In Artikel

Khatami, D. 2023. “Menatap Pada yang Berikutnya”. Dalam A. Osman, O. Widasari, & Y. Aditya (peny.), S… Untuk Sinema. Jakarta: Forum Lenteng, hlm. 82-87.*

KEHIDUPAN masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, diatur oleh norma-norma sosial yang berlaku di lingkungannya. Norma atau aturan tersebut ada untuk menjaga agar interaksi antarwarga tetap berlangsung dengan baik, baik dalam pranata sosial, sistem, maupun lembaga yang bersinggungan dengan aturan tersebut. Pranata sosial mencakup keluarga, institusi kepolisian, institusi hukum—dalam hal ini pengadilan—dan perusahaan, serta kelompok pertemanan. Praktik menjaga keberlakuan aturan-aturan ini penuh tantangan, karena tiap pranata sosial boleh jadi memiliki norma atau aturan yang berbeda-beda. Pelanggaran terhadap aturan yang ada dapat terjadi dalam persinggungan antarpranata sosial tersebut, ataupun disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti alam dan kondisi sosial.

Nilai-nilai dalam sebuah pranata sosial dapat berbentuk dan dijaga secara formal maupun informal, baik secara verbal maupun tertulis, namun yang pasti dibuat untuk satu kepentingan yang sama, yaitu menjaga keteraturan. Karena itu, kerja sama antarpranata sosial kerap dilakukan demi menjaga situasi kondusif bersama-sama, walaupun dengan kepentingan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, hubungan antara institusi kepolisian dan pengadilan: polisi sebagai aparat penegak hukum bertugas menindak pelanggaran aturan yang terjadi, kemudian membawa pelanggar ke pengadilan untuk menentukan hukuman yang sesuai berdasarkan bukti-bukti. Namun, tidak jarang penegakan aturan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penyebabnya bisa jadi karena adanya perbedaan dalam mengartikan sebuah aturan; beberapa pihak memanfaatkan kelemahan subjek hukum di dalam aturan itu sendiri, atau, bagi beberapa pihak di luar institusi negara, di masyarakat. Hal ini muncul sebagai aksi protes karena pihak-pihak itu tidak bersetuju (pada hukum) dan kemudian mengajukan gagasan untuk mengoreksi aturan-aturan tersebut.

Tiga film yang akan dibahas dalam tulisan ini—The Grapes of Wrath (AS, 1940) karya John Ford, Shoeshine (Italia, 1946) karya Vittorio de Sica, dan Stray Dog (Jepang, 1949) karya Akira Kurosawa—menampilkan berbagai bentuk persinggungan antarpranata sosial dalam masyarakat. Ketiga film ini menggambarkan perpindahan subjek dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengungkap relasi dan negosiasi antarpranata sosial. Dari pengadilan ke penjara, dari tanah yang telah dihuni turun-temurun ke tanah baru yang lebih subur, serta dari satu tempat publik ke tempat publik lainnya. Subjek-subjek ini diwakili oleh anak-anak remaja, keluarga petani penggarap lahan, dan seorang polisi yang kehilangan pistolnya. Migrasi yang digambarkan dalam ketiga film tersebut memetakan persoalan di wilayah latar tempat film-film itu diproduksi. Konteks peristiwa sejarah yang traumatis direkatkan dengan pengalaman manusia-manusia yang menghidupi ruang-ruang yang berbeda sebagai upaya untuk menelusuri akar permasalahan sosial sekaligus mencari jalan keluarnya.

Trailer film "The Grapes of Wrath" (1940) karya John Ford

The Grapes of Wrath bercerita tentang keluarga petani penggarap lahan milik sebuah perusahaan. Karena wilayah tersebut dilanda bencana kekeringan, perusahaan memutuskan untuk mengambil kembali tanah dan lahan mereka. Akibatnya, rumah dan ladang keluarga itu digusur. Sebelum penggusuran terjadi, para petani sempat melakukan perlawanan untuk menghentikan traktor yang akan menggusur lahan dan rumah mereka. Namun, sopir traktor—yang kebetulan mengenal keluarga petani tersebut—terpaksa tetap melanjutkan tugasnya karena ia, yang sebelumnya juga merupakan petani penggarap, kini harus bekerja untuk perusahaan demi menyambung hidup keluarganya. Akhirnya, keluarga petani itu pergi ke California untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan. Kisah ini menggambarkan perubahan dalam sistem manajemen perusahaan di masa resesi, yang beralih dari sistem yang ramah bagi petani menjadi bentuk yang lebih kaku dan industrialis. Petani yang ingin bertahan hidup di lingkungan tersebut harus mengikuti aturan baru, bahkan jika itu berarti menggusur sesama petani.

