Tahun 2008, Forum Lenteng mengadakan rangka kerja Cerpen Ke Filem, sebuah upaya untuk mengeksplorasi bahasa sastra ke dalam bahasa filem. Rangka kerja ini menghasilkan sembilan filem, yang sudah dipertontonkan ke khalayak umum. Di antara sekian cerpen, karya Budi Darma termasuk di dalamnya. Budi Darma adalah seorang penulis aktif. Banyak karyanya yang sudah dibukukan. Beberapa karya cerpennya mendapat penghargaan terbaik pilihan salah satu media massa ternama di Indonesia. Pada tanggal 14 Juni 2009, Jurnal Footage berkesempatan untuk berbincang dengan Budi Darma, membicarakan soal adaptasi cerpen karyanya ke dalam filem. Perbincangan ini berlangsung di Surabaya, tempat tinggalnya.
Jurnal Footage: Apakah bapak masih sering menulis?
Budi Darma: Masih terus menulis, cuma masalahnya tugas terlalu banyak. Sebenarnya saya sudah pensiun, kemudian diperpanjang lima tahun, dan harus tetap di universitas untuk mengajar seperti biasa. Disamping itu banyak kegiatan-kegiatan lain seperti seminar, jadi waktu untuk menulis berkurang. Untuk menulis butuh konsentrasi, supaya mulai dari awal hingga akhir tidak terganggu apapun juga, tapi kadang-kadang ada telepon atau ada orang datang dari luar negeri meminta saya datang sebagai penerjemah sehingga waktu terputus-putus. Alhasil, menulis dengan enak itu jadi kurang.
Jurnal Footage: Kami dari Forum Lenteng Jakarta ada hasil workshop, namanya Cerpen ke Filem. Sebenarnya berawal dari diskusi kami untuk mengadaptasi karya sastra namun hasilnya menjadi inspirasi. Metode kerja kami waktu itu ketika memilih karya cerpen, khususnya karya bapak, adalah dengan membaca dan membedah paragraf demi paragraf. Ya, secara metodologi memang masih banyak kekurangan karena kami belajar secara otodidak.
Budi Darma: Metodologi itu akan terlihat sendiri selama proses berjalan. Jadi kalau ada minat pasti kita bisa menemukan metodologi yang tepat.
Jurnal Footage: Idealnya, kami ingin mewawancara bapak setelah bapak menonton karya kami.
Budi Darma: [menyelidik filem yang disodorkan] Ini Keluarga M, yang sudah difilemkan?
Jurnal Footage: Durasinya tidak panjang. Kurang lebih 10-25 menit.
Budi Darma: Pemainnya siapa saja?
Jurnal Footage: Teman-teman sendiri.
Budi Darma: Latarnya?
Jurnal Footage: Karena kami terinspirasi, jadi banyak hal yang diimprovisasi.
Budi Darma: Kalau kita melihat sekian banyak karya sastra yang difilemkan memang beda. Jadi pada dasarnya karya sastra itu saat diadaptasi tidak ada yang 80 persen atau 90 persen berdasarkan naskah aslinya. Pasti banyak unsur adaptasinya. Lagi pula, menonton dan membaca itu lain, apalagi sekarang ini kecenderungan teman-teman kita yang masih muda itu, kalau menulis seringkali menggunakan kata-kata atau bahasa-bahasa yang indah, sehingga makna atau maksud yang ingin disampaikan jadi kurang jelas sebab lebih banyak kata-kata indahnya. Plotnya tidak banyak yang berkembang. Sedangkan untuk filem plotnya harus berkembang, konfliknya harus jelas, klimaksnya harus tegas, harus banyak dialognya atau kalau tidak banyak dialog harus banyak gerak. Musik juga mempunyai peranan penting dalam sebuah filem.
Jurnal Footage: Apakah struktur waktu dalam filem dan sastra bisa sejajar?
Budi Darma: Tidak sama. Sastra, misal novel, orang bisa bebas menulis berapa halaman pun, tapi filem dibatasi durasi. Apalagi drama panggung. Dulu kita menyebutnya kehidupan wanita. Kenapa demikian? Karena wanita harus diatur, yang mengatur itu sutradara, waktunya harus tepat tidak boleh melenceng. Filem juga begitu. Jadi kebebasan lebih ada pada penulis karya sastra, terutama novel. Sebab mereka tidak dibatasi apapun. Dulu Arifin C. Noer pernah membuat filem berjudul Suci Sang Primadona. Filem itu aslinya berdurasi 6 jam. Tapi kemudian dipotong sebab terlalu lama, kecuali dibuat berseri atau dibagi dua. Setelah itu dia belajar memadatkan agar filemnya tidak terlalu lama. Lalu dia membuat filem Pengkhianatan G 30 S/PKI, di mana Soeharto muncul. Sebenarnya dia tidak ingin membuat filem itu, tapi terpaksa karena diancam pemerintah dengan pistol.
