Filem-filem ‘komedi’ atau hiburan, secara umum, kurang mendapatkan tempat dalam diskursus sinema Indonesia. Sifat filem komedi yang terkesan sebatas hiburan demi semata-mata menjangkau penonton yang luas, menyebabkan filem-filem dari genre ini belaka sering dianggap berasalkan semangat tradisi dagang, kurang diandaikan sebagai sebuah praktik estetika dan kritik sosial yang serius dalam konteks Indonesia. Asumsi ini setidaknya merujuk pada para pendahulu penulis kritik filem Indonesia semisal Salim Said, yang pada 1975 dalam satu wawancara menyatakan bahwa, filem-filem semacam karya Lilik Sudjio, Syamsul Fuad, dan Nawi Ismail merupakan kelanjutan dari tradisi sandiwara Dardanella di masa kolonial sebagai khadam penghiburan (“Kritik Saya Memang Mengejutkan”, wawancara oleh Slamet Sukirnanto, 1975, dalam Pantulan Layar Putih, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm. 193). Bagi Salim Said, sinema Indonesia hanya layak memasukkan nama Nya Abbas Akup sebagai pembuat filem komedi yang penting dalam diskursus karena karya-karyanya dinilai merupakan lelucon yang peka terhadap lingkungan sosial Indonesia. Pandangan mengenai Nya Abbas Akup adalah salah satu sutradara penting dalam diskursus, tidak luput dari pengandaian idealistis akan proses kelahiran sang pembuat filem Koboi Cengeng (1974) itu sebagai bagian dari PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Wacana tentang filem berkualitas baik yang berasal dari PERFINI, sebenarnya mau menegaskan bahwa kritik filem di Indonesia tidak bisa lepas untuk berpihak kepada para sineas dari kelompok Usmar Ismail dan kawan-kawan.
Ingin Menjadi “Barat”
Membandingkannya dengan konteks sejarah seni rupa Indonesia, kecenderungan-kecenderungan untuk menjadi ‘Barat’ secara estetis, masih bisa kita rasakan hingga hari ini. Meski sebelumnya, pelukis S. Sudjojono telah mengkredokan “jiwa kethok” [jiwa tampak] sebagai usaha sosial estetis untuk keluar dari pengaruh kolonial (Barat) dalam membangun seni rupa Indonesia secara mandiri, namun di situ kuat terkesan adanya hasrat-hasrat untuk menggapai pengakuan ‘setara’ dalam hal mengenai pandangan estetika Barat. Mungkin, situasi ‘politis’-nya berbeda dengan yang dialami oleh para pelaku sinema Indonesia, di mana hasrat demi capaian-capaian untuk ‘setara’ dengan estetika Barat tidak terasa kental. Bisa jadi, hal ini karena sejarah sinema Indonesia terlanjur tak luput dari pemaknaan semantiknya sebagai ‘barang kelontong’—merujuk pada istilah dari Sjuman Djaja ketika melihat filem Indonesia sebagai produk dagang semata demi meraih banyak penonton1—oleh para produser filem di Indonesia semenjak masa kolonial.
Kritikus sinema Indonesia semisal Salim Said adalah satu di antara pemandang yang cukup keras melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa filem yang tak bermutu adalah sekadar barang penghiburan semata. Dalam pandangan Said, filem yang berkualitas hanya diberikan oleh para sutradara yang cukup terdidik, khususnya mereka yang berasal dari PERFINI di periode 1960-an macam Usmar Ismail, Nya Abbas Akup, atau juga Asrul Sani; serta di periode 1970-an, ketika kepada para sutradara semacam Sjuman Djaja, Teguh Karya, Arifin C. Noer diberikan apresiasi yang cukup tinggi. Basis-basis diskurus yang dipakai Salim Said dalam memandang kualitas filem sebagai suatu karya bermutu adalah dengan menggunakan pendekatan pada idiom-idiom filem ‘Barat’. Kerangka kritik dari estetika Barat inilah yang kemudian terhadap karya-karya sinematik seperti dari Nawi Ismail dipandang sebelah mata untuk kritik sinema Indonesia karena filem-filem dalam genre komedi semacam itu dianggap tidak mematuhi pakem estetika yang setara dengan ‘Barat’.2
