tertarik untuk merefleksikan kembali gagasan perempuan yang harusnya menjadi sentral dalam penyelenggaraan Gelanggang Dagang Wanita ini: sebuah pameran di mana ide tentang perempuan modern didengungkan melalui perilaku ekonomi (konsumsi dan produksi) mereka. Namun, Usmar membawa gagasan itu lebih dekat ke dunia sinema, terkait dengan upaya-upaya untuk “menjual diri” di hadapan para penonton, dan bagaimana cara bermain-main dengan tatapan para penonton yang menuntut cukup banyak hal dari kekaryaan Usmar.
Di Balik Stand Perfini
Usmar melihat tuntutan untuk mengikuti selera penonton sebagai salah satu halangan bagi seorang seniman untuk berkarya sesuai dengan idealismenya. Perihal ini, ia pernah menulis: “Telah dialami sendiri oleh para pembuat filem di mana pun, bahwa sang Penonton umpama naga yang dahaganya tidak kunjung habis-habisnya. Tambah diberi makan yang enak-enak, ia malahan bertambah lapar.”4 Sebagai seniman, Usmar punya idealisme tinggi dalam membayangkan fungsi filem sebagai karya seni yang memancarkan nasionalisme dan kebudayaan. Ia juga cukup vokal dalam mengadvokasikan perhatian pemerintah terhadap perkembangan filem Indonesia. Namun, apa daya, rol filem harus terus bergulir, dan diproduksilah berbagai filem yang harus berkompromi dengan keadaan. Dari testimoni rekannya di Perfini, Djajakusuma, kita tahu bahwa Usmar tidak begitu puas dengan filem musikal Tiga Dara, yang justru salah satu filem paling laris yang pernah ia sutradarai. Usmar sendiri menulis bahwa pembuatan filem tersebut dimulai dengan semboyan “sekarang cari uang dulu.” Dalam catatan pengalamannya saat mengunjungi Venice Film Festival 1959 untuk menyertai filem tersebut, sempat-sempatnya ia berkomentar pahit: “ambisi yang selama ini sengaja saya desak ke belakang untuk memberi tempat dibuatnya filem-filem seperti ‘Tiga Dara’, sekarang jadi sebab utama saya turut serta dalam festival Venezia ini. Mungkin ini adalah suatu ironi nasib.”5
Menilik judulnya, Amor dan Humor, kita sudah mampu berspekulasi bahwa filem ini bergenre komedi romantis. Sebuah genre yang dengan mudah memancing hasrat dan tawa, baik dulu dan sekarang, dan cukup mudah untuk diklasifikasikan ke dalam kategori “filem jualan”. Ada berbagai tokoh yang saling terhubung dalam filem ini melalui pertemuan yang berbeda-beda. Adalah cinta segitiga yang melibatkan seorang pria kaya bernama Herman (Rendro Karno), penjaga stand busana tradisional bernama Lita (Baby Huwae), dan seorang wartawan bernama Luthfi (Bambang Irawan)–dan juga seorang wartawati bernama Rosa (Rima Melati) yang sedang belajar pada Luthfi. Pada saat yang sama, di gelanggang tersebut hadirlah tiga preman kocak yang diperankan oleh trio pelawak Bing Slamet, Ateng, dan Iskak yang membawa kekacauan di setiap stand.
Filem ini hanya mengambil jangka waktu sehari di dalam gelanggang. Situasi menjadi runyam saat bungkusan pakaian untuk peragaan busana yang harus diantar oleh Lita terbawa oleh Herman dan hilang di tengah-tengah riuh-rendah gelanggang. Peristiwa ini lantas melibatkan banyak orang, dan alur cerita kemudian terjalin cukup rumit di antara para tokoh-tokoh tersebut, tanpa ada satu tokoh utama yang lebih unggul dari yang lainnya. Sekilas, filem ini tidak mengesankan adanya pesan moral apa pun kecuali gelak-tawa.
Saya menonton filem ini pertama kali saat ditayangkan di Layarvirtual Kineforum dalam rangka 100 Tahun Usmar Ismail. Filem yang ditayangkan adalah versi digitalisasi dalam keadaan yang cukup baik. Kopi digital filem tersebut pun tidak lengkap, karena menjelang penghujung filem, gambar dipotong begitu saja. Saat membeli kopi filem tersebut dari Sinematek untuk ditonton ulang, versi yang saya dapatkan memiliki kualitas ketajaman yang lebih rendah dan durasi yang sama, namun dibubuhi dua watermark Sinematek berwarna kuning di bagian kiri dan kanan layar.