Jurnal Footage: Apakah filem itu mampu menyamai nilai sastra? Dan ketika sastra itu difilemkan, apakah kualitas sastrawinya masih ada?
Budi Darma: Kualitas satra bisa hilang sebab, mau tak mau, filem tidak mungkin sepenuhnya berdasar karya sastra itu. Oleh karena itu, dalam sejarah sastra, banyak pengarang yang marah setelah novelnya diangkat menjadi filem. Hemmingway, contohnya. Setelah melihat filem yang diangkat dari karyanya The Old Man and The Sea, dia merasa sangat kecewa. Ini yang pernah terjadi dalam sejarah.
Nah, ada juga filem yang kemudian dinovelkan. Di Indonesia kita pernah melihat contohnya. Brownies itu dibukukan dari filem oleh Fira Basuki. Setelah filem itu dibukukan, kabarnya Garin Nugroho menghubungi Fira untuk menjadikannya novel. Tapi ini kasus jarang. Yang kita saksikan sekarang justru banyak saduran novel menjadi filem seperti Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih atau Perempuan Berkalung Sorban. Saya tak tahu apakah penulisnya senang atau tidak melihat bukunya diadaptasi menjadi filem.
Jurnal Footage: Dalam kasus Hemmingway, idealnya apa ketika sastra diterjemahkan ke dalam filem. Apakah semangatnya, inspirasinya atau prosesnya?
Budi Darma: Bisa semuanya. Kita bisa lihat filem laris di Barat itu kalau ada tertulis Based On. Berbeda dengan Inspired By, sebab istilah ini jarang dipakai. Tapi, sejauh mana kebenaran filem, tentu jadi bahan perdebatan tak habis. Pastilah itu adaptasi. Begitu pun novel. Tidak mungkin semua berdasar pada karya itu.
Jurnal Footage: Sebelum workshop kami memberikan beberapa pilihan karya cerpen, lalu teman-teman dibebaskan memilih. Kebetulan dari teman-teman ada yang memilih karya bapak –M dan Yorrick. Apakah M dan Yorrick itu layak divisualkan?
Budi Darma: Itu tergantung pada pembuatnya. Dalam cerpen Yorrick banyak sekali peristiwa, kekejaman-kekejaman seseorang terhadap orang lain. Jadi kemungkinan visualnya pun bisa sangat banyak.
Jurnal Footage: Dalam filem-filem hasil workshop ini, ada beberapa adegan kita siasati dengan cara simbolis. Selain karena menggunakan medium video, bukannya seluloid, perlakuannya pun berbeda. Teman-teman Forum Lenteng yang mengerjakannya pun memang bukan seniman filem. Tujuan kami melakukan workshop ini adalah sebagai sarana pembelajaran untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan sastra menjadi bahasa filem atau video, meski mungkin hasilnya jauh dari memuaskan.
Budi Darma: Selain cerpen saya, ada cerpen siapa lagi?
Jurnal Footage: Umar Khayam, AA. Navis dan Hamsad Rangkuti. Selama proses workshop kita melakukan dokumentasi terhadap semua peserta. Kita menanyakan kenapa mereka memilih cerpen satu dan lainnya. Lalu kami membedah karya satu persatu, meski masih dengan cara otodidak. Kami membebaskan interpretasi peserta terhadap karya. Pembongkaran kata, kalimat, paragraf, jalinan-jalinan struktur cerpen itu yang kemudian disimpulkan menjadi satu gagasan filem yang akan diproduksi. Proses pembongkarannya kurang lebih berlangsung selama tiga bulan.
Budi Darma: Untuk menghasilkan berapa filem?
Jurnal Footage: Sembilan filem
Budi Darma: Satu filem berkisar 10-25 menit?
Jurnal Footage: Ya. Kecanggungan kita adalah pemahaman struktur sastra dan filem. Kami berupaya menjawab pertanyaan, bisakah filem bersejajar dengan sastra tanpa mengurangi substansi atau nilai sastra itu sendiri. Bagaimana bapak melihat struktur waktu dalam filem dan sastra?
