Sebagai sebuah media yang bisa membantu melihat kembali struktur sosial dalam masyarakat, filem memiliki potensi untuk membingkai realitas melalui fiksi. Konstruksi sosial sering menentukan bingkaian atas kenyataan di dalam filem. Sebaliknya, kenyataan filem itu sendiri pun juga bisa menentukan bingkaian kita untuk menelaah konstruksi sosial. Filem Turah (2016) adalah salah satu contoh yang berupaya menunjukkan potensi itu melalui konstruksi filemnya, baik melalui rangkaian visual maupun dialog-dialog dari adegan-adegan di dalamnya.
Mengambil latar sebuah kampung yang berdiri di atas tanah timbul atau tanah tak bertuan, bernama Kampung Tirang, Turah menyajikan suatu bentuk kehidupan warga miskin yang tampak terisolir dan bergantung pada “kebaikan hati” seorang pemilik modal bernama Darso (Yono Daryono) yang kemudian menjadi semacam Juragan (tuan tanah) dari kampung Tirang. Ia secara aktif memberikan kerja dan penghidupan bagi warga kampung Tirang, di antaranya adalah kepada Turah (Ubaidillah) dan Jadag (Slamet Ambari). Relasi warga dan tuannya ini kemudian menegang akibat kemunculan Pakel (Rudi Iteng)—seorang sarjana kota yang dituduh memonopoli Darso dan penghidupan warga Kampung Tirang. Harapan untuk sebuah penghidupan yang lebih baik muncul lewat perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh keluarga Jadag dan Turah yang, meskipun saling kontradiktif, sama-sama mencoba berkelit dari sistem Juragan Darso dan Pakel.
Filem ini pertama kali hadir untuk publik dalam Silver Screen Awards Asian Feature Film Competition di 27th Singapore International Film Festival 2016 dan meraih penghargaan Asian Feature Film Special Mention.[1] Film panjang pertama garapan sutradara Wicaksono Wisnu Legowo ini kemudian meraih penghargaan Geber Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival 2016. Selanjutnya, filem berdurasi 83 menit dan berbahasa Tegal ini pun ditayangkan di 9th Bengaluru International Film Festival 2017, India, pada tanggal 2-9 Februari, 2017, bersama Netpac Award Winner lainnya. Sebelum Turah, Wisnu sudah menyutradarai sebuah film pendek, berjudul Tobong (2006), yang mendapatkan penghargaan spesial dari dewan juri di Festival Film Indonesia 2006.[2]
Turah merupakan salah satu filem yang diproduksi oleh Fourcolours Film dan Ifa Isfansyah. Namun, berbeda dari Siti (Eddie Cahyono, 2014) yang juga diproduseri Ifa Ifansyah dan mengambil sosok Siti sebagai potret kesukaran kehidupan, Turah menyajikan tema serupa dengan membingkai berbagai sosok di suatu ruang koloni tanpa identitas formal. Subjek-subjek dibingkai dan disatukan dalam sebuah bangunan filem yang bertutur tentang perjuangan kelas sekaligus tentang sistem kehidupan.
Alur fiksi Turah justru menghadirkan sebuah potensi bersifat dokumenter melalui latar belakang yang mengambil lokasi dan situasi riil di Kampung Tirang, yakni sebuah kampung nelayan yang terletak sekitar 2,5 kilometer dari Kota Tegal, Jawa Tengah.[3] Potensi ini makin dikuatkan melalui pemilihan pemain dan bahasa percakapan dalam dialog yang digunakan tokoh-tokoh filem tersebut. Wisnu yang memang asli Tegal memilih menggunakan para pemain teater lokal untuk menjadi aktornya. Sebagai efeknya, gestur tubuh dan penggunaan bahasa oleh aktor mengesankan sebuah kehidupan di pinggiran kota Tegal yang riil, terutama pada karakter Jadag yang dimainkan oleh Slamet Ambari. Postur tubuhnya yang ceking dan kefasihannya melafalkan makian khas bahasa ngapak membuat pemrofilan melalui konstruksi naratif tak lagi diperlukan. Klasifikasi kelasnya menjadi kentara akibat gaya tutur serta tubuh yang berlaku. Hal serupa muncul pada tokoh Turah.
