HAL MENARIK LAINNYA dari Festival Film Dokumenter (FFD) 2023, menyambung pembicaraan soal inisiasi situs web www.filmdokumenter.id oleh Program Database FFD, ialah pengadaan program penayangan yang khusus mengurasi sejumlah film yang sengaja diseleksi dari arsip atau database Forum Film Dokumenter (juga disingkat FFD).1 Sebagai salah satu sub-program Lanskap, kuratorial bertajuk “Ordinary/Extraordinary” yang dikurasi oleh Valencia Winata mengajak kita untuk melihat kembali ragam gaya naratif atas beberapa isu tentang kelompok masyarakat termarjinalkan (marginalized people), baik yang filmnya dikonstruksi menggunakan pendekatan naratif berbasis sudut pandang personal maupun cerita berbasis observasi.
Mungkin memang karena kuratorial ini menyeleksi karya-karya dari database FFD, kelima film yang disajikan kemudian adalah film-film yang diproduksi pada tahun-tahun pra-Pandemi. Daftar ini, saya kira, perlu dipandang bukan hanya sebagai sebuah konsekuensi teknis, tetapi juga suatu kans untuk merefleksikan kembali berbagai upaya pencarian perspektif dokumenter di masa lalu dalam membingkai isu-isu yang sebenarnya disadari dan telah menjadi perhatian masyarakat global. Akan tetapi, kurator tampaknya tidak gegabah melenakan diri pada wacana “historis” (dengan tanda petik) dengan meromantisir usia sebuah film. Alih-alih film jadoel, Valencia memilih film-film yang masih berada dalam periode satu dekade ke belakang—film “tertua” di kuratorial ini diproduksi tahun 2015. Dengan kata lain, ini adalah rentang waktu yang cukup bagi kita untuk mengingat masa sebelum semuanya berubah gara-gara Pandemi, tetapi masih lekat dengan wacana-wacana aktual yang dekat dengan kehidupan kita hari ini.
Tatkala Pandemi, membicarakan dampak COVID-19 tetaplah penting. Akan tetapi, “keseragaman” wacana (gara-gara trend yang meningkat dalam membicarakan dampak COVID-19) bisa menjadi sebuah jebakan menuju kemandekan. Poinnya adalah, bagaimana “pemerataan fokus” terhadap “isu-isu yang beragam” merupakan tujuan; bagaimana kita tetap awas terhadap masalah-masalah lain sembari tetap membicarakan masalah-masalah paling mendesak di momen mana kita tengah bergerak (bergiat di ranah film, terutama).
Tentang isu “kelompok masyarakat termarginalkan” itu, misalnya, yang tidak hanya mencakup masalah kelompok rentan, seperti anak-anak dan perempuan, tetapi juga meliputi masalah kelompok etnis tertentu yang masih sering mengalami diskriminasi, kelompok difabel, masyarakat di desa tertinggal, dan—biar pun sering dikategorikan sebagai “orang-orang berkeunggulan” (privilege)—aktivis-aktivis sosial yang mengalami ketidakadilan. Dengan dihadirkannya kelima film ini, kita mesti memahami bahwa program Lanskap FFD 2023 bukan sedang memberikan “kesegaran baru”, tetapi justru ingin “menyegarkan kembali” pemahaman plural kita mengenai dokumenter.
***
Apa yang juga menyenangkan dari kuratorial ini, yang penayangannya dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2023, pukul 13:00 WIB, di Auditorium IFI-LIP Yogyakarta, adalah nuansa optimistik yang dibawanya. Pada satu sisi, kuratorial ini mengemukakan karya-karya dokumenter yang merepresentasikan “optimisme bahasa” di masing-masing gaya ungkap filmisnya.
Ide ekspresi pada setiap film berangkat dari rutinitas kehidupan, cerita biasa, dan menerapkan gaya dasar dokumenter tanpa pretensi “eksperimen artistik”. Namun, justru karena kejujuran untuk bersedia mengurai apa yang “dianggap biasa” dari gaya dokumenter semacam inilah kita malah, sebenarnya, sedang disodorkan sebuah cara pandang yang melampaui kebiasaan: maksimalisasi potensi bahasa fundamental dokumenter bisa jadi adalah eksperimen artistik yang paling diperlukan. Apa yang umumnya didefinisikan sebagai “dasar” dan “biasa-biasa saja” bukan didudukkan sebagai cerminan tentang usaha naif si pembuat film, melainkan sebuah manifestasi dari kesadaran akan kebercukupan naratif yang bertalian dengan kebercukupan estetik.
