In Artikel

Kelana, R. 2023. “Obat Penawar Pasca Perang”. Dalam A. Osman, O. Widasari, & Y. Aditya (peny.), S… Untuk Sinema. Jakarta: Forum Lenteng, hlm. 92-98.*

MENGUTIP 1984 karya George Orwell, “Tindakan perang secara hakiki ialah merusak, menghancurkan, tidak harus manusia, melainkan hasil-hasil kerja manusia.” Berdasarkan kutipan ini, kita dapat memahami bahwa perang memiliki dampak besar bagi manusia dan lingkungan hidupnya. Dampak tersebut mencakup kerugian fisik dan psikologis jangka panjang, serta terkurasnya sumber daya material dan manusia. Oleh karena itu, pemulihan tatanan sosial dan ekonomi menjadi kebutuhan mendesak bagi negara-negara yang terdampak perang. Pemulihan dilakukan untuk membangun konsolidasi antara dua kelompok atau lebih, sekaligus menciptakan optimisme dalam memandang masa depan. Proses pemulihan bertujuan membentuk tatanan sosial dan ekonomi baru yang lebih komprehensif. Pemulihan ini sering dimulai dari kota-kota kecil dan pendekatannya bisa berbeda di setiap negara terdampak perang. Beberapa metode yang biasa diterapkan ialah merefleksikan sejarah, mengidentifikasi permasalahan di masa kini, dan menentukan keputusan untuk masa depan negara tersebut. Wacana pemulihan ini sering kali divisualisasikan juga melalui media film.

Film, yang telah menjadi bagian dari perkembangan seni, turut berperan sebagai medium yang menyoroti proses pemulihan pascaperang. Kompleksitas dalam film memungkinkan penggambaran yang mendalam tentang refleksi dan upaya pemulihan. Di ulasan ini, tiga film akan kita jadikan bahan pembacaan mengenai proses pemulihan tersebut. Yang pertama, The Trial (1948, Austria) karya G.W. Pabst, yang mencoba memetakan akar masalah dengan melihat kembali asal-usulnya, yaitu meninjau bagaimana konflik bermula. Setelah memahami akar masalah, muncul kebutuhan untuk mengubah konstruksi sistem yang telah mapan demi terciptanya tatanan sosial dan ekonomi yang lebih ideal. Pandangan semacam ini, sebagaimana dapat dilihat, ditawarkan oleh Frank Capra melalui It’s A Wonderful Life (1946, AS), meskipun implementasi ide tersebut tidak selalu dapat direalisasikan di setiap negara. Krisis pascaperang yang melanda negara-negara sering kali mendorong pertanyaan tentang bentuk perubahan yang diperlukan. Dalam film yang ketiga, Spring in a Small Town (1948, Cina), Fei Mu menggambarkan dinamika sosial masyarakat yang mencerminkan upaya memilih jalan bagi masa depan negara yang baru saja keluar dari perang.

Tangkapan layar dari film The Trial (1948) karya G. W. Pabst.

Pasca-Perang Dunia II, masyarakat menghadapi tantangan dalam merancang tatanan sosial dan ekonomi baru. Eropa, yang mengalami dampak perang secara langsung, mencoba menelusuri kembali penyebab terjadinya korban besar-besaran, khususnya pada kelompok Yahudi dalam peristiwa Holocaust. Dalam upaya memaparkan wacana pemulihan, refleksi terhadap masa lalu menjadi langkah penting untuk memahami mengapa tragedi tersebut bisa terjadi. Langkah ini memberikan pandangan yang lebih jernih dan menyeluruh mengenai permasalahan yang menimpa kelompok masyarakat tertentu. Dalam film The Trial, Pabst menggambarkan peristiwa yang menimpa komunitas Yahudi di masa lalu, terutama diskriminasi yang berujung pada persekusi. Diskriminasi ini digambarkan melalui prasangka rasial terhadap kelompok Yahudi, yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan seorang gadis miskin dari kelompok mayoritas.

