PADA HARI RABU, 6 Desember 2023, sekitar pukul 10.00 WIB, banyak orang sudah memenuhi salah satu ruangan di dalam galeri Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat. Mereka menghadiri sebuah acara diskusi yang merupakan salah satu panel dari 10 Panel yang diselenggarakan oleh Festival Film Dokumenter (FFD) 2023 dalam program DOC Talk. Bertema “Database Dokumenter, Pendidikan, dan Perannya”, diskusi yang dipandu oleh moderator Sazkia Noor Anggraini (Akademisi, Pembuat Film) tersebut menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Michael A. Chandra (Pengelola Program Database FFD) dan Suluh Pamuji (Kurator Film, Direktur Eksekutif KDM CINEMA).
Secara umum, para pembicara pada diskusi hari itu membahas signifikansi dari interaksi antara “koleksi film” dan “publik”. Konon, acara ini juga menjadi semacam spoiler tentang isi dari situs web https://filmdokumenter.id/ yang rencananya akan rilis pada tanggal 20 Desember nanti, sebagai salah satu output dari pekerjaan tim Program Database FFD.
FFD 2023 sendiri telah dibuka pada malam hari, tanggal 3 Desember 2023, di Gedung ex Bioskop Permata, dengan sajian utama berupa penayangan film berjudul Abyssal (2021) karya Alejandro Alonso Estrella. Menawarkan kemasan acara yang terbagi dalam 10 Program—di antaranya: Kompetisi, Perspektif, Spektrum, Retrospektif, Lanskap, Utopia/Dystopia, Docs Docs: Short!, Doc Interactive, Monographs, dan DOC Talk—hingga tanggal 9 Desember nanti, FFD tahun ini (yang merupakan penyelenggaraan ke-22 kalinya) menggelar penayangan 84 film dari 42 negara di empat lokasi (venue) berbeda, antara lain Gedung ex Bioskop Permata, Bioskop Sonobudoyo, IFI-LIP Yogyakarta, dan Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat.
Khusus pada venue yang disebut terakhir, selain acara-acara diskusi dalam rangkaian program DOC Talk, publik juga dapat menikmati program Doc Interactive yang menyajikan karya-karya sinematik dalam bentuk “pameran”. Venue ini, di antaranya, memamerkan karya-karya dokumenter interaktif, baik yang dilengkapi dengan teknologi VR maupun antarmuka web, seperti Goliath: Playing with Reality (2022, karya Barry Gene Murphy dan May Abdalla), The Hangman at Home (2021, karya Michelle dan Uri Kranot), Notes on Blindness: Into Darkness (2018, karya Arnaud Colinart), dan Faith in Speculations (2021, karya Rangga Purbaya), serta tiga karya esai video yang menjadi bagian dari program Monographs, antara lain Apat (2023, karya Nazira Karimi), mmm (2023, karya Chiemi Shimada), dan Swimming, Dancing (2023, karya Ian Wang).
“Pameran film” memang menjadi kekhasan utama FFD. Tapi, toh, pengadaan kemasan semacam ini bukanlah fenomena baru. Lantas, hal baru apa yang tahun ini menarik dari FFD? Ya, itu tadi: pemublikan database film.
***
Seperti yang kita tahu, hari ini marak platform daring atau situs web yang menyediakan layanan film streaming, mulai dari yang platform legal yang dimiliki oleh perusahaan asing (seperti Netflix, HBO Go, iFlix, Disney+ Hotstar, Prime Video, dan CatchPlay) ataupun yang dimiliki oleh perusahaan dalam negeri (seperti Vidio, Bioskop Online, CubMu, dan Rangkai), hingga yang ilegal, semacam IndoXXI dan LK21. Kehadiran mereka merupakan salah satu dampak dari perkembangan teknologi internet yang telah mengubah cara menonton masyarakat. Berbagai naratif dalam bentuk gambar bergerak kini dapat dinikmati di mana saja, dari mana saja, dan kapan pun selama jaringan internet tersedia, apalagi jika kantong cukup untuk membayar tayangan-tayangan eksklusif.
Situs-situs web ini memberikan akses yang terbilang luas kepada masyarakat untuk dapat menikmati beragam jenis karya film. Akan tetapi, keterbukaan ini juga menciptakan kerentanan baru dalam hal proteksi hak cipta.
Isu mengenai “pembajakan film” menjadi berlipat ganda sementara konteks ekonomi-politik di belakang praktik produksi dan distribusi film menjadi kian kompleks. Istilah “ekonomi berbagi” lantas digadang-gadang sebagai dalih untuk menjustifikasi persebaran ilegal film, sedangkan “ekonomi hibrid” (strategi yang mengombinasikan pendekatan komersial dengan “spirit berbagi”) dimunculkan pula untuk melanggengkan model strategi pemasaran baru yang, nyatanya, masih sarat dengan praktik eksploitasi halus perusahaan media pemilik modal besar terhadap para pembuat film.