Pada sisi yang lain, perlu saya perinci sedikit: tiga dari lima film dalam kuratorial ini cukup jelas menangkap sikap-sikap optimis dari subjek-subjek yang mereka ceritakan. Berurusan dengan isu yang, biasanya, kalau dalam bingkaian media arus utama, memancing rasa kesedihan dan air mata, kamera para pembuat film malah asyik mengabadikan momen-momen komikal, sinikal, dan satirikal dari keseharian yang dijalani subjek-subjek, dalam rangka menyubtilkan pernyataan-pernyataan kritikal mereka terhadap ketidakadilan yang sebenarnya tengah dialami narasumber.
Sementara itu, satu film agaknya memilih untuk bergembira dengan konstruksi objektif, yang lebih menekankan faktualitas sebuah situs ketimbang mensubjektivikasi masalah sosial yang dialami orang-orang di situs tersebut. Meski begitu, konstruksinya tampil begitu puitik, menularkan optimisme tertentu pula kepada penonton, terutama optimisme dalam melihat lingkungan sehari-hari.
Untuk film yang terakhir, perlu saya akui, masih terjebak dalam romantisisme kesedihan, terutama karena dominasi musik latar yang digunakannya. Intensi ini terbilang gamblang dan mudah untuk kita duga. Akan tetapi, kesehajaan ekspresi subjektif yang direalisasikan oleh pembuatnya terbilang berhasil mengetuk kesadaran manusiawi kita. Paling tidak, moral saya sendiri secara pribadi.
Betul memang, bahwa ini adalah penilaian subjektif saya sebagai penulis. Tapi, saya kira penilaian semacam ini pastinya dipengaruhi oleh fakta bahwa film yang terakhir itu tengah disandingkan dengan empat film lainnya dalam sebuah bingkaian kuratorial. Persandingan ini tentunya menciptakan sebuah efek bagi cara saya (dan penonton lainnya) dalam menilai film-film yang ditayangkan.
Dan pengalaman subjektif saya itu justru menjadi landasan bagi argumentasi saya di artikel liputan ini, yaitu untuk menyatakan bahwa sebuah kuratorial mempunyai kekuatan yang spesifik: karya yang kualitasnya relatif minim dibandingkan yang lain bisa mendapatkan pembacaan dengan konteks baru jika ia dikurasi dengan baik; begitulah cara kerja dari bagaimana suatu khasanah dari sebuah karya mesti digali dan diungkai.
***
Valencia dalam pengantar kuratorialnya menyatakan: lima film ini menjelajahi jalinan yang menghubungkan narasi kecil dengan narasi besar, terutama tentang “…posisi manusia dalam masyarakat dan lingkungannya.” Ia juga menyinggung soal bagaimana “bentuk dokumenter” mempunyai pengaruh terhadap model artikulasi para pembuat dalam menyampaikan pesan.2
Mari kita tinjau dua poin yang diajukan kurator tersebut dengan melakukan pengulasan singkat terhadap kelima film. Saya akan mulai dari film yang saya singgung terakhir, yaitu yang berjudul Seandainya (atau If…, 2019) karya Diva Suukyi Larasati.
Narasi Seandainya adalah narasi yang sangat personal. Diva, anak Munir (aktivis HAM Indonesia), mengalami kehilangan sosok ayah sejak tahun 2004. Demikian jelas, isu ketiadaan ayah ini mempunyai relasi yang kuat dengan narasi besar HAM di Indonesia yang sampai hari ini tidak kunjung menunjukkan ujung yang baik. Seolah berjibaku dengan kesia-siaan, keluarga para aktivis yang ditinggalkan tidak pernah lelah berhenti melakukan kampanye soal kesadaran HAM melalui Aksi Kamisan. Dan Diva adalah salah satu yang aktif di ranah itu.3 Melalui animasi ini, Diva tidak berbicara tentang “selebrasi” Aksi Kamisan. Alih-alih itu, ia bercerita tentang album foto keluarga yang diidamkannya.