Filem dibuka dengan shot mobil yang berlalu-lalang di jalan raya. Semua mobil-mobil itu menuju suatu gedung yang ramai. Kamera tak kehabisan shot orang berlalu-lalang di berbagai sudut yang tengah melihat-lihat barang yang dijual dalam stand. Banyaknya pengunjung yang datang ke gelanggang tersebut ditekankan melalui bird’s eye view yang menampakkan kepala-kepala orang yang bergerak pelan mengikuti arus, visual yang banyak digunakan hingga akhir filem. Aura keramaian dan berdesak-desakan yang selama ini kita alami dan bayangkan di masa kini dalam Pekan Raya Jakarta misalnya, mampu direproduksi sedemikian rupa oleh filem ini.
Kita disambut oleh suara Bung Fahmidi, narator yang berasal dari stand Perfini, mengiklankan Perfini sebagai “pembuat filem-filem nasional cap banteng, jaminan filem bermutu.” Sepanjang filem, kita dapat melihat produser Perfini berseru kepada para pengunjung untuk mengikuti audisi aktor, dengan iming-iming akan menjadikan para pengunjung bintang-bintang terkenal. Cameo ini cukup menarik, bisa jadi salah satu upaya Usmar untuk mendobrak batas antara realita dengan sinema dengan meletakkan posisi rumah produksinya seakan-akan sedang berdagang di tengah pasar. Sebagaimana yang sedang ia lakukan sekarang melalui filem ini. Seperti pantun Ibu Datuk Tumenggung di awal filem: “Dahulu pundi yang berpadu, kini bawang yang berbunga. Dahulu budi yang lebih perlu, kini uang yang berguna.” Bagaimana jika menolak untuk “berdagang” dan tetap berpegang pada idealisme yang ada? Kita pun dipertemukan dengan Luthfi dan teman-teman wartawannya yang ditugaskan untuk meliput gelanggang tersebut, sesekali menyelipkan keluhan-keluhan mereka atas gaji kecil yang harus menopang pekerjaan “idealis” mereka.
Selain kompromi selera seperti yang dilakukan Usmar seperti dalam filem Tiga Dara, praktik kompromi demi keuntungan-keuntungan tertentu kerap dilakukan Perfini dengan berbagai institusi, dapat dilihat dari peletakannya di dalam narasi maupun logo mereka di muka filem. Kita dapat melihat ini di filem Asrama Dara (1958) yang bekerja sama dengan Garuda Indonesia, Liburan Seniman (1965) dengan Bank Dagang Negara, hingga Pak Prawiro (1958, disutradarai oleh Djadoeg Djajakusuma) yang turut diproduseri Bank Tabungan Pos dengan narasi penuh ajakan untuk menabung di bank.
Dalam filem Amor dan Humor, di luar Gelanggang Dagang Wanita yang sudah jelas menjadi latar sekaligus persoalan utama dalam filem ini, bertebaran pula penempatan produk-produk lain seperti mesin jahit Singer, keramik dan peralatan kamar mandi dari Keramik Indonesia, hingga mobil Volkswagen. Tidak hanya menumpangkan logo di layar, barang-barang tersebut dijadikan properti bagi dagelan Bing Slamet dkk saat mereka berkeliling di sekitar gelanggang dagang. Jangan lupakan, bahwa pemilihan trio komedian Bing Slamet – Ateng – Iskak juga merupakan pilihan yang tak lazim bagi filem-filem Usmar pada umumnya, dan kemungkinan besar didorong oleh niat-niat kompromistis. Ia mengakui bahwa filem-filem komedi slapstick sejenis yang dibintangi oleh Bing Slamet dan Ateng menjadi salah satu formula “aman” andalan para produser filem Indonesia sejak mereka berproduksi pasca-kemerdekaan nasional.6 Dan pula, memasukkan lagu yang dinyanyikan oleh Bing Slamet dapat berarti jalur pemasukan tambahan lain untuk royalti lagu yang akan sering diputar di radio berdasarkan banyaknya permintaan.
Di Bawah Rezim Tatapan
“Banyak, sungguh banyak yang diperlihatkan kegiatan wanita Indonesia sekarang. Dan ini adalah hasil emansipasi. Tetapi, Anda jangan salah mengucapkan. Gelanggang Dagang untuk Wanita. Tanpa ‘untuk’? Haha, ini dapat berarti lain.”
