Menurut Teshome Gabriel periode pertama sinema dunia ketiga adalah filem Hollywood. Kedua, dengan “Mimikri” filem Hollywood, yakni mengidentifikasikan filem-filem dengan filem Holywood. Mimikri bisa kita lihat pada awal produksi sinema di Hindia Belanda seperti; Si Tjonat (1929), Rampok Preanger (1929), Si Pitoeng (1931). Hal ini masih berlaku hingga saat ini. Lalu, apa sebutan untuk produksi filem yang berperilaku mimikri terhadap filem nasional? Fenomena ini yang muncul pada perhelatan Festival Film Purbalingga IV, pada 26-30 Mei 2010 lalu di Purbalingga. Programer festival, Dimas Jayasrana dalam pengantarnya menyatakan bahwa televisi tampaknya masih (harus) menjadi musuh bersama (dan utama). Dari sekian karya fiksi dan dokumenter yang masuk, terlihat bagaimana logika tayangan televisi mendominasi cara berpikir para pembuatnya. Berpikir yang fatalistik, instan, serta penyederhanaan persoalan tanpa runut logika yang matang. Artinya, ungkapan oleh programer festival tersebut menandakan ada semacam perilaku “mimikri” terhadap televisi.
Festival Film Purbalingga IV merupakan festival filem yang menampilkan karya-karya produksi filem di daerah Purbalingga, dan Banyumas Raya (Cilacap, Bobotsari, Purwokerto). Festival tahunan ini memang diorentasikan bagi kalangan anak SMA, yang merupakan basis konsituen pembuat filem yang di wilayah Purbalingga dan Banyumas Raya. Pada perhelatan ke 4 ini menghasilkan 19 filem pendek fiksi, 12 filem pendek dokumenter.
Pada Festival Film Purbalingga IV kali ini, ditampilkan sesi khusus Festival Video Manten. Para peserta yang berasal dari studio-studio jasa dokumentasi pengantin yang ada di Purbalingga. Menurut Dimas, sesi khusus ini adalah usaha dan strategi penyelenggara untuk melibatkan masyarakat Purbalingga dan Banyumas Raya untuk berpartisipasi. Sesi khusus ini yang nantinya menjadi pra-kondisi dan mendorong masyarakat Purbalingga untuk membuat filem.
“Video Mantenan” merupakan perilaku terhadap “sadar media” yang cukup dominan di masyarakat. Walau sebagian besar masih merupakan dokumentasi dari prosesi acara pernikahan, namun tetap ada yang menarik dalam mengemasnya. Video mantenan yang cukup menarik adalah Perjalanan Cinta Anggi dan Deni karya Nanki Nirmanto. Video ini memaknai dokumentasi pernikahan sebagai ungkapan sang pengantin dalam proses terjalinnya hubungan ke pelaminan.
Menurut direktur festival, Bowo Leksono, secara kualitas Festival Film Purbalingga mengalami peningkatan secara kuantitas, namun mengalami penurunan kualitas dibanding festival sebelumnya. Hal senada juga diungkapkan Dimas. Menurut kedua petinggi festival ini, masih dominannya pengaruh televisi dan sinetron yang mempengaruhi logika bercerita para pembuat filem menyebabkan kualitas filem pada festival menurun. Televisi dan sinetron lagi-lagi menjadi halangan yang masih dipersoalkan di kalangan para pembuat filem. Dari pikiran ini, perlukah kita menyalahkan televisi?
Festival Film Purbalingga IV ini menghasilkan Film Fiksi Terbaik dan Film Fiksi Pilihan Penonton berjudul Endhog karya Padmashita Kalpika dari SMA N 2 Purbalingga. Filem Endhog yang diproduksi oleh Brankas Production adalah sebuah fiksi komedi mengisahkan dua orang murid yang sedang melakukan penelitian tugas pelajaran sekolahnya. Untuk Film Fiksi Pilihan Juri terpilihan filem dengan judul Ling-Lung karya Amrizal Faturrohman SMAN 1 Bobotsari, Purbalingga. Sama dengan Endhog, filem Ling-Lung juga sebuah fiksi komedi. Filem produksi Bozz Community ini berkisah tentang seorang anak SMA yang selalu mengalami kebingungan (ling-lung) dalam menghadapi situasi sehari-hari.
Pada sesi Film Dokumenter memang masih jauh dari harapan. Secara tema dan pilihan persoalan masih berangkat dari isu-isu besar. Sehingga karya-karya yang hadir tidak lebih berupa pantulan dari acara dokumenter di televisi. Hal ini dapat dilihat pada pilihan narasi dan cara bertuturnya. Kondisi ini mungkin berasal dari pengetahuan tentang dokumenter di kalangan masyarakat. Tayangan dokumenter hanya bersumber dari dari tayangan dokumenter di televisi yang semua cara pendekatan bahasa dan tema semuanya sama. Setidaknya, dari festival ini dapat didorong bagi peminat dokumenter dari kalangan remaja untuk lebih melihat esensi filem dokumenter. Dokumenter bukanlah hanya sebagai gambaran “kesusahan hidup”, namun menangkap realitas dengan bahasa filem.
