Oleh Manshur Zikri
“Memakai Arsip, Mereka Ulang Sejarah”, tulisan Yuki Aditya ini, dimuat pertama kali dalam katalog ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 sebagai esai pengantar (esai kuratorial) untuk salah satu Program Kuratorial, berjudul sama dengan esai, di festival tersebut. Pernah dimuat juga di Jurnal Footage pada tanggal 6 Januari 2014.
Membaca kembali artikel ini, kita seakan dikonfirmasi soal perhatian panjang dan dalam si penulis terhadap arsip; mengingat kini Yuki Aditya dikenal sebagai salah satu pembuat film yang memberdayakan arsip di karya-karyanya: Kelana Citra Jakarta (2021) dan Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan (2022)—keduanya dibuat berkolaborasi dengan I Gde Mika.
Di samping itu, dalam esai kuratorial ini, Yuki mengedepankan poin menarik tentang praktik sinematik berbasis arsip: “Sejarah bukan lagi soal masa lalu, melainkan pertanyaan masa sekarang kepada masa lalu.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa arsip bukan merupakan materi yang kandungannya bersifat tetap. Arti dari suatu arsip bergantung pada situasi dan kondisi sosial-budaya yang melatari ruang dan waktu di mana ia dibicarakan. Dalam konteks itu, mempergunakan arsip di dalam film, misalnya, bukan saja sekadar mereproduksi wujudnya, tetapi juga merepresentasikan persoalan-persoalan yang menunjukkan hubungan hari ini dan hari-hari lampau. Kerangka ini tidak lagi memandang arsip sebagai warisan yang hanya memfasilitasi nostalgia dan kenangan, tetapi lebih sebagai sarana untuk meninjau kekinian dan kedisinian kita.
Dalam kaitannya dengan menyambut 25 Tahun Reformasi Indonesia, dua film yang diajukan Yuki dalam kuratorial ini, merupakan sedikit dari sekian banyak contoh dari ragam eksperimen, pendekatan, serta metode artistik yang bisa dieksplorasi oleh seorang sutradara ketika membuat film berbasis (atau merespon) arsip—hingga bahkan “mengimajinasikan” arsip. Selain itu, kedua film ini juga mendemonstrasikan kepada kita soal bagaimana sutradara menerjemahkan standpoint-nya, baik terhadap arsip maupun “isu historis” yang dikandung arsip, ke dalam ungkapan-ungkapan filmis, dengan cara mempertemukan kepentingan subjektif-personal dengan kepentingan objektif-komunal.
Jurnal Footage memuat kembali artikel ini, dengan tanggal baru, setelah melalui sedikit penyuntingan. Kami juga melampirkan tautan-tautan yang dapat diakses agar pembaca bisa meninjau cuplikan film-film yang dibahas dalam tulisan ini.
Penerbitan ulang artikel-artikel yang sudah pernah dimuat di seri katalog ARKIPEL adalah bagian dari Editorial 09: Diskursus Satu Dekade.
Selamat membaca!
Memakai Arsip, Mereka Ulang Sejarah
MENGGUNAKAN ARSIP TIDAK diragukan lagi adalah salah satu tren penting dalam pembuatan film dokumenter di era kontemporer ini. Nama-nama seperti Mark Rappaport, Thom Andersen, dan Artavazd Peleshyan merupakan beberapa seniman yang produktif menghasilkan karya-karya yang baik dengan memanfaatkan arsip. Rekaman dari arsip difungsikan sebagai katalis untuk menuliskan arsip baru—untuk melihat sejarah dengan cara yang baru. Ini adalah sebuah teknik yang memungkinkan sejarah direfleksikan melalui interpretasi pribadi senimannya. Tetapi bagaimanakah caranya agar pertautan kita ke masa lalu mungkin bisa dibentuk dengan materi arsip? Bagaimana mungkin teks-teks baru yang didasarkan pada materi arsip bisa menciptakan suatu hubungan antara masa lalu dan masa kini bagi pembuat film dan penontonnya?
Dokumenter memegang dan memainkan peran penting dalam mengkreasikan memori kolektif dari peristiwa budaya, sosial, dan politik. Oleh sebab itu, pembuat film dokumenter penting untuk awas terhadap dampak dan efek dari penggunaan materi arsip dalam film-film mereka.