Demikian kelakar narator Perfini, Bung Fahmidi, yang membuka filem ini. Tentu saja gelanggang ini tidak memperdagangkan wanita, namun memperdagangkan berbagai produk yang produksi oleh maupun untuk wanita, meskipun para pengunjung yang datang nampaknya tidak didominasi oleh perempuan. Kita dapat melihat berbagai pakaian batik dan kebaya sehari-hari, peralatan dapur, mesin jahit, miniatur kereta api, keramik kamar mandi, hingga mobil atap terbuka. Kegiatan perempuan di bidang ekonomi sudah mempunyai posisinya secara tradisional, dimulai dari pengelolaan uang rumah tangga, penjual hasil-hasil produksi di pasar, hingga buruh yang menjalankan kegiatan produksi itu sendiri. Bisa jadi, image perempuan sebagai pelaku ekonomi mengalami peningkatan kelas dan institusionalisasi melalui gerakan-gerakan pemberdayaan perempuan di masa itu, salah satunya dengan meletakkan lingkup kegiatan ekonomi ini ke dalam sebuah gelanggang khusus. Dalam gelanggang ini, kita dapat melihat image “perempuan modern” yang sedang dijual: perempuan mandiri, bebas bergerak dan berwirausaha di ruang publik, bahkan mungkin sudah bisa mengendarai mobilnya sendiri; namun tetap cantik dalam kebaya maupun pakaian modern, sopan-santun, dan cakap dalam segala urusan rumah-tangga.
Dalam salah satu percakapan antara Lita dan Luthfi, Luthfi mengimplikasikan bahwa dirinya tidak pandai berdagang dan menampilkan diri, tidak seperti Lita. Lita agaknya salah paham dan tersinggung mendengarnya, ia membalas dengan ketus, “Kau kira aku di sini memamerkan diri seperti barang dagangan?”
Kesalahpahaman yang rupanya cukup masuk akal. Keberadaan tubuh perempuan yang berada di ruang publik dapat menjadi polemis, terlebih lagi di masa dan semangat zaman tersebut. Maraknya gerakan perempuan dan narasi-narasi pemberdayaan mendorong perempuan untuk mengakui posisi dan kewanitaannya di ruang publik. Di sisi lain, perempuan di ruang publik sulit untuk lepas dari tatapan laki-laki. Meskipun semangat sudah modern, perempuan masih dilekatkan dengan eksistensinya sebagaimana dimaknai oleh patriarki: sebagai objek estetika yang dihasrati dan ingin dimiliki. Maka, dalam Gelanggang Dagang untuk Wanita itu sendiri, ide-ide modernitas perempuan dijual melalui tubuh-tubuh perempuan di ruang publik, dan peminatnya tidak selalu perempuan. Dalam filem ini, kita dapat melihat fenomena ini dari perilaku laki-laki seperti Herman yang dijuluki “buaya” oleh teman-temannya. Ia berusaha mendekati Lita karena mengaku terpesona oleh kecantikannya, namun Lita sendiri nampak jengah didekati seperti itu, dan lebih tertarik dengan Luthfi si wartawan yang bersahaja.
Persoalan tatap-menatap berulang-kali dirujuk dalam filem ini: berkeliling Gelanggang Dagang Wanita disebut oleh si narator dari awal sebagai “menonton” Gelanggang Dagang Wanita. Shot bird’s eye view yang menampilkan banyaknya orang berkerumun dan bergerak di bawah gelanggang memberikan keleluasaan bagi penonton untuk mengawasi para pengunjung tanpa batas. Ada rasa menyenangkan saat sang sutradara mahatahu seakan mengizinkan kita untuk mengintip segalanya yang terjadi di gelanggang tersebut dari mata Tuhan. Beberapa adegan yang memuat shot ini juga memberikan perspektif yang lebih jelas untuk mengetahui arah gerak-gerik tokoh-tokoh kita yang tengah menavigasi gelanggang.