“Seandainya ayah masih hidup…,” kira-kira begitulah kalimat yang bisa kita pakai untuk mengilustrasikan pesan yang ingin disampaikan sutradara film. “Maka seperti inilah foto-foto keluarga kami.”
Penggunaan animasi ketimbang foto asli, atau daripada pengakuan-pengakuan berbasis wawancara, merupakan keputusan yang masuk akal dalam meringkas kehendak atas materialitas yang tak eksis. Terlepas dari aspek musikalnya, yang tadi telah saya sebut merupakan sisi yang melemahkan kekuatan film ini, animasi tersebut menjadi semacam perangkat artistik untuk menjaga fokus tematik: keterasingan dari kasih sayang sang ayah dan mimpi yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Dengan visual animasi yang sangat sederhana, film ini saya pikir cukup berhasil menerapkan metode dokumenter paling dasar untuk mengantisipasi kenyinyiran naratif.
Selanjutnya, kita bisa meninjau poin kurator di dalam Jembatan Sibuk (2016) karya David Darmadi, karya yang pada bagian sebelumnya di esai ini saya sebut “bergembira dengan konstruksi objektif”. Ini bukanlah film yang terlebih dahulu berangkat dari “tentang siapa”, melainkan “tentang apa”, yang dari “tentang apa” itulah tersirat masalah penting di baliknya: tentang kerentanan infrastruktural yang dihadapi warga, sadar tidak sadar.
Di film ini, David merekam sebuah lokasi yang tampaknya juga tidak spesial-spesial amat: sebuah jembatan penyeberangan di atas sungai, yang sibuk dilalu-lintasi kendaraan bermotor, sementara di bawah jembatan tersebut kegiatan galian pasir tradisional berlangsung sehari-harinya. David sendiri dengan tegas berulang-ulang (melalui subteks) menyatakan bahwa film ini adalah bagian dari sebuah proyek “daily documenter”. Artinya, bukan saja karena objeknya adalah “hal-hal keseharian”, keistimewaan film ini juga terletak pada statusnya sebagai salah satu output dari “keseharian merekam”—aktivitas paling dasar yang wajib dimiliki seorang pembuat film berdedikasi.
Melalui pengamatan empatik terhadap jalur sirkulasi dari mobilitas orang-orang di sekitaran jembatan, film ini mengajak kita untuk lebih dekat mengamati “kondisi jembatan”. Dari narasi yang kecil itu, daya cerna kita dikaitkan secara tidak langsung dengan narasi yang lebih besar: tanggung jawab pemangku kepentingan dan kebijakan atas infrastruktur yang menyangkut maslahat bagi kehidupan penduduk kota, serta tentang kesadaran sosial dari penduduk itu sendiri dalam memperlakukan kota dan alam yang menaunginya.
Yang menarik, kamera David tidak bersikap menghakimi, sedangkan konstruksi montasenya pun tidak punya pretensi menjadi “penengah”. Kesemrawutan infrastruktur dinarasikan secara jenaka—kendaraan bermotor berebut giliran melintasi jembatan—sementara risiko kerusakan lingkungan—aktivitas orang-orang menggali pasir di sungai (yang memancing kegamangan tertentu)—direkam dengan bidikan “teduh”, yang terasa ayem dan nonreaksioner. Seperti yang dapat direfleksi kemudian, film ini membingkai sebuah isu yang masygul, tetapi isu itu diafirmasi menjadi sebuah catatan visual keseharian (atau, dalam istilah yang digunakan David, “Ingatan Visual”). Simpulannya, film ini adalah tentang kenyataan sehari-hari yang, bagaimanapun, mesti dijalani apa adanya, namun dengan tetap mawas diri dan memanfaatkan beragam celah untuk mewacanakan kritisisme: rekam dan tunjukkan saja. Cukup. Sebagaimana yang dapat dilihat, film ini tidak membutuhkan catatan kaki apa pun untuk meyakinkan penonton soal masalah yang dikritiknya.