Hal ini bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh perbedaan ras, tetapi juga oleh faktor lain, seperti kesenjangan sosial-ekonomi dan kepentingan institusi. Pabst mencoba memetakan faktor-faktor ini satu per satu, dimulai dengan menganalisis bagaimana sistem ekonomi bekerja. Sistem ekonomi yang didominasi oleh kelompok Yahudi, yang memiliki peranan lebih besar dibandingkan kelompok lainnya, menimbulkan kecemburuan sosial. Terlebih lagi, jika kelompok yang memegang peranan lebih besar tersebut adalah minoritas, hal ini semakin mendorong terjadinya persekusi. Pabst menampilkan bagaimana kesenjangan ekonomi berkontribusi pada kerusakan tatanan sosial masyarakat dalam filmnya.

Posisi institusi juga dipertanyakan oleh Pabst: bagaimana institusi menangani permasalahan yang terjadi? Keberpihakan institusi seharusnya tidak ada ketika menangani konflik dalam masyarakat. Sebaliknya, institusi harus bertindak adil dan menyelesaikan persoalan secara objektif. Namun, faktor ekonomi sering kali menjadi alasan keberpihakan kepada kelompok tertentu yang berseteru. Dalam film ini, institusi pengadilan lokal digambarkan memihak kelompok mayoritas karena adanya kepentingan yang sama. Ketidakmampuan institusi lokal menyelesaikan masalah dengan baik membuat penyelesaian harus diambil alih oleh pihak luar. Pabst merepresentasikan hal tersebut melalui tokoh Dr. Eotvos dari Budapest, seorang pengacara yang membela kelompok Yahudi yang mengalami persekusi. Ia menyelesaikan konflik di kota pinggiran Tiszaeszlar dengan menegakkan keadilan berdasarkan investigasi yang rasional. Narasi ini menunjukkan bahwa terkadang diperlukan perspektif orang luar untuk melihat, menyadari, dan menyelesaikan permasalahan dalam suatu komunitas. Hal ini mungkin juga menjadi alasan mengapa selama Perang Dunia II negara-negara luar Eropa, termasuk Amerika, turut berperan menyelesaikan perang tersebut.

Amerika selama Perang Dunia II tidak mengalami kerugian fisik yang signifikan karena perang tidak terjadi di wilayahnya. Oleh sebab itu, memulihkan tatanan sosial dan ekonomi tidak menjadi tantangan besar bagi mereka. Sementara itu, salah satu gagasan yang diusung dalam wacana pemulihan adalah menciptakan sistem ekonomi alternatif. Sistem ini dimaksudkan untuk menandingi sistem kapitalisme yang hampir mendominasi segalanya. Dalam sistem kapitalisme, persaingan antarindividu dan kelompok untuk melipatgandakan modal sering kali menghasilkan ketimpangan ekonomi yang menciptakan kesenjangan sosial. Refleksi tentang sistem ekonomi alternatif ini diangkat oleh Frank Capra dalam film It’s A Wonderful Life.

Trailer film "It's A Wonderful Life" (1946) karya Frank Capra.

It’s A Wonderful Life mengisahkan George Bailey, seorang pria di kota kecil Bedford Falls yang melanjutkan usaha koperasi keluarganya. Dalam menjalankan bisnis koperasi tersebut, George menghadapi berbagai tantangan, seperti manipulasi sistem perbankan, kehilangan uang karena kelalaian pamannya, serta pemindahan sumber daya untuk mendukung Perang Dunia II. Meski demikian, George tetap berusaha membantu masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki rumah sendiri. Sistem ekonomi alternatif ini juga merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem yang mapan. Namun, melawan sistem besar dan mapan tidaklah mudah; dibutuhkan kerja sama kolektif untuk mencapainya.

Ketika George berada di ambang keputusasaan dan hampir bunuh diri, ia diselamatkan oleh seorang malaikat. Malaikat dalam film ini berfungsi sebagai pembawa jalan cerita; ia ditugaskan oleh Tuhan untuk membantu George keluar dari masalahnya. Sebagai ganjaran, malaikat akan menerima sayap jika berhasil menyelamatkan George. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara Tuhan dan malaikat pun digambarkan bersifat transaksional. Malaikat tersebut membawa George melihat bagaimana hidup orang-orang di kotanya jika ia tidak pernah dilahirkan. George akhirnya menyadari bahwa perbuatan baiknya selama ini memiliki dampak besar pada masyarakat sekitarnya. Adegan ini, agaknya, merupakan kritik terhadap individualisme Amerika, karena menawarkan gagasan kolektivisme melalui sistem koperasi. Akan tetapi, kehadiran malaikat sebagai figur imaterial dan sistem kolektif yang bertolak belakang dengan budaya kapitalis Amerika menunjukkan bahwa tawaran ini bersifat utopis. Bagaimanapun, film ini adalah salah satu contoh yang mencoba menggambarkan gagasan pemulihan pascaperang di Amerika, meskipun setiap negara memiliki pendekatan berbeda dalam memaknainya.