Kedua, tatapan sebagai penginderaan utama yang dipergunakan dalam acara peragaan busana di akhir filem. Berbagai pakaian dipamerkan oleh para peragawati: gaun pagi hari, gaun untuk bersantai di pantai, gaun cocktail; hingga pakaian nasional seperti kebaya dan kain, dan pakaian-pakaian dari berbagai daerah seperti Bali, Bugis, hingga Medan. Lita ikut menjadi salah satu peragawati, di antara para bintang filem yang menjadi cameo seperti Chitra Dewi, Gaby Mambo, Ida Nursanti, dan Farida Aryani. Kamera menjadi ekstensi dari ratusan pasang mata pengunjung yang sedang menonton para peragawati: ia menyorot tubuh dan pakaian yang dikenakan para peragawati secara cermat, dari jarak wide shot hingga medium shot untuk mendapatkan detail yang lebih jelas dari wajah dan pernak-pernik yang mereka kenakan. Para pengunjung diperlihatkan duduk dan menonton dengan konsentrasi penuh: mulai dari Rendra dan kawan-kawannya yang duduk di paling depan dan sesekali saling menyikut, hingga orang-orang yang harus berdiri di belakang karena tidak kebagian tempat duduk demi dapat menonton Chitra Dewi memperagakan baju adat Bali dengan khidmat. Adegan peragaan busana ini seakan menjadi gong yang mematerialkan logika male gaze dan komodifikasi perempuan yang sejak awal sudah dirujuk secara malu-malu melalui selorohan dan relasi antar-tokoh.
Perempuan Di Balik Lensa Usmar
Para bintang filem tersebut adalah contoh yang kontekstual untuk membicarakan perempuan di ruang publik. Jika sinema adalah jejaring ruang publik, jutaan pasang mata akan terus menatap para pemainnya, bahkan setelah mereka tiada. Di luar layar, mata-mata itu terus mengikuti mereka, bahkan kehidupan pribadi mereka menjadi spekulasi dan incaran publik. Dan tatapan itu tidak setara, namun didikte oleh imajinasi sutradara dan selera pasar yang didominasi wacana patriarki.
Sebelum menyamakan fenomena ini dengan euforia para penggemar perempuan terhadap para aktor laki-laki, ada baiknya kita dengarkan kata Usmar Ismail tentang ciri-ciri aktris ideal versi beliau: “Sedikit-sedikitnya syarat bagi seorang wanita untuk menjadi leading lady ialah keharusan adanya beberapa sifat yang menarik, serta keseluruhan yang lumayan. Sifat-sifat yang menarik itu mungkin ada pada bentuk tubuh yang menggiurkan, mungkin pada mata yang bundar cemerlang atau pada senyuman yang melemahkan sendi-sendi tulang, tetapi mungkin juga pada keseluruhan personality yang memaksa orang terpesona.”7
Tulisan beliau pun menimbulkan pertanyaan, seperti apa kira-kira dinamika relasi antara sutradara (laki-laki) dan aktrisnya dalam perfileman Indonesia dekade ‘50-’60-an? Jika kita menonton filem Liburan Seniman garapan Usmar juga, ia menampilkan seorang tokoh sutradara dari “Studio Banteng”. Dalam beberapa adegan, sang sutradara nampak sedikit terlalu akrab saat berbicara dengan aktris yang ia arahkan. Tak jarang ia menyentuh-nyentuh akrab di bagian pundak dan lengan, serta beberapa kali memanggil aktris dan asistennya dengan panggilan “sayang”. Apakah representasi ini diambil dari pengalaman Usmar sendiri, ataukah ini merupakan gambaran hiperbola dari kenyataan yang sebenarnya lain? Yang pasti, di masa kini perilaku-perilaku sutradara yang membuat jengah seperti demikian sudah bisa disidang warganet atau dilaporkan ke #SinematikGakHarusToxic.
Terlepas dari faktor-faktor ini, Usmar cukup mampu mengangkat permasalahan perempuan dengan kritis. Saat Indonesia masih dalam langkah-langkah awal menuju eksistensinya yang modern, ada banyak nilai-nilai lama terkait peran perempuan yang perlu dipertanyakan kembali. Melalui filem Asrama Dara dan Tiga Dara, Usmar menganggap keharusan untuk menikah secara terpaksa oleh perjodohan sebagai hal yang sudah harus ditinggalkan oleh perempuan modern. Terutama dalam filem Asrama Dara, di mana para gadis-gadis penghuni asrama ditampilkan dengan berbagai profesi dan impian yang ingin mereka kejar. Ada kepekaan tertentu saat harus menggambarkan pengalaman sehari-hari perempuan yang kurang mengenakkan, seperti di adegan Tari diganggu laki-laki saat sedang pulang naik trem, hingga percakapan tentang tubuh perempuan sebagai valuta yang bisa “dijual” saat Sita mengeluh kesulitan mencari pinjaman uang untuk membuka sanggar tari.
