In Edisi Khusus, Katalog ARKIPEL

Oleh Manshur Zikri

Artikel berjudul “Pasca-komunis di Eropa Timur dan Kehidupan Kelas Pekerja” ini pertama kali terbit dalam katalog ARKIPEL – International Documentary & Experimental Film Festival, 2013, hal. 91-95, ditulis oleh kritikus/kurator film Afrian Purnama sebagai pengantar kuratorial untuk program penayangan film yang bertajuk sama pada festival tersebut.

Afrian melakukan semacam refleksi tentang keakraban antara sinema dan fenomena kelas pekerja atau kaum buruh, baik dari segi sejarah kemunculan disiplin ini maupun dari segi bagaimana klas sosial telah menjadi isu yang kerap dijelajahi oleh para pembuat film, termasuk penginterpretasian atas fenomena ini ke dalam estetika bahasa sinema.

Afrian mengambil tiga film sebagai studi kasus, yang masing-masing diproduksi pada tahun yang berbeda, untuk melihat respon estetis sutradara terhadap kehidupan kontemporer pascakeruntuhan Uni Soviet, di mana masyarakat mengalami gejolak pergeseran kultural dan politik. Bagaimana pun, sistem kapitalis masih menjadi persoalan, dan sinema yang sadar kelas selalu berupaya mengungkap kebobrokan dari sistem tersebut.

Tulisan ini sudah pernah dimuat di Jurnal Footage pada tanggal 4 November 2013. Kami memuatnya kembali di situs ini menggunakan tanggal yang baru, dengan suntingan kecil di beberapa bagian, sebagai bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.

Selamat membaca!

Pasca-komunis di Eropa Timur dan Kehidupan Kelas Pekerja

PADA 1989, TERJADI perubahan radikal di kawasan Eropa Timur karena berkurangnya pengaruh Uni Soviet dan mulainya pengaruh liberalisasi pada otoritas di kawasan tersebut. Ini ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989. Runtuhnya Tembok Berlin adalah puncak dari protes dan kerusuhan yang terjadi selama beberapa minggu, hingga akhirnya pihak Jerman Timur memberikan izin bagi warganya untuk melintas ke Berlin bagian barat. Diawali dengan revolusi di Polandia, lalu gelombang revolusi menyebar ke seluruh negara Eropa Timur hingga akhirnya Uni Soviet terpecah.

Keberadaan kelas pekerja memiliki sejarah panjang di Eropa Timur. Mereka menjadi aktor utama dalam pergerakan Revolusi Bolshevik dengan menurunkan kekuasaan Tsar yang sudah berkuasa berabad-abad. Sergei Eisenstein mengabadikan perjuangan heroik mereka pada film October: Ten Days That Shook the World. Pada poster-poster dan film-film era Uni Soviet, kelas pekerja digambarkan begitu heroik, hingga dibuatkan monumen, Worker and Kolkhoz Woman.

Workers Leaving the Lumière Factory yang dibuat oleh Louis Lumière tahun 1895, menampilkan buruh pria dan wanita yang berjalan dari pintu keluar pabrik dan keluar dari frame film, menuju ke kiri dan kanan hingga tertutup pintunya. Gambaran bersejarah itu menandai sebuah cabang seni baru. Gambaran tentang pekerja ini adalah gambar bergerak tertua yang ditayangkan di layar lebar untuk masyarakat banyak. Kelas pekerja dan film sudah menjadi sahabat sejak awal dia dibuat. Dan ketiga film yang akan dibahas, telah melanjutkan keakraban tersebut dalam sudut pandang, regional, dan masa yang berbeda.

Ketiga film yang ditampilkan,1 Earth of the Blind (1992), Factory (2004), dan Artel (2006) berada di masa yang sama, pasca-komunis, yang dibuat setelah runtuhnya Uni Soviet, hanya saja rentang waktunya berbeda. Baik Factory dan Artel tidak memiliki selisih tahun pembuatan yang jauh, dan dibuat oleh sutradara yang sama. Dibandingkan kedua film tersebut, Earth of the Blind dibuat 2 tahun setelah Lithuania merdeka dari Uni Soviet.

