BUS YANG DITUMPANGI oleh para pelaku seni dari berbagai penjuru dunia tiba di lobi wisma Arga Mulya di Puncak pada Selasa siang, 3 Oktober 2023. Kedatangan mereka menandakan bahwa acara Think Well Empat, sebuah simposium internasional yang tahun ini terselenggara dalam kerjasama antara Forum Lenteng (Jakarta) dan SAVVY Contemporary (Berlin), akan dimulai. Setelah masuk ke kamar masing-masing dan bercengkerama sambil menikmati hidangan cemilan yang disediakan panitia, semua peserta simposium untuk duduk di sebuah ruang terbuka yang beratap kain tebal—disebut “Umbrella” dan menjadi salah satu spot utama dalam rangkaian acara simposium ini—untuk memulai rangkaian acara Think Well Empat.
Acara perkenalan di kelompok besar yang berisi banyak orang yang tidak dikenal akan membuat seseorang berdoa kepada siapa pun di atas sana untuk selesai secepat mungkin karena selain kaku dan membosankan, perkenalan pertama juga banyak membuat momen canggung yang menyiksa batin mereka yang ada di tempat. Akan tetapi, acara perkenalan para peserta Think Well justru berbanding terbalik. Konsep offering—sebuah persembahan yang diberikan secara sukarela oleh peserta yang ingin memberikan—membuat acara perkenalan hari itu justru penuh momen-momen yang menarik dan menunjukkan identitas khas negara dari masing-masing peserta, sebuah hal yang perlahan tapi pasti terkikis oleh globalisme. Ada offering berupa permainan tradisional dari Sudan yang dipersembahkan oleh Hajooj Kuka, ada juga makanan tradisional dan kayu suci dari Kolombia yang dipersembahkan oleh Valentina Medina dan Juan Pablo Garcia Sossa; itu adalah dua di antara sekian banyak offering yang saya ingat. Persembahan-persembahan itu membuat acara perkenalan Think Well Empat jauh dari kata canggung dan membosankan. Kerenyahan konsep acara perkenalan ini berhasil memantik rasa persaudaraan atau sedulur yang Think Well Empat coba untuk perkenalkan. Hari pertama belum usai, tetapi persaudaraan kami semua mulai terjalin.
Setelah rehat dan berbincang santai, acara dilanjutkan di dalam auditorium. Setiap sebelum permainan yang melibatkan peserta dimulai, kami semua disajikan sebuah presentasi dari peserta yang disebut sebagai Stimulasi. Stimulai pertama yang kami dapatkan siang itu diisi oleh Afrian Purnama. Ia menempatkan signifikansi historis acara seperti Think Well dan membandingkannya dengan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, tidak terlalu jauh dari lokasi Think Well Empat diadakan. Layaknya Konferensi Asia-Afrika yang bertujuan untuk membangun solidaritas negara-negara Global Selatan di tengah kecamuk Perang Dingin yang membuat negara-negara tersebut digunakan sebagai pion dalam permainan kekuasaan geopolitik negara adidaya, Think Well Empat juga merupakan sebuah perhelatan untuk membangun persaudaraan para pelaku seni Global Selatan dan Utara untuk mencari sebuah alternatif terhadap sirkulasi dan distribusi sinema yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar Barat. Toh, kiblat ke para pemberontak Eropa seperti Godard saja tidak cukup, kan? Kita masih membutuhkan alternatif untuk kawasan di luar Barat.
Acara dilanjutkan dengan permainan yang dibuka oleh game master Pekko Koskinen. Permainan yang ia ampu terbilang simpel karena para peserta hanya cukup menempelkan pikiran mereka yang bisa berbentuk tulisan di kertas atau[un guntingan koran ke dinding kayu di atas panggung. Akan tetapi, permainan yang simpel ini justru memantik sebuah antusiasme yang tinggi dari para peserta. Selama kurang-lebih dua jam, para peserta tidak berhenti untuk memotong, menulis, menempel, dan berdiskusi. Dinding kayu yang tadinya polos, lambat laun, dipenuhi oleh tempelan-tempelam yang berisi tulisan, gambar, dan potongan kertas sehingga membuat sebuah kolase indah tentang uneg-uneg, kegelisahan, harapan, hingga polemik terhadap arah sinema Global Selatan ke depan.