Meskipun demikian, kita tidak bisa menyangkal bahwa imajinasi “feminisme” Usmar masih terbatas oleh wacana dan ekspektasi publik pada masanya, maupun lensanya sendiri sebagai seorang laki-laki. Eksistensi perempuan dalam filem-filemnya kerap kali berakhir pada relasinya dengan laki-laki maupun peran mereka sebagai ibu. Problematika perempuan dan pernikahan yang diangkat di Tiga Dara maupun Asrama Dara selalu berakhir bahagia, dengan perempuan-perempuan yang meresahkan jodohnya mendapatkan suami yang ideal. Sementara, perempuan-perempuan yang dianggap terlalu sukses pasti akan “dijegal” dengan kesalahan-kesalahan yang membuat mereka harus merendahkan posisinya demi keutuhan keluarga, seperti tokoh ibu anggota partai dalam Asrama Dara hingga sang ibu dengan beragam kegiatan sosialnya dalam Big Village (1969).
Subversi Tatapan
Menonton Amor dan Humor cukup mengasyikkan, karena rasanya benar-benar seperti dibawa melihat-lihat gelanggang dagang. Dengan titik konflik yang hanya untuk mencari bungkusan yang hilang, tidak ada tegangan hidup-atau-mati yang membuat pengalaman menonton terfokus. Tidak ada moral cerita yang harus ditanggung oleh filem ini, meskipun saya menangkap adanya kritik terhadap fenomena “jual diri” yang dilancarkan melalui subversi-subversi kecil yang tidak mengganggu suasana ringan filem ini. Lelucon-lelucon yang dilontarkan seolah dengan sadar “memutarbalikkan” narasi yang ada dengan kreatif.
Rosa sang wartawati adalah salah satu celah untuk melakukan hal tersebut. Di antara wartawan-wartawan yang bertugas di Gelanggang Dagang Wanita, ia nampak satu-satunya perempuan di sana. Sebagai wartawan perempuan dan paling junior pula, ia sedang belajar memotret dari Luthfi dan sering diremehkan oleh rekan wartawan lainnya. Namun, Rosa dan kameranya terus berkeliaran di sekeliling gelanggang. Saat ia sedang minum di kantin, ia terganggu oleh Herman yang ribut sendiri mencari bungkusan pakaian Lita yang tertinggal di kantin. Iseng, Rosa meraih kameranya dan memotret wajah Herman yang kebingungan, lalu menambahkan keterangan foto yang ia karang sendiri: “Kehilangan pacar di gelanggang.”
Meskipun momen ini lantas hanya lewat sebagai lelucon yang telah dibangun dari awal dan fungsinya sebatas ornamental bagi plot cerita, namun adegan ini jadi menarik jika direfleksikan melalui perspektif gender dan tatapan yang telah kita bicarakan sejak awal. Untuk sesaat, posisi perempuan yang sejak awal untuk dilihat (oleh Herman) untuk sesaat berbalik jadi menatapnya melalui kamera, dan bahkan berkuasa untuk merekam dan menarasikan sepersekian detik yang ia alami di gelanggang dagang tersebut. Saya melihat adegan ini seolah ingin mengatakan, “Siapa bilang mata harus selalu milik laki-laki?”
Subversi lainnya datang dari Bing Slamet dkk. Mereka bukan perempuan, belum punya kekasih, bukan pula ingin datang untuk melihat perempuan, dan tidak datang untuk membeli pula. Kedatangan mereka adalah untuk menjadi yang dilihat-lihat itu sendiri, alias ingin mengacau dan menjadi pusat perhatian. Trio ini tampak tidak mengikuti skrip yang ajeg, namun melakukan interaksi dengan objek-objek di sekitar mereka dan melakukan komedi improvisasi ala slapstick. Hingga satu titik mendekati akhir cerita, tidak ada kemajuan plot tertentu yang berusaha dicapai oleh ketiga pengacau ini, sehingga menonton bagian mereka terasa seperti sedang ngalor-ngidul melihat-lihat pameran.