Dua film dalam program ini menggunakan estetika yang berbeda dalam menyampaikan visi personal pembuatnya. Adam Curtis menggunakan teks tertulis, sedangkan Isaki Lacuesta menggunakan narasi verbal untuk membangun argumen sinematiknya. Keduanya pun lebur dalam hubungan antara sejarah dan ingatan, mendaur ulang masa lalu sebagai kendaraan untuk membicarakan masa sekarang. Klaim akan kebenaran dari footage arsip yang dipakai oleh pembuat film tetap sahih, tapi tafsiran yang ada di dalam footage-footage tersebut kini dihubungkan antara “saat footage itu direkam” dan “kondisi saat film dokumenter tersebut dibuat”.
Dokumenter yang lama menjadi materi pembentuk sebuah kompilasi baru. Setiap footage dipresentasi ulang dan disandingkan dengan footage arsip lainnya (It Felt Like a Kiss) maupun gabungan dengan footage baru (Marker Variations). Sejarah tidak lagi tentang masa lalu. Namun sejarah adalah pertanyaan masa sekarang kepada masa lalu, sehingga cara melihat sejarah bukan lagi hanya dari apa yang sudah terjadi, tapi juga mengenai di mana kita sekarang.
It Felt Like a Kiss
Adam Curtis, 2009, Inggris
Film ini diambil dari judul lagu yang dipopulerkan oleh Carole King pada tahun 1962. Lagu ini diambil sebagai metafora terhadap tragedi runtuhnya menara kembar World Trade Center di kota New York pada tahun 2001. Peristiwa itu jelas merupakan pukulan telak bagi Amerika Serikat. Namun, melalui film ini, Adam Curtis membuka wacana baru, di mana peristiwa itu sendiri sebenarnya telah dipupuk oleh kebijakan politik Amerika Serikat, yang ikut “membina” teroris-teroris tersebut sejak puluhan tahun sebelumnya.
Montase film ini mengungkap bagaimana Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II dengan “American Dream”-nya yang membuncah lalu menimbulkan konspirasi yang menghancurkan negara itu sendiri pada 2001.
Dokumenter ini dibuka dengan potongan adegan dari film Pillow Talk rilisan 1959 yang dibintangi oleh dua bintang film terkenal saat itu, Rock Hudson dan Doris Day. Adegan menampilkan Hudson mengantar Doris Day pulang ke rumah setelah kencan mereka, Doris menutup pintu yang bertuliskan angka 2001. Doris tidak dapat tidur dan terbangun karena mendengar suara ledakan yang kemudian kita ketahui dari ledakan pesawat yang menabrak Menara Kembar World Trade Center.
Prolog film adalah bagaimana Amerika Serikat memproklamirkan diri sebagai agen yang akan “mengubah dunia” ke arah lebih baik, namun lambat laun fragmen yang disusun malah menceritakan keadaan sebaliknya. 1959 juga adalah kali pertama virus HIV ditemukan pada simpanse dan Adam Curtis menggunakan teks untuk menjahit cerita filmnya. Fokusnya luas, misalnya Perang Vietnam, munculnya diktator Mobutu Sese Seko, awal karir Osama bin Laden, dan kudeta di Irak oleh Saddam Hussein yang disponsori oleh Amerika Serikat sebagai peristiwa ekspor politik, ditampilkan selaras dengan maraknya budaya pop yang diwakilkan oleh iklan dan industri kecantikan.
Curtis juga melihat daya tarik sekaligus keburukan dari film dan musik populer. Tensi dalam film dibangun dengan persinggungan antara apresiasi Curtis terhadap dinamisnya budaya pop Amerika dengan kesinisan terhadap efek dari kedigdayaan negara tersebut. Lagu It Felt Like a Kiss dari Carole King, yang adalah cerita dari pengalaman buruk pemukulan pengasuh anak Carole King, oleh pacarnya disandingkan dengan footage peristiwa bakar diri seorang biksu di Vietnam untuk memprotes dukungan pemerintah Amerika Serikat kepada rezim korupsi Diem di Vietnam.