“Mimikri atas mimikri”. Mungkin itu yang terbesit ketika melihat karya-karya Festival Film Purbalingga IV kali ini. Tidak usah jauh-jauh cara melihatnya. Hampir semua awal dan akhir adegan filem fiksi misalnya, menyebutkan kata sutradara (sebagai istilah bagi sang pembuat filem), kemudian pada akhir filem menyebutkan tim produksi mulai dari DOP (director of Photography), asisten sutradara, lighting, make-up sampai dengan klaper, adalah sebuah imaji tentang pembuatan filem yang benar-benar mengacu pada filem-filem bioskop nasional yang notabene adalah turunan dari ala Hollywood. Sterotipe ini “mengandaikan” segala bidang produksi dalam industri filem tentu akan membatasi kemungkinan-kemungkinan sebuah estetika filem muncul di kalangan remaja. Ini sangat kontraproduktif, jika persepsi filem melulu mengandaikan tradisi filem industri (Hollywood). Kita tahu tentang daya modal, perangkat teknis, yang dimiliki para pembuat filem di kalangan SMA, apalagi di daerah.
Dari gambaran di atas, sebuah festival perlu menggali esensi filem dari berbagai tradisi di banyak negara pada awal sejarah filem dibuat yang tidak selalu mengandaikan persepsi pembuatan dan esensi filem tidak sama dengan Hollywood. Apalagi dalam kapasitas kalangan SMA di daerah, bahkan perlu juga menciptakan tradisi esensi filemnya sendiri.
Yang bisa dicatat dalam Festival Film Purbalingga IV kali ini, adalah persolan identitas dan realisme narasi. Sebagian besar dari karya peserta menggunakan bahasa daerah Banyumasan. Semangat ini jika tidak berlebihan adalah penanda identitas dari filem daerah yang bisa diidentifikasi pada festival tersebut. Bahasa melahirkan kesadaran. Kelahiran filem bersuara pada zaman Hindia Belanda, melahirkan semangat perkembangan produksi filem yang berorientasi pada para penonton pribumi dengan penggunaan bahasa Melayu dan para aktornya. Konteks bahasa inilah yang kemudian menjadi salah satu memunculkan kelahiran filem Indonesia. Penggunaan bahasa Banyumasan menjadi relevan sebagai identitas Festival Film Purbalingga. Festival ini bisa menjadi salah satu festival penting dalam melihat “filem” sebagai bahasa dan rekaman kebudayaan masyarakat Banyumas Raya.
Realisme narasi pada Festival Film Purbalingga, banyak mengambil setting ruang di wilayah keseharian. Hal ini dapat dilihat dari gambaran suasana perumahan (dalam filem) kalangan masyarakat Purbalingga dan Banyumas Raya yang secara umum adalah kalangan masyarakat menengah bawah. Tentu ini menjadikan filem tidak lagi sebagai sebuah ekspresi idealisasi. Apalagi kontruksi realitas yang diciptakan televisi yang banyak memainkan kontruksi ruang kalangan menengah atas. Pada festival ini, filem-filem yang muncul tidak melulu mengandaikan kecantikan dan keindahan dari para pemain. Para aktor berasal dari kalangan sepergaulan mereka sendiri. Mereka dihadirkan tanpa mengandaikan aktor sebagai daya tarik secara fisik dalam filem. Sikap ini tentu cukup bisa disimpatikan sebagai penanda yang bisa melepaskan diri dari kontruksi tubuh atau aktor yang banyak terdapat di sinetron televisi dan filem bioskop. Pendekatan penokohan pada filem-filem pada festival ini tidak individualistik. Artinya, cara bertuturnya tidak fokus hanya kepada kisah seorang aktor yang ditonjolkan.
Catatan-catatan ini yang bisa dibaca oleh Jurnal Footage pada Festival Film Purbalingga IV. Semoga siasat kebudayaan, khususnya filem bisa menjadi proses pembelajaran yang tidak pernah selesai. Tantangannya adalah pasar dan industri. Berbusa-busa komentar dan teori antara aktivisme dan verbalisme, tetap saja yang terpenting menyelsaikan tentang ‘apa’ sebelum bicara tentang ‘siapa’. Mencari ‘ada dimana’ sebelum berjalan ‘mau kemana’. Tentu di dalamnya ada sikap. Selamat berkarya terus bagi teman-teman Purbalingga dan Banyumas Raya!