Pembicaraan mengenai konteks sinema Nawi Ismail, pada dasarnya, adalah kesadaran bahwa karya-karyanya. semisal Benyamin Koboi Ngungsi (1975) dan Tiga Djanggo (1976), bukanlah filem bergaya “western”. Apa yang dilakukan Nawi melalui keaktoran Benyamin S. dengan filem koboinya adalah sebuah komedi yang mengisyaratkan keinsyafan diri sang sutradara akan sinemanya sendiri yang tidak mungkin sanggup untuk ‘setara’ dengan filem-filem Barat. Konteks kesadaran akan kemustahilan inilah yang, pada akhirnya, telah memposisikan idiom-idom visual sinema Nawi Ismail memang tidak perlu lagi disandarkan dalam kerangka kaidah estetika Barat. Di situ dan dalam hal itu, sinema Nawi seolah dengan sengaja melakukan semacam penolakan untuk menjadi ‘universal’ guna menyatakan bahwa, adalah hal yang di luar jangkauan bagi sinemanya sendiri (atau sinema Indonesia) untuk mereproduksi gagasan atau pemikiran atau milieu artistik dari estetika sinema ‘Barat’. Boleh jadi, meski cakrawala idiom visual Nawi belaka merupakan urusan mengejar minat penonton sebanyak mungkin, namun kemungkinan-kemungkinan visual yang diajukan oleh Nawi bisa dibaca sebagai usaha membaca sinema di wilayah ‘marjinal’ dan kritik atas ‘universalisme’ sinema-sinema ‘Barat’. Karena ketidakmungkinan untuk mendefinisikan ‘Barat’ dalam karya-karya sinematiknya, maka Nawi Ismail berupaya merepresentasikan idiomnya sendiri agar diminati oleh penonton.
Dalam rangka mengkritik “Sinema Ketiga”-nya Teshome Gabriel, Juliane Burton menyatakan bahwa, sinema ketiga (Asia, Amerika Latin, Afrika) haruslah dianalisis melalui relasinya dengan filem ‘arustama’ (sinema pertama/sinema Barat). “Sinema Ketiga”-nya Teshome Gabriel sendiri adalah satu pandangan di mana sinema-sinema di negeri-negeri dunia ketiga bergerak dari praktik mimikri untuk menuju pada sebuah tahapan mencapai identitas budaya nasionalnya sendiri, (1) mimikri terhadap filem Hollywood; (2) penolakan sadar atas praktik tekstual Hollywood; (3) keterlibatan secara kritis dengan tradisi nasionalnya sendiri. Sehingga, membaca sinema ketiga tidak bisa disandarkan pada kerangka teoritis sinema dunia pertama. Menurut Teshome Gabriel, teori filem Barat adalah pembacaan yang berpusat pada upaya untuk “menemukan makna imanen dalam karya-karya yang menyembunyikan makna yang lebih mendalam”, di mana, bagi Gabriel sendiri sinema ketiga cenderung untuk lugas dalam menyampaikan pesan-pesan di dalam visualnya. Dengan demikian, konteks sinema pada dunia ketiga yang secara sadar bersikap untuk berbeda dengan sinema Hollywood tersebut, menyebabkannya harus dibaca dalam kerangka sosio-estetis yang tepat.
Bagi Krishna Sen, pendapat Juliane Burton di atas, lebih pada membaca sinema yang disandarkan pada “teori ketergantungan” dalam konseps ‘developmentalisme’. Burton seakan mengulang tesis dari Andre Gunder Frank tentang konteks sosial ekonomi dalam membaca perkembangan negara-negara yang terbelakang (development of undervelopment).
Bagi pembicaraan terbaru mengenai sinema Indonesia pada karya-karya Nawi Ismail—entahkah dipengaruhi pandangan sinema ketiga maupun tidak, atau di luar seberapa jauh pengaruh Hollywood dalam sinema Indonesia—pengertian tentang hal untuk berbeda dari Hollywood merupakan refleksi diri akan capaian-capaian estetika sinema yang tidak mungkin ‘setara’ dengan sinema Barat. Adegan-adegan komedi atau bahkan laga (misalnya, Si Pitung) dalam filem Nawi, pada dasarnya, memiliki konteks sosio-estetis yang berasal dari kultur identitas nasional Indonesia secara mandiri. Lewat idiom-idiom komedi lokal yang khas Indonesia, sebenarnya, Nawi juga tidak melulu melakukan kelugasan seperti yang didengungkan oleh Teshome Gabriel tentang sinema ketiga. Beberapa adegan komedi pada filem Nawi malahan bisa dilihat sebagai siasat untuk kritik sosial yang tersembunyi, seperti misalnya, terhadap simbol-simbol militer dalam Benyamin Tukang Ngibul (1975).