Wisnu sempat memaparkan bahwa naskah asli Turah ditulis dalam bahasa Indonesia. Kemudian naskah ini diterjemahkan oleh setiap aktor ke dalam bahasa-bahasa yang telah diskemakan.[4] Skema ini melibatkan pengklasifikasian tingkat pada bahasa-bahasa yang dipakai dalam Turah. Pun sebetulnya menurut tuturan sang sutradara, nama-nama dalam filem ini memiliki skema ide pemaknaan tertentu yang sebangun dengan karakter-karakter dalam filem. Bahasa pun menjadi pilihan estetika dengan muatan konsekuensi naratif yang konstruktif dan bahkan bisa menjadi polemik tersendiri. Namun agaknya, perihal bahasa ini hanya dengan mudah ditangkap jika penonton fasih terhadap bahasa-bahasa tersebut yang sepintas kedengaran sama dan hanya samar berbeda.
Sekurangnya, dalam filem ini terdapat tiga bahasa yang dipakai untuk berdialog antartokoh yang masing-masing menempati level-level tertentu. Sebagai bahasa formal, bahasa Indonesia dalam filem ini digunakan orang-orang jawatan pemerintah, polisi, dan jurnalis, serta antara Pakel dan Juragan Darso. Bahasa Jawa halus diletakkan pada dialog-dialog saat warga Kampung Tirang berbicara kepada Juragan Darso dan jawatan pemerintah atau media. Sedangkan bahasa Tegal atau ngapak hanya digunakan antara sesama warga kampung dan dalam percakapan kepada Pakel. Jadag, menjadi satu-satunya karakter yang menggunakan bahasa ngapak secara terus menerus. Realitas penggunaan bahasa dalam Turah tersebut memunculkan ide tentang pemaknaan bahwa bahasa sehari-hari pun bukan sekadar alat untuk komunikasi semata. Ia menjadi aspek yang tersistematisasi dan mengikuti struktur-struktur yang hadir pada masyarakat. Dalam Turah, ia menjadi penanda kelas yang merepresentasikan struktur sosial, ekonomi, kultur, dan bahkan politik.
Hal lain yang menarik mengenai filem ini ialah bangunan filem yang di antaranya dijahit melalui ketinampilan lampu pijar dan generator listrik. Mula kehidupan dalam filem ditandai dengan generator yang menyalak berisik disusul dengan lampu yang menyala. Bersama lampu, generator listrik menjadi ikon dinamis di sepanjang filem yang menandai babak-babak cerita. Di lain kesempatan, generator yang tak kunjung menyala diikuti lampu yang berpijar redup atau kadang mati dibarengi pula dengan alur tentang Kampung Tirang yang tengah gelisah. Lalu saat generator tidak lagi bekerja, ketika itulah kehidupan dalam ruang yang sama tak lagi dimungkinkan. Kampung Tirang menjadi gulita, disusul pecahnya puncak konflik. Keberadaan generator yang memang asli berasal dari lokasi digunakan oleh sutradara tak hanya sebagai properti, tapi sebagai penanda bagi makna yang lain pula. Pilihannya untuk memakai ruang-ruang lokasi dan properti yang telah tersedia guna merangkai visual filem memunculkan konsekuensi naratif yang semakin menguatkan logika filem tersebut. Karenanya, konteks sosial Kampung Tirang dapat diperbincangkan melalui eksplorasi visual yang menghadirkan properti sebagai penanda makna yang membangun filem tersebut.
Performativitas kamera dan teknis penyusunan gambar pun membangun persepsi akan suatu sistem yang ambivalen: mengisolir namun juga menyajikan rumah bagi masyarakat miskin yang ada di dalamnya. Imajinasi tentang keterisolasian ini, baik dari segi wilayah (dalam pengertian fisik) maupun secara sosial-ekonomi, muncul melalui gambar-gambar dalam filem yang hampir selalu hanya menyajikan visual Kampung Tirang. Jika pun muncul gambar di luar Kampung Tirang, itu semata-mata hanya dinding kelabu di seberang muara yang ditatap melalui kamera subjektif yang diposisikan sebagai sudut pandang Kampung Tirang.