Tembok itu kemudian menjadi basis permainan kami selama acara berlangsung. Pada tembok itu, sebuah pola pun terlihat, dan kelompok-kelompok isu terbentuk. Para peserta kemudian menempelkan nama mereka pada zona isu yang menarik perhatian mereka. Dengan cara ini, secara organik terbentuklah kelompok-kelompok diskusi yang di dalamnya orang-orang yang mempunyai ketertarikan isu yang sama akan bertemu satu sama lain untuk berbincang lebih jauh di dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Namun, kelompok yang terbentuk ini tidaklah menjadi pembatas interaksi dengan kelompok lain. Setiap peserta simposium yang telah terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok itu tetap bebas untuk berpindah kelompok atau mengikuti diskusi kelompok lainnya. Tidak ada batasan-batasan yang menghimpit ruang gerak peserta untuk berinteraksi dengan setiap orang, baik saat permainan terjadi maupun saat waktu rehat. Secara umum, terdapat empat kelompok diskusi di dalam simposium ini yang masing-masing menggunakan nama-nama menarik, yaitu Kino-Ship, Dialect of Oblivion, Scandal Bag, dan Subverting.
Di tulisan ini, terdapat kata rehat yang nantinya akan diulangi berkali-kali, dan pengulangan ini bukan tanpa maksud. Menurut pengalaman saya, waktu rehat dan berbincang santai adalah “sesi” Think Well Empat yang paling bersinar. Soalnya, selain konsep sedulur, Think Well Empat juga berusaha mengenalkan konsep nongkrong, sebuah konsep yang tidak asing bagi kita atau mereka-mereka yang hidup di negara-negara Selatan, tetapi sangat jarang diketengehkan sebagai sebuah gagasan di dalam simposium pada umumnya. Tentu pada saat permainan dimulai, diskusi antarkelompok tetap berjalan dengan santai dan hampir mirip seperti nongkrong. Akan tetapi, hampir tetaplah hampir, dan nyatanya pada diskusi santai di waktu sesi rehat itulah yang mewujudkan esensi nongkrong yang sesungguhnya bagi penulis, sebuah dialog njelimet dan tidak punya arah namun tetap akan menghasilkan sesuatu.
Selama empat hari tiga malam inilah, kegiatan yang kami semua lakukan di pagi dan siang hari, kami mendengar Stimulasi dan bermain permainan yang berbasis pada apa yang sudah ditempel di tembok, sedangkan pada malamnya kami bercengkrama dan berpesta. Tidak usah menunggu hari terakhir. Di hari kedua, rasa sedulur para peserta dan panitia sudah terjalin kuat melalui diskusi saat permainan atau nongkrong saat rehat.
Jika Think Well Empat hanya ingin membangun persaudaraan antarnegara maka dia sudah berhasil menjalankan misinya. Namun, Think Well Empat adalah acara yang mempunyai visi yang lebih dari itu. Kita berkumpul bukan hanya untuk saling berkenalan dan mengakrabkan diri, tetapi juga untuk mencari sebuah solusi terhadap permasalahan sirkulasi dan distribusi sinema Global Selatan. Tanpa hasil nyata, solusi hanyalah sebuah perkataan kosong belaka dari para idealis yang tercerai dari realita.
Di hari ketiga, hasil diskusi kelompok-kelompok yang terbentuk disusun menjadi zine yang diisi dengan sketsa, tulisan, hingga sebuah manifesto. Waktu menyusun zine tidaklah sebentar. Para panitia menyusun zine hingga waktu subuh, namun panitia tidak sendirian karena semalam suntuk sebagian dari peserta terus nongkrong membicarakan banyak hal, mulai dari acara Think Well Empat. itu sendiri, permasalahan sinema di negara masing-masing, hingga konteks historis dan kultural film horror dan komedi, sambil menikmati makanan ringan dan minuman yang disediakan panitia dan yang mereka bawa sendiri.
Orang-orang Jawa sering mengatakan bahwa salah satu yang membuat budaya Jawa menjadi kaya adalah keterbukaan orang Jawa untuk menerima siapa pun yang tidak menindas, bahwa setiap orang terlepas dari mana mereka berasal bisa menjadi sedulur. Di malam saat menyusun zine inilah, perbedaan negara, ras, dan budaya mencair dan mengemulsi menjadi sebuah senyawa persaudaraan untuk mencari arah ke mana sinema Global Selatan di masa depan. []