Pada 24 Agustus 1956 sutradara filem terbesar Jepang meninggal di Kyoto. Atau tepatnya, salah satu sutradara terbesar yang pernah ada, sebagaimana terbukti oleh retrospeksi yang digelar oleh Cinématheque Française untuk mengenang karya-karyanya. Kenji Mizoguchi setara Murnau, setara Rossellini. Oeuvre-nya melimpah ruah. Dua ratus filem, konon kabarnya. Tak syak lagi ada banyak dongeng dalam hal ini, dan orang boleh yakin bahwa abad-abad mendatang hanya akan menghadirkan segelintir Mizoguchi Monogatari. Namun tak disangsikan lagi bahwa Kenji itu luar biasa, karena ia bisa menyutradarai filem dalam tiga bulan yang perlu dua tahun buat seorang Bresson untuk membuatnya. Dan Mizoguchi membawanya ke kesempurnaan.
Lebih jauh dari Barat
Sejak filem-filem Jepang bermunculan di layar kita pasca Perang Dunia II, sebuah perdebatan estetik telah mengkubukan penggemar Kurosawa (Rashomon, Seven Samurai, The Idiot) berhadapan dengan penggemar Mizoguchi. Perdebatan jadi makin sengit oleh fakta bahwa kedua sutradara ini kerapkali merebut penghargaan di festival-festival. Kita harus berterima kasih pada Jean-José Richer yang dengan otoritatif telah membabat debat tersebut: “Kehormatan ganda yang dianugerahkan dalam kesetaraan ketat (kepada Seven Samurai sekaligus Sansho Dayu di Venice 1954) tidak dapat dibenarkan. Bukan karena dua Piala Golden Lion itu mengada-ada, namun karena kerancuan nilai-nilai yang ditimbulkannya. Tak diragukan lagi bahwa perbandingan apapun antara Mizoguchi dan Kurosawa secara tak terbantahkan akan lebih menjulangkan yang disebut pertama tadi. Sendirian di tengah sutradara-sutradara Jepang yang kita kenal, Mizoguchi telah melampaui taraf eksotisisme murahan yang merayu-rayu menuju tahap lebih dalam di mana orang tak perlu lagi khawatir dengan prestise palsu” (Cahiers du Cinema 40).
The Life of O’Haru (1)
http://www.youtube.com/watch?v=lxeY5bYeNQU
The Life of O’Haru (2)
http://www.youtube.com/watch?v=XUTKKwTG-bM
The Life of O’Haru (3)
http://www.youtube.com/watch?v=F9eqNgqzTuw
The Life of O’Haru (4)
http://www.youtube.com/watch?v=Dhr77IAJZWU
The Life of O’Haru (5)
http://www.youtube.com/watch?v=1SWeZ49YAQ4
The Life of O’Haru (6)
http://www.youtube.com/watch?v=3-xyRzoKTZ4
The Life of O’Haru (7)
http://www.youtube.com/watch?v=3-IX2vSfyA9YM
The Life of O’Haru (8)
http://www.youtube.com/watch?v=XBlbnKFwQXE
The Life of O’Haru (9)
http://www.youtube.com/watch?v=eTnUBDmt3ps
Keberanian dan metafisika
Bila puisi terwujud pada setiap detik, setiap besutannya difilemkan oleh Mizoguchi, karena, seperti Murnau, itulah refleksi instingtif kemuliaan kreatif seorang sutradara filem. Laiknya sang sutradara Sunrise, sutradara Ugetsu Monogatari ini bisa menggambarkan sebuah petualangan yang pada saat yang sama merupakan sebuah kosmogoni.
Tokoh-tokoh perempuannya semua sama, yang anehnya menyerupai Tess of the d’Urbervilles karya Hardy. Petualangan-petualangan yang paling mencekam menimpa mereka, satu bersusul yang lain. Dan bila Mizoguchi dengan kentara menampakkan kesukaan akan rumah bordil, ia menolak —tak seperti Kurosawa, yang tak lebih dari seorang Ralph Habib namun lebih elegan— untuk terperangkap dalam kemilau palsu keindahan kartu pos. Manakala ia mencipta ulang Jepang kuno, ia melampaui kertas kerlap-kerlip murahan dan anekdot untuk memberi kita kebenaran tanpa polesan dengan kepiawaian yang hanya bisa disamai oleh Francesco, Guillare di Dio. Belum pernah kita melihat, dan melihatnya dengan mata kepala sendiri, Abad Pertengahan tampil dalam suasana yang sedemikian intens.
Teknik kesederhanaan yang revolusioner
Efektivitas dan kejernihan adalah ciri-ciri sutradara filem besar. Dan Kenji Mizoguchi tak terlepas dari kaidah ini. Seperti ditunjukkan oleh Philippe Demonsablon dalam artikel jitu mengenai The Life of O‘Haru, karya Mizoguchi harus berpantang dari godaan apapun yang tak relevan dengan objeknya, membiarkan hal ihwal menyajikan diri mereka sendiri tanpa campur tangan pikiran kecuali untuk menghapuskan jejak-jejaknya, dan dengan demikian melipatgandakan ribuan kali keampuhan objek-objeknya yang dihadirkannya di bawah decak kagum kita. Karenanya, ini seni realis, dan mise en scène-nya juga akan realis.