Hierarki kelas dan diferensiasi sosial pun ditampilkan oleh eksplorasi visual yang membangun imaji tentang kehidupan sosial ekonomi di Kampung Tirang. Kelas sosial digambarkan oleh kamera yang turut pula mengembangkan karakter pada tokoh-tokoh dalam filem. Ketokohan Turah hadir melalui karakter kamera yang cenderung diam tanpa banyak dinamika. Bingkaian kamera yang menggambarkan Turah selalu seimbang, tenang, dan tanpa banyak kejutan. Secara visual, Turah dicitrakan sebagai sosok yang damai, menghindari konflik serta cenderung ‘lurus-lurus’ saja. Barangkali Turah pun adalah gambaran umum orang-orang yang cenderung menerima kondisi di dalam sistem seambivalen apa pun itu. Meskipun demikian, Turah pun memiliki potensi progresivitas yang bisa dipicu dan dikerahkan untuk mencari jalan keluar dari sistem.
Kontras dengan Turah, tokoh Jadag dihadirkan sebagai ‘sebuah peluru nyasar’ yang mengganggu kelumrahan sistem kehidupan Kampung Tirah. Ide ini secara visual ditampilkan melalui kemunculan pertama Jadag dalam bingkai filem melalui sebuah adegan yang menggebrak efek harmoni dari adegan-adegan sebelumnya yang banyak didominasi oleh Turah. Dalam sebuah following shot sepanjang 1 menit 8 detik, Jadag muncul sebagai sebuah problematika dalam keluarga sedangkan Turah sebagai penengahnya. Kamera memperlihatkan tokoh satu per satu sekaligus memberikan mereka posisi dan kedudukan dalam alur cerita filem.
Secara visual, Jadag didorong untuk hadir sebagai tokoh yang progresif melalui kamera yang dinamis. Sebagai sebuah karakter, ia bertentangan dengan moral dan etika masyarakat yang menginginkan ketenteraman (dan karenanya mengamini kehadiran pemilik modal, kelas terdidik, dan sistem negara). Berkebalikan dengan Turah, Jadag adalah potret masyarakat yang mendambakan haknya, termasuk pula dalam konteks kelas. Keduanya hadir begitu kontras dalam banyak hal, terutama soal relasinya dengan perempuan atau pasangan dan keluarga. Jukstaposisi antara karakter Turah dan Jadag secara visual maupun penokohan pun mengingatkan kita tentang diferensiasi moral sosial yang secara riil ada di masyarakat. Turah sebagai yang lumrah, sedangkan Jadag sebagai yang tak umum.
Gambaran visual dari sistem kehidupan yang memungkinkan kemiskinan struktural hadir pada sosok Jadag meskipun bukan ia yang menjadi tajuk utama filem. Konflik Jadag dengan Pakel pun mengingatkan kita akan isu ketimpangan sosial akibat faktor pendidikan, yang berkaitan pula dengan relasi antara kampung dan kota serta pemilik modal dan pekerja. Frustasi sosial-ekonomi yang berlangsung di Kampung Tirang kemudian berujung pada persoalan moral-sosial yang digambarkan melalui perjalanan Jadag dan Turah bersama keluarga masing-masing. Nama Turah yang berarti sisa barangkali menggambarkan diri Turah sendiri sebagai sisa-sisa dari perjuangan tanpa arah Jadag, yang terpicu untuk keluar dari lingkaran setan di Kampung Tirang. Menjadi sejumput remah harapan dari sebuah perjuangan yang, paling tidak, akhirnya berani keluar dari sistem, sekalipun hanya dalam filem.
