(Catatan menonton SSD Retrospeksi Alfred Hitchcock. 12 Oktober-5 November 2015.)
Bahkan di periode awal penyutradaraan, yaitu di era filem-filem bisunya, kita bisa mengenali kekhasan estetik dari filem-filem Alfred Hitchcock yang juga terlihat nanti di filem-filem berikutnya. Begitulah salah satu kesimpulan yang didapat saat diskusi di akhir pemutaran Senin Sinema Dunia: Retrospeksi Alfred Hitchcock di minggu pertama dan kedua. The Ring (1928) dan The Manxman (1929) adalah dua dari sembilan filem bisu Alfred Hitchcock yang saat ini diketahui keberadaanya. Program Senin Sinema Dunia : Retrospeksi Alfred Hitchcock memutar secara rutin dalam seminggu sepuluh filem Alfred Hitchcock mulai dari periode terawal hingga periode terakhirnya.
The Ring yang menjadi filem pembuka bercerita tentang petinju amatir yang dikalahkan oleh petinju profesional di dalam dan luar arena. Dimotivasi oleh kecemburuan dan balas dendam, Jack sang karakter utama menantang kembali Bob untuk bertarung dalam arena tinju untuk memperebutkan kehormatan dan cinta. Dari sinopsis tersebut, nampak jelas bahwa filem ini adalah filem melodrama, jauh dari apa yang kita ketahui tentang Hitchcock yaitu sebagai seorang sutradara yang sangat ahli menciptakan cerita dengan bumbu ketegangan dari peristiwa dan tindakan kriminal. Serupa dengan The Ring, The Manxman juga bercerita tentang kisah melodrama, cinta segitiga antara dua orang kawan yang nantinya persahabatan mereka berada diujung tanduk karena seorang wanita. Kisah ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Hall Caine.
Perkembangan bahasa sinema yang digunakan Alfred Hitchcock pada filem-filem bisu ini menjadi sorotan penting dalam diskusi setelah menonton filem. Salah satunya adalah apakah Hitchcock terpengaruh atau tidak oleh Ekspresionisme Jerman yang memang sedang naik daun saat itu. Salah satu indikasi bahwa Hitchcock terpengaruh oleh Ekspresionisme Jerman adalah bagaimana dia menggunakan superimpose pada figur-figur di karakternya dan penggunaan latar seperti pada The Manxman saat adegan kapal mendatangi pulau. Namun melihat superimpose sebagai indikator tersebut bukanlah sebuah argumen yang kuat karena pada masa tersebut, superimpose tidak melulu dimonopoli oleh Ekspresionisme Jerman, di tempat lain seperti pergerakan Impresionis Prancis yang juga terjadi pada masa itu juga menggunakan teknik yang sama. Seperti yang diketahui bahwa Ekspresionisme Jerman menggunakan tehnik tersebut untuk mengeksplorasi bagian tubuh-tubuh manusia yang sebelumnya abai ditunjukan dalam filem, sementara dalam kedua filem ini Hitchcock tidak menggunakannya dengan demikian. Pokok lain mengenai Ekspresionisme Jerman adalah fakta bahwa pada tahun 1925 Hitchcock pernah bekerja di Babelsberg Studios, Jerman. Dan menurut pengakuannya, bekerja di Jerman membuatnya berkesempatan untuk menyaksikan filem-filem mahakarya Jerman saat itu seperti Der letzte Mann (The Last Laugh) karya F.W. Murnau yang tayang tahun 1924 dan Der müde Tod (Destiny) karya Fritz Lang di tahun 1921. Filem-filem ini menjadi inspirasi penting baginya terutama saat periode pembuatan filem bisu.1
Dalam memberikan penekanan pada naratif, Alfred Hitchcock sering ‘menghidupkan’ benda dan tempat di sekitar karakter dan memberikannya arti lain, selain makna harfiah bagi benda dan tempat tersebut. Cara ini mulai terbentuk sejak dia memulai karir penyutradaraannya. Contohnya dalam The Ring yang menggabungkan makna cincin, gelang dan arena pertarungan yang menjadi objek hasrat ketiga karakter dalam satu kata (Ring) dan tiga benda utama dalam cerita ini diberikan makna lain seperti cincin sebagai ikatan pernikahan, gelang yang berbentuk ular yang bisa dimaknai sebagai perselingkuhan dan arena pertarungan sebagai tempat penebusan. Dalam The Manxman, Hitchcock menggunakan cara yang sama walaupun tidak sebanyak di The Ring, seperti saat gilingan berputar yang bisa dimaknai ganda karena perputarannya terjadi di dua peristiwa yang berbeda. Cara-cara tersebut lazim dijumpai pada filem Hitchcock periode setelahnya, dan kemudian berkembang dalam bentuk lain, Hitchcock kemudian menamai cara tersebut dengan MacGuffin.