Budi Darma: Filem memiliki waktu tersendiri. Saya contohkan cerpen-cerpennya Djenar Maesa Ayu, yang sebagiannya sudah difilemkan. Dia sendiri sutradaranya. Salah seorang pemainnya adalah iparnya, istri seorang penggebuk drum. Mungkin dia perlu diajak diskusi karena dia praktisi penulis cerpen. Dia juga membuat filem dan menyutradarainya sendiri. Kebetulan memang dia punya saudara jauh yang kaya raya, namanya Nugroho Susmanto, di mana sering mendanai kerja Djenar…
Jurnal Footage: Menurut bapak karya Djenar merupakan contoh karya sastra yang berhasil difilemkan?
Budi Darma: Djenar mempunyai inovasi dalam menulis cerpen, jadi dia berbeda dengan teman-teman lain karena daya pembaruan yang dimilikinya. Daya pembaruan itu tampak dalam penyusunan kalimat, sedemikian rupa sehingga memberi sugesti kepada pembaca. Kemudian ketika dia merombak jadi filem, boleh dikatakan berubah total. Yang melekat pada cerpen adalah obsesinya. Sejarah hidupnya itu kan tidak karuan. Ketika masih kanak-kanak, ayahnya, Soemandjaja, hidup terlunta-lunta. Ibunya, Tuti Kirana, dibenci Djenar, dianggapnya tidak menyayangi dia. Pengalaman ketika ayahnya sakit lalu meninggal, di mana ibunya tidak ada disamping untuk merawat memberi alasan untuk ini. Pernah juga suatu kali dia berkeliaran bersama teman-temannya kemudian ditangkap polisi, ketika Tuti Kirana dikabari, ia hanya berkata supaya Djenar mempertanggungjawabkan apa yang telah dia perbuat. Apa yang diinginkan Djenar sederhana, sebenarnya. Dia ingin ibunya datang dan menjelaskan. Ketidaksukaan pada ibunya sewaktu kecil membuat dia mendramatisir. Berbeda dengan cerpennya, filemnya penuh dramatisasi. Misalnya seorang anak yang dikasih makanan basi, tidak sehat dan tidak enak, kemudian anak itu lari ke WC dan muntah. Ibunya yang kejam menyuruh anak itu memakan muntahannya sendiri. Saya pikir, dramatisasi itu susah sekali. Itu tidak ada dalam cerpen. Penonton dibuat syok dengan adegan itu, dan berpikir, kenapa ada orangtua yang sangat mengerikan seperti itu. Ini sah, sebab dia sendiri yang mengerjakan cerpen dan filemnya. Dia bisa berbuat apapun dalam karyanya. Obsesi itu tetap ada dalam dirinya.
Jurnal Footage: Idealnya bapak menonton karya dari teman-teman ini, kemudian kita bisa berbincang banyak soal filem.
Setelah menonton filem M karya Ajeng Nurul Aini dan Interior Kaca karya Otty Widasari (01.22 WITA)
Budi Darma: Terima kasih telah diajak nonton.
Jurnal Footage: Bagaimana dengan filemnya?
Budi Darma: Mungkin bahasa Inggrisnya perlu diperbaiki. Dari segi gramatika, kata he come, he go itu kurang baik. Mungkin yang dimaksudkan bahasa percakapan sehari-hari, tapi ini keliru sebab yang benar adalah he comes, he goes. Kemudian tadi di Keluarga M, kata concierge, lazimnya ada di hotel, yaitu seksi khusus hotel yang tugasnya mengurusi barang-barang tamu. Jadi misalnya ada tamu yang datang dan tidak sempat memasukkan barang, concierge yang mengurusnya. Pada Keluarga M itu apartemen, bukan hotel. Di Amerika, orang yang mengurusi apartemen biasa disebut residence system. Mungkin dalam konteks Indonesia harus dicari istilah lain yang sepadan. Lalu yang lain, apartemen di filem Keluarga M tampak kumuh, sedang di cerpen saya apartemen itu biasa, bahkan cenderung agak mewah. Apartemen itu adalah untuk orang-orang kelas menengah, kebetulan di situ tinggal satu keluarga beranak banyak. Jadi tidak lazim anak sebanyak itu dalam satu keluarga tingggal di apartemen. Kemudian keluarga itu melarat, sehingga dengan demikian, kalau menurut cerita aslinya, ada tentangan yang jelas antara penghuni pada umumnya di sebuah kumpulan apartemen yang boleh dikatakan bagus. Dan ada seseorang yang anaknya banyak yang tidak pantas tinggal di apartemen itu. Kalau di filem itu, apartemennya ditinggali oleh orang kumuh semuanya, orang yang kurang punya. Kemudian kerukunan di dalam Keluarga M, yaitu mereka selalu solider itu tidak tergambar di filem. Dalam cerpen, anak-anak itu rukun sekali. Kalau kemana-mana selalu bersama. Kalau terjadi apa-apa ditanggung bersama. Semua ini tidak tampak. Kecelakaan yang menimpa keluarga M pun kurang terlihat di sini. Jadi filem ini kurang menimbulkan rasa simpati, antipati dan empati. Penonton tidak terlibat dalam segala emosi, karena filem ini kurang menggambarkannya. Lalu, adegan-adegan diam itu terlalu banyak. Kalau kita nonton sinetron itu adegan yang dipanjang-panjangkan. Tapi karena para pemainnya adalah pemain profesional bila dipanjangkan mereka bisa akting, beda dengan ayah dan ibu Keluarga M yang terlihat aneh ketika disorot kamera. Sebabnya, mereka bukan pemain profesional. Banyak juga benda yang disorot terlalu lama, seperti kerusakan-kerusakan pada sepeda motor. Bagi saya, itu memberi kesan yang kurang mendalam. Mengapa di filem ini seolah-olah yang bekerja hanya satu orang, misalnya Ajeng Nurul Aini –penulis skrip, sutradara dan macam-macam.