Selintas, eksplorasi mereka terhadap gelanggang dagang mengingatkan saya pada Monsieur Hulot saat mengunjungi ekspo rumah tangga perempuan dalam filem Playtime (1967, disutradarai oleh Jacques Tati). Dalam filem tersebut, simbol-simbol modernitas yang dikonsumsi oleh kelas menengah menciptakan peristiwa-peristiwa absurd yang disaksikan oleh Hulot. Dalam Amor dan Humor, Barang-barang terbaru yang harganya mahal dan menjadi simbol kelas diubah jadi punchline belaka di tangan Bing Slamet dan kawan-kawan. Misalnya, saat trio ini sedang menjajal mobil Volkswagen terbaru dengan bagasi di depan dan kap mesin di belakang, si Ateng masuk dan terkunci di bagasi depan karena dia sedang mencari mesin mobil. Mereka bermain-main dengan sendok sayur hingga mesin jahit, dan iseng mengenakan gaun batik modern yang seharusnya ditampilkan untuk peragaan busana. Pakaian-pakaian yang seharusnya nampak menggugah di tubuh perempuan menjadi absurd saat mereka pakai: potongan backless justru menampakkan kutang Iskak, dan gaun berpotongan lebar di tubuh Bing Slamet tampak seperti poncho penggembala di pegunungan. Berkeliling gelanggang dengan pakaian tersebut, praktis mereka sedang memeragakan busana tersebut kepada publik–meskipun para model dan pakaiannya bukan lagi menjadi barang jualan yang dihasrati oleh penontonnya.
Saat mereka mulai mengundang kerumunan yang terhibur, pak produser PFN pun tertarik untuk menjadikan mereka bintang filem, diiming-imingi dengan selentingan seorang wartawan bahwa “ini tidak kalah dengan Bing Slamet!” Namun, trio ini menolak diinstitusionalisasikan, lebih memilih untuk menjadikan diri mereka spektakel jalanan. Mereka kabur dari Pak Produser berkepala botak dan memutuskan untuk “membuat” filem mereka sendiri dengan peragaan ala pantomim, disutradarai dan dimainkan oleh mereka bertiga.
Lebih jauh dari itu, secara filemis mereka pun kabur dari batas-batas logika yang diizinkan oleh dunia nyata. Filem ini menerapkan teknik jump cut yang cukup mengejutkan untuk melompat ke tengah kolam saat terpojok oleh Pak Polisi yang sedang mengejar mereka. Mengejutkan, karena tanpa konteks yang bisa merasionalisasi pilihan estetika tersebut–mereka bukan jin, bukan hantu, bukan pula manusia super. Saat kepala penonton mulai mengkategorisasikan mereka, filem ini seakan mengatakan: “Jangan terlalu dipikir, Bung. Ini cuma filem!”
Penutup
Amor dan Humor memberikan sebuah pengalaman menonton filem Usmar Ismail yang berbeda. Tidak hanya karena treatment-nya yang seperti “filem hiburan” yang ngalor-ngidul dan cukup berhasil dalam menghibur penontonnya. Seperti keadaan filem Liburan Seniman yang kami temukan, arsip digitalisasi yang terpotong menjelang akhir menimbulkan tanda tanya, dan lantas ketiadaan pesan moral yang dapat diambil dari filem tersebut. Kritik-kritik tentang idealisme vs dagang dan perfileman Indonesia seakan ditebar begitu saja dalam filem ini tanpa simpul yang mengikatnya. Bisa jadi, simpul yang ada justru telah termakan jamur, zat kimia, dan ditebas oleh mesin digitalisasi. Layaknya Bing Slamet dan kawan-kawannya, agaknya filem ini secara fisik menolak untuk dimasukkan ke dalam kotak yang ajeg.
Selain itu, filem ini juga menjadi dokumen penting terkait penggambaran suasana Gelanggang Dagang Wanita ke-X, sebuah hajatan yang diselenggarakan di tengah era transisi kaum perempuan menuju eksistensinya yang modern. Banyak yang hilang dari sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, representasinya di dalam media, dan peran pemerintah dalam mengarahkan dan “menafsirkan” gerakan-gerakan tersebut. Misalnya, dalam arsip Gelora Indonesia dapat dibaca sidik jari pemerintah dalam membentuk persepsi masyarakat akan pergerakan perempuan sekaligus menentukan posisi subordinat perempuan. Lain dengan Usmar Ismail, yang melalui siasat “humor jualan” justru menggelitik kita di masa kini untuk merefleksikan cita-cita pemberdayaan perempuan di masa tersebut, yang masih berusaha menemukan kaki-kakinya agar tidak tergelincir ke jurang komodifikasi dan objektifikasi.
Lensa Usmar Ismail sebagai sutradara laki-laki perlu dipersoalkan dalam menatap perempuan di dalam maupun di luar layar, baik perihal observasinya yang cukup kritis hingga adanya celah-celah menuju jurang yang sama. Namun, perlu kita akui bahwa kebobolan-kebobolan ini bukan milik Usmar seorang. Ia merupakan kawin-silang antara hasrat patriarkis dan tuntutan pasar, dan agaknya ia masih lestari dan berumur panjang hingga kini. *
Endnotes