Mimikri dan “Sinema Ketiga”
Dalam melihat perkembangan sinema di dunia-dunia ketiga—termasuk Indonesia, seorang teoritikus filem berkebangsaan Ethiopia, Teshome Gabriel, membuat sebuah istilah apa yang dikenal sebagai “sinema ketiga” (third cinema). Sinema ketiga Teshome Gabriel berangkat dari refleksi tentang definisi filem yang selama ini melulu berada di luar konteks ruang ekonomi dan sosial, sehingga cara pandangan tentang definisi filem hanya pada pengertian bentuk (form) semata. Refleksi dari Teshome Gabriel sendiri sebenarnya sedang berusaha untuk mendefinisikan sinema dalam konteks pengaruh faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi produksi sinema di dunia ketiga. Menurut dia, setiap filem atau setiap teori dan kritisisme filem di dalam konteks sinema ketiga tidak bisa dipisahkan dari praktik yang digunakan dalam filem.3
Fase pertama dari pandangan Sinema Ketiga-nya Teshome Gabriel adalah mimikri terhadap filem dunia pertama. Menurut Frantz Fanon menyatakan bahwa mimikri merupakan proses kolonialisasi yang berdampak pada tercerabutnya identitas tradisional pihak yang terjajah. Bagi kaum terjajah, dalam perjumpaannya dengan sang penjajah, ia kemudian dipaksa melalui keadaan, untuk beradaptasi dengan identitas dan budaya kolonial (penjajah). Berbeda dengan pandangan Fanon, Homi Bhabha melihat mimikri justru sebagai tindakan yang subversif, atau cara kaum terjajah untuk berkamuflase dan survival. Seturut pandangan Jaques Lacan yang memengaruhinya, Bhabha melihat mimikri merupakan proses meniru bagi kepentingan si peniru, lantaran tindakan itu adalah upaya untuk memalingkan wajah bagi pihak penguasa yang sekaligus merupakan bagian dari proses perlawanan terhadap kaum penjajah. Perjumpaan bagi tuan kolonial dan yang dikoloni selalu mengandaikan ‘ruang ketiga’ sebagai sebuah ruang yang bisa mendekonstruksi wacana pihak penjajah. Mimikri menurut Bhabha seakan upaya untuk menghidupi dua kondisi yang saling bertentangan dalam situasi yang serentak yakni, di satu sisi, sang terjajah harus mengikuti acuan tuan kolonialnya untuk dapat bertahan, dan di sisi lain, sang terjajah pun tak bisa sepenuhnya melenyapkan identitas kodratinya. Sehingga kedua bentuk relasi tersebut menghasilkan situasi yang ambivalen. Hal ini menyebabkan bahwa identitas pada dasarnya bukan sesuatu yang stabil namun senantiasa melawan yang universal, sebetapa pun kecilnya.
Sementara, dalam pandangan Fanon, membagi dalam skema ideologi pada tiga tahapan perkembangan “Sinema Ketiga” terkait dengan kesadaran idoelogis dalam melihat “Sinema Pertama”; (1) fase asimilasi yang tidak terkualifikasikan, di mana inspirasi datang dari luar dan karenanya hasil dari sebuah imitasi yang tidak kritis dari kultur para kolonial; (2) kembali ke sumber daya atau tahapan ingatan, sebuah panggung yang ditandai nostalgia masa kecil bagi kepahlawanan di masa lalu, di mana legenda dan folklor terikat; dan (3) perlawanan atau fase agresif, sebuah panggung yang menandakan kedewasaan, dan di mana emansipasi penentuan diri sendiri menjadi suatu tindak bentrokan.4 Fase ke-2 dan ke-3 mengekspresikan dengan nyata sebuah kultur indigenous dari produksi sinema yang dihasilkan dari budaya negara ketiga. Konteks tahapan kedua dari “Sinema Ketiga”-nya Fanon yakni, kembali ke sumber daya atau tahapan ingatan akan kepahlawanan di masa lalu bisa kita lihat dalam bagaimana usaha Nawi Ismail mengangkat tokoh Si Pitung melalui karya sinemanya. Tahapan kedua tersebut dalam kerangka Fanon adalah bagian dari indigenous pada produksi sinema yang dihasilkan oleh kultur negara ketiga. Meski, mungkin, sinema Nawi bisa dianggap termasuk dalam ketegori tahap ketiga dari pandangan ideologis Fanon tentang tiga tahapan perkembangan sinema ketiga, namun membela karya-karyanya adalah bagian dari upaya untuk mencari semangat berpihak pada estetika yang berada di wilayah ‘pinggiran’, manakala terhadap posisi ini para kritikus sinema Indonesia belum cukup menginsyafi potensi tersebut. *
Endnotes