Selain itu, situs-situs semacam itu faktanya hanya berfungsi untuk “mendagangkan” film. Mereka hadir sebagai kanal hiburan belaka yang kekurangan fitur informasi dan pengetahuan tertentu terkait dengan film-film yang ditawar-tayangkan. Lagi-lagi, kita terjebak dalam permainan pasar para kapitalis. Menjengahkan sekali!
***
Agaknya, latar yang saya paparkan di atas juga menjadi perhatian Forum Festival Dokumenter (juga disingkat FFD) Yogyakarta. Bukan hanya dalam rangka aktivasi arsip dan koleksi film yang dikumpulkannya selama ini (sejak penyelenggaraan Festival Film Dokumenter yang pertama), agenda yang FFD gaungkan dalam Program Database FFD terbilang sangat penting karena lembaga ini menekankan distribusi pengetahuan dan keterbukaan akses untuk publik demi kepentingan pengajaran, kajian, dan riset film.
Situs web https://filmdokumenter.id/ yang akan diluncurkan tersebut, katanya, akan menjadi kanal yang didedikasikan untuk usaha-usaha memperkenalkan karya-karya dokumenter ke ranah-ranah yang selama ini terlewatkan (atau jarang dicakup) dalam aktivitas perfilman nasional kita. Selain memuat informasi-informasi penting terkait wacana apa saja yang melekat atau identik pada setiap film yang dikatalogisasi di dalam situs tersebut, Program Database FFD juga “…menawarkan ruang kerja sama integral antara pembuat film, edukator, dan individu”.1 Melalui situs web ini, para pengunjung situs web, nantinya, dapat mengajukan (dengan mengisi formulir tertentu) proposal kerja sama kepada para pembuat film yang karyanya mereka minati jika seandainya mereka berniat ingin merealisasikan semacam kegiatan penayangan khusus, kolaborasi, ataupun penelitian.
Dengan kata lain, agenda FFD murni untuk edukasi publik. Misalnya, jika Anda adalah seorang guru sekolah dan berkeinginan untuk menayangkan film-film dokumenter tertentu sebagai bahan ajar, atau Anda seorang pegiat komunitas pecinta film yang gemar menyelenggarakan penayangan film-film terkurasi untuk publik terbatas, situs web https://filmdokumenter.id/ adalah sebuah kanal yang wajib Anda jadikan sebagai sumber utama. Sebab, pengelolaan situs ini menekankan prinsip keadilan pengetahuan dengan membuka jalan dua arah (baik dari sisi produsen film maupun dari sisi publik/penonton) yang memungkinkan suatu titik temu dalam upaya penyebaran film tanpa menimbulkan kerugian di pihak pemegang copyright. Lagi pula, kualitas film-film yang dikoleksi FFD nggak kaleng-kaleng, terutama untuk kepentingan membaca peta perkembangan film, khususnya dokumenter, di Indonesia. Menjadikan koleksi film FFD sebagai salah satu ensiklopedia merupakan keputusan yang tepat karena aktivitas lembaga ini mempunyai relasi yang kuat dengan pegiat-pegiat perfilman yang penting, baik di ranah nasional maupun di zona akar rumput, sehingga dapat membantu kita agar tidak tersasar di belantara dunia media audio-visual yang, situasinya di masa sekarang, menuntut tenaga ekstra dalam hal penyeleksian konten.
Selain itu, situs web ini juga menerapkan semacam kerja redaksional, kalau bukan kuratorial. Dalam arti, katalogisasi film ke dalam situs web telah melalui proses tinjauan yang teliti, dan hasilnya akan dilengkapi dengan penajukan tematik dan kategorisasi spesifik. Harapannya, model sajian seperti ini akan membantu memenuhi kebutuhan dari aspek inquisitorial sehingga para pengguna situs web dapat menyasar film-film tertentu yang memenuhi kriteria yang sesuai dengan kebutuhan berdasarkan latar minat dan profesi yang mereka miliki. Meskipun tidak sepenuhnya tampil sebagai kanal yang memanfaatkan mekanisme “open collaboration” yang didukung perangkat “free and open-source” (seperti yang diimplementasikan oleh Wikipedia, contohnya), situs ini tetap menyediakan semacam layanan “koreksi/revisi”. Jika pengguna situs menyadari adanya informasi yang keliru di dalam laman tentang karya film tertentu, ia dapat mengisi formulir khusus untuk mengajukan revisi pada bagian yang dianggap keliru tersebut untuk ditinjau kembali oleh tim admin web sebelum dilakukan pembetulan.
***
Hal-hal yang saya utarakan di atas, lebih-kurang, adalah masalah-masalah yang dibahas di dalam diskusi tersebut. Terkhusus pada keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Michael A. Chandra, dapat diketahui bahwa platform daring yang hendak diluncurkan oleh FFD ini nyatanya memang belum lepas dari trial and error. Ketika sudah rilis nanti, sembari dapat digunakan dalam model yang sederhana, situs web https://filmdokumenter.id/ masih akan terus dikembangkan sampai menemukan model yang benar-benar pas untuk memenuhi kebutuhan publik. Cakupan pengarsipan dan katalogisasinya pun masih terbatas pada film-film dokumenter Indonesia saja. Mengingat adanya perbedaan regulasi hukum antara Indonesia dan negara lain, film-film internasional belum menjadi prioritas platform ini.
Acara diskusi yang diselenggarakan oleh festival, nyatanya, merupakan salah satu strategi untuk menggali potensi platform, juga untuk memetakan langkah-langkah antisipatif, dan mendengarkan saran langsung dari publik terkait dengan upaya pengembangan operasional situs web tersebut untuk penerapan yang lebih luas.2
Sementara itu, ada poin menarik yang ditekankan oleh Suluh Pamuji. Menurutnya, situs web https://filmdokumenter.id/ harus dipahami sebagai platform aktivisme film yang tidak serta-merta mendudukkan konsep “film streaming” sebagai goal meskipun kemungkinan itu dapat saja diimplementasikan di masa depan. Pasalnya, dalam konteks edukasi berbasis pengetahuan literasi media dan aktivisme kebudayaan itu, kita mesti menggeser agak jauh kerangka ekonomi-politik yang selama ini dipakai oleh lembaga-lembaga media kapitalis. Aktivasi arsip dan koleksi film FFD berorientasi non-profit. Dalam konteks aktivisme yang tengah digalakkan oleh platform ini, “keterbukaan akses” yang dimaksud adalah dari segi bagaimana “pengetahuan atas sebuah film” (atau “wacana atas sebuah film”) bisa didapatkan publik sembari tidak menutup sama sekali jalan masuk untuk bisa mengalami (a.k.a “menonton”) film tersebut.
Situs web ini mengupayakannya dengan menjadi jembatan utama yang menghubungkan para pembuat film dan publik lewat suatu model komunikasi yang berbeda: Anda tidak perlu menunggu sampai terselenggaranya sebuah festival film atau penayangan publik tertentu untuk mendapatkan kesempatan menemui pembuat ataupun distributor film. Tidak perlu pula Anda mesti pusing dulu berselancar di dunia maya menggunakan mesin pencari demi menemukan kontak mereka, atau menghubungi orang-orang penting lainnya untuk mendapatkan akses korespondensi terhadap pemangku kepentingan dari film yang bersangkutan. Kehadiran situs web https://filmdokumenter.id/ ini, sebagaimana rancangannya, adalah untuk memudahkan semua proses tersebut dan, tentunya, dengan biaya yang terjangkau (atau bahkan mungkin gratis—semoga saja, ya!).
Dari sisi para pembuat film, kehadiran situs web https://filmdokumenter.id/ juga menguntungkan karena karya-karya mereka tetap dapat “menghampiri” publik tanpa menunggu atau bergantung pada penyelenggaraan peristiwa semacam festival. Lebih lagi, dengan sendirinya situs ini juga akan memperkaya khasanah film-film yang ada di dalamnya karena mekanisme kuratorial/redaksional dan struktur katalogisasi yang diterapkannya akan memberikan sejumlah kata-kata kunci penting yang berguna bagi publik yang ingin melaksanakan aksi pengkajian dan penafsiran.
Di tengah-tengah maraknya platform daring yang menyediakan fasilitas streaming film, yang tanpa henti menawarkan hiburan kepada masyarakat, situs web https://filmdokumenter.id/ yang diinisiasi FFD lewat Program Database-nya ini dapat menjadi filter atau tools untuk menyeleksi, atau jalan pintas untuk menemukan hidden gems—film-film dokumenter nonarus utama yang mungkin selama ini tidak pernah terpikirkan oleh Anda.
***
Saya pribadi sangat antusias menyambut peluncuran situs web ini. Di antara semua sajian FFD 2023, saya kira diskusi inilah (beserta hal yang diagendakannya) yang dapat kita sebut menu paling utama.
Mempertimbangkan bahwa kalau pada tahun ini saja teknologi blockchain—dalam hal ini, Bitcoin—sudah memiliki kemampuan untuk menyimpan data hingga 4MB ke dalam jaringan, agaknya tak terlalu muluk untuk membayangkan bahwa dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, teknologi terdesentralisasi ini bisa jadi akan mampu menyimpan data yang lebih besar, hingga misalnya sebuah film dokumenter berdurasi panjang dapat didistribusikan secara utuh melalui blockchain.
Jika mimpi di atas jadi kenyataan, saya berangan-angan situs web semacam https://filmdokumenter.id/ ini nantinya akan bersedia dan mampu menggabungkan konsep-konsep seperti desentralisasi, teknologi blockchain, dan ekonomi berbasis token. Jika sudah begitu, cita-cita sirkulasi film terdesentralisasi yang hari ini sering kita wacanakan, bisa jadi, benar-benar dapat kita wujudkan. []
Endnotes