Pada penghujung filem, hal yang menarik muncul ketika perlakuan kamera cenderung linier terhadap Jadag dan Roji—anaknya. Terutama pada adegan-adegan terakhir, Jadag dihadirkan dalam frame filem seperti jembatan sebelum masuk ke ruang atau situasi yang selanjutnya. Gambaran yang sama juga muncul ketika kamera menghadirkan sosok Roji, terutama ketika memperlihatkan kedatangannya yang hendak melihat rumahnya kembali. Kamera mengikuti Roji dalam cara yang sama ia mengikuti Jadag; keduanya sebagai objek. Hal ini terus berlanjut hingga Roji hilang dari bingkaian filem dan menjadi tokoh penutup. Ini memberi kesan bahwa apa yang dipersoalan melalui karakter Jadag mungkin pula dilanjutkan oleh si anak. Adegan itu kemudian ditutup dengan sebuah kamera yang jatuh, seakan menjadi pernyataan dari si sutradara bahwa kisah ini hanyalah sebuah filem.
Jika menilik ulang filem ini berkali-kali, dapat disadari betapa filem ini kaya akan ruang-ruang diskursus. Apa yang tidak disampaikan oleh kata diejawantahkan secara lugas oleh kamera, tanpa berbelit banyak. Kenyataan dalam filem dibingkai melalui kenyataan yang sebenarnya dan justru memunculkan pertanyaan tentang realitas sebenarnya. Sebuah konstruksi fiktif yang utuh, baik oleh bangunan kamera maupun bahasa literal, justru mampu membingkai realita sebenarnya dari lokasi. Menandakan peluang irisan realitas filem dan realitas sebenarnya sebagaimana estetika yang tidak terlepas dari realitas masyarakat.
Endnotes:
[1] Bagus Kurniawan (28 November, 2016), “Film ‘Turah’ Berkompetisi di Singapura dan JAFF-Netpac Asian Film Festival”. Diakses dari situs web Detik: https://hot.detik.com/movie/3356761/film-turah-berkompetisi-di-singapura-dan-jaff-netpac-asian-film-festival pada Kamis, 2 Februari, 2017.
[2] Lihat situs web Jogja Netpac Asian Film Festival: https://jaff-filmfest.org/asian-feature/turah/ diakses pada Kamis, 2 Februari, 2017.
[3] Wawan Hurdiyanto (25 Mei, 2016), “Kampung Tirang Diharapkan Jadi Ikon Wisata Baru”. Diakses dari situs web Suara Merdeka: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kampung-tirang-diharapkan-jadi-ikon-wisata-baru/ diakses pada Kamis, 2 Februari, 2017.
[4] Angga Rulianto (Desember, 2016), “Cinenews: Turah Suarakan Warga Tersisih dari Pesisir Tegal”. Diakses dari situs web Qubicle: https://qubicle.id/story/cinenews-turah-suarakan-warga-tersisih-dari-pesisir-tegal diakses pada 2 Februari, 2017.
Turah: Framing Social Structure through Film Structure
As a helpful medium to re-examine the social structures in society, a film has the potential to frame reality through fiction. Social construction often determines the frame to see reality in a film; vice versa, the film reality can also provide framing to examine social construction. Turah (2016) is an example of a film that attempts to present this possibility through its filmic construction, both through its visual sequences and dialogues from its scenes.
Set in Tirang, a village which had sprung on a no man’s land, Turah presents a life of poor people who are seemingly isolated and dependent on the “kindness” of a capital owner named Darso (Yono Daryono) who would later become a kind of Juragan (landlord) of Tirang. He actively provides work and a living for the people of Tirang, including Turang (Ubaidillah), and Jadag (Slamet Ambari). The tension grew in the relationship between the residents and their master after the arrival of Pakel (Rudi Iteng), a bachelor graduate from the city who was accused of monopolizing Darso and the residents’ livelihoods. The struggle of Jadag and Turah’s families gave way to a hope for a better livelihood, even though both families seemed to contradict each other, they all try to get out of Juragan Darso and Pakel’s system.