Di sinilah letak kerumitan hubungan antara manusia—yang dengan kemampuan tradisionalnya harus berhadapan—dengan era baru industri. Kerumitan ini tidak terlepas dari pengalaman mereka di tanah baru yang menjadi tujuan mereka berikutnya. Setibanya di California, keluarga petani tersebut bekerja di perkebunan. Industrialisasi membawa dampak terhadap upah pekerja. Tom Joad, salah satu anggota keluarga itu, terlibat dalam aksi pemogokan karena upah yang dianggap tidak layak. Dalam situasi negara kapitalis, di mana pemilik modal memegang peranan penting dalam jalannya sebuah negara, penegakan hukum di lapangan—yang diwakili oleh institusi kepolisian—serta kepentingan perusahaan dan institusi negara sering kali berada di pihak yang sama. Akibatnya, aksi pemogokan dianggap ilegal, dan siapa pun yang terlibat, termasuk Tom, akan dicari dan ditangkap. Migrasi dalam film ini menjelaskan hubungan segitiga antara negara, perusahaan, dan masyarakat, serta perubahan model bisnis, termasuk cara bertani yang harus menyesuaikan diri dengan era industrialisasi. Perubahan-perubahan tersebut memberikan gambaran mengenai manajemen produksi perusahaan pertanian, sistem upah, dan peralihan konteks profesi petani menjadi pekerja (buruh).

Trailer film "Shoeshine" (1946) karya Vittorio de Sica

Shoeshine menghadirkan persoalan yang bukan hanya mengenai upaya mencari titik temu di antara pranata-pranata sosial yang terlibat, tetapi juga mencerminkan upaya-upaya yang dilakukan oleh sebuah negara untuk menata kembali masyarakat pascakehancuran akibat Perang Dunia II. Secara ironis, De Sica menampilkan anak-anak remaja yang bekerja sebagai penyemir sepatu di kota Roma. Kelompok anak-anak tersebut, seperti warga Italia lainnya, dipaksa terlibat dalam situasi pascaperang yang bukan mereka inginkan, tetapi mereka juga mewakili generasi harapan yang akan membangun kembali Italia setelah turunnya rezim fasis di bawah Benito Mussolini.

Film ini berfokus pada hubungan dua remaja laki-laki bernama Giuseppe Filippucci dan Pasquale Maggi, yang diminta oleh beberapa laki-laki dewasa untuk menjual selimut ilegal peninggalan tentara Amerika Serikat di sebuah dermaga. Karena perbuatan tersebut, mereka ditangkap oleh polisi, ditempatkan di penjara anak, dan diadili. Penangkapan mereka diharapkan dapat mengungkap rantai kriminal pasar gelap di Roma. Penjara anak tersebut memperlihatkan berbagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh sesama tahanan remaja untuk bertahan hidup. Anak-anak itu diminta mengungkap siapa yang menyuruh mereka menjual selimut. Untuk membongkar sindikat barang ilegal, polisi melakukan berbagai cara, termasuk memanipulasi Pasquale dengan berpura-pura mencambuk Giuseppe menggunakan ikat pinggang kulitnya, demi mendapatkan nama sumber selimut ilegal itu.

Pada masa sulit itu, pasar gelap menjadi tempat pilihan bagi anak-anak miskin untuk bertahan hidup, sementara barang-barang dari Amerika, seperti selimut, dianggap bermutu tinggi dan melambangkan kemajuan serta prestise. Penangkapan Giuseppe dan Pasquale menunjukkan upaya Italia yang sedang bangkit dari kehancuran pasca-Perang Dunia II untuk menata kembali negaranya, terutama melalui penegakan hukum. Karenanya, kedua remaja tersebut harus menjalani hukuman penjara dan membayar denda.

Film ini mengajak kita, melalui kisah kedua remaja itu, untuk menjelajahi institusi-institusi sosial yang berperan dalam persoalan yang mereka hadapi, sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengadilan dan penjara anak merupakan institusi penegakan hukum yang dikelola oleh negara, sekaligus tempat di mana kriminalitas dapat bersiklus dan berakar di kemudian hari. Film ini menghadirkan refleksi kegundahan dan kritik tajam terhadap peran pranata-pranata sosial yang menjaga ketertiban, namun di saat yang sama dapat turut menyuburkan kriminalitas dalam suatu negara.

