“Setiap filem yang terlibat di proyek ini memiliki satu syarat atau ciri khusus, yaitu hanya terdiri dari satu shot utuh (one take one shot), tanpa pengulangan waktu (flashback, non linear), tanpa teknik zoom dan tracking dalam kamera, tanpa teknik cutting dalam editing (cut to)…”
Setahun yang lalu, beberapa komunitas filem di Yogyakarta menggagas One Shot Project—sebuah proyek yang cukup membuka lebar kebebasan dalam mengeksplorasi ide dalam bahasa filem. Sebagai sebuah ide, proyek ini perlu mendapatkan sambutan baik, karena gagasan sebuah proyek audiovisual atau filem saat ini, sangat jarang membawa “ide artistik” yang memberi ruang untuk melakukan eksperimentasi medium dan bahasa. Namun, tentu kita perlu memberi catatan pada One Shot Project ini. Pada 16 Oktober 2010, Damar Ardi, salah seorang aktivis One Shot Project mempresentasikan empat karya filem/video pendek ini di depan perpustakaan Forum Lenteng Jakarta. Presentasi ini merupakan rangkaian pemutaran yang diadakan di beberapa kota di Jawa dalam waktu bersamaan, sebagai penanda dipublikasikannya proyek ini.
Pada abstraksi gagasan yang kami kutip dari website One Shot Project, tergambar jelas bagaimana gagasan estetik dan bentuk yang diinginkan dari kelompok ini. Hal ini tentu memberi peluang dan tantangan tersendiri bagi partisipan yang akan ikut pada One Shot Project. Namun, pada tulisan lanjutan dalam pernyataan gagasan ini tertulis;
“…teknik apapun dalam film yang tidak dapat dilakukan dalam kehidupan yang sebenarnya. Ini diilhami dari pola kehidupan pada umumnya yang hanya terjadi sekali bagi setiap manusia dan mahluk hidup. Tentunya dalam kehidupan nyata tidak terjadi potongan atau sambungan pandangan seperti dalam teknik editing (cut to), dan mata tidak mempunyai kemampuan bergerak seperti zoom dan tracking seperti dalam teknik kamera. Dan juga dalam kehidupan nyata waktu selalu berjalan maju (linear), tidak ada pengulangan yang tipikal (flashback, non linear) seperti dalam sebuah karya film pada umumnya.”
Tanpa ‘tedheng aling’, One Shot Project menempatkan diri dalam persoalan moral bahkan kehidupan. Semangat kekinian—yang tadinya tergambar dalam pernyatan awal serta merta hilang. Gagasan proyek ini kembali terjebak dalam gaya konservatif yang baku dalam mengolah gagasan dalam filem. Dapat dikatakan di sini pernyataan gagasan proyek ini sedikit banyak masih dipengaruhi oleh warisan kolonial dalam tradisi ‘Darwinisme’ sosial—memandang manusia sebagai entitas yang mengikuti daurnya sebagai sesuatu yang biologis—yang dapat kita baca dari pencantuman kata ‘sebenarnya’, ‘nyata’, ‘berjalan maju’, serta ‘hanya terjadi sekali’, merupakan konsepsi memandang manusia dan realitas sebagai sesuatu yang bermatra tunggal.
Dalam pengantar proyek ini dinyatakan bahwa One Shot Project dipersembahkan bagi para seniman-seniman besar yang telah tiada. Dengan semangat kekinian dan anak-anak muda dalam proyek ini, tentu perlu dikritisi tentang memandang ‘seniman besar’ dalam konteks kekinian. Dalam perspektif anak muda, “dunia kesetaraan” adalah harga mati. Meski ada penghormatan kepada tokoh-tokoh tertentu, namun kultus dalam tradisi anak muda kontemporer sudah hampir hilang. Medium video dan filem telah berperan besar mereduksi pengkultusan kepada seorang seniman. Ada banyak karya-karya filem dan video yang mengangkat ide seniman besar pada karyanya, namun tetap dunia kesetaraan dan obyektivitaslah yang menjadikan karya itu dianggap penting.