Perbicaraan tentang MacGuffin menjadi tema utama pada penayangan ketiga, The 39 Steps yang dibuat pada tahun 1935 dan diadaptasi dari buku berjudul sama karya Patrick Barlow. Penayangan pada minggu ketiga memasuki periode lain dari Alfred Hitchcock yang nanti terhubung dengan filem di penayangan keempat, yaitu periode filem suara saat dirinya bekerja di Inggris sebelum nanti pindah ke Amerika menerima tawaran seorang produser bernama David O. Selznick. The 39 Steps menggunakan resep cerita yang nantinya beberapa kali diulang oleh Hitchcock, yaitu seseorang yang terjebak dalam sebuah situasi dan dipaksa keadaan untuk membersihkan masalah yang sebenarnya dia tidak terlibat di dalamnya. MacGuffin dijelaskan oleh Hitchcock sebagai istilah yang digunakannya untuk menjelaskan sebuah objek misterius yang menjadi motivasi dan tujuan utama karakter tanpa penjelasan naratif apa sebenarnya objek tersebut. MacGuffin bisa berupa apa saja, dan tidak berarti apa-apa seperti yang ilustrasikan oleh Hithcock:
“Namanya mungkin terdengar seperti sebuah nama dari Skotlandia, diambil dari cerita dua orang di kereta. Seseorang bertanya “Apa isi paket di koper ini?” dan yang satunya menjawab “Oh, ini MacGuffin” pria pertama bertanya lagi “Apa itu MacGuffin?” “Jadi,” kata pria kedua, “Ini adalah alat untuk menangkap singa di Daratan Tinggi Skotlandia”. Pria pertama kembali bertanya, “Tapi tidak ada singa di Skotlandia.” Dan yang satunya menjawab “Memang tidak ada!” Jadi MacGuffin sebenarnya bukanlah apa-apa.”2
Dalam filem 39 Steps, MacGuffin adalah data pesawat yang diingat oleh ‘Tuan Memory’. Data tersebut merupakan rahasia negara dan coba dibocorkan oleh sindikat mata-mata. Walaupun Hitchcock bersikeras bahwa MacGuffin bukanlah apa-apa (guff dalam bahasa Inggris slang berarti omong kosong), tetapi keberadaan MacGuffin adalah satu dari beberapa yang khas dari filem-filem Hitchcock. MacGuffin menciptakan dinamika dalam naratif, membuat cerita menjadi lebih menarik diikuti oleh penonton dan menciptakan ruang imajinatif untuk menerka-nerka apa sebenarnya objek yang dicari karakter dalam filem tersebut.
Salah satu adegan yang diwariskan dari filem bisu dan digunakan di filem suara adalah saat Hannay makan malam di rumah seorang petani. Di adegan tersebut terdapat tiga karakter, Hannay, Petani dan Istrinya. Saat doa sebelum makan, mata Hannay terus tertuju kearah koran di atas meja yang memberitakan pembunuhan seorang wanita di London yang melibatkan dirinya. Tatapan mata ini ditangkap oleh Istri petani yang kemudian sadar bahwa Hannay adalah orang yang diberitakan dalam koran, sementara Petani menyadari mata Hannay dan Istrinya saling terkunci, memberikan dugaan bahwa ada sesuatu diantara mereka, namun tidak diungkapkan. Petani itu lalu keluar dan melihat pembicaraan antara Hannay dan istrinya dari jendela luar. Kesemua adegan tersebut dilakukan hanya menggunakan susunan gambar, tanpa ada dialog sedikitpun.