Trailer film "Stray Dog" (1946) karya Akira Kurosawa

Berbeda dengan Shoeshine, yang menyoroti dua tokoh utama berikut tindakan mereka yang dianggap melanggar hukum, Stray Dog baru mengungkapkan siapa pelaku kriminal di akhir cerita. Pelaku dan motif tindak kriminal dalam film ini bukanlah fokus utama. Kriminalitas digambarkan sebagai sesuatu yang melampaui sekadar pencurian barang mahal untuk dijual kembali—ia muncul sebagai bagian dari perjuangan hidup di tengah kemiskinan pascaperang. Film ini mengikuti perjalanan Murakami, seorang polisi yang kehilangan pistolnya akibat dicopet saat berada di keramaian. Murakami kemudian menelusuri jejak pistol tersebut, yang membawanya pada potret jalur kemiskinan masyarakat kota pascaperang. Penelusuran itu juga mengungkap sindikat pasar gelap tempat pistol tersebut beredar, yang dihuni oleh pelaku pelacuran dan perjudian. Informasi yang didapat Murakami berkelindan dengan siklus pasar gelap itu, baik melalui interaksi dengan para pelaku maupun informan yang ia temui sepanjang penyelidikan.

Film ini menggambarkan penelusuran dan sirkulasi pasar gelap melalui perpindahan pistol dari satu tangan ke tangan lain. Perpindahan tersebut mencerminkan kondisi masyarakat pasca-Perang Dunia II dan bagaimana kesulitan ekonomi memicu tindakan kejahatan, seperti mencopet, demi bertahan hidup. Pasar gelap menjadi arena pertukaran barang-barang ilegal sekaligus ruang aktivitas ekonomi yang melanggar hukum. Kurosawa seolah menyampaikan bahwa persoalan ekonomi yang sulit bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga menjadi beban pelik bagi warga. Visual dalam film ini dipenuhi oleh tangkapan kaki-kaki manusia di tengah keramaian, berlatar ruang-ruang publik yang menjadi lokasi investigasi pencarian pistol. Wajah tidak melulu menjadi visual penting, karena gerak kaki-kaki yang bergegas menyusuri jalanan kota yang berdebu dan berlumpur, serta kulit yang basah oleh peluh, menjadi ajakan signifikan untuk sejenak menoleh pada jejak-jejak yang ditinggalkan oleh semangat untuk bangkit kembali.

Ketiga film ini menarik karena menggambarkan respons masyarakat terhadap lemahnya fungsi pranata sosial melalui perpindahan karakter dari satu lokasi ke lokasi lain. Hal ini merefleksikan ketegangan antara kenyataan institusional dan kenyataan kewargaan yang tidak selalu berjalan secara resiprokal. The Grapes of Wrath menunjukkan bagaimana bencana alam dan resesi ekonomi mengubah sistem pertanian serta relasi antarpetani dalam kerangka negara yang menganut sistem kapitalisme. Shoeshine mengungkap penindakan hukum yang bersifat paternalistik-manipulatif di Italia pasca-Perang Dunia II, terhadap anak-anak kecil yang memimpikan kehidupan lebih baik di tengah kemiskinan. Sementara itu, Stray Dog menggambarkan kondisi ekonomi dan sosial Jepang pascaperang melalui jalur sirkulasi pistol, alat kerja utama seorang polisi, yang berpindah-pindah di pasar gelap.

Kehidupan masyarakat diatur oleh norma-norma sosial yang dijaga oleh berbagai pranata sosial, namun sering kali terjadi ketidaksesuaian antara norma dan kenyataan akibat perubahan sosial dan lingkungan. Bagaimanapun, para sutradara dari ketiga film ini agaknya berpendapat bahwa ini bukan lagi waktunya untuk terus menengok ke belakang; mereka justru mengajak kita untuk melihat dan mendengarkan lebih saksama mereka yang akan melanjutkan napas generasi di kemudian hari. []

* Redaksi Jurnal Footage menyunting kalimat-kalimat tulisan asli menjadi lebih efektif, serta menyesuaikan beberapa bagian lainnya dengan kebutuhan redaksional jurnal ini. Pemuatan tulisan ini di Jurnal Footage adalah dalam rangka distribusi pengetahuan secara terbuka.

Recommended Posts

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Start typing and press Enter to search