Diaspora [Generasi Sekian] (2015, karya Ivonne Kani) bercerita tentang kegundahan dan kegamangan personal yang dialami si sutradara menyangkut identitas etnik yang dimilikinya, melalui kumpulan rekaman video liburan keluarga yang kebetulan pernah ia ambil sebagai kenang-kenangan.
Sederhananya, Diaspora adalah cerita yang mengingat pengalaman si sutradara pribadi saat pergi liburan bersama keluarganya ke Malaysia karena suatu sebab: ibunya mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan, yang dapat merugikan keluarga mereka sebagai minoritas, di masa-masa meningkatnya ketegangan politik elektoral menjelang pemilu 2014. Kenyataan ini mendorong Ivonne menarik satu refleksi tentang identitas “keindonesiaan” dan “kecinaan”-nya, dengan mengaitkan pengalaman pribadinya yang lain saat ia dan keluarga berkunjung ke Cina pada tahun 2012: punya darah keturunan Cina, tetapi tidak bisa berbahasa Cina.
Pendekatan personal dalam film ini mereduksi unsur spektakularitas dan dramatisasi yang biasanya menjadi ciri khas film-film dokumenter konvensional (atau “berita dokumenter” khas media arus utama) yang mengangkat isu minoritas. Yang kita saksikan adalah sebuah kecanggungan interaksionis antaranggota keluarga besar yang masing-masing telah hidup berbeda ruang sosial-budaya. Kecanggungan ini, salah satunya, terekam dalam peristiwa kecil di sebuah kafe yang, entah mengapa, justru tampak begitu intim.
Contoh keintiman dalam adegan itu, menurut saya, adalah puncak dramatik film ini. Ivonne, menggunakan kameranya, dengan sabar merekam peristiwa ketika saudara laki-lakinya tersipu malu saat dua orang sepupu mereka (yang merupakan orang Cina asli) membantu menuliskan nama mereka dalam aksara Cina. Kejenakaan yang mencuat dalam interaksi ini sungguh penuh pikatan, menahan kita untuk tidak berpaling dari adegan. Dan melaluinya, Ivonne mengajak serta kita untuk mempertanyakan kembali esensi dari etnisitas, tentunya melalui sudut pandang dirinya sendiri sebagai jembatan, yaitu sudut pandang seorang muda dari “generasi ke sekian” yang telah hidup mewarga dan bernegara tanpa bergantung pada darah asali leluhur.
Dari segi artistik, ada satu hal dari film ini yang saya kira perlu juga kita garisbawahi, yaitu penggunaan takarir sebagai elemen utama naratif ketimbang sekadar tempelan (sebagaimana yang biasanya kita temui dalam film-film yang mengandung dialog asing, takarir berfungsi sebagai translasi yang ditempelkan). Gelagat ini, di satu sisi, menggemakan kembali gerakan konstruktivis di ranah film ala Soviet 1920-an, yang memaknai penggunaan “sulih teks” atau “telop” sebagai fitur penting dalam eksperimen bahasa sinematik. Pada sisi yang lain, gaya ini juga menyadarkan kita pada aktualitas dari fenomena kontemporer, ketika segala macam konten audio-visual di media sosial hari ini memanfatkan potensi teks sebagai perangkat naratif yang lantas menjadi konvensi di mata para netizen.
Selanjutnya, di paragraf ini, kita sampai pada pembahasan tentang dua film yang terakhir. The Unseen Words (2017, karya Wahyu Utami) bercerita tentang Distra Budaya, sebuah sanggar yang beranggotakan orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda dalam melihat (kaum difabel), tetapi mempunyai semangat berkesenian yang begitu tinggi. Sedangkan Bocah Rapa’i Plok (atau Children of Rapa’i Plok, 2017, karya Nursalliya Ansari B.) bercerita tentang antusiasme anak-anak di Pulo Tukok terhadap kesenian tradisional Rapa’i Dabus. Film yang yang saya sebut lebih dulu menerapkan dokumenter observasional, sedangkan yang setelahnya tampak masih melengkapi model ini dengan elemen wawancara.