Secara teknis visual, ketiga film ini memiliki perbedaan yang begitu mencolok, tapi sama-sama menggunakan medium 35mm. Earth of the Blind menggunakan color tone sepia dengan kontras warna yang rendah, hingga hampir menyerupai film hitam-putih, menyebabkan film ini terlihat seperti film yang dibuat pada tahun 1920-an, secara sengaja agar terlihat tua dan rapuh. Tidak ada dialog dalam film ini. Suara kebanyakan diisi oleh ambience yang kontinu, suara kehampaan, dan suara decitan besi kursi roda, tapi tidak banyak. Pendekatan teknis visual Factory sangat berbeda dengan Earth of the Blind, kontras warnanya begitu terasa, frame statis, hampir tidak ada gerakan kecuali pada satu bidikan (shot). Lain pula dengan Artel yang menggunakan medium hitam-putih, tapi memiliki kesamaan teknis dari bidikannya yang statis. Sama dengan Earth of the Blind dan Factory, tidak ada dialog dalam Artel, suaranya menyatu dalam visual, merekam apa yang terjadi saat itu secara berkelanjutan.

Tangkapan layar dari film "Earth of The Blind" (1992) karya Audrius Stonys.

Earth of the Blind memiliki tiga cerita: cerita tentang pemotongan sapi, cerita kakek dengan kursi rodanya, dan nenek tua yang hidup sendirian. Masing-masing cerita ini saling berdiri sendiri tapi saling terhubung dengan paradoks. Nenek dan kakek ini sudah tentu tahu mereka akan menemui ajalnya, walaupun mereka tidak bisa melihat. Kondisi buta ini tidak menghentikan mereka untuk melakukan sesuatu. Bagi nenek, rutinitas yang harus dijalaninya adalah memberi makan hewan ternak, dan merawat diri, seperti menyisir rambut. Tindakan ini lucu-ironis karena si nenek tinggal sendirian dan dia buta. Sedangkan kakek dengan kursi rodanya melakukan aktivitas yang menurutnya menyenangkan, bermain musik dan berjalan-jalan. Sekali lagi hal ini lucu tapi ironis. Sedangkan di peternakan sapi, sapi-sapi ini bisa melihat dengan matanya yang bulat dan besar, tapi mereka tidak bisa melihat apa yang akan mereka hadapi, yaitu rumah pemotongan sapi. Dengan kontras pula diperlihatkan kondisi hewan yang masih hidup di padang rumput, dengan hewan yang sudah dipotong dan digantung.

Earth of the Blind berlatar di pedesaan. Saat dalam perjalanan kakek dengan kursi rodanya, kita bisa melihat beberapa pabrik tua di sisi jalan, tapi tidak banyak aktivitas, seperti mati dan ditinggalkan. Aktivitas pekerja dalam Earth of the Blind diperlihatkan pada daerah peternakan di mana ada para pemotong dan pengawas hewan ternak menaiki kuda.

Tangkapan layar dari film "Factory" (atau "Fabrika", 2004) karya Sergei Loznitsa.

Factory dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis material yang dijadikan obyeknya, pertama adalah baja, dan yang kedua plester (bahan bangunan semacam semen). Mengawali gambar dengan bidikan dari luar pabrik, dari luar jendela yang memperlihatkan antrean pekerja memasuki pabrik. Film ini penuh dengan pertentangan: keras dan lembut, dingin dan panas, pria dan wanita. Dan yang paling utama, manusia dan mesin. Pertentangan antara keras dan lembut direpresentasikan dengan material sumber daya alam untuk produksi pabrik, besi dan tanah liat, lalu pabrik besi diisi oleh pekerja yang semuanya pria, kontras dengan pabrik pengolahan plester yang hampir semua pekerjanya wanita. Mesin dalam manufaktur besar bekerja untuk membantu pekerja. Pemandangan ini sudah tidak asing sejak ditemukannya mesin uap yang merevolusi industri manufaktur dunia. Karl Marx dalam Manifesto Komunis menjabarkan lemahnya perlindungan kelas pekerja yang bekerja dalam sistem kapital. Mesin-mesin pabrik menurutnya telah menghilangkan sifat-sifat perseorangan para pekerja hingga hilang kegairahannya. Ini diperlihatkan dengan sangat jelas oleh Sergei Loznitsa. Pekerja yang bekerja mengikuti ritme dari mesin, bukan sebaliknya. Hal ini pernah diparodikan dengan jenaka oleh Charlie Chaplin dalam Modern Times. Tapi dalam Factory, apa yang diperlihatkan adalah kenyataan yang seutuhnya. Pemandangan pahit melihat manusia yang berkorban menyatu dengan mesin untuk menjinakkan material alam menjadi material jual. Sejalan dengan pernyataan Marx, makin tidak menyenangkan pekerjaan buruh, makin rendah upahnya. Pertentangan antara dingin dan panas mengakhiri film ini. Temperatur panas ekstrem di dalam pabrik kontras dengan cuaca luar pabrik yang dingin bersalju.