The Marker Variations
Isaki Lacuesta, 2008, Spanyol
Siapa Chris Marker adalah pertanyaan dalam film ini. Marker diceritakan sebagai penulis, seniman multimedia, yang hidupnya diungkap lewat voice-over orang lain dan ia terkenal akan keengganannya untuk diabadikan dalam foto. Lacuesta menunjukkan beberapa foto-foto sosok Chris Marker yang kabur dan tidak jelas. Apakah Chris Marker benar-benar ada? Isaki Lacuesta menyuratinya dan mendapat balasan yang unik. “As for the idea of the composite video, you may guest that I’m never against experiments. If Isaki Lacuesta wishes to pick bits and pieces from my films, let it be, I practice enough piracy myself to enjoy being pirated.”
Premis film dilanjutkan dengan betapa penting dan kuatnya peran imaji atau gambar, baik di dalam film Chris Marker maupun dalam kehidupan nyata. Footage dari film Chris Marker yang berjudul Sans Soleil dipakai Lacuesta untuk menerangkan seorang penguasa bernama Sabu di daerah Dijon yang menggunakan foto dirinya untuk mengekalkan kekuasaan. Semua relung wilayah Dijon sampai daerah terkumuh dipenuhi oleh foto Sabu, yang secara metafora menerangkan bagaimana terbaliknya kondisi tersebut dengan Chris Marker. Kehadirannya di film ini hanya diwakilkan oleh footage-footage dari filmnya dan oleh satu foto diri yang hanya memperlihatkan setengah wajahnya yang tertutup kamera.
Hampir semua footage dalam dokumenter ini direkam oleh Marker sendiri, dan Lacuesta di sini bermeditasi terhadap film-film yang dibuat oleh Marker. Bagaimana Marker merekam wajah, merekam dan mengusut dunia, dan menggambarkan abad ke-20. Lacuesta seakan mencoba untuk menyalin kembali apa yang telah dilakukan oleh Marker dalam karyanya. Lacuesta mengusut, mempertanyakan, dan mendefinisikan kembali footage-footage Chris Marker seperti yang dilakukan Marker dulu dengan subjek-subjeknya. Dengan kata lain, Lacuesta sedang mencoba: apa mungkin membuat suatu film baru tentang visinya sendiri dari footage orang lain. Sebuah film esai tentang pembuat film esai yang karyanya lekat akan tema waktu, memori, dan kematian.
Footage yang diambil dari beberapa film Chris Marker, antara lain Sans Soleil, Level Five, Koumiko Mystery, dan lainnya. Rupanya, Lacuesta bukan orang pertama yang melakukan reproduksi terhadap karya Marker. Cuplikan dari karya dari Johan van der Keuken, Alain Berliner, dan Sophia Coppola disandingkan dengan cuplikan film Chris Marker yang menjadi inspirasi mereka. Bahkan, Lacuesta memberi pertanyaan yang sama kepada seorang perempuan Jepang dengan yang ditanyakan Marker terhadap Koumiko dalam The Koumiko Mystery. Perbedaan jawaban antara dua perempuan yang berasal dari negara yang sama, namun dari periode berbeda, sebagai metafora perbandingan masa lalu dan kontemporer, fiksi dan dokumenter, seluloid dan medium video yang digunakan Lacuesta untuk membuat film, serta dua visi berbeda dari dua sutradara beda generasi.
Baik footage dari film-film Chris Marker maupun yang direkam oleh Lacuesta sendiri bisa dikatakan sebagai memento mori, bukan terhadap kematian Marker tapi atas kemisteriusannya. Marker sendiri biasa melakukan reproduksi macam tersebut, mulai dari antusiasmenya terhadap film Alfred Hitchcock yang berjudul Vertigo, sampai menangkap ulang lokasi tangga yang terkenal dengan gaya dokumenter dari film Battleship Potemkin karya Sergei Eisenstein. Saat biasanya sinema digunakan sebagai model untuk membangkitkan kesadaran historis seperti dalam It Felt Like a Kiss, maka Lacuesta dalam film ini seakan meminjam peribahasa favorit Chris Marker yang dikutip Marker dari George Steiner: “Kita tidak diperintah oleh masa lalu, melainkan oleh gambar yang berasal dari masa lalu.” Tanpa arsip, sejarah akan hilang. *