Sementara itu di Tiongkok, Fei Mu dalam Spring in A Small Town juga memberikan gambaran tentang dampak perang terhadap kehidupan sosial masyarakat. Fei Mu dengan apik menampilkan kerusakan lingkungan dan tatanan sosial, serta kondisi psikologis masyarakat pascaperang. Motif visual berupa reruntuhan tembok dalam film tersebut menjadi simbol penting, tidak hanya menggambarkan kehancuran fisik akibat perang, tetapi juga mencerminkan rusaknya tatanan sosial dan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Film "Spring in a Small Town" (1948) karya Fei Mu.

Film ini berfokus pada kehidupan Yuwen dan keluarganya di kota kecil Jiangnan setelah Perang Tiongkok-Jepang, di tengah Perang Saudara di Tiongkok. Hubungan Yuwen dengan suaminya, Liyan, digambarkan tidak harmonis. Liyan, yang berasal dari keluarga bangsawan, terpuruk dalam kondisi kesehatan yang buruk dan terus mengenang masa kejayaannya di tengah kehancuran keluarganya. Dalam situasi tatanan sosial dan ekonomi yang hancur, nostalgia terhadap masa lalu yang lebih baik menjadi pelarian yang sering dilakukan.

Tokoh Liyan mungkin merepresentasikan tradisi yang sudah tidak berfungsi dan mengalami degradasi. Selain menggambarkan tradisi yang mandek, film ini juga memperlihatkan upaya untuk bangkit dari kondisi tersebut, yang direpresentasikan oleh usaha Liyan untuk sembuh dari penyakitnya. Tradisi yang stagnan ini kemudian dihadapkan pada modernitas, yang diwakili oleh kehadiran Zhang Zichen, mantan kekasih Yuwen, yang kembali ke kampung halamannya saat musim semi. Zhang adalah seorang dokter yang datang dari Kota Shanghai, sebelumnya berasal dari keluarga sederhana. Di lingkungan keluarga kecil di Kota Jiangnan, ia tidak memiliki peran atau pengaruh yang signifikan. Namun, sebagai dokter, ia mendapatkan posisi penting dalam masyarakat. Modernitas dalam bentuk pengetahuan dan profesi dokter membuka peluang untuk perubahan strata sosial.

Pertarungan simbolis antara tradisi yang “sakit” dan modernitas ini memantik refleksi tentang pilihan cara memandang masa depan yang lebih baik. Gejolak hubungan antara Yuwen, Liyan, dan Zhang menggambarkan dilema dalam menentukan strategi pemulihan. Yuwen, yang dapat dilihat sebagai representasi dari Tiongkok, dihadapkan pada dua pilihan: bertahan dengan tradisi yang berusaha bangkit atau menerima modernitas sebagai solusi dari kehancuran sosial pascaperang.

Sinema, sebagai alat untuk memvisualisasikan sudut pandang terhadap realitas, menawarkan beragam perspektif dalam wacana pemulihan. Manifestasi dari kerangka berpikir ini tercermin dalam berbagai cara pandang terhadap persoalan yang dihadapi. Pemulihan pascaperang dapat dimulai dengan memperbaiki tatanan sosial-ekonomi masyarakat, baik melalui sistem hukum, ekonomi alternatif, maupun kehidupan rumah tangga di kota-kota kecil. Ketiga film yang telah kita bahas memperlihatkan sudut pandang unik masing-masing sutradara dalam menawarkan gagasan pemulihan. Film-film ini juga mempertimbangkan faktor-faktor spesifik yang memengaruhi masalah di setiap negara, yang pada akhirnya menentukan pendekatan yang dibutuhkan dalam proses pemulihan. []

* Redaksi Jurnal Footage menyunting ulang kalimat-kalimat tulisan asli menjadi lebih efektif, serta menyesuaikan beberapa bagian lainnya berdasarkan ketentuan redaksional jurnal ini. Pemuatan tulisan ini di Jurnal Footage adalah dalam rangka distribusi pengetahuan secara terbuka.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search