Waktu istirahat dihabiskan pekerja untuk berkumpul di pantry sambil makan dan berinteraksi. Dari dalam, sayup-sayup terdengar alunan musik klasik, Frédéric Chopin, Waltz Brillante no 2 in A minor. Frédéric Chopin memiliki latar belakang sejarah dengan kelas pekerja. Komposer ini juga membuat Polonaise in A-flat major, atau disebut juga ‘Heroic Polonaise’, yang sejak revolusi 1848 menjadi simbol perjuangan kelas pekerja. Dalam bisingnya suara pabrik, apa yang dibicarakan para pekerja di kala rehat tidak bisa terdengar, tapi mungkin yang dibicarakan mereka adalah romantisme masa lalu tentang kehebatan kelas pekerja yang mampu menggulingkan pemerintahan.

Tangkapan layar dari film "Artel" (2006) karya Sergei Loznitsa.

Realita yang terungkap di Factory seperti bidikan awal dari balik jendela luar pabrik. Kamera menjadi jendela bagi kita tentang bobroknya sistem kapital untuk kelas pekerja.

Bidikan pertama dari Artel berkebalikan dengan Factory. Artel memperlihatkan pemandangan keluar dari dalam sebuah ruangan. Artel diawali dengan bidikan pemandangan yang abnormal. Perahu nelayan terbalik di tengah hamparan salju, tiang listrik yang hampir rubuh, suasana pedesaan yang terlihat sepi, kontras dengan suara latar yang ramai: suara-suara anjing, besi beradu, percakapan, angin salju. Hingga muncul sekelompok orang dengan jaket tebal melakukan aktivitas rutin mereka, mencari ikan untuk dimakan dan dijual. Artel yang memiliki arti ‘kelompok’, dan kelompok ini lalu menuju ke danau beku dan memecah es hingga terlihat airnya dan mengambil ikan yang hidup di dalamnya. Seperti Vertov, Sergei Loznitsa mengambil gambar seperti apa adanya. Pekerja dalam Artel berbeda dengan Factory dan Earth of the Blind, mereka tidak bekerja untuk siapapun kecuali untuk kelompoknya. Mereka tidak bergaji. Mereka mengendalikan mesin, tidak sebaliknya. Kelompok pekerja dalam Artel jauh lebih sejahtera, mereka memiliki peralatan sendiri, pekerja yang lebih independen.

Artel berlatar di utara Rusia yang bersuhu ekstrem dan dekat dengan Arktik. Pada tahun 1922, dengan tema yang sama Robert J. Flaherty membuat Nanook of the North tentang suku Inuit di utara Kanada. Dalam film tersebut diperlihatkan suku Inuit yang masih lugu bertemu dengan budaya modern, seperti saat melihat gramofon. Lalu ada adegan bagaimana cara orang Inuit membuat rumah dari salju dan juga cara mereka berburu. Sebuah perbedaan yang sangat mencolok bila dibandingkan dengan masa sekarang yang dilihat di Artel.

Dari ketiga film tersebut, Artel memiliki akhir yang paling optimis. Dengan bergantinya musim dan mencairnya salju, mendapatkan ikan tidak lagi begitu sulit, dan mereka bisa kembali menggunakan perahu terbalik yang menganggur selama musim dingin.

Endnotes[+]

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search