Kesederhanaan ini bukannya tanpa paradoks, karena ia mesti mencapai keiritannya itu melalui akumulasi materi. Komposisinya dituntun pada mulanya oleh hukum gerak. Tapi tak ada riasan-riasan baroque, tanpa tujuan apapun selain membiarkan substansi itu sendiri mencapai kita. Tak ada gambar yang komikal, tragik, ajaib, erotik dalam dirinya sendiri, namun kesemuanya hadir pada saat yang bersamaan. Seni Mizoguchi paling pelik justru karena paling sederhana. Efek kamera dan tracking shot (pengambilan gambar bergerak dengan dolly) jarang dipakai, namun ketika sekonyong-konyong dimunculkan dalam adegan, dampaknya sungguh suatu keindahan yang memukau. Tiap-tiap crane shot (di sini Preminger dengan entengnya terlampaui) sebersih dan sejernih goresan Hokusai.
Ugetsu Monogatari (1)
http://www.youtube.com/watch?v=9eBccxMsgYc
Ugetsu Monogatari (2)
http://www.youtube.com/watch?v=oZvjL2sq_fo
Ugetsu Monogatari (3)
http://www.youtube.com/watch?v=a_3tO5CdbkY
Ugetsu Monogatari (4)
http://www.youtube.com/watch?v=w2whxMsqdnA
Ugetsu Monogatari (5)
http://www.youtube.com/watch?v=FYMp85GDcao
Ugetsu Monogatari (6)
http://www.youtube.com/watch?v=3IEIR6pUnpQ
Ugetsu Monogatari (7)
http://www.youtube.com/watch?v=KchTwnuhroo
Filem paling menakjubkan
Dikagumi pada Festival Film Venice, Ugetsu Monogatari adalah mahakarya Kenji Mizoguchi, dan menempatkannya sejajar dengan Griffith, Eisenstein dan Renoir.
Kejadiannya berlangsung pada akhir abad ke-16, semasa perang saudara. Berkisah tentang Genjuro, seorang pengrajin tembikar yang terpesona dan terayu oleh si cantik Machiko,[1] serta tentang saudara iparnya, seorang kasar pengidam kejayaan militer. Sesudah banyak mengalami kekecewaan di kota, keduanya pulang untuk menghabiskan sisa umur mereka di ladang.
Segala yang membuat Chikamatsu Monogatari terasa megah dan bertenaga, Sketch of Madame Yuki terasa dingin dan keji, Street of Shame terasa riang dan mesum, dan Naniwa Elegy terasa lembut, dipadukan di sini dan efeknya ribuan kali lipat. Inilah Don Quixote, Odyssey, dan Jude the Obscure digabung jadi satu. Filem satu setengah jam yang sepertinya berlangsung selamanya. Subtilitas mise en scène di sini dibawa ke tarafnya yang tertinggi.
Mizoguchi barangkali satu-satunya sutradara di dunia yang berani secara sistematis memakai pengambilan gambar 180 derajat dan reaction shot. Tapi sesuatu yang perlu diperjuangkan mati-matian oleh sutradara lain untuk mencapai efeknya, bagi Mizoguchi semata-mata gerak alamiah yang timbul dari nilai penting yang ia bubuhkan pada dekorasi serta posisi aktor-aktor yang bertempat di dalamnya.
Izinkan saya mengutip dua contoh trik-trik teknis yang merupakan puncak karya seninya. Genjuro sedang mandi dengan perayu mematikan yang memerangkapnya dalam jaringnya; kamera meninggalkan kolam batu tempat mereka berasyik-masyuk, menyorot sepanjang arus air yang menghilang ke ladang-ladang sebagai anak sungai; di titik ini dilakukan pembauran (dissolve) cepat ke aliran air, arus-arus lainnya tampak mengambil alih arus sebelumnya, kamera terus berjalan lembut, naik, dan menemukan padang luas, lantas taman tempat kita mendapati kedua sejoli itu lagi, sekian bulan kemudian, bersantai dalam piknik. Hanya maestro-maestro sinema yang bisa memanfaatkan sebuah dissolve untuk menciptakan perasaan penuh nikmat dan sesal yang sangat Proustian ini.
Contoh lainnya. Sesudah membunuh si perayu, Genjuro pulang. Ia tidak tahu bahwa istrinya terkasih, O-Hama,[2] sudah mati. Ia masuk, mencari ke semua ruangan, kamera menyorotnya. Ia pindah dari satu ruang ke ruang lainnya, terus dibuntuti oleh kamera. Ia keluar, kamera meninggalkannya untuk kembali ke kamar menyorot O-Hama, utuh, persis pada saat ketika Genjuro masuk lagi dan melihatnya, merasa (sebagaimana kita) bahwa ia kurang cermat mencari dan bahwa istrinya yang lembut sesungguhnya masih hidup.
Karya seni Kenji Mizoguchi bermaksud membuktikan bahwa kehidupan nyata pada saat yang sama ada di antah berantah sekaligus tepat di sini, dalam keindahannya yang ganjil dan memukau.
[1]Maksud Godard: Machiko Kyo, pemeran Putri Wakasa di filem ini.
[2] Maksud Godard sebenarnya Miyagi. O-Hama adalah istri saudara iparnya, yang masih hidup hingga akhir filem.
[/tab_item] [/tab]