Ada empat karya yang dipilih oleh kurator dan masuk dalam kompilasi ini dari delapan puluhan yang mengambil aplikasi ke panitia (menurut Damar Ardi). Dari empat karya itu, dua filem mengambil subyek dengan nama besar secara publik, yakni Karya Suzanna di Warung Kopi oleh Agni Tirta dan Pamflet Elektronik oleh Gelar Agryano Soemantri. Semangat terhadap makna ‘seniman besar’ pada dua karya ini masih dipengaruhi identifikasi tokoh narasi besar. Dua karya lainnya, yakni Kali Lonthe oleh Surya Adhi dan Ketika Dia Pergi oleh Dewi Kusumawati, mengambil identifikasi tokoh yang bersifat kedaerahan. Karya Dewi Kusumawati berani mengambil identifikasi tokoh yang berasal dari daerah kecil, yakni Cilacap. Sedangkan identifikasi tokoh pada karya Surya Adhi adalah seorang seniman terkenal di daerah Yogyakarta.
Mari lupakan sejenak istilah ‘seniman besar’ pada proyek ini. Sebagai bagian sikap patriot, mengenang jasa orang-orang dalam sejarah kebudayaan nasional di era kekiniaan juga perlu di apresiasi dalam hal ini menarasikan tokoh besar dengan cara keseharian. Setelah melihat empat karya One Shot Project, dapat dilihat pada dua karya mengungkapkan para tokoh besar seperti; Suzanna, Rendra, dan Gesang, tidak sama sekali menyentuh perspektif keseharian dalam bernarasinya. Begitu juga pada dua karya lannya. Hampir semua karya dalam proyek ini membaca dan identifikasi tokoh masih bersifat biografis yang notabene adalah gaya-gaya narasi besar. Pada konteks ini peran estetika sosial medium audiovisual menjadi luntur seperti yang dibayangkan pada gagasan awal proyek. Pada sesi diskusi di Forum Lenteng setelah pemutaran One Shot Project, Hafiz (seniman, dan penggiat Forum Lenteng) menyatakan, strategi narasi pada karya-karya One Shot Project terlalu deskriptif, sehingga minim sekali ungkapan-ungkapan metaforik yang sesungguhnya justru merupakan yang paling esensial dari bahasa filem.
Gelar Agryano menyatakan bahwa ide pembuatan filemnya dimulai dari “iseng-iseng” saja. Hal itu dinyatakannya saat salah seorang peserta diskusi menanyakan tentang cara ia memainkan bahasa filem/video dalam karyanya. Pernyataan ini mendapat kritik oleh Hafiz. Pada transkripsi diskusi, seniman ini menyatakan, tidak ada sebuah karya secara spontan tanpa tedheng aling-aling. Semua karya pasti mengandung konsepsi, walau diartikulasikan secara spontan bahkan tanpa perwujudan.
Melihat kembali ide one shot, sebenarnya punya prasyarat yang sama dengan bagaimana sebuah filem dibangun (dikonstruksi). Ia tidak mungkin ‘bebas’ berkeliaran kemana-mana. Kamera secara langsung akan mengkonstruksi bangunan filem dari ‘gerak’, kejelian sutradara mengatur tempo, dan kelengkapan gambar yang sudah tersedia pada obyek ambilan. Contoh yang paling menarik adalah pada karya Otty Widasari, Horor Satu Menit (2005). Karya ini cukup efektif memanfaatkan gerak kamera untuk menjaga kesinambungan ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya. Kesadaran membangun gagasan dengan audiovisual—montase—sangat jelas pada karya ini. Karya lain yang cukup menarik menggunakan one shot yang cukup efektif adalah Russian Ark (96 menit, 2002), karya Alexander Sokurov. Filem ini mengungkap dekadensi sejarah di Rusia. Russian Ark membangun kesinambungan dengan memanfaatkan ruang-ruang di sebuah bangunan mirip museum sebagai sarana narasi dan dramatiknya.
Pada salah satu karya dalam One Shot Project, Ketika Dia Pergi karya Dewi Kusumawati, cukup bermain dengan imaji dalam membangun kesinambungan cerita. Ia memanfaatkan dekorasi ruangan, dan gerak kamera yang dikombinasi dengan berbagai tulisan di dinding. Namun secara narasi cerita, belum menghadirkan perspektif baru. Dewi masih terjebak dalam romantisme cerita tentang kematian sang tokoh, sehingga tidak dapat menghadirkan ‘inspirasi filemis’ pada karyanya. Cerita sang tokoh hanya menjadi guratan-guratan biografis yang melankolis. Sayang.