Keduanya sama-sama berbicara tentang posisi subjek yang, dalam tataran sosio-politik, “powerless”. Akan tetapi, kedua sutradara membingkai filmnya masing-masing dengan unik untuk menunjukkan bagaimana kondisi “tidak punya kuasa” itu bukan membuat narasumber mereka menjadi tidak berdaya, tapi malahan hal itu menjadi unsur atau jalan tempuh untuk meningkatkan kebertahanan diri di tengah-tengah masyarakat. Dalam kedua film, para subjek berekspresi tentang diri mereka sendiri, bahwa mereka “tidak terbatas”.
Karena menggunakan metode observasional yang tidak tergesa-gesa untuk memfilmkan kehidupan suatu kelompok masyarakat yang spesfik, dan juga dengan penuh kehati-hatian untuk tidak melanggar kriteria moral-etika, beberapa bidikan dalam The Unseen Words mengisyaratkan potensi bahasa sinema dalam mengupayakan artikulasi yang egaliter. Secara naratif, film ini tidak menangkap raut sedih, yang ada hanyalah senyuman dan tawa; tidak pula ia merekam keluhan, yang ada hanyalah validasi optimis. Kita menyaksikan ada banyak kelucuan dalam kemasan yang tidak merendahkan, terutama pada adegan-adegan ketika anggota Distra Budaya berlatih teater di dalam studio.
Secara visual, kamera bukan mendikte subjek, tetapi mengikuti subjek; bukan “mem-framing”, tetapi “menuruti” laku dari gesture subjek. Karenanya, sebuah adegan, yaitu ketika salah seorang pegiat sanggar menulis proposal dalam posisi hampir seperti orang sujud, secara janggal muncul dalam suatu keluarbiasaan yang menggugah. Bukan kesedihan, gestur subjek dalam adegan ini adalah gestur ketangguhan.
Dalam sekuen pembuka, Bocah Rapa’i Plok memberikan semacam jukstaposisi sinematik yang mengejutkan: kekhidmatan tari Rapa’i Dabus oleh seniman tradisi disela oleh latihan tari yang sama oleh anak-anak, bahkan dengan blocking penari dan pemain musik yang juga sama. Namun seterusnya? Orang-orang tua itu tak muncul lagi. Kita justru diajak untuk menyimak ke-keukeuh-an bocah-bocah tersebut dalam upaya mereka mencari cara bagaimana bisa memainkan rapa’i dabus. Karena mereka dilarang oleh orang-orang dewasa untuk menyentuh alat rapa’i sungguhan, mereka berinisiatif membuat rapa’i versi mereka sendiri. Cerita berlanjut, semua keseruan di dalam film pun dimulai dengan kegiatan mencari kaleng cat bekas untuk digunakan sebagai gendang rapa’i.
Dalam prosesnya, Nursalliya menjejali mata penonton dengan beragam peristiwa yang membangkitkan nostalgia masa kecil. Ingatan-ingatan tentang pengalaman bermain di luar rumah—tatkala teknologi gawai pintar belum benar-benar membatasi interaksi sosial-fisik manusia—menyeruak ke dalam benak. Tapi, perlu Anda ingat: latar waktu film ini, faktanya, adalah tidak jauh dari masa kini. Tahun 2017 adalah masa ketika dunia internet sudah mendominasi keseharian orang-orang di sebagian besar lokasi di dunia.
Sebagaimana The Unseen Words, filmnya Nursalliya juga menyisipkan adegan-adegan yang memicu tawa penonton. Misalnya, kegiatan latihan bocah-bocah rapa’i—yang berlangsung di tengah-tengah jalur lintasan kendaraan bermotor—terganggu karena seorang ibu, yang tengah mengendarai motor dan ingin melewati jalan itu, mengomeli mereka. Sahut-sahutan antara Munir, si protagonis, dan si ibu merupakan bagian yang paling merenyahkan adegan ini.
***
Dalam konteks keterkaitan mereka dengan kepentingan kultural, khususnya tentang pelestarian seni tradisi, baik The Unseen Words maupun Bocah Rapa’i Plok seakan menggeser “masalah utama”, yaitu “narasi besar” yang semestinya dibicarakan, ke apa yang bisa kita sebut “lapis kedua” dalam konstruksi naratifnya.
