“Filem-filem pertama bikinan perusahaan-perusahaan Tionghoa dengan sendirinya mengambil bahan cerita dari masyarakatnya sendiri, mula-mula cerita-cerita dari tanah leluhur, kemudian juga dari masyarakat mereka di Indonesia. Sungguh pun demikian, bahwa penontonnya tidak terutama terdiri dari orang-orang Tionghoa ternyata dari kesukaran yang masih ada sampai sekarang ini pada bangsa Indonesia untuk menonton filem-filem siluman yang mengambil pokok bahan dari cerita-cerita Tionghoa lama. […] Dan jika dipikir, bahwa kebanyakan regisseur di Indonesia sekarang ini masih dari kalangan Tionghoa, maka sudah logis kalau gejala-gejala yang terdapat pada filem-filem di atas dewasa ini pun masih kelihatan pada filem-filem Indonesia, yaitu anasir-anasir romantik yang berlebih-lebihan, tragis yang mengalirkan air mata terus-terusan, perkelahian yang seram dan dahsyat, tahayul dan keajaiban dan jika hendak sentimentil janganlah kepalang tanggung. Memang ditilik dari sudut show-business, maka pengusaha-pengusaha Tionghoa itu patut mendapat bintang penghargaan, karena mereka telah dapat memakai resep-resep yang telah diuji kemujarabannya.”[1]
26 Januari 2016, kami mengunjungi Sinematek Indonesia untuk menyaksikan filem-filem yang dibuat sebelum berkecamuknya Perang Dunia II yang masih tersimpan di Sinematek Indonesia. Dari kisaran 91 filem yang diproduksi rentang 1926-1941, tersisa tujuh filem dengan berbagai kondisi. Berdasarkan catatan kami, lima filem sudah dapat ditonton dalam format digital; Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) (1935) yang disutradarai oleh The Teng Chun dan Matjan Berbisik (1940) yang disutradarai oleh Tan Tjoei Hock. Keduanya dapat ditonton dengan baik walau di menit-menit tertentu filem ini berhenti. Sedang Gagak Item (1939) yang disutradarai Tan Koen Yauw, Tengkorak Hidoep (1941) yang disutradarai oleh Tan Tjoei Hock, dan Koeda Sembrani (1941) yang disutradarai oleh Wong Bersaudara, tidak dapat ditonton hingga selesai karena berhenti di tengah-tengah filem. Sedangkan dua filem yang disutradarai Tan Tjoei Hock, Singa Laoet (1941) dan Srigala Item (1941), belum diketahui kondisinya dan filem itu masih tersimpan dalam format seluloid.[2]
Ketika menonton lima filem dalam format digital, kami tidak tahu penyebab pasti beberapa filem itu tak dapat ditonton dengan mulus. Kemungkinan ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya; alat pemutar DVD yang rusak, cakram DVD yang sudah scratch karena diputar berulang-ulang, pada saat pendigitalisasian data tidak sempurna tertransfer, atau memang, filem-filem itu memang dibuat seperti itu oleh sutradaranya. Tidak ada pemberitahuan apa pun ketika kami menonton filem-filem itu, seperti misalnya diberikan catatan proses pendigitalisasian bagian-bagian apa yang memang rusak dan kemudian dihilangkan, atau informasi lainnya. Kekaburan informasi semakin memburuk karena sedikit sekali catatan dari peneliti, penulis maupun kritikus tentang durasi dan adegan-adegan detail dari kelima filem yang kami tonton itu.
Filem pertama yang kami tonton adalah Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet) yang dibuat The Teng Chun di tahun 1935. Tie Pat Kai Kawin merupakan satu dari dua puluh sembilan filem koleksi Sinematek Indonesia yang digitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2013 lalu. Filem ini salah satu filem fiksi tertua yang tersimpan di Sinematek Indonesia.