This film was presented publicly for the first time at the Silver Screen Awards Asian Feature Film Competition at the 27th Singapore International Film Festival 2016, and it won the Asian Feature Film Special Mention award.[1] A feature debut from Wicaksono Wisnu Legowo, this film won the Geber Award and the NETPAC award at the Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Furthermore, the 83-minute film in Tegal dialect was shown at the 9th Bengaluru International Film Festival 2017, India, December 2 – February 9, 2017, with other NETPAC Award Winners. Before Turah, Wisnu had directed a short film, Tobong (2006), which received a special award from the jury at the 2006 Indonesian Film Festival. [2]
Turah is produced by Fourcolours Film and Ifa Isfansyah. However, unlike Siti (Eddie Cahyono, 2014) which was also produced by Ifa Ifansyah and focused on Siti’s character as a portrait of life’s misery, Turah presents a similar theme through framing various characters within a colony without formal identities. Subjects are framed and put together in the construction of a film about class struggle and the system of life.
Turah’s fictional plot presents a documentary potential through the setting of a real-life location and situation in Tirang, a fishing village located about 2,5 kilometers from Tegal, Central Java.[3] The choice in casting and language of dialogue thus further strengthens this potential. Wisnu, originally from Tegal, decided to cast actors from the local theatre. This results in the actors’ lively gestures and use of language giving an impression of a real-life scene in the outskirts of Tegal, especially in Jadag’s character, portrayed by Slamet Ambari. His scrawny posture and fluent cursing in ngapak dialect needs no further profiling through narrative construction. Class division becomes apparent through pronunciation and bodily gestures. The same thing can be observed through Turah’s character.
Wisnu mentioned that Turah’s original manuscript was written in Indonesian, and each actor translated the script into a scheme of languages.[4] This scheme classifies the levels of languages used in the film. The director also explained that the characters’ names in this film were also classified into a scheme of meanings that resemble the characters’ profile. Thus, language becomes an aesthetic choice, followed by a constructive narrative consequence that can also become a polemic. Presumably, the problem of language in this film can only be perceptible if the audience is fluent in those languages, which may sound the same on the surface with only a vague difference.
In this film, at least three languages are performed in conversations between figures, each occupying a certain level. As a formal language, Indonesian is spoken by government officials, police, journalists, and the exchange between Pakel and Juragan Darso. Proper Javanese is spoken when the residents of Tirang speak to Juragan Darso and government agencies, or the media. Meanwhile, the Tegal language or ngapak is only used between the residents and conversations with Pakel. Jadag is the only character who continuously speaks in ngapak. The reality of language use in Turah presents the notion that everyday language is not merely a means of communication. It becomes a systemized aspect which follows the structure in society. This film even becomes a class marker that represents social, economic, cultural, even political structures.
Another interesting thing is this film’s construction, aptly sewn between incandescent lamps and electric generators’ performativity. This film’s beginning of life is marked by a loud yapping from the generator, followed by a burning light. The electric generator with the lights becomes a dynamic icon throughout the film that divides the story’s chapter. On other occasions, a generator that always fails to turn on would be followed by a dimly glowing lightbulb, or sometimes a dying one, marking an anxious part of Tirang Village’s story. When a generator no longer works, life in the same space becomes no longer possible. Tirang Village blacks out, followed by the breaking point of a conflict. The generator, which originates from the set, is used by the director as a visual property and a marker of other significance. His choice to compose the film’s visual from the existing space and property raises a narrative consequence that strengthens the logic of the film. Therefore, this visual exploration of presenting a property as a marker of significance can discuss Kampung Tirang’s social context.
The performativity of camera and montage builds the perception of an ambivalent system: isolates and provides a living for its poor inhabitants. This imagination of isolation, both in terms of region (in a physical sense) and its social-economic context, appears through the omnipresent images of Tirang Village in this film. Depictions outside Tirang Village only exist in the image of a gray wall across the estuary, gazed through a subjective camera from Tirang Village’s perspective.