Dalam Bocah Rapa’i Plok, upaya Nursalliya merekam praktik mimikri yang dilakukan para bocah memancing pemikiran kritis kita soal posisi sosiokultural dari fenomena kesenian tradisional yang tercantum di dalam cerita film ini. Aktivitas para bocah merepresentasikan semangat zaman, pertentangan dalam tradisi, dan harapan akan cara pandang baru. Di saat yang bersamaan, film ini menjadikannya sebagai indeks soal krisis pengetahuan dan kebijakan sosial, ekonomi, dan budaya, atau bahkan mungkin krisis dari kearifan lokal dan kebijakan adat, dalam menempatkan secara tepat fungsi manusiawi dari suatu tradisi dalam konteks hubungan-hubungan kemasyarakatan.
Sementara itu, di film The Unseen Words, alih-alih menampilkan adegan tentang pementasan Distra Budaya, Utami fokus pada proses latihan anggota sanggar. Pementasan itu, dalam film ini, hanya dihadirkan dalam adegan pascaacara, ketika semua anggota sanggar menyimak video dokumentasi dari pementasan mereka di halaman YouTube. Kamera secara intensional menyoroti dengan cukup jelas nama kanal YouTube sanggar tersebut.
“Supaya penonton tertarik untuk nonton dan subscribe video mereka di YouTube,” begitulah kira-kira jawaban Utami, setengah bercanda, ketika ditanyai oleh seorang komentator pada acara FFD 2023 kemarin mengenai montase dalam adegan itu. “Karena memang itu tujuan dibuatnya film ini.”
Bagi saya, jawaban Utami itu perlu dihayati lebih lanjut. Dimotivasi oleh aktivisme berpihak, bukan “aktivisme selebratif yang hanya gandrung dengan representasi-representasi bombastis”, keputusannya ini meninggalkan jejak estetika yang genial dari segi bahasa sinema: bagaimana film membahasakan perilaku subjek ketika melakukan otokritik atas ekspresi mereka, serta bagaimana pembahasaan tersebut memiliki hubungan diskursif yang begitu kuat dengan filosofi citrawi—layar di dalam layar, image di dalam image.
***
Terakhir, optimisme apa lagi yang bisa kita ambil sebagai hikmah dari kuratorial Valencia ini? Dengan penuh pertimbangan, saya ingin menyinggung masalah tentang keberpihakan, kesetaraan, dan keadilan gender.
Dalam aktivisme film yang berkeadilan gender, umumnya yang menjadi fokus dalam usaha-usaha para aktivis adalah membuat dan/atau menghadirkan narasi tentang perempuan (oleh perempuan, dengan sudut pandang perempuan). Tendensi ini, dalam derajat tertentu, memang mesti kita dukung. Akan tetapi, mengapresiasi praktik perfilman yang direalisasikan oleh perempuan yang menghasilkan karya yang mengangkat isu-isu di luar perempuan, akan mengantarkan kita pada bentuk lain dari kritisisme atas isu ketidakadilan gender. Pada konteks ini, yang menjadi penekanan adalah bukan “narasi perempuan”, melainkan “aksi perempuan”, dan “bagaimana perspektif perempuan menilai ragam masalah sosial”.
Terlepas dari apakah karena kuratornya perempuan, bagaimanapun soal “proporsi gender” dari daftar film pada kuratorial ini, saya kira, merupakan sesuatu yang mesti kita apresiasi. Jangan salah paham, saya sungguh menyadari bahwa argumentasi saya ini, bisa jadi, masih tidak lepas dari bias (karena saya adalah laki-laki). Tapi, paling tidak, saya merasa perlu untuk menyampaikan ketakjuban dan rasa hormat saya tentang peristiwa menonton (disertai Q&A) yang mengesankan ini.
Sulit juga mengurainya lebih jauh dalam kata-kata. Maksud saya…, begini: Anda bisa menilai sendiri pemandangan pada sesi tanya-jawab pascapenayangan film (foto di atas), di mana tiga dari lima sutradara yang filmnya dikurasi, ikut hadir dan duduk bersama kurator, menjamu para penonton. Betapa optimis dan emansipatifnya! []
Endnotes