Tie Pat Kai Kawin mengambil cerita kuno dari Cina Daratan yang dalam bahasa Indonesia berjudul Perjalanan Ke Barat. Dalam cerita aslinya, tokoh utama cerita Perjalanan Ke Barat adalah seorang biksu yang melakukan perjalanan ke Barat mencari kitab suci, ditemani oleh murid-muridnya yaitu Sun Go Kong, Tie Pat Kai dan Sam Cheng. Tie Pat Kai Kawin mengadaptasi kisah tersebut, namun hanya mengambil seutas saja dari berpuluh-puluh cerita yang ada di naskah asli, dengan mengembangkan cerita sesuai dengan kultur masyarakat lokal Hindia-Belanda.
Tokoh utama dalam Tie Pat Kai Kawin adalah Tie Pat Kai yang berkepribadian sama seperti dalam cerita asli, yaitu siluman berwajah babi namun memiliki tubuh layaknya manusia dan mudah tergoda oleh wanita. Tie Pat Kai Kawin diawali dengan kegelisahannya dalam mencari calon istri, maka pergilah dia mengembara untuk mencari wanita atau gadis yang bisa dilamar, pertama dia mendatangi pantai, dan melihat banyak gadis muda ramai-ramai mandi dan bersenda gurau di tepian, namun sesaat dia mendatangi lokasi itu, ternyata wanita tersebut juga merupakan siluman yang memiliki ilmu sakti, maka kaburlah Tie Pat Kai dari pantai, dan melanjutkan pengembaraan mencari wanita, hingga akhirnya berujung di sebuah rumah saudagar kaya di suatu kota. Di dalam rumah itulah dia melihat seorang gadis cantik jelita dan hatinya pun tertambat padanya. Menggunakan tipuan sihir yang dikuasainya dan mengubah bentuk fisiknya menjadi seorang pemuda tampan, gadis itu berhasil jatuh dalam pelukan, bahkan berakhir hingga pelaminan. Masalah muncul ketika istrinya melahirkan anak yang berupa babi kecil. Setelah ketahuan kedoknya, Tie Pat Kai diburu oleh keluarga gadis itu dan kabur hingga keluarganya bertemu dengan Biksu Tong yang memiliki murid siluman kera bernama Sun Go Kong. Akhir dari filem ini adalah perkelahian epik antara Sun Go Kong dengan Tie Pat Kai yang dimenangkan oleh Sun Go Kong. Tie Pat Kai diangkat Biksu Tong menjadi murid untuk melunasi dosa-dosa yang dia perbuat sebelumnya.
Dari kisah yang diangkat, filem Tie Pat Kai Kawin menyasar pada kalangan peranakan Tionghoa di Hindia Belanda. Latar filem ini sendiri juga berada di sebuah perkotaan yang dipenuhi warga peranakan Tionghoa. Penggunaan bahasa yang digunakan, yaitu bahasa melayu yang mudah dimengerti oleh kalangan peranakan Tionghoa yang tidak lagi tahu bahasa Tiongkok.
Dari mise en scene yang digunakan, serta bagaimana kamera mengakomodir cerita, filem ini masih terpengaruh oleh pengadeganan dalam Tonil dan Komedie Stamboel yang pada saat itu juga populer di masyarakat, khususnya yang tinggal di kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. Kamera hampir tidak pernah bergerak (panning), dan pemain melakukan blocking layaknya pemain teater. Karakter dan cerita dalam filem walaupun mengambil dari kisah literatur, namun cerita dikembangkan sedikit untuk mengakomodir penonton yang membutuhkan pancingan tawa, seperti terdapat beberapa karakter yang kehadirannya memang berguna untuk menjadi badut saja.
Salah satu aspek visual yang menarik dalam Tie Pat Kai Kawin adalah bagaimana sang sutradara mengupayakan visual efek dalam medium filem yang pada saat itu pilihan dan perangkat teknis untuk memanipulasi gambar agar terlihat ‘magis’ hampir tidak ada. Pada periode awal kelahiran sinema, inovator seperti Georges Méliès banyak menggunakan efek stop-motion untuk mengkreasikan ‘keajaiban’ dalam filem-filemnya, dan mewarnai seluloid sehingga gambar hitam-putih terproyeksikan berwarna dalam layar. The Teng Chung menggunakan efek visual lebih jauh lagi dengan mengkombinasikan stop-motion, kemudian dia ‘merusak’ (scratch) seluloid untuk menghadirkan efek sihir (seperti efek perubahan dari manusia menjadi asap) yang dimiliki karakter-karakter dalam Tie Pat Kai Kawin. Yang dimaksud merusak di sini adalah menggerus seluloid sehingga terlihat tidak biasa, dan dengan menggabungkan bersama stop-motion, efek tersebut terlihat sangat baik dan efektif.