The Lady Vanishes yang diproduksi tahun 1938 menjadi filem keempat yang ditayangkan. Filem ini diawali dengan pemandangan dari atas sebuah kota dari negara fiktif yang berada di Eropa Tengah bernama Bandrika. Pemandangan tersebut diciptakan menggunakan model miniatur dan kamera perlahan masuk ke dalam sebuah penginapan. Penonton yang hadir berpendapat bahwa The Lady Vanishes sangat baik dalam menyuguhkan hiburan, dan memuji kemampuan Hitchcock dalam menggabungkan berbagai unsur sinematik yang penting dalam hiburan seperti ketegangan, komedi dan percintaan. Komedi dalam The Lady Vanishes banyak bermain-main dengan stereotype orang Inggris, seperti perseteruan Cambridge dan Oxford, kebiasaan minum teh di jam tertentu dan perilaku serta adab seorang English Gentleman. Ketegangan dalam The Lady Vanishes diciptakan dengan menghilangnya seorang wanita dalam kereta dan semua orang mengaku tidak melihat wanita tersebut. Penonton diberitahu sebelumnya tentang wanita yang menghilang ini bernama Froy, dan Iris teman yang mencari-cari Froy bersumpah bahwa Froy sebelumnya berada di kereta. Penonton berada dalam kondisi yang dialami Iris dan dengan cara ini Hitchcock mengajak penonton masuk dan secara tidak langsung terlibat dalam filem.
Alfred Hitchcock menekankan penggunaan suara dengan menghilangkan samasekali suara musik pengiring (kecuali saat awal filem). Mungkin terdengar aneh namun musik dijadikan ‘karakter’ dalam The Lady Vanishes. Musik menjadi apa yang tadi disebut dengan MacGuffin. Musik yang penonton dengarkan adalah bagian penting dari filem ini.
Baik The Manxman, 39 Steps dan The Lady Vanishes adalah filem yang diangkat dari adaptasi novel, The Lady Vanishes diadaptasi dari novel berjudul The Wheel Spins oleh Ethel Lina White. Hitchcock memiliki caranya sendiri dalam melakukan konversi bahasa sinema dari karya literatur. Metode yang dia lakukan adalah membaca sebuah buku tersebut dengan cepat hingga yang dia ingat saat selesai adalah ide utama dari cerita di buku tersebut. Dia juga mengatakan tidak mungkin bagi dirinya untuk mengadaptasi karya literatur yang sudah memiliki reputasi hebat seperti Crime and Punishment, karena baginya karya tersebut terlampau panjang, tiap kata memiliki makna dan kalaupun harus, akan memakan durasi hingga sepuluh jam. Dia juga menjelaskan masalah etika bagi pembuat filem yang mengadaptasi karya literatur. Baginya, penulis menghabiskan bertahun-tahun untuk menciptakan satu novel yang baik, dan pembuat filem hanya membutuhkan seperangkat penulis naskah dan teknisi, kemudian namanya masuk ke dalam nominasi Oscar3.
Dalam pembagian dua periode tersebut, jelaslah terlihat perkembangan estetik Alfred Hitchcock dari awal saat perkembangan sinema masih hanya merekam gambar bergerak tanpa suara hingga gambar dan suara mampu menyatu seutuhnya. Pembacaan ini akan terus berlajut terus hingga penayangan akhir pada minggu kesepuluh, dan membentuk konstelasi bahasa sinema yang bisa dibaca bedasarkan karya-karyanya.
Tentang Alfred Hitchcock
Sir Alfred Joseph Hitchcock KBE lahir di kota Leytonstone, Essex, tanggal 13 August 1899, anak dari seorang petani dan penjual sayur. Karirnya dalam dunia filem dimulai dari perancang text untuk filem bisu dan perancang latar filem. Hitchcock termasuk sutradara yang sangat produktif, karirnya berlangsung selama 6 periode dan melahirkan 53 karya filem. Alfred Hitchcock meninggal tahun 1980, dua tahun setelah dia menerima penghargaan dari American Filem Institute untuk Lifetime Achievement. Filem-filemnya adalah warisan penting bagi dunia dan berpengaruh besar terhadap perkembangan sinema, begitu besar bahkan kritikus di dunia hingga saat ini sering menyematkan kata ‘Hitchcockian’ sebagai terminologi untuk sebuah adegan atau filem yang memiliki plot atau estetika serupa dengan filem-filem Alfred Hitchcock.
- Truffaut, F., & Hitchcock, A. (1967). Hitchcock,. New York: Simon and Schuster.
- Ibid.
- Ibid.