Pada Karya Suzanna di Warung Kopi karya Agni Tirta, penggunaan kamera handheld kurang berhasil menarasikan persoalan dalam filemnya. Visual dalam benak sang pembuat tampaknya belum siap mengemas ruang sebagai potensi bahasa filem sebagai bangunan cerita yang dapat sangat inspiratif. Filem ini hanya dihadirkan dengan spontanitas dan menyerahkan sepenuhnya pada kreativitas di lapangan dalam mengambil obyek-obyek yang ada. Tidak ada disiplin untuk mengukur ‘konten’ yang akan muncul ketika satu obyek masuk dalam frame (bingkai kamera). Hal ini dapat dilihat pada saat kamera bergerak pada ambilan beberapa VCD porno. Spontanitas ambilan tidak berkorelasi dengan narasi. Sehingga gambar-gambar itu menjadi ‘mubazir’ dan sampai ke posisi ‘lebay’ (berlebihan). Karya ini sepertinya kebingungan pada ‘tentang apa’, dalam satu sisi sutradara sudah menyiapkan ‘tentang siapa’. Yang perlu dikritisi adalah salah kaprah konsepsi ‘spontanitas’ yang ada pada filem ini—yang sebenarnya mengandung sejarah panjang dalam penggunaannya sebagai metode dalam proses kreatif seni.
Pada karya lain, Kali Lonthe oleh Surya Adhi Gaya, menggunakan gaya fragmen atau kepingan cerita. Surya Adhi melakukan wawancara seorang supir tentang tokoh-tokoh seniman yang ia kenal di Yogyakarta. Filem ini mengingatkan saya pada karya Abbas Kiarostami, Ten (2002). Pada Ten, Abbas melakukan ambilan interview subyek-subyek keluarga di masyarakat Iran. Meski bukan sebuah filem dokumenter, karya ini menggunakan fragmen-fragmen peristiwa di dalam mobil dalam membangun rangkaian peristiwa dramatik cerita. Pada Kali Lonthe, sutradara melakukan wawancara layaknya seorang jurnalis, yakni vis-à-vis. Sutradara terkesan kehabisan kata-kata, stagnan. Hal ini jelas tergambar karena semangat untuk mendapatkan narasi dari nara sumber layaknya interogasi, bukan perbincangan. Menurut saya, sangat penting menempatkan subyek wawancara pada konteks sosialnya, seperti yang dilakukan oleh Abbas Kiarostami.
Gaya fragmen juga digunakan Gelar Agryano Soemantri, Pamflet Elektronik. Video ini menggambarkan dua tokoh, Rendra dan Gesang, yang sebenarnya lebih menekankan penggunaan suara latar; berita kematian Gesang. Suara latar menjadi tak punya arti apa-apa atau mubazir dalam konteks filem, karena tidak dapat melakukan respon visual dalam mengimbangi berita duka itu. Gelar menghadirkan seseorang yang sedang browsing internet dan membuka sebuah situs dengan gambar Rendra di halamannya. Seketika, hadir suara berita kematian Gesang. Penggunaan suara ini, jelas tidak memiliki relevansi yang cukup produktif. Gelar terjebak dalam konstruksi berita media massa. Dalam hal ini, Guy Debord—seorang aktivis dan pemikir situasionis—telah mengingatkan bahwa era reproduksi adalah era pengorganisasian citra (image dan sound) oleh kekuasaan institusi tertentu, sehingga akan menjadi tamsil yang kurang tepat jika mereduksinya.
Secara umum, ide One Shot Project ini cukup menarik. Bangunan filem atau visual yang paling luhur sesungguhnya justru bisa terletak pada satuan ambilannya (shot). Bahkan tidak ada noesis yang bisa terbangun jika tidak intens terhadap noema yang hanya mungkin dilakukan pada sekali ambilan. Karenanya, André Bazin, selalu membela ‘one shot‘ sebagai kaidah filem yang paling penting. Sekirannya, sejarah one shot cukup layak untuk didiskusikan lebih lanjut sebagai bagian dari usaha meraba sejarah penggunaan bahasa medium visual. Perayaan narasi, setidaknya tidak berujung pada perayaan medium. Mati biologis kita cuma sekali, namun hidup politik (dalam filem) kita bisa mati berkali-kali.
Tabik!
Catatan Redaksi:
Jurnal Footage sebenarnya ingin menghadirkan secara online karya-karya One Shot Project dalam website ini. Namun, menurut Damar Ardi, kompilasi filem ini belum (atau mungkin tidak boleh) dapat didistribusikan secara bebas di jaringan internet. Redaksi sangat menyayangkan semangat ‘berbagi’ yang seharusnya dapat menjadi sebuah kekuatan sendiri pada komunitas-komunitas dengan proyek semacam ini, masih terjebak pada “eksklusivitas” ala industri filem kita.