Jurnal Footage: Karena konsepnya workshop, jadi dalam berkarya, semua partisipan dibebani konsekuensi mengerjakan hal-hal estetik dan artistiknya sendiri.
Budi Darma: Filem Interior Kaca, narasinya baik. Tetapi seperti yang pertama, banyak adegan diam yang terlalu lama, yang tidak bisa memberi kesan kepada penonton ini soal maksud yang ingin diungkap.
Jurnal Footage: Kalau berkaitan dengan struktur dramaturgi antara filem dengan sastra?
Budi Darma: Mungkin durasinya dibatasi.
Jurnal Footage: Sebenarnya filem tersebut hasil interpretasi, bila dia membuat lebih dari itu mungkin tidak masalah.
Budi Darma: Kalau filem ini lebih panjang, mungkin adegan diam yang terlalu lama harus dipotong, sehingga perubahan satu adegan ke adegan lain menjadi lebih cepat dan dinamis. Saya melihat pemain-pemainnya kurang bisa akting.
Jurnal Footage: Bagaimana dengan struktur waktu?
Budi Darma: Temponya terlalu lambat. Tempo yang sekian pendek bisa diisi banyak adegan yang mempunyai unsur sugesti bagi penonton. Sayangnya ini kurang dieksplorasi. Jadi kesimpulannya, yang mengerjakan kurang mengeksplorasi cerita serta kejiwaan di dalam cerita itu. Sebetulnya dua cerpen ini adalah masalah keresahan jiwa dan itu kurang tergambar di sini. Tetapi, saya pikir, sebagai permulaan ini cukup baik.
Jurnal Footage: Sebenarnya pada tahun 2005 kita sudah membuat video puisi, bukan puisi menjadi bahasa video tetapi kita membuat gambar seperti membuat puisi. Sekarang, kita mencoba dengan cerpen, mungkin nanti novel. Bisa tidak bahasa cerpen ditransformasi ke bahasa visual filem?
Budi Darma: Intinya, dalam setiap karya sastra, kita banyak terlibat dalam masalah psikologi. Jadi segala gerak dan pemikiran tokoh utama itu melulu masalah psikologi.
Jurnal Footage: Di era Perang Dunia II, Italia memiliki gerakan sinema neorealisme. Meski tidak punya studio, mereka tetap berkarya dengan menggunakan aktor dari masyarakat biasa. Salah satu motivasi kami adalah gerakan sinema neorealisme itu. Karya Vittorio de Sica misalnya, berjudul Bicycle Thief, mengadaptasi novel. Di filem ini, de Sica hanya menggunakan dua aktor profesional dengan latar-latar sosial keseharian yang memang utuh tanpa rekayasa. Dari sini kami belajar, bahwa filem tidak kehilangan semangat sejarah yang lebih dulu, kesenian yang lebih dulu. Sastra dianggap sebagai bentuk kesenian lebih dulu dibanding sinema. Atas dasar itu, sinema juga berusaha untuk tidak menghilangkan sisi sejarah.
Budi Darma: [tersenyum]
Jurnal Footage: Terima kasih atas waktunya, pak.
Budi Darma: Sama-sama telah diajak nonton. Kacangnya jangan lupa dibawa.