Hierarchy of class and social differentiation are apparent through visual exploration that builds an image of the socio-economic life in Tirang Village. The camera also depicts social class and character development in this film. Turah’s characterization appears through the camera’s silent, not quite dynamic disposition. When depicting Turah, the camera frame is always balanced, calm, and lacks any surprise. Visually, Turah is portrayed as a peaceful figure who avoids conflict and tends to walk “straight”. Perhaps, Turah is a general description of people who accepts their condition, even in the most ambivalent system. Even so, Turah also has the progressive potential that can be triggered and deployed to find a way out of the system.
In contrast to Turah, Jadag is presented as a “stray bullet” disturbing the life system’s generosity in Tirang Village. This idea is visually displayed through Jadag’s first appearance in the film frame in a scene that breaks out the effect of harmony from the previous scenes, which Turah mostly dominated. In a following shot that runs in 1 minute and 8 seconds, Jadag emerges as a family problem, while Turah stands as the mediator. The camera reveals each character while describing their position and classification in the storyline.
Visually, Jadag is encouraged to appear as a progressive character through a dynamic camera. As a character, he contradicts a society’s moral and ethics, which desires peace (which therefore consents to the presence of capital owner, the educated class, and the state system). In contrast to Turah, Jadag is a portrait of people who yearn for their rights, including in the context of class. Both of the characters seem to contrast in many ways, especially in their relationship with women or partners and their families. The juxtaposition between Turah and Jadag, visually and characteristically, reminds us to the real-life social, moral differentiation in society. Turah is the norm, while Jadag becomes an anomaly.
Jadag’s character presents a visual depiction of a living system that allows structural poverty, even though he is not the film’s center. The conflict between Jadag and Pakel reminds us of the educational factors that contribute to social inequality, linking with the relationship between villages and cities and between capital owners and workers. The socio-economic frustration in Tirang Village leads to social-moral problems described through Jadag and Turah’s journey with their respective families. The name Turah translates to ‘remnant’, which perhaps describes the character himself as he became the remnants of Jadag’s aimless struggle to get out of Tirang Village’s vicious circle. To become a spark of hope from a struggle to walk away from the system, even if only in a film.
Towards the end of the film, something interesting happened when the camera treatment became linear when portraying Jadag and Roji – his son. Especially in the last scenes, Jadag appears in the film frame, which resembles a bridge before entering the next space or situation. The same image also appears when the camera presents Roji’s figure, especially when showing his arrival to see his home again. The camera follows Roji in the same way it follows Jadag; both as objects. This continues until Roji disappears from the film frame and becomes the closing character. This gives the impression that his son might continue the struggle raised through Jadag’s character. The scene ends with a camera dropping, as if to become a director’s statement that this story is just a film.
Upon many close looks at this film, we may realize the film’s rich discursive spaces. What the word does not convey is manifested by the camera without any complications. It frames the filmic reality through actual reality, in fact raising more questions on the actual reality. A complete fictional construction – built by the camera and spoken language – becomes the one to frame the actual reality on the location. This film presents the opportunity in the intersection between filmic reality and actual reality through an aesthetic that cannot be separated from society’s reality.
Endnotes:
[1] Bagus Kurniawan (28 November, 2016), “Film ‘Turah’ Berkompetisi di Singapura dan JAFF-Netpac Asian Film Festival”. Diakses dari situs web Detik: https://hot.detik.com/movie/3356761/film-turah-berkompetisi-di-singapura-dan-jaff-netpac-asian-film-festival, thursday, 2 Februari, 2017.
[2] See Jogja Netpac Asian Film Festival: https://jaff-filmfest.org/asian-feature/turah/ accessed on thursday, 2 Februari, 2017.
[3] Wawan Hurdiyanto (25 Mei, 2016), “Kampung Tirang Diharapkan Jadi Ikon Wisata Baru”. Diakses dari situs web Suara Merdeka: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kampung-tirang-diharapkan-jadi-ikon-wisata-baru/ accessed on thursday, 2 Februari, 2017.
[4] Angga Rulianto (Desember, 2016), “Cinenews: Turah Suarakan Warga Tersisih dari Pesisir Tegal”. accessed on Qubicle: https://qubicle.id/story/cinenews-turah-suarakan-warga-tersisih-dari-pesisir-tegal diakses pada 2 Februari, 2017.