*
Di masa sebelum berkecamuknya Perang Dunia II, estetika sinema Hindia-Belanda terbagi menjadi dua kelompok besar; estetika sinema yang diperuntukkan bagi kalangan kelas atas dan Eropa yang dikuasai oleh L. Heuveldorp, G. Krugers, M.H. Schilling, Ph. Carli, Albert Balink dan Mannus Franken. Kubu ini mengincar penonton Eropa yang berada di koloni dan Indo (Eropa keturunan) yang diputar di bioscoop kelas satu (khusus Eropa) seperti Decca Park dan Concordia. Kelompok kedua, lebih memilih estetika sinema yang diperuntukan bagi kalangan menengah ke bawah, baik masyarakat bumiputra maupun peranakan Tionghoa. Kelompok ini berkembang pasca kedatangan Wong Bersaudara dan kembalinya The Teng Chun dari Shanghai untuk membuat filem di Hindia-Belanda. Dari kelompok terakhir ini, muncul nama-nama seperti; Chok Chin Hsien, Jo An Djan, Wong Bersaudara, Lie Tek Swie, Njoo Cheong Seng, Tan Tjoei Hock, Wu Tsun, Yo Eng Sek dan The Teng Chun.
Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet), menjadi salah satu contoh sinema Hindia-Belanda yang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke bawah yang diputar di bioskop-bioskop seperti, Kramat dan Rialto, atau bioskop-bioskop khusus yang memutar filem-filem impor Shanghai, seperti Orion dan Jakarta-Kota di Glodok.
Di tahun 1935, The Teng Chun membuat dua filem lainnya yang mengambil cerita masyarakat Tionghoa, Pan Sie Tong dan Ang Hai Djie. The Teng Chun merupakan satu dari sekian sutradara peranakan Tionghoa yang tertarik untuk memfilemkan cerita-cerita rakyat Tionghoa. Sekembalinya menjadi ‘kurator filem’ di Shanghai, The Teng Chun membuat filem Boenga Roos dari Tjikembang (1930) yang gagal total di pasaran namun menyisakan catatan sejarah tentang produksi sendiri filem bersuara yang menggunakan kamera oprekan single system camera. The Teng Chun kemudian membuat filem Sam Pek Eng Tay (1930) yang cukup laku sehingga sanggup membeli kamera dan alat-alat tehnik lainnya dari Amerika. Ia melanjutkan produksi filem yang mengambil cerita dari masyarakat Tionghoa yang beberapa sudah dikenal di kalangan bumiputera Hindia-Belanda, seperti; Pat Kiam Hap (Delapan Djago Pedang) dan Pat Bie To (Delapan Wanita Cantik) yang dibuat tiga tahun kemudian (1933), Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item) produksi 1934 dan meledak di pasaran hingga diimpor oleh Singapura, serta tiga produksi filem Anaknja Siloeman Oeler Poeti di tahun 1936 yang menjadi kelanjutan dari filem Ouw Peh Tjoa, Lima Siloeman Tikoes dan Pembakaran Bio Hong Lian Sie yang juga diproduksi pada tahun yang sama. Mulai tahun 1937, The Teng Chun memilih tema-tema drama keseharian sebagai tanggapan dari meledaknya filem Terang Boelan di pasaran.[3]
[1] Usmar Ismail, “Sari Soal Dalam Filem Indonesia”, Konfrontasi, No 1/Juli-Agustus 1954.
[2] Mahardika Yudha, “Interlaced”, katalog Anak Sabiran, di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip), Forum Lenteng, 2013, hlm. 47-48.
[3] Disarikan dari wawancara Misbach Yusa Biran dan Salim Said dengan Tahyar Idris (The Teng Chun) pada